persahabatan. Semua faktor bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang disebut dengan pola konsumsi Santoso, 2004.
Menurut Krondl dan Lau 1985 dalam Susanto 1995 dalam upaya memperkenalkan kebiasaan makan yang baik perlu diperhatikan berbagai
faktor yang mempengaruhi yaitu persepsi wawasan konsumsi makanan termasuk pengetahuan, sistem kepercayaan, prestise, rasa dan kebutuhan,
faktor dalam jenis kelamin, umur, kegiatan dan faktor luar budaya, ekonomi dan ciri masyarakat. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi seseorang dalam memilih makanan dan dilakukan tindakan makanan yang selanjutnya kebiasaan makan tersebut akan berpengaruh pada
status gizi. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan anak usia pra sekolah:
a. Jenis Kelamin
Menurut Apriadji 1986 dalam Widiyaningsih 2006, jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan besar kecilnya
kebutuhan gizi bagi seseorang. Laki-laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein daripada perempuan. Menurut Guthrie 1995 dalam
Widiyaningsih 2006, anak laki-laki memiliki kebutuhan energi yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, sehingga mereka lebih
banyak makan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Herawati 1998 di Jakarta Timur menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kebiasaan makan anak.
b. Umur
Menurut Apriadji 1986 salah satu faktor internal yang mempengaruhi konsumsi makanan adalah umur, dimana umur dapat
menentukan kebutuhan gizi seseorang. Sehingga dengan semakin bertambahnya umur akan semakin meningkat pula kebutuhan gizi
seseorang. Golongan usia anak meliputi anak prasekolah 1-6 tahun, anak
sekolah 7-12 tahun, dan golongan remaja 13-18 tahun. Tiap golongan mempunyai kebutuhan gizi berbeda sesuai dengan kecepatan dan aktifitas
yang dilakukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Herawati 1998 di Jakarta
Timur menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kebiasaan makan anak.
c. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi khususnya tentang
makanan yang baik untuk kesehatan. Tetapi pendidikan yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi.
Pengetahuan gizi ibu yang baik diharapkan dapat diwujudkan dalam penyediaan makan sehari-hari dalam keluarga dan memberi pendidikan
gizi pada anak Suhardjo, 1989. Seseorang yang hanya berpendidikan sekolah dasar belum tentu
tidak dapat menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, karena bila rajin mendengar penyuluhan-penyuluhan gizi tidak mustahil tingkat
pengetahuan gizi menjadi lebih baik, walaupun demikian memang dapat menerima informasi khususnya gizi Apriadji, 1986. Tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap pemilihan makanan sehari-hari, hal ini terjadi karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi
pengetahuannya yang memungkinkan seseorang mempunyai kesadaran lebih tinggi terhadap suatu hal Husaini, 1989.
Tingkat pendidikan ibu merupakan faktor penting yang mampu menggambarkan status sosial dan merupakan dasar pengambilan
keputusan dan bertindak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi tingkat pengetahuan gizinya yang berpengaruh terhadap
pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi dalam keluarga Irawati, 1999 dalam Wahyuningsih 2004 .
Penelitian Wahyuningsih 2004 di Jakarta Pusat menyatakan bahwa sebagian besar ibu berpendidikan tinggi dan sebagian kecilnya
masih berpendidikan rendah. Penelitian lain yang dilakukan Mazarina 2004 menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu
dengan kebiasaan makan anak.
d. Pekerjaan Ibu