instansi-instansi terkait maupun ke posko-posko dan masyarakat yang berkepentingan dengan adanya alarm tanda bahaya.
83
b. Mengadopsi teknologi georadar dan geolistrik. Georadar dapat memantau
kondisi ketebalan sedimentasi waduk atau situ hingga kedalaman 5 meter, sedangkan dengan geolistrik bisa hingga kedalaman 100 meter.
c. Memasang jaring penyelamatan.
d. Sirene yang bisa didengarkan masyarakat sekitar.
84
e. Memasang alat deteksi longsor yang ditanamkan sebagai pengukur tingkat
kejenuhan air.
85
f. Penyediaan “informasi satu menit” atau kurang, dengan lebih
menitikberatkan pada penyebaran informasi lewat Internet, yang cocok untuk negara yang sudah memiliki tingkat pemakaian Internet tinggi dan
ini merupakan solusi alternatif yang lebih murah dan berbasis pada khalayak pemakai teknologi informasi.
86
3. Mitigasi mitigation
Mitigasi penjinakan yaitu segala kegiatan yang bertujuan memperkecil kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana, terutama terhadap jiwa raga
manusia, harta benda dan berbagai bangunan.
87
83
Imam Marzuki Shofi, “Belajar dari Situ Gintung, Perlu Sistem Realtime Peringatan Dini Bahaya Jebolnya Bendungan”,
artikel diakses
pada Selasa,
23 Februari
2010 dari
http:imamshofi.wordpress.com20081125sistem-pemantau-curah-hujan-dengan-memanfaatkan -teknologi-layanan-komunikasi-bergerak
84
MH Habib Shaleh, “Sekar Langit akan dipasangi Sistem Peringatan Dini,” artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http:suaramerdeka.comv1ind ex.phpreadnews20100215
47084Sekar-Langit-akan-Dipasangi-Sistem-Peringatan-Dini
85
Nugroho, “Faktor Curah Hujan hanya Pemicu.”
86
Ikhlasul Amal, “Sistem Peringatan Dini Bencana Alam,” artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http:direktif.web.idarc200605sistem-peringatan-dini
87
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 15.
Mitigasi mitigation menurut UU RI No. 24 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi dan meminimalkan risiko serta dampak bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
88
Tindakan mitigasi mitigation menurut UU RI No. 24 2007, meliputi: a.
Pelaksanaan penataan tata ruang. b.
Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan c.
Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan.
89
Isu utama dalam mitigasi, yaitu : a.
Sasaran mitigasi: tentukan dampak terbesar Prinsip utama dalam mitigasi adalah menyelamatkan jiwa dan harta.
Skala bencana dan jumlah korban yang mungkin ditimbulkan adalah alasan utama yang mendasari pentingnya mitigasi.
b. Mengurangi bahaya atau kerawanan
Perlindungan terhadap ancaman terjadinya bencana dapat dicapai dengan menyingkirkan
penyebab ancaman ataupun dampaknya mengurangi tingkat kerawanannya. Misalnya kebijakan penetapan
Rencana Umum Tata Ruang RUTR. c.
Peralatan, “Power” dan Anggaran Pengurangan resiko bencana perlu dibangun melalui serangkaian
aktivitas yang dilakukan bersama. Misalnya, pemerintah dapat memanfaatkan berbagai peralatan dan wewenang yang dimilikinya dalam
banyak cara untuk menjamin keselamatan masyarakat.
88
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
89
Ibid., h. 30.
d. Timing
Kebijakan mitigasi sering dikatakan penerapannya sebelum terjadinya bencana.
Kenyataannya, waktu
yang paling
tepat untuk
mengimplementasikan kebijakan mitigasi adalah setelah terjadinya bencana. Kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan akibat
bencana menjadi tinggi dan kemauan politik untuk melaksanakannya biasanya sedang tinggi. Misalnya, pembangunan sistem peringatan dini
early warning system.
90
Rangkaian aktivitas yang dapat dimanfaatkan untuk merancang serangkaian mitigasi bencana yang tepat adalah:
91
1. Engineering
Mengacu kepada “memperkuat” fasilitas melawan kekuatan bahaya. Teknik-teknik bangunan tahan bencana adalah kebijakan bersifat defensif
yang paling penting untuk menghasilkan struktur engineering yang lebih kuat.
2. Perencanaan tata ruang
Dampak ancaman bencana dapat dikurangi secara signifikan bila pemanfaatan area atau daerah yang berbahaya sebagai daerah pemukiman
dapat dihindari. 3.
Kebijakan ekonomi Ekonomi yang kuat adalah perlindungan yang terbaik terhadap
bencana. Ekonomi yang kuat berarti lebih banyak dana yang akan dibelanjakan untuk bangunan yang lebih kokoh, tempat-tempat yang aman
90
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 32.
91
Ibid., h. 38.
dan cadangan keuangan yang lebih besar dalam berurusan dengan bencana.
4. Manajemen dan institusionalisasi mitigasi bencana
Institusionalisasi mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi resiko bencana sebagai hal penting yang harus selalu berlanjut. Agar dapat
bertahan untuk jangka waktu yang cukup panjang terhadap perubahan politik dan perubahan prioritas anggaran, seperti adanya BAKORNAS
PBP. 5.
Kemasyarakatan Mitigasi bencana hanya akan efektif bila terdapat kesadaran dalam
masyarakat bahwa memang hal tersebut benar-benar diperlukan. Sebaliknya jika kesadaran ini rendah, proses mitigasi tidak akan berjalan
mulus. Dibutuhkan kesadaran masyarakat akan potensi bahaya dan siap mendukung usaha yang bersifat protektif.
Dengan demikian, mitigasi penjinakan dapat diartikan sebagai suatu upaya mengurangi dan meminimalkan risiko serta dampak bencana melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Baik melalui pembuatan dan perkuatan
bangunan-bangunan fisik maupun non fisik-struktural melalui peraturan perundangan dan pelatihan.
Kebijakan mitigasi dapat dikalisifikasikan dalam beberapa cara: 1.
Aktif dan pasif Untuk kebijakan yang aktif, pemerintah mendorong tindakan yang
diharapkan dengan memberikan insentif. Untuk kebijakan yang bersifat
pasif, pemerintah mencegah tindakan yang tidak diharapkan dengan menggunakan pengendalian dan hukuman.
2. Struktural dan non struktural
Mitigasi struktural melibatkan kebijakan yang bersifat fisik, dengan cara memanfaatkan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk
pencegahan banjir, bangunan tahan gempa, memberikan tambahan sistem perkuatan tanggul ataupun sistem peringatan dini early warning system.
Sedangkan kebijakan non-struktural lebih bersifat non teknis seperti legalitas, asuransi, sosialisasi dan arahan yang tepat tentang potensi risiko
bencana yang mungkin terjadi. Kebijakan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non struktural harus saling mendukung antara satu
dengan yang lainya.
92
3. Jangka pendek dan jangka panjang
Kebijakan jangka pendek adalah kebijakan yang diambil dengan cepat dan dampaknya sangat singkat. Kebijakan jangka panjang memakan waktu
yang lama dan memerlukan waktu, seperti merubah perilaku masyarakat melalui pendidikan.
4. Restriktif dan insentif
Kebijakan restriktif adalah kebijakan untuk meningkatkan keselamatan dengan melarang pembangunan proyek-proyek tertentu. Kebijakan insentif
menyediakan atau memberikan insentif keuangan, hukum dan insentif lainnya yang mendorong proses mitigasi.
93
92
“Bencana Situ
Gintung,” artikel
diakses pada
Selasa, 23
Februari 2010
dari http:www.christianpost.co.idsocietynation200903294687walhi-
bencana-situ-gintung-akibat- arogansiindex.html
93
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 41.
Mengurangi resiko bencana juga dapat dilakukan dengan memelihara, mengelola serta memperhatikan aspek lingkungan secara bijaksana, sehingga
dapat menjamin generasi mendatang agar dapat menjalani kehidupan yang layak. Penurunan kualitas lingkungan akibat ulah manusia yang semena-mena
adalah sumber dari berbagai macam bencana.
94
e. Tanggap Darurat response
Penanganan saat terjadi bencana adalah semua kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah menyelamatkan korban manusia jiwa-
raga dan harta benda. Meliputi kegiatan evakuasi korban ke tempat penampungan sementara, penyelenggaraan dapur umum, distribusi atau penyaluran bantuan
dalam bentuk pangan, sandang, obat-obatan, bahan bangunan, peralatan ekonomis-produktif seperti alat pertanian dan pertukangan serta uang sebagai
modal awal hidup pasca bencana, pendataan korban dan jumlah kerugian material harta benda.
95
Dalam UU RI No. 24 2007 dikatakan bahwa tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadinya bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
96
Tindakan tanggap darurat response menurut UU RI No. 24 2007, meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya.
2. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar.
4. Perlindungan terhadap kelompok rentan.
94
Ibid., h. 46.
95
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otnomi Daerah, h. 12.
96
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
5. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
97
Tindakan respon biasanya terjadi dalam kondisi yang tidak normal, misalnya: lokasi yang sulit dijangkau, kebutuhan alat berat yang besar namun
dengan transportasi jalan yang tak memadai akses jalan sulit, cuaca yang tidak menguntungkan, kondisi lahan bangunan yang bisa saja belum stabil, trauma dan
kepanikan masyarakat yang terkena bencana dan bisa menjadi potensi gangguan tindakan respon. Yang termasuk tindakan pertolongan yaitu pencarian dan
penyelamatan search and rescue SAR, pemenuhan kebutuhan dasar basic needs
bagi para korban seperti penampungan shelter sementara, air, bahan makanan dan kesehatan.
98
Rencana darurat harus dibangun untuk disesuaikan dengan konteks dimana rencana darurat itu beroprasi, yang mencakup komunikasi, search and rescue,
mengkoordinasikan tugas-tugas emergency, sektor transportasi, kesejahteraan sosial, kesehatan dan tenaga medis, polisi dan keamanan, militer dan tenaga
sukarelawan.
99
Relawan adalah mereka yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial, tetapi bukan berasal dari lulusan atau tidak mendapatkan pendidikan
khusus dari sekolah pekerjaan sosal ataupun ilmu kesejahteraan sosial.
100
Fase tanggap darurat yaitu dimana pemerintah bersama-sama masyarakat melakukan langkah tanggap darurat, termasuk diantaranya mengumumkan status
bencana. Kemudian melakukan penyelamatan dokumen-dokumen negara, menyediaan informasi kepada publik mengenai korban bencana, melakukan
prosesi pemakaman korban meninggal, menyediakan posko informasi,
97
Ibid., h. 31.
98
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 149.
99
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 76.
100
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial Jakarta: FISIP UI Press, 2004, h. 53.
menyediakan rumah sakit darurat, melakukan koordinasi antar lembaga terkait, masyarakat dan instansi pemerintah.
101
Berkaitan dengan kebutuhan, ada 3 macam kebutuhan yang meningkat akibat bencana. Pertama, kebutuhan yang bersifat materi seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal, obat-obatan dan uang. Kedua, kebutuhan yang bersifat sosial seperti teman, sahabat, keluarga, masyarakat. Ketiga, kebutuhan yang bersifat
psikologis seperti perhatian, penghargaan, rasa aman, cinta kasih dan pandangan hidup.
102
Selain itu, keberadaan para kelompok rentan vulnerable group juga harus menjadi prioritas utama dalam penanganan koban pada situasi bencana.
103
Kelompok rentan yang dimaksud ialah bayi balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat dan lansia.
104
Jangka waktu masa tanggap darurat beragam sesuai dengan besar kecilnya skala bencana, umumnya adalah 2 dua minggu sampai dengan 1 satu bulan
setelah terjadinya bencana dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan dari Presiden Kepala Daerah.
105
Dengan demikian, tanggap darurat response dapat diartikan sebagai suatu upaya penanganan segera saat terjadi bencana berupa penyelamatan korban jiwa
dan harta benda, kegiatan evakuasi korban, pendataan jumlah korban dan kerugian dan pemenuhan kebutuhan dasar untuk menangani dampak buruk yang
101
Arifin, “Studi Model Kebijakan Mitigasi Difabel Korban Bencana Alam Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogakarta,” h. 7.
102
Nurrachman, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam, h. 4.
103
Arifin, “Studi Model Kebijakan Mitigasi Difabel Korban Bencana Alam Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogakarta,” h. 5.
104
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 33.
105
“Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Penggunaan
Dana Siap
Pakai,” artikel
diakses pada
Selasa, 23
Februari 2010
dari http:docs.google.comviewer?a=vq=cache:DHf0roEnOEMJ:bnpb.go.idwebsitedocumentsproduk_hukump
erkaBNPBPedoman2520DSP.pdf+standar+jangka+waktu+masa+tanggap+darurathl=id
ditimbulkan akibat bencana. Dengan cara merespon yang berbeda setiap kondisi darurat atau bencana, tergantung dari skala kejadiannya maupun jenis bencana
yang terjadi. Kualitas penanggulangan darurat, akan sangat bergantung pada kualitas persiapan yang dilakukan.
Beberapa prinsip rencana darurat yaitu sebagai suatu proses yang berkelanjutan, usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam situasi darurat,
mendorong tindakan sesegera mungkin, berdasarkan kepada apa yang mungkin akan terjadi, berdasarkan pengetahuan dan fleksibel agar bisa disesuaikan dengan
berbagai macam situasi.
106
Pemerintah perlu membuka peluang seluas-luasnya bagi partisipasi seluruh komponen masyarakat.
107
Karena dalam upaya penanganan segera setelah terjadinya bencana, ciri gotong royong dan azas kekeluargaan yang dimiliki oleh
penduduk atau masyarakat Indonesia dapat dengan cepat memobilisasi bantuan baik berupa tenaga sukarela maupun material.
Penyebab lambannya upaya penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat, seperti bantuan logistik yang seharusnya sudah didistribusikan ke daerah
yang tertimpa bencana menumpuk di mana-mana, tidak ada upaya alternatif atas kehancuran fisik dan sarana, lemahnya koordinasi dan pengorganisasian, tidak
adanya data yang memadai mengenai jumlah korban, pos-pos pengungsian serta jenis bantuan yang diperlukan.
108
Bantuan yang disalurkan dari berbagai fihak ke lokasi bencana umumnya agak sulit dilakukan karena di lokasi bencana tidak
tersedia fasilitas cukup untuk penyimpanan bantuan, misalnya gudang, dapur
106
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 86.
107
Ibid., h.13.
108
M. Djazuli Ambri, “Efektifitas Penanggulangan Bencana oleh Bulan Sabit Merah Indonesia Kasus Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004-2005,” Tesis Program Studi Kajian
Ketahanan Nasional UI, 2008, h. 6.
umum, balai kesehatan dan lokasi distribusi bantuan, dsb.
109
Selain itu, belum seluruh provinsi terbentuk BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah,
Satkorlak PB tingkat provinsi dan Satlak PB tingkat kabupaten kota adalah bukan organisasi struktural yang tidak mempunyai anggaran, personil serta peralatan
yang cukup karena hanya bersifat kepanitiaan saja.
110
Tindakan respon memang jelas sangat diperlukan, tetapi terdapat kesepakatan diantara para praktisi bahwa penanganan bencana yang efektif terletak pada
penyusunan dan implementasi kebijakan mitigasi. Sehingga fase penyelamatan korban dapat menjadi indikator gagalnya kebijakan proses mitigasi mitigation.
111
Kemudian tindakan
respon juga
harus mempertimbangkan
dan memperhitungkan sequence selanjutnya yaitu tindakan pemulihan recovery.
Dengan kata lain, respon harus mendapatkan hasil yang optimal sehingga dapat menjadi pendukung untuk tindakan pemulihan.
112
f. Pasca Bencana Pemulihan recovery
Bantuan kemanusiaan, rehabilitasi dan rekonstruksi adalah segala bentuk kegiatan yang dilaksanakan setelah terjadinya bencana, untuk secara berurut
menyelamatkan nyawa manusia dan memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak, memulihkan kegiatan normal dan memulihkan infrastruktur fisik serta
pelayanan masyarakat, pembangunan hunian sementara, penyebaran informasi
109
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 45.
110
Ir. Soetrisno, “Paradigma Responsif Sesaat Harus Diubah,” Komunika, Edisi 6 Tahun V April 2009: h. 8.
111
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 81.
112
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 148.
publik, pendidikan kesehatan dan keselamatan, rekonstruksi, program konseling dan studi mengenai dampak ekonomi yang ditimbulkan.
113
Proses transfer tindakan respon ke tindakan pemulihan ini perlu dilakukan karena situasi dan kondisi yang berbeda dari tindakan respon dan tindakan
pemulihan. Saat respon, maka tindakan harus cepat, urgent, darurat jangka waktu sangat pendek. Sedangkan situasi dan kondisi pemulihan, jangka waktu bisa
menengah maupun panjang.
114
Pemulihan harus didukung oleh penilaian assesment tentang penyebab dan dampak kerusakan yang akurat, serta perancangan dan implementasian kebijakan
mitigasi yang lebih baik.
115
Penilaian dampak bencana disaster asessment adalah proses penghitungan dampak bencana terhadap masyarakat. Prioritas utama adalah menentukan
kebijakan secepatnya untuk menyelamatkan dan mempertahankan kondisi kesehatan korban yang jiwanya masih dapat tertolong. Prioritas kedua adalah
mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan
untuk memfasilitasi
dan mempercepat pemulihan. Penilaian ini memperhitungkan kerugian langsung
maupun tidak langsung dan juga pengaruh yang ditimbulkan. Penilaian juga mencakup rekomendasi yang berkaitan dengan perbaikan, rekonstruksi, usaha
pemulihan kegiatan ekonomi. Penilaian asessment harus direncanaan dan dikelola dengan hati-hati. Serangkaian aktivitas yang dilakukan harus
direncanakan dengan detil.
116
113
ProVention, Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Resiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan
, h. 212.
114
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 149.
115
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 115.
116
Ibid., h. 120.
Pemulihan recovery menurut UU RI No. 24 2007 adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang
terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
117
Fase jangka pendek merupakan aktivitas awal untuk pembersihan, juga merupakan fase dimulainya perencanaan secara cermat dan teliti dalam fase
pemulihan recovery untuk jangka waktu yang lebih panjang.
118
Dengan demikian,
pemulihan recovery
merupakan suatu
upaya memfungsikan kembali kegiatan, infrastruktur fisik, prasarana dan sarana jalan,
listrik, air bersih, pasar, puskesmas, dll serta pelayanan masyarakat melalui upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, dengan jangka waktu bisa menengah maupun
panjang.
3 Rehabilitasi rehabilitation
Rehabilitasi memampukan kembali adalah kegiatan yang tujuannya memulihan kembali kemampuan baik kondisi fisik, psikis maupun kondisi
sosial masyarakat yang terkena bencana. Kegiatan rehabilitasi ini mencakup: a.
Bersifat fisik, misalnya pembenahan batas-batas pekarangan antar ketetanggaan, perfungsian kembali lahan pekarangan atau perkebunan,
penggarapan kembali sawah dan ladang pertanian. b.
Bersifat non fisik, misalnya kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial tentang kesetiakawanan dan kegotongroyongan, usaha kesejahteraan sosial
dan kesiapan mental psikologis apabila menghadapi bencana.
119
117
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 12.
118
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 132.
Rehabilitasi menurut UU RI No. 24 2007 adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat untuk normalisasi
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
120
Tindakan rehabilitasi rehabilitation menurut UU RI No. 24 2007, meliputi:
a. Perbaikan lingkungan daerah bencana.
b. Perbaikan prasarana dan sarana umum.
c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.
d. Pemulihan sosial psikologis.
e. Pelayanan kesehatan.
f. Pemulihan sosial ekonomi budaya.
g. Pemulihan keamanan dan ketertiban.
h. Pemulihan fungsi pemerintahan.
i. Pemulihan fungsi pelayanan publik.
121
Rehabilitasi juga mencakup: a.
Melakukan pembersihan puing-puing dan pemugaran rumah-rumah yang masih dapat digunakan serta bangunan-bangunan lainnya.
b. Penyediaan rumah atau penampungan sementara sejauh yang dibutuhkan.
c. Pemberian rehabilitasi fisik dan psikologis kepada masyarakat korban
bencana yang mengalami penderitaan serta traumatik akibat bencana. d.
Peletakan dasar bagi tindakan rekonstruksi, antara lain penggantian bangunan dan infrastruktur yang hancur akibat bencana.
122
119
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12.
120
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
121
Ibid., h. 33.
Fase rehabilitasi seperti membuka posko pusat krisis, mengambil alih pengasuhan anak-anak korban bencana, menyediakan sarana dan prasarana
hiburan bagi korban bencana yang masih hidup.
123
Dengan demikian, rehabilitasi memampukan kembali dapat dikatakan sebagai suatu upaya mengembalikan kemampuan baik kondisi fisik, psikis
maupun kondisi sosial masyarakat pasca terjadinya bencana melalui perbaikan-perbaikan dan pelayanan-pelayanan sosial. Kegiatannya meliputi
perbaikan rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial, pemulihan trauma pasca bencana dan mulai menghidupkan kembali roda perekonomian.
4 Rekonstruksi reconstruction
Rekonstruksi perbaikan kembali yaitu kegiatan perbaikan dan perfungsian kembali, baik kondisi fisik maupun kondisi sosial masyarakat
yang tertimpa bencana. Meliputi: a.
Bersifat fisik, misalnya pembangunan kembali seperti semula rumah penduduk, gedung sekolah, tempat ibadah dan jalan yang putus ataupun
jembatan yang rusak. b.
Bersifat non fisik, yaitu kegiatan yang bersifat penyembuhan mental psikologis para korban bencana. Misalnya bimbingan kerohanian dan
penyelengaraan konsultasi.
124
122
Dedi Gunawan, “Upaya Pekerja Sosial dalam Menumbuhkan Semangat Membangun Kembali Masyarakat Korban Bencana Gempa Bumi di Klaten Jawa Tengah pada Tahap Rehablitasi,” Skripsi S1
Institut Imu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, 2007, h. 30.
123
Arifin, “Studi Model Kebijakan Mitigasi Difabel Korban Bencana Alam Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogakarta,” h. 30.
124
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12.
Rekonstruksi menurut UU RI No. 24 2007 adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik
pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
125
Perlu didesain sebuah sistem pengembangan ekonomi bagi para korban bencana yang bertumpu pada semangat kewirausahaan, dengan memanfaatkan
semaksimal mungkin potensi lokal yang dimiliki daerah. Oleh sebab itu, pemberian bekal keterampilan untuk mengolah potensi lokal harus dilakukan
dan segera menghentikan pemberian bantuan yang bersifat karitatif. Karena pemberian bantuan karitatif dalam jangka waktu lama hanya akan membuat
para korban menjadi tergantung dan tidak mandiri.
126
Misalnya melalui usaha mikro-kecil yaitu suatu kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, termasuk
diantaranya sektor informal serta usaha keci tradisional yang menghidupi sebagian besar masyarakat. Tujuan usaha mikro adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan kapasitas serta kapabilitas untuk tatanan masyarakat secara luas.
127
Langkah-langkah dalam rekonstruksi juga meliputi pembangunan tanggul bendungan penahan pengendali sedimen, perkuatan tebing, penghijauan dan
125
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 12.
126
Arifin, “Studi Model Kebijakan Mitigasi Difabel Korban Bencana Alam Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogakarta,” h. 7.
127
Adriani S. Soemantri, “Psikologi Korban Pasca Bencana,” Jurnal Perempuan no. 40, Maret 2005, h. 83.
juga penyempurnaan kurikulum di sekolah-sekolah, peninjauan kembali tata ruang kawasan.
128
Sedangkan tindakan rekonstruksi reconstruction menurut UU RI No. 24
2007, meliputi: a.
Pembangunan kembali prasarana dan sarana. b.
Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat. c.
Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat. d.
Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. e.
Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana.
f. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat. g.
Peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya. h.
Peningkatan fungsi pelayanan publik. i.
Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
129
Dengan demikian, rekonstruksi perbaikan kembali dapat diartikan sebagai suatu upaya pemulihan secara menyeluruh baik kondisi fisik maupun
kondisi sosial masyarakat yang tertimpa bencana melalui program jangka menengah dan jangka panjang dengan sasaran utama yaitu tumbuh dan
berkembangnya segala aspek kehidupan bermasyarakat yang sama atau lebih baik dari sebelumnya baik ekonomi, hukum, sosial dan budaya.
128
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 15.
129
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 34.
Masing-masing tahapan dalam upaya penanggulangan bencana tidak dapat dipisah-pisah secara nyata ketat dan kaku, tetapi diantara tahapan tersebut saling
berhubungan dan bergantung.
130
130
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 15.
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Profil Lembaga PKPU