Efektivitas Metode Diskusi Dan Ceramah Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Perawat Dalam Membuang Limbah Medis Padat Di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010

(1)

EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DAN CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DALAM MEMBUANG

LIMBAH MEDIS PADAT DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2010

TESIS

Oleh

YUNITA SARY HARAHAP

087033003/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DAN CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DALAM MEMBUANG

LIMBAH MEDIS PADAT DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2010

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUNITA SARY HARAHAP 087033003/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DAN CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP

PERAWAT DALAM MEMBUANG LIMBAH MEDIS PADAT DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2010 Nama Mahasiswa : Yunita Sary Harahap

Nomor Induk Mahasiswa : 087033003

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil) (Drs. Tukiman, M.K.M) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 14 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes 3. dr. Taufik Azhar, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DAN CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DALAM MEMBUANG

LIMBAH MEDIS PADAT DI PUSKESMAS KOTA MEDAN TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2010


(6)

ABSTRAK

Limbah medis padat merupakan bahan infeksius dan berbahaya yang harus dikelola dengan benar agar tidak menjadi sumber infeksius baru bagi masyarakat di sekitar puskesmas maupun bagi tenaga kesehatan itu sendiri. Berdasarkan survey awal masih ditemukan limbah medis padat bercampur dengan limbah padat non medis, walaupun pemberian informasi tentang limbah medis padat tersebut sudah diberikan. Sehingga peneliti berasumsi bahwa efektivitas pemberian informasi belum menampakkan hasil yang optimal. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis efektifitas metode diskusi dan ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di puskesmas Kota Medan.

Jenis penelitian adalah eksperimen semu (quasi experiment), dengan rancangan pretest-posttest group design. Penelitian menggunakan dua kelompok, kelompok yang diberi intervensi dengan metode diskusi dan kelompok dengan metode ceramah. Jumlah sampel sebanyak 30 orang perawat, ditentukan secara purposive sampling dan dibagi menjadi 2 kelompok secara merata, masing-masing kelompok terdiri dari 15 orang perawat. Alat pengumpulan data adalah kuesioner. Uji yang digunakan Paired Samples T-test dan Independent Samples T-test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata nilai pengetahuan tertinggi terjadi pada kelompok dengan intervensi metode diskusi sebesar 3,07 dengan standar deviasi 2,120, sedangkan kelompok dengan intervensi metode ceramah sebesar 1,13 dengan standar deviasi 0,352. Intervensi dengan metode diskusi menunjukkan rerata nilai sikap lebih tinggi yaitu sebesar 6,27 dengan standar deviasi 1,944 dibandingkan intervensi dengan metode ceramah yaitu sebesar 2,40 dengan standar deviasi 1,844. Hasil Uji T-Test menunjukkan metode diskusi lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di Puskesmas Kota Medan tahun 2010.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk lebih mengutamakan metode diskusi sebagai salah satu alternatif dalam pemberian informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lanjutan untuk melihat perubahan tindakan perawat di tempat kerja dalam membuang limbah medis padat.


(7)

ABSTRACT

Solid medical waste is the infectious and dangerous substances that must be managed properly in order not to become the source of new infectious to the people around the health centers and for health officer themselves. Based on the preliminary survey still found solid medical waste mixed with non-medical solid waste, although the provision of information on solid medical waste has been given, so the researcher assumed that the effectiveness of providing information not yet revealed the optimal result. It is necessary for research with the aim to analyze the effectiveness of the discussion method and the lecturing method on the knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste at the health centers in Medan.

The type of the research was quasi experiment with pretest-posttest group design. This research used two group: the first group was given the discussion method intervention and the order group was given the lecturing method intervention. The sample were 30 nurses with purposive sampling which divided evenly into two groups where each group consisted of 15 nurses. The data were gathered by using questionnaires with Paired Samples T-test and Independent Sample T-test.

The result of the research showed that the highest mean value of knowledge occurred in the intervention group discussion method of 3.07 with a standard deviation of 2.120, while the intervention group with the lecturing method of 1.13 with a standard deviation of 0.352. Intervention with discussion method showed a higher mean value of the attitude that is equal to 6.27 with a standard deviation of 1.944 compared with the lecture method of intervention that is equal to 2.40 with a standard deviation of 1.844. Test T-test results indicate the method of discussion is more effective in improving knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste at the health center of Medan in 2010.

Suggested to Medan District Health office to better prioritize discussion method as an alternative in the provision of information to improve knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste. For the next researcher to conduct the study continued to see changes in the workplace nurses actions in solid medical waste.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan judul “Efektivitas Metode Diskusi dan Ceramah terhadap Pengetahuan dan Sikap Perawat dalam Membuang Limbah Medis Padat di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010”.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya kepada Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis.

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil dan Drs. Tukiman, M.K.M selaku


(9)

komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes dan dr. Taufik Azhar, M.K.M selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan, masukan dan saran untuk perbaikan tesis.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, dr. H. Edwin Effendi, M.Si yang telah memberikan izin untuk pelaksanaan penelitian ini.

Akhirnya, kepada kedua orang tua yang selalu mendoakan, suami tercinta Ir.Ermansyah, M.M dan anak tersayang Ersa Sharmilla serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan, menghibur, mendampingi dan memberikan dorongan moril maupun materil yang sangat berarti selama penulis pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, September 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Yunita Sary Harahap lahir pada tanggal 30 Juni 1974 di Pematang Siantar, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan H. R. Harahap dan Hj. Maimunah Dalimunthe.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar di SD Harapan 1 Medan selesai tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Banda Aceh selesai tahun 1989, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Medan selesai tahun 1992 dan Fakultas Kedokteran USU selesai tahun 1998.

Bekerja menjadi Dokter Pegawai Tidak Tetap di Puskesmas Indrapura Kabupaten Asahan tahun 1999 sampai 2002, sebagai Pegawai Negeri Sipil di Puskesmas Pematang Panjang Kabupaten Asahan tahun 2003 sampai 2006, Puskesmas Teladan Kota Medan tahun 2006 sampai sekarang.

Tahun 2008 penulis mengikuti pendidikan lanjutan S2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... ... ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 8

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Hipotesis... 9

1.5. Manfaat Penelitian……….. 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 11

2.1. Promosi Kesehatan………. 11

2.2. Pengertian Efektivitas……… 12

2.3. Metode Promosi Kesehatan ……….. 14

2.3.1. Metode diskusi……… 14

2.3.2. Metode ceramah……….. 17

2.4. Domain Perilaku………. 18

2.4.1. Pengetahuan (knowledge)……….. 19

2.4.2. Sikap (attitude)……… 20

2.4.3. Tindakan atau Praktik (practice)……… 22

2.5. Puskesmas……….. 22

2.6. Konsep Limbah Medis Padat………. 24

2.6.1. Karakteristik limbah medis……… 24

2.6.2. Pengaruh limbah medis terhadap lingkungan dan kesehatan.……….. 29 2.6.3. Peran perawat dalam pengelolaan limbah medis.…. 31


(12)

2.6.4. Pengelolaan limbah medis padat………..…. 32

2.6.5. Teknologi pengolahan dan pembuangan limbah medis………. 38

2.7. Landasan Teori……….. 44

2.8. Kerangka Konsep……….. 46

BAB 3. METODE PENELITIAN………... 47

3.1. Jenis Penelitian……….. 47

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 48

3.2.1. Lokasi penelitian……… 48

3.2.2. Waktu penelitian……… 49

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian……… 49

3.3.1. Populasi……….. 49

3.3.2. Sampel……… 49

3.4. Metode Pengumpulan Data………... 51

3.4.1. Pengumpulan data……….………. 51

3.4.2. Teknik pengumpulan data……….………. 52

3.4.3. Pelaksanaan pengumpulan data………. 52

3.4.4. Uji validitas dan reliabilitas………... 56

3.5. Variabel dan Definisi Operasional……… 59

3.5.1. Variabel……….. 59

3.5.2. Definisi operasional………..….. 59

3.6. Metode Pengukuran……….. 61

3.7. Metode Analisis Data... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 64

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 64

4.2. Karakteristik Responden... 65

4.2.1. Karakteristik responden menurut umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan masa kerja berdasarkan metode ceramah dan metode diskusi... 65

4.2.2. Pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah pemberian intervensi dengan metode ceramah dan metode diskusi... 67

4.3. Analisa Data... 68

  4.3.1. Perbedaan rerata nilai pengetahuan dan sikap        responden sebelum dan sesudah pemberian intervensi         dengan metode ceramah dan metode diskusi...       68        

4.3.2. Perbedaan rerata nilai pengetahuan dan sikap 


(13)

      berdasarkan metode promosi kesehatan  

      (metode ceramah dan metode diskusi)...      72 

BAB 5. PEMBAHASAN... 74

5.1. Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Intervensi... 74

5.2. Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sesudah Intervensi Berdasarkan Metode Promosi Kesehatan (Metode Ceramah dan Metode Diskusi) 80

5.3. Keterbatasan Penelitian... 83

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan... 85

6.2. Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA... 87


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Kategori Limbah Medis... 26

2.2 Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori... 34

3.1 Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas... 57

3.2 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen... 61

4.1 Jumlah Tenaga Medis dan Non Medis di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2008……… 64

4.2 Distribusi Frekwensi Karakteristik Responden Menurut Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan Terakhir dan Masa Kerja Berdasarkan Metode Ceramah dan Metode Diskusi... 66

4.3 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Pemberian Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Diskusi... 67

4.4 Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Pemberian Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Diskusi... 69

4.5 Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sesudah Pemberian Intervensi Berdasarkan Metode Promosi Kesehatan (Metode Ceramah dan Metode Diskusi)... 72


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kerangka Konsep Penelitian... 46 3.1 Rancangan Penelitian... 47 4.1 Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden

Sebelum dan Sesudah Pemberian Intervensi dengan Metode

Ceramah... 70 4.2 Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden

Sebelum dan Sesudah Pemberian Intervensi dengan Metode

Diskusi... 71 4.3 Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden

Sesudah Pemberian Intervensi Berdasarkan Metode Promosi


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 91

2. Materi Limbah Medis Padat... 97

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Pengetahuan dan Sikap... 101

4. Hasil Distribusi Frekwensi Karakteristik Responden... 107

5. Hasil Dependent Samples T-Test Pengetahuan dan Sikap Responden... 110

6. Hasil Independent Samples T-Test Pengetahuan dan Sikap Responden... 112

7. Surat Izin Uji Kuesioner dari Fakultas Kesehatan Masyarakat... 113

8. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat... 114

9. Surat Selesai Uji Kuesioner dari Puskesmas Sering Kota Medan.. 115

10. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan... 116

11. Master Data Penelitian... 117


(17)

ABSTRAK

Limbah medis padat merupakan bahan infeksius dan berbahaya yang harus dikelola dengan benar agar tidak menjadi sumber infeksius baru bagi masyarakat di sekitar puskesmas maupun bagi tenaga kesehatan itu sendiri. Berdasarkan survey awal masih ditemukan limbah medis padat bercampur dengan limbah padat non medis, walaupun pemberian informasi tentang limbah medis padat tersebut sudah diberikan. Sehingga peneliti berasumsi bahwa efektivitas pemberian informasi belum menampakkan hasil yang optimal. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis efektifitas metode diskusi dan ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di puskesmas Kota Medan.

Jenis penelitian adalah eksperimen semu (quasi experiment), dengan rancangan pretest-posttest group design. Penelitian menggunakan dua kelompok, kelompok yang diberi intervensi dengan metode diskusi dan kelompok dengan metode ceramah. Jumlah sampel sebanyak 30 orang perawat, ditentukan secara purposive sampling dan dibagi menjadi 2 kelompok secara merata, masing-masing kelompok terdiri dari 15 orang perawat. Alat pengumpulan data adalah kuesioner. Uji yang digunakan Paired Samples T-test dan Independent Samples T-test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata nilai pengetahuan tertinggi terjadi pada kelompok dengan intervensi metode diskusi sebesar 3,07 dengan standar deviasi 2,120, sedangkan kelompok dengan intervensi metode ceramah sebesar 1,13 dengan standar deviasi 0,352. Intervensi dengan metode diskusi menunjukkan rerata nilai sikap lebih tinggi yaitu sebesar 6,27 dengan standar deviasi 1,944 dibandingkan intervensi dengan metode ceramah yaitu sebesar 2,40 dengan standar deviasi 1,844. Hasil Uji T-Test menunjukkan metode diskusi lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di Puskesmas Kota Medan tahun 2010.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk lebih mengutamakan metode diskusi sebagai salah satu alternatif dalam pemberian informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lanjutan untuk melihat perubahan tindakan perawat di tempat kerja dalam membuang limbah medis padat.


(18)

ABSTRACT

Solid medical waste is the infectious and dangerous substances that must be managed properly in order not to become the source of new infectious to the people around the health centers and for health officer themselves. Based on the preliminary survey still found solid medical waste mixed with non-medical solid waste, although the provision of information on solid medical waste has been given, so the researcher assumed that the effectiveness of providing information not yet revealed the optimal result. It is necessary for research with the aim to analyze the effectiveness of the discussion method and the lecturing method on the knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste at the health centers in Medan.

The type of the research was quasi experiment with pretest-posttest group design. This research used two group: the first group was given the discussion method intervention and the order group was given the lecturing method intervention. The sample were 30 nurses with purposive sampling which divided evenly into two groups where each group consisted of 15 nurses. The data were gathered by using questionnaires with Paired Samples T-test and Independent Sample T-test.

The result of the research showed that the highest mean value of knowledge occurred in the intervention group discussion method of 3.07 with a standard deviation of 2.120, while the intervention group with the lecturing method of 1.13 with a standard deviation of 0.352. Intervention with discussion method showed a higher mean value of the attitude that is equal to 6.27 with a standard deviation of 1.944 compared with the lecture method of intervention that is equal to 2.40 with a standard deviation of 1.844. Test T-test results indicate the method of discussion is more effective in improving knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste at the health center of Medan in 2010.

Suggested to Medan District Health office to better prioritize discussion method as an alternative in the provision of information to improve knowledge and attitude of nurses in throwing away solid medical waste. For the next researcher to conduct the study continued to see changes in the workplace nurses actions in solid medical waste.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai masa depan dimana bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan sehat, penduduknya berperilaku hidup bersih dan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian, pembangunan kesehatan dilandaskan kepada paradigma sehat. Paradigma yang akan mengarahkan pembangunan kesehatan untuk lebih mengutamakan upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), tanpa mengabaikankan upaya-upaya penanggulangan atau penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2005).

Aspek yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan tersebut salah satunya adalah lingkungan sehat dan bersih, termasuk lingkungan pelayanan kesehatan masyarakat seperti puskesmas, seperti yang tertuang dalam Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa “Setiap tempat dan sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan” (Depkes, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengutip pendapat Blum (1974) menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.


(20)

Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Kondisi kesehatan individu dan masyarakat dapat dipengaruhi lingkungan. Kualitas lingkungan yang buruk merupakan penyebab timbulnya berbagai gangguan kesehatan. Untuk mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimum diperlukan suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang juga optimum (Mulia, 2005).

Upaya pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan perlu diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip sanitasi yang menitikberatkan pada kebersihan lingkungan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam peningkatan kualitas lingkungan adalah dengan melakukan kegiatan pengelolaan limbah, karena dengan pengelolaan limbah yang benar merupakan bagian yang paling penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2009).

Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan yang dalam kegiatannya menghasilkan limbah medis padat maupun limbah padat non medis. Limbah medis padat di puskesmas dihasilkan dari kegiatan yang berasal dari ruang perawatan bagi puskesmas rawat inap, poliklinik umum, poliklinik gigi, poliklinik ibu dan anak/KIA, laboratorium dan apotik. Limbah medis padat merupakan bahan infeksius dan berbahaya yang harus dikelola dengan benar agar tidak menjadi sumber infeksius baru bagi masyarakat di sekitar puskesmas maupun bagi tenaga kesehatan itu sendiri. Dalam hubungan interaksi, dimungkinkan terjadi kontak antar pasien dengan tenaga kesehatan dalam lingkungan puskesmas melalui alat-alat medis yang dipergunakan dalam proses perawatan, penyembuhan dan pemulihan penderita. Dalam


(21)

keadaan intensitas kontak tinggi dari penderita dengan tenaga kesehatan maupun pengunjung, tidak mustahil kuman penyakit dapat berpindah kepada orang yang sehat, yang akhirnya terjadi proses penularan penyakit yang lebih meluas.

World Health Organization (WHO) 1999, melaporkan perkiraan kasus infeksi Hepatitis B (HBV) akibat cidera oleh benda tajam dikalangan tenaga medis dan tenaga pengelolaan limbah rumah sakit. Jumlah kasus HBV per tahun di AS akibat pajanan limbah adalah sekitar 162-321 kasus dari jumlah total per tahun yang mencapai 300.000 kasus. Pada tahun 1999 WHO juga melaporkan bahwa di Perancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) melalui luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas yang menangani limbah medis. Pada bulan Juni 1994, terdapat 39 kasus infeksi HIV yang berhasil dikenali oleh Centers for Disease Control and Prevention sebagai infeksi okupasional dengan cara penularan sebagai berikut: 32 kasus akibat tertusuk jarum suntik, 1 kasus akibat teriris pisau, 1 kasus akibat luka terkena pecahan gelas (pecahan kaca berasal dari tabung berisi darah yang terinfeksi), 1 kasus akibat kontak dengan benda infeksius yang tidak tajam, 4 kasus akibat kulit atau membran mukosa terkena darah yang terinfeksi. Pada bulan Juni 1996, jumlah keseluruhan kasus infeksi HIV okupasional meningkat menjadi 51 kasus. Semua kasus tersebut yang terkena adalah perawat, dokter dan teknisi laboratorium (Prüss, 2005).

Pada fasilitas layanan kesehatan dimanapun, perawat dan tenaga kebersihan merupakan kelompok utama yang berisiko mengalami cidera, jumlah bermakna justru berasal dari luka teriris dan tertusuk limbah benda tajam. Untuk infeksi virus yang


(22)

serius seperti HIV/AIDS (Acquired Immuno Defficiency Syndrome) serta hepatitis B dan C, tenaga layanan kesehatan terutama perawat merupakan kelompok yang berisiko paling besar untuk terkena infeksi melalui cidera akibat benda tajam yang terkontaminasi, umumnya jarum suntik (Prüss, 2005).

Data P2M-PL (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan) menunjukkan, limbah alat suntik secara kuratif di Indonesia diperkirakan sekitar 300 juta per tahun. Limbah alat suntik khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta diantaranya merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah sekitar 20 juta. Dengan demikian jumlah limbah medis benda tajam di Indonesia menjadi sangat tinggi. Limbah alat suntik dan limbah lainnya dapat menjadi faktor risiko penularan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, Hepatitis B dan C serta penyakit lain yang ditularkan melalui darah. Jika pengelolaan pembuangan limbah medis padat tidak baik, sangat berbahaya bagi para tenaga kesehatan, pasien, pengunjung maupun lingkungannya (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.1204/MENKES/ SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit/Puskesmas dibuatlah nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Rumah Sakit Dr.Pirngadi Kota Medan dengan Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2006, untuk mengadakan kerjasama dalam pemusnahan limbah medis padat puskesmas yang berada di bawah wewenang Dinas Kesehatan Kota Medan (DKK) di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Kota Medan. Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, di puskesmas Kota Medan telah


(23)

disediakan tempat khusus pembuangan limbah medis padat berupa kotak karton tertutup dan wadah plastik beserta tutupnya, yang diletakkan di ruangan-ruangan penghasil limbah medis. Limbah medis padat yang telah dikumpulkan pada tempatnya, akan diangkut ketempat pembuangan akhir oleh petugas pengangkut limbah medis dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.

Dari survey pendahuluan peneliti, di ruangan puskesmas yang menghasilkan limbah medis padat yang berasal dari kegiatan di ruang rawat inap, poliklinik umum, poliklinik gigi, poliklinik ibu dan anak/KIA terlihat perawat sangat berperan dalam melakukan tindakan pelayanan keperawatan kepada pasien seperti menyuntik, memasang selang infus, mengganti cairan infus, memasang selang urine, perawatan luka, perawatan dalam pemberian obat dan lain-lain. Dari hal tersebut di atas, kemungkinan besar perawat yang pertama kali berperan apakah limbah medis padat akan berada pada tempat yang aman atau tidak, sebelum diangkut ketempat pembuangan akhir yakni insinerator oleh petugas pengangkut limbah dari rumah sakit.

Dari ruangan-ruangan penghasil limbah medis padat tersebut masih ditemukan di tempat sampah limbah medis padat seperti perban dan kapas bercampur darah, infus set bekas, jarum suntik bekas, sarung tangan bekas dan lain-lain bercampur dengan limbah non medis. Selain itu terlihat limbah medis padat tidak segera dimasukkan ketempat penampungannya, tetapi terletak di wadah-wadah kecil pengobatan (nierbekken). Asumsi peneliti, perawat tidak memilah limbah medis padat sebelum dibuang ketempat sampah, padahal di tempat sampah sudah tertera jenis sampah yang dimaksud. Kondisi ini dapat menyebabkan tikus, kecoa, nyamuk dan


(24)

lalat berkeliaran dan berinteraksi dengan limbah medis padat sehingga rentan terjadinya penularan kuman patogen.

Hal tersebut di atas besar kemungkinan ada hubungannya dengan pengetahuan dan sikap perawat tentang pengelolaan/pembuangan limbah medis padat dan bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan diri dan lingkungan. Semua perawat yang menghasilkan limbah medis padat harus bertanggung jawab dalam pemilahannya. Proses pengelolaan limbah medis dilakukan oleh perawat pada tahap pemilahannya dan petugas kebersihan pada tahap pengangkutan (Prüss, 2005).

Dinas Kesehatan Kota Medan sudah melakukan kegiatan pemberian informasi tentang limbah medis dan cara pengelolaan limbah medis. Kegiatan pemberian informasi tersebut selalu disampaikan dalam rapat bulanan petugas kesehatan. Namun efektivitas pemberian informasi ini belum menampakkan hasil yang optimal, dapat dilihat dari pemilahan/pembuangan limbah medis padat yang masih belum tepat. Hal ini mungkin karena pemberian informasi tentang limbah medis padat tidak secara khusus disampaikan dengan menggunakan metode yang cocok atau sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan promosi kesehatan, yakni perubahan perilaku, dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang memengaruhi suatu proses pendidikan salah satunya adalah faktor metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan (Notoatmodjo, 2005).

Hal yang penting dalam pembuangan/pemilahan limbah medis padat adalah meningkatkan pengetahuan perawat terhadap limbah medis padat, sehingga perawat


(25)

dapat lebih mengetahui kategori limbah medis, pewadahannya, pengolahannya, pemusnahan dan efek yang ditimbulkan limbah medis padat tersebut. Dalam hal ini perlu adanya suatu promosi kesehatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat tersebut.

Untuk melaksanakan kegiatan dalam promosi kesehatan diperlukanlah metode promosi kesehatan yaitu dengan cara dan alat bantu apa yang digunakan oleh pelaku promosi kesehatan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan, memberikan atau meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan atau mentransformasikan perilaku kesehatan kepada sasaran (Notoatmodjo, 2005).

Salah satu metode yang dapat digunakan dalam promosi kesehatan adalah metode ceramah. Metode ini merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan metode ini lebih dapat dipastikan tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan. Apalagi kalau waktu yang tersedia sangat minim, maka metode inilah yang dapat menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Namun metode ceramah mempunyai kelemahan yaitu jika ceramahnya berlangsung terus-menerus selama 1 jam atau lebih, harus waspada terhadap kebosanan hadirin, dan pesan/materi pelajaran mudah dilupakan setelah beberapa lama sesudahnya (Lunandi, 1993).

Metode promosi kesehatan yang lain adalah metode diskusi. Diskusi merupakan salah satu metode yang ampuh dan menarik. Diskusi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan, peningkatan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk memengaruhi para anggota agar mau mengubah sikap. Pada


(26)

diskusi terdapat interaksi yang timbal-balik, suasana bebas dan arus pemberian informasi seluas-luasnya (Kartono, 1998). Seperti metode ceramah, metode diskusi juga mempunyai kelemahan yaitu jika peserta kurang berpartisipasi secara aktif untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan serta adanya dominasi pembicaraan oleh satu atau beberapa orang saja.

Dalam pemilihan metode promosi kesehatan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilihan metode berkaitan erat dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, metode ceramah dan diskusi ternyata bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan tokoh masyarakat dalam pencegahan malaria (Tarigan, 2007). Penelitian Sitepu (2008) yang dilakukan pada ibu dengan metode ceramah ternyata berdampak positif terhadap pengetahuan dan sikap tentang penyakit pneumonia pada balita.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas metode diskusi dan ceramah yang diberikan kepada perawat untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga mempunyai dampak pada pembuangan limbah medis padat.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas metode diskusi dan ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010.


(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas metode diskusi dan ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010.

1.4. Hipotesis

1. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ceramah dalam membuang limbah medis padat.

2. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan metode diskusi dalam membuang limbah medis padat.

3. Ada perbedaan rata-rata sikap perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ceramah dalam membuang limbah medis padat.

4. Ada perbedaan rata-rata sikap perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan metode diskusi dalam membuang limbah medis padat.

5. Ada perbedaan keefektifan metode diskusi dan metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota sebagai masukan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan metode promosi kesehatan yang efektif bagi perawat dalam upaya pengelolaan/pembuangan limbah medis padat di puskesmas.

2. Bagi puskesmas sebagai masukan kepada pengelola program Promosi Kesehatan dan program Kesehatan Lingkungan untuk meningkatkan kegiatan


(28)

promosi kesehatan dalam upaya pengelolaan/pembuangan limbah medis padat di puskesmas.

3. Bagi mahasiswa sebagai referensi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan metode promosi kesehatan dalam pembuangan limbah medis padat.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan kata lain dengan adanya promosi kesehatan tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku kesehatan dari sasaran.

Menurut Notoatmodjo (2005) yang mengutip pendapat Lawrence Green (1984) merumuskan definisi sebagai berikut: “Promosi Kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik dan organisasi, yang dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan”.

Promosi kesehatan mempunyai pengertian sebagai upaya pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri dan lingkungannya melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes, 2005).


(30)

Promosi kesehatan juga merupakan proses pendidikan yang tidak lepas dari proses belajar. Seseorang dapat dikatakan belajar bila dalam dirinya terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Di dalam kegiatan belajar terdapat tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yakni masukan (input), proses, dan keluaran (output). Dalam proses belajar, terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor, antara lain subjek belajar, pengajar atau fasilitator belajar, metode yang digunakan dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan keluaran merupakan hasil belajar itu sendiri, yang terdiri dari kemampuan baru atau perubahan baru pada diri subjek belajar (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Suryabrata (1998) hal-hal pokok dalam belajar adalah: 1. Bahwa belajar itu membawa perubahan.

2. Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru. 3. Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).

2.2. Pengertian Efektivitas

Menurut Danfar (2009), efektivitas berasal dari kata efektif, dimana pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan atau suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengutip pendapat J.Guilbert mengelompokkan faktor-faktor yang memengaruhi proses belajar yaitu faktor materi, lingkungan, instrumental, dan faktor individual subjek belajar. Faktor instrumental


(31)

terdiri dari perangkat keras (hardware) seperti perlengkapan belajar dan alat-alat peraga, dan perangkat lunak (software) seperti kurikulum (dalam pendidikan formal), pengajar atau fasilitator belajar serta metode belajar mengajar. Untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, faktor instrumental dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan materi dan subjek belajar. Misalnya, metode untuk belajar pengetahuan lebih baik digunakan metode ceramah, sedangkan untuk belajar sikap, tindakan, keterampilan atau perilaku lebih baik digunakan metode diskusi kelompok, demonstrasi, bermain peran (role play).

Dengan demikian dapat disimpulkan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, maka metode pembelajaran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran tersebut.

Notoatmodjo (1989) menyatakan bahwa agar tercapai hasil belajar (perubahan perilaku) dengan efektif dan efisien, maka pemilihan metode pendidikan perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemilihan metode hendaknya disesuaikan dengan tujuan pendidikan. 2. Pemilihan metode tergantung kepada kemampuan guru atau pendidiknya.

3. Pemilihan metode harus mempertimbangkan kemampuan dari sasaran belajar (pihak yang belajar).

4. Pemilihan metode tergantung pada besarnya kelompok sasaran.

5. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan waktu pemberian atau penyampaian pesan.


(32)

2.3. Metode Promosi Kesehatan

Di dalam suatu proses promosi kesehatan yang menuju tercapainya tujuan promosi kesehatan yakni perubahan perilaku, dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu faktor metode, faktor materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alat-alat bantu atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Metode dan teknik promosi kesehatan, adalah dengan cara dan alat bantu apa yang digunakan oleh pelaku promosi kesehatan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan atau mentransformasikan perilaku kesehatan kepada sasaran atau masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

2.3.1. Metode diskusi

Metode diskusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam proses pendidikan. Harus ada partisipasi yang baik dari peserta yang hadir. Diskusi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan, peningkatan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk memengaruhi para peserta agar mau mengubah sikap (Kartono, 1998). Dalam suatu diskusi para pesertanya berpikir bersama dan mengungkapkan pikirannya, sehingga menimbulkan pengertian pada diri sendiri, pada pandangan peserta diskusi dan juga pada masalah yang didiskusikan (Lunandi, 1993).

Diskusi dipakai sebagai forum untuk bertukar informasi, pendapat dan pengalaman dalam bentuk tanya-jawab yang teratur dengan tujuan mendapatkan pengertian yang lebih luas, kejelasan tentang suatu permasalahan dan untuk menentukan kebijakan dalam pengambilan keputusan (Kartono, 1998). Diskusi


(33)

merupakan saluran yang paling baik untuk menjaga kredibilitas pesan-pesan, menyediakan informasi, dan mengajarkan keterampilan yang kompleks yang membutuhkan komunikasi dua arah antara individu dengan seseorang sebagai sumber informasi yang terpercaya (Graeff, 1996).

Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain, misalnya dalam bentuk lingkaran atau segi empat. Pimpinan diskusi juga duduk di antara peserta sehingga tidak menimbulkan kesan ada yang lebih tinggi. Dengan kata lain mereka harus merasa dalam taraf yang sama sehingga tiap kelompok mempunyai kebebasan/keterbukaan untuk mengeluarkan pendapat (Notoatmodjo, 2007). Selama berlangsungnya diskusi, penilaian atau kritik tidak dibenarkan, sebab kritik akan mematikan kreativitas (Effendi, 1992).

Keberhasilan metode diskusi banyak tergantung dari pimpinan diskusi untuk memperkenalkan soal yang dapat perhatian para peserta, memelihara perhatian yang terus-menerus dari para peserta, memberikan kesempatan kepada semua orang untuk mengemukakan pendapatnya dan menghindari dominasi beberapa orang saja, membuat kesimpulan pembicaraan-pembicaraan dan menyusun saran-saran yang diajukan, memberikan bahan-bahan informasi yang cukup agar peserta sampai pada kesimpulan yang tepat. Metode diskusi mempunyai kelemahan yaitu jika peserta kurang berpartisipasi secara aktif untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan serta adanya dominasi pembicaraan oleh satu atau beberapa orang saja.


(34)

Diskusi membutuhkan perencanaan dan persiapan, serta terdapat banyak cara untuk memicu dan mempersiapkan stuktur yang akan membantu setiap orang untuk berpartisipasi. Diskusi dapat dipicu dengan menyajikan suatu pokok masalah, sebaiknya hal yang kontroversial (Ewless, 1994).

Menurut Suprijanto (2008), ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam diskusi kelompok, antara lain:

1. Kelompok buzz (Buzz Groups).

Pada teknik ini peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, hasil diskusi kelompok kecil ini dilaporkan pada kelompok besar. Caranya sekretaris kelompok kecil membuat catatan tentang ide-ide yang disarankan oleh anggota kelompok dan menyiapkan kesimpulan yang akan disampaikan kepada kelompok besar setelah diskusi kelompok buzz selesai. Biasanya sesi buzz memerlukan waktu 10-20 menit tergantung pada topik yang dibicarakan. Kelebihan teknik ini adalah mudah dilakukan, menjamin partisipasi semua anggota kelompok dan peserta dihadapkan pada suasana yang tidak terlalu formal, sehingga peserta lebih mudah mengeluarkan pendapat secara spontan, selain itu teman-teman sekitar dapat langsung memberi sambutan.

2. Diskusi mangkuk ikan (Fishbowl Discussion).

Pada teknik ini peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dalam dan kelompok luar. Kelompok dalam bertugas mendiskusikan sesuatu, sedangkan kelompok luar menyaksikan jalannya diskusi, tetapi juga boleh berpartisipasi dalam diskusi. Partisipasi tersebut dapat berupa pertanyaan atau menyumbangkan gagasan.


(35)

3. Teknik urun pendapat.

Teknik ini digunakan dalam memecahkan suatu masalah dengan mengumpulkan gagasan atau saran-saran dari semua peserta. Dalam teknik ini tidak ada gagasan atau saran-saran dari semua peserta yang disalahkan. Semua peserta diberikan kesempatan yang leluasa untuk berbicara, mengungkapkan gagasan maupun saran-sarannya. Gagasan tersebut dicatat ketika muncul dari setiap peserta. Peserta kemudian dibagi menjadi beberapa sub kelompok dan membahas gagasan tersebut. Kesimpulan dari hasil diskusi ditentukan masing-masing peserta sesuai dengan pengalaman dan menurut sudut pandang mereka.

2.3.2. Metode ceramah

Metode ceramah merupakan metode pertemuan yang sering digunakan. Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah (Notoatmodjo, 2007).

Ceramah adalah suatu penyampaian informasi yang sifatnya searah, yakni dari penceramah kepada hadirin. Pada metode ini penceramah lebih banyak memegang peran untuk menyampaikan dan menjelaskan materi penyuluhannya dengan sedikit memberikan kesempatan kepada sasaran untuk menyampaikan tanggapannya (Lunandi, 1993).

Beberapa keuntungan menggunakan metode ceramah adalah murah dari segi biaya, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas ditangkap peserta daripada proses membaca sendiri, lebih dapat dipastikan tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan. Apalagi kalau waktu yang tersedia sangat minim,


(36)

maka metode inilah yang dapat menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Selain keuntungan ada juga kelemahan menggunakan metode ceramah, salah satunya adalah pesan yang terinci mudah dilupakan setelah beberapa lama (Lunandi, 1993).

Ceramah akan berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasai materi apa yang akan diceramahkan. Untuk itu penceramah harus mempersiapkan diri dengan mempelajari materi dengan sistematika yang baik, lebih baik lagi kalau disusun dalam diagram atau skema serta mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran, misalnya makalah singkat, slide, transparan, sound system, dan sebagainya. Menurut Notoatmodjo, dkk (1989) ceramah akan berhasil apabila teknik ceramah dimodifikasi dengan melakukan tanya-jawab sesudah penyampaian materi. Hal ini bertujuan agar peserta dapat bertanya tentang hal-hal yang belum dipahaminya tentang materi yang sudah diberikan penceramah.

Kunci dari keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila penceramah tersebut dapat menguasai sasaran ceramah. Untuk itu penceramah dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: sikap dan penampilan yang menyakinkan, tidak boleh bersikap ragu-ragu dan gelisah, suara hendaknya cukup keras dan jelas, pandangan harus tertuju ke seluruh peserta ceramah, berdiri di depan (dipertengahan), seyogyanya tidak duduk, menggunakan alat-alat bantu lihat semaksimal mungkin (Notoatmodjo, 2007).

2.4. Domain Perilaku


(37)

maupun dari dalam dirinya (Depkes RI, 1997). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 1993).

Menurut Notoatmodjo (2005) yang mengutip pendapat Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku seseorang kedalam tiga domain, ranah atau wilayah yakni pengetahuan (cognitive domain), sikap (affective domain) dan tindakan (psychomotor domain).

2.4.1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif akan bersifat langgeng (long lasting). Sedangkan perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas dan tingkat yang berbeda-beda, yang secara garis besar dapat dibagi dalam enam tingkatan pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005), yaitu:

1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat


(38)

kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu (know) merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada atau kondisi sebenarnya.

4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah dipelajari dalam komponen-komponen yang berkaitan satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis) adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluasi), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.4.2. Sikap (attitude)

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Notoatmodjo (2005) yang mengutip pendapat Campbell (1950) sikap adalah suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.


(39)

Menurut Azwar (2007) yang mengutip pendapat Allen, dkk (1980) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Sikap, menurut Setiana (2005) yang mengutip pendapat Widayatun (1999) adalah kesiapan seseorang untuk bertindak atau berperilaku tertentu. Sikap juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberi pengaruh dinamika atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak.

Menurut Notoatmodjo (2005), sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sesuatu masalah.

4. Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.


(40)

2.4.3. Tindakan atau Praktik (practice)

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan atau perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adanya fasilitas dan dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007).

2.5. Puskesmas

Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di suatu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung-jawab wilayah kerja dibagi diantara puskesmas-puskesmas tersebut. Masing-masing puskesmas-puskesmas tersebut bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/2004 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama (Depkes, 2005). Dengan demikian, puskesmas mempunyai upaya wajib yang harus dilaksanakan oleh semua puskesmas, salah satunya adalah kesehatan lingkungan selain promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, perbaikan


(41)

gizi masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan pengobatan (Trihono, 2005). Ini berarti bahwa setiap tenaga kesehatan di puskesmas memiliki kewajiban untuk melaksanakan upaya wajib tersebut.

Dinas Kesehatan Kota Medan terdiri dari 39 unit puskesmas yang terdiri dari 13 unit puskesmas rawat inap dan 26 unit puskesmas non rawat inap (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2009). Dalam kegiatan pelayanan kesehatan, puskesmas Kota Medan menghasilkan limbah medis padat maupun limbah padat non medis. Untuk pemusnahan limbah medis padat, maka berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit/Puskesmas dibuatlah nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Rumah Sakit Dr.Pirngadi Kota Medan dengan Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2006, untuk mengadakan kerjasama dalam pemusnahan limbah medis padat puskesmas yang berada di bawah wewenang Dinas Kesehatan Kota Medan (DKK) di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Kota Medan. Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, di puskesmas Kota Medan telah disediakan tempat khusus pembuangan limbah medis padat berupa kotak karton tertutup dan wadah plastik beserta tutupnya, yang diletakkan di ruangan-ruangan penghasil limbah medis. Limbah medis padat yang telah dikumpulkan pada tempatnya, akan diangkut ke tempat pembuangan akhir oleh petugas pengangkut limbah medis dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan.


(42)

2.6. Konsep Limbah Medis Padat 2.6.1. Karakteristik limbah medis

Menurut Prüss (2005), limbah layanan kesehatan adalah limbah yang mencakup semua hasil buangan yang berasal dari instalasi kesehatan, fasilitas penelitian dan laboratorium. Selain itu, limbah layanan kesehatan juga mencakup limbah yang berasal dari sumber-sumber kecil misalnya limbah hasil perawatan yang dilakukan di rumah (suntikan insulin). Sekitar 75-90% limbah yang berasal dari instalasi kesehatan merupakan limbah yang tidak mengandung resiko atau limbah umum dan menyerupai limbah rumah tangga. Limbah tersebut kebanyakan berasal dari aktivitas administratif dan keseharian instalasi, disamping limbah yang dihasilkan selama pemeliharaan bangunan instalasi tersebut. Sisanya yang 10-25% merupakan limbah yang dipandang berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai jenis dampak kesehatan.

Kepmenkes Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 mengatakan Limbah Rumah Sakit ada 3 macam, yakni:

1. Limbah cair artinya semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.

2. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari insinerator, dapur, perlengkapan generator, anestesi dan pembuatan obat sitotoksik.


(43)

3. Limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan limbah padat non medis.

Limbah medis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, farmasi, laboratorium, radiografi, fasilitas penelitian yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Djojodibroto, 1997).

Menurut Chandra (2007), limbah medis padat adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Termasuk kegiatan medis di ruang poliklinik, ruang perawatan, ruang bedah, ruang kebidanan, ruang otopsi dan ruang laboratorium seperti perban, kasa, alat injeksi, ampul dan botol bekas obat injeksi, kateter, swab, plester, masker, plasenta, jaringan organ, sediaan dan media sampel untuk pemeriksaan laboratorium.

Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi (Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/ SK/ X/2004, Depkes RI, 2004).

Limbah padat non medis artinya limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya. Limbah padat non medis meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkaitan dengan cairan tubuh. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah medis padat dan


(44)

ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah padat non medis (Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, Depkes RI, 2004).

Tabel 2.1 Kategori Limbah Medis (Prüss, 2005)

No Kategori Limbah Definisi Contoh

1. 2. 3. Limbah infeksius Limbah patologis Limbah benda tajam

Limbah yang terkontaminasi organisme patogen (bakteri, virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang cukup untuk menyebabkan penyakit pada pejamu yang rentan.

Limbah berasal dari pembiakan dan stok bahan yang sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius.

merupakan materi yang dapat menyebabkan luka iris atau luka tusuk. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif.

kultur

laboratorium, limbah dari bangsal isolasi, kapas materi, atau peralatan yang tersentuh pasien yang terinfeksi, ekskreta. bagian tubuh manusia dan hewan, darah dan cairan tubuh yang lain, janin. jarum, jarum suntik, pisau bedah, peralatan infuse, gergaji bedah, dan pecahan ampul obat.


(45)

Tabel 2.1 Lanjutan

No Kategori Limbah Definisi Contoh

4. Limbah farmasi mencakup produk farmasi. Kategori ini juga mencakup barang yang akan dibuang setelah digunakan untuk menangani produk farmasi, misalnya botol atau kotak yang berisi residu, sarung tangan, masker, selang penghubung dan ampul obat.

obat-obatan, vaksin, dan serum yang sudah kadaluarsa, tidak digunakan, tumpah dan terkontaminasi yang tidak diperlukan lagi. 5. Limbah sitotoksik/

genotoksik

Limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel.

Sumbernya dari materi yang terkontaminasi pada saat persiapan dan pemberian obat, misalnya spuit, jarum, ampul, kemasan, obat-obatan kadaluarsa, larutan sisa/berlebih, urin, tinja, muntahan pasien yang mengandung obat sitotoksik atau metabolitnya. 6. Limbah kimia Limbah yang mengandung zat kimia

yang berbentuk padat, cair maupun gas yang berasal dari aktivitas diagnostik dan eksperimen serta dari pemeliharaan kebersihan dengan menggunakan desinfektan.

reagent di laboratorium, larutan pencuci film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluarsa atau sudah tidak diperlukan lagi, solven/zat pelarut.


(46)

Tabel 2.1 Lanjutan

No Kategori Limbah Definisi Contoh

7. Limbah radioaktif Bahan yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida. Limbah ini dapat berasal dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau gas.

cairan yang tidak terpakai dari

radioaktif atau riset di laboratorium,

peralatan kaca, kertas absorben yang

terkontaminasi, urine dan ekskreta dari pasien yang diobati atau diuji dengan radionuklida yang terbuka.

8. Limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi

Limbah yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi termasuk dalam subkategori limbah kimia berbahaya dan biasanya sangat toksik.

limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran yang rusak (misalnya: termometer, alat pengukur tekanan darah, residu yang berasal dari ruang pemeriksaan gigi). 9. Limbah kontainer

bertekanan

Limbah yang berasal dari berbagai jenis gas yang digunakan dalam kegiatan di instalasi kesehatan.

tabung gas anestesi, tabung oksigen, kaleng aerosol.


(47)

2.6.2. Pengaruh limbah medis terhadap lingkungan dan kesehatan

Menurut Wicaksono (2001), pengaruh limbah medis terhadap lingkungan dan kesehatan dapat menimbulkan berbagai masalah seperti:

1. Gangguan kenyamanan dan estetika.

Pengelolaan limbah medis yang kurang baik akan menyebabkan estetika lingkungan yang kurang sedap dipandang sehingga mengganggu kenyamanan pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat sekitar. Ini berupa warna yang berasal dari larutan bahan kimia, dan bau phenol.

2. Kerusakan harta benda.

Dapat disebabkan oleh zat-zat kimia yang terlarut (korosif, reaktif, menimbulkan karat) yang dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar lingkungan layanan kesehatan maupun masyarakat luar.

3. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang.

Ini dapat disebabkan oleh residu bahan farmasi yang mengandung antibiotik dan antiseptik, zat kimia seperti fenol, logam berat seperti merkuri dan lain-lain. 4. Gangguan terhadap kesehatan manusia.

Limbah medis yang mengandung berbagai macam bahan kimia beracun, buangan yang terkena kontaminasi serta benda-benda tajam dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa kecelakaan akibat kerja atau penyakit akibat kerja. Penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B dan C terjadi melalui cidera akibat jarum suntik yang terkontaminasi darah manusia. Bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anestesi dapat menimbulkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja


(48)

(peledakan, cidera) yang mengancam jiwa bagi tenaga kesehatan (Depkes RI, 2007). Limbah medis dapat menjadi wahana penyebaran mikroorganisme pembawa penyakit melalui proses infeksi silang, dari petugas ke pasien ataupun dari pasien ke petugas, yang dikenal dengan nama infeksi nosokomial. Ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, senyawa logam seperti Hydrargyrum (Hg), Cadmium (Cd), dan Plumbum (Pb) yang berasal dari bagian kedokteran gigi. Keracunan air raksa atau Hydrargyrum (Hg) menimbulkan gejala susunan saraf pusat seperti tremor, konvulsi, pikun, insomnia, gangguan pencernaan dan kulit seperti dermatitis dan ulcer. Keracunan Cadmium (Cd) akut akan menyebabkan gejala pencernaan, penyakit ginjal, dan fase lanjut menyebabkan pelunakan tulang dan patah (fraktur) tulang punggung. Keracunan Plumbum (Pb) atau timbal menyebabkan gangguan pencernaan dan susunan saraf pusat (Slamet, 2002). Bahan radioaktif seperti radium mempunyai sifat kimia seperti kalsium, oleh karena itu mempunyai kecenderungan untuk terabsorbsi ke dalam tulang jika masuk ke dalam tubuh sehingga dapat mengganggu kesehatan (Fardiaz, 2003).

5. Gangguan genetik dan reproduksi.

Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik dan sistem reproduksi manusia misalnya bahan radioaktif.


(49)

2.6.3. Peran perawat dalam pengelolaan limbah medis

Semua orang yang terpajan limbah berbahaya dari fasilitas kesehatan kemungkinan besar menjadi orang yang beresiko, termasuk yang berada dalam fasilitas penghasil limbah berbahaya, dan mereka yang berada di luar fasilitas serta memiliki pekerjaan mengelola limbah semacam itu, atau yang beresiko akibat kecerobohan dalam sistem manajemen limbahnya. Kelompok utama yang beresiko antara lain dokter, perawat, pegawai layanan kesehatan, tenaga bagian pemeliharaan layanan kesehatan, pasien dan pengunjung, tenaga bagian layanan pendukung yang bekerjasama dengan instansi layanan kesehatan misalnya bagian binatu, pengelolaan limbah dan bagian transportasi, pegawai pada fasilitas pembuangan limbah (misalnya di tempat penampungan sampah akhir atau di insinerator) termasuk pemulung (Prüss, 2005).

Dengan demikian, peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan termasuk perawat didalam keseluruhan program pengelolaan harus diterapkan dengan seksama, konsisten, dan menyeluruh sehingga dapat menggugah kesadaran terhadap permasalahan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan yang berkaitan dengan limbah layanan kesehatan.

Pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia dibidang kesehatan lingkungan yang secara fungsional merupakan sumberdaya inti dalam pengelolaan dan penyelenggaraan program lingkungan sehat (Depkes, 2005).


(50)

2.6.4. Pengelolaan limbah medis padat

Persyaratan pengelolaan limbah medis padat pada layanan kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004: A. Minimisasi Limbah

1. Setiap layanan kesehatan harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumbernya.

2. Setiap layanan kesehatan harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun.

3. Setiap layanan kesehatan harus melakukan pengelolaan stok bahan kimia dan farmasi.

4. Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.

B. Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang

1. Pemilahan limbah harus selalu dilakukan dari sumber yang menghasilkan limbah.

2. Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang tidak dimanfaatkan kembali.

3. Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak dapat membukanya.


(51)

4. Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses sterilisasi.

Metode sterilisasi terdiri dari:

a. Sterilisasi termal, ada dua yaitu sterilisasi kering dalam oven “Poupinel” dengan suhu 1600C selama 120 menit atau 1700C selama 60 menit, dan sterilisasi basah dalam autoklaf dengan suhu 1210C selama 30 menit.

b. Sterilisasi kimia dengan ethylene oxide (gas) dengan suhu 500C–600C selama 3-8 jam atau glutaraldehyde (cair) selama 30 menit.

5. Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila fasilitas layanan kesehatan tidak mempunyai jarum yang sekali pakai (disposable), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu metode sterilisasi.

6. Pewadahan limbah medis padat menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 harus memenuhi persyaratan dengan menggunakan wadah dan label seperti tabel 2.2.


(52)

Tabel 2.2 Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori

No. Kategori Wadah

kontainer/kantong plastik

Lambang Keterangan

1. Radioaktif Merah Kantong boks timbal

dengan simbol radioaktif

2. Sangat infeksius Kuning Kantong plastik kuat, anti

bocor, atau kontainer yang dapat disterilisasi dengan otoklaf

3. Limbah infeksius, patologis

Kuning Plastik kuat dan anti bocor

atau kontainer

4. Sitotoksik Ungu Kontainer plastik kuat

dan anti bocor

5. Limbah kimia dan farmasi

Coklat - Kantong plastik atau

kontainer

7. Proses daur ulang tidak bisa dilakukan oleh fasilitas layanan kesehatan kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan dari pengolahan foto rontgen.

8. Limbah sitotoksik dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan diberi label bertuliskan “Limbah Sitotoksik”.


(53)

C. Tempat Penampungan Sementara

1. Lokasi penampungan sementara untuk limbah layanan kesehatan harus dirancang agar berada di dalam wilayah instansi layanan kesehatan.

2. Lokasi penampungan sementara tidak boleh berada di dekat lokasi penyimpanan dan penyiapan makanan.

3. Limbah, baik dalam kantong maupun kontainer, harus ditampung di area, ruangan atau bangunan terpisah yang ukurannya sesuai dengan kuantitas limbah yang dihasilkan dan frekwensi pengumpulannya.

4. Ruangan atau area penampungan harus dapat dikunci untuk mencegah masuknya mereka yang tidak berkepentingan, dan jangan sampai mudah dimasuki serangga, burung dan binatang lainnya.

D. Transportasi

1. Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup.

2. Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.

3. Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri topi, masker, pelindung mata, pakaian panjang (coverall), apron untuk industri, pelindung kaki/sepatu boot dan sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves).


(54)

E. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Limbah Padat 1. Limbah Infeksius dan Benda Tajam

a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen infeksius dari laborium harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan basah seperti dalam autoklaf sedini mungkin. Untuk limbah infeksius yang lain cukup dengan cara desinfeksi.

b. Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan dan dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.

c. Setelah insinerator atau desinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat penampungan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

2. Limbah Farmasi

a. Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insinerator pirolitik (pyrolitik incinerator), rotary klin, dikubur secara aman, sanitary landfill, dibuang ke sarana air limbah atau insinerasi. Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan fasilitas pengolahan yang khusus seperti rotary klin, kapsulisasi dalam drum logam dan inersisasi.

b. Limbah padat farmasi dalam jumlah besar harus dikembalikan kepada distributor, sedangkan bila dalam jumlah sedikit dan tidak mungkin dikembalikan, supaya dimusnahkan melalui insinerator pada suhu diatas 1000 0C.


(55)

3. Limbah Sitotoksik

a. Limbah Sitotoksik sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau saluran limbah umum.

b. Bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada insinerator dan diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kadaluarsa atau tidak dipakai lagi. c. Insinerasi pada suhu tinggi sekitar 1200°C dibutuhkan untuk

menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insinerasi pada suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke udara.

d. Apabila cara insinerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia, kapsulisasi atau inersisasi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang dapat dipilih. 4. Limbah Bahan Kimiawi

a. Pembuangan limbah kimia biasa.

Limbah biasa yang tidak bisa daur ulang seperti asam amino, garam, dan gula tertentu dapat dibuang ke saluran air kotor.

b. Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah kecil.

Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti residu yang terdapat dalam kemasan sebaiknya dibuang dengan insinerasi pirolitik, kapsulisasi atau ditimbun (landfill).

5. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi

Limbah dengan kandungan merkuri atau kadmium tidak boleh dibakar atau diinsinerasi karena beresiko mencemari udara dengan uap beracun dan tidak


(56)

boleh dibuang/ditimbun karena dapat mencemari air tanah. Limbah dapat dibuang ke lokasi pembuangan yang didesain khusus untuk pembuangan akhir limbah berbahaya hasil industri.

6. Limbah Kontainer Bertekanan

a. Cara yang terbaik untuk menangani limbah kontainer bertekanan adalah dengan daur ulang atau penggunaan kembali. Apabila masih dalam kondisi utuh dapat dikembalikan ke distributor untuk pengisian ulang gas. Agen halogenida dalam bentuk cair dan dikemas dalam botol harus diperlakukan sebagai limbah bahan kimia berbahaya untuk pembuangannya.

b. Cara pembuangan yang tidak diperbolehkan adalah pembakaran atau insinerasi karena dapat meledak.

7. Limbah Radioaktif

a. Pengelolaan limbah radioaktif yang aman harus diatur dalam kebijakan dan strategi nasional yang menyangkut peraturan, infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga yang terlatih.

b. Limbah padat radioaktif dibuang sesuai dengan persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian diserahkan kepada yang berwenang untuk penanganan lebih lanjut atau dikembalikan kepada negara distributor.

2.6.5. Teknologi pengolahan dan pembuangan limbah medis

Insinerasi biasanya merupakan metode pilihan untuk kebanyakan limbah medis yang berbahaya dan sampai saat ini masih banyak dipakai. Namun, metode


(57)

pengolahan alternatif yang baru-baru saja dikembangkan semakin popular. Pilihan akhir untuk sistem pengolahan harus dipertimbangkan secara cermat dan didasarkan pada berbagai faktor yang kebanyakan diantaranya bergantung pada persyaratan lokal seperti efisiensi desinfeksi, pertimbangan kesehatan dan lingkungan, pengurangan volume dan massa, pertimbangan kesehatan dan keselamatan kerja, kuantitas limbah, tipe limbah, persyaratan infrastruktur, pilihan dan teknologi pengolahan yang ada di tingkat lokal, pilihan yang ada untuk pembuangan akhir, pertimbangan pelaksanaan, pemeliharaan dan ruang yang tersedia, lokasi dan kondisi sekitar lokasi pengolahan dan fasilitas pembuangan akhir, biaya investasi dan biaya operasional, keberterimaan masyarakat dan persyaratan perundangan (Prüss, 2005).

Menurut Chandra (2007), pengolahan limbah harus dilakukan dengan benar dan efektif serta memenuhi persyaratan sanitasi. Adapun persyaratan sanitasi yang harus dipenuhi, antara lain:

1. Limbah tidak boleh mencemari tanah, air permukaan, air tanah dan udara. 2. Limbah tidak boleh dihinggapi lalat, tikus dan binatang lainnya.

3. Limbah tidak menimbulkan bau busuk dan pemandangan yang tidak baik.

4. Limbah cair yang beracun harus dipisahkan dari limbah cair yang lain dan harus memiliki tempat penampungannya sendiri.

Beberapa pilihan teknologi pengolahan dan pembuangan limbah medis yang dapat digunakan sebagai berikut (Prüss, 2005):


(58)

1. Insinerasi.

Insinerasi merupakan proses oksidasi kering bersuhu tinggi yang dapat mengurangi limbah organik dan limbah yang mudah terbakar menjadi bahan anorganik yang tidak mudah terbakar dan mengakibatkan penurunan yang sangat signifikan dari segi volume maupun berat limbah. Proses ini biasanya dipilih untuk mengolah limbah yang tidak dapat didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang di lokasi landfill. Alat untuk melakukan insinerasi disebut insinerator yang harus dioperasikan pada suhu antara 1000 0C dan 1200 0C.

Insinerasi tidak memerlukan pengolahan pendahuluan, asalkan limbah jenis tertentu tidak termasuk dalam materi yang akan dibakar. Limbah yang tidak boleh diinsinerasi seperti kontainer gas bertekanan, limbah kimia reaktif dalam jumlah banyak, limbah radiografis atau yang mengandung garam perak, limbah yang mengandung merkuri atau kadmium dalam kadar yang tinggi seperti termometer pecah.

2. Insinerasi pirolitik.

Insinerasi pirolitik disebut juga insinerasi udara terkontrol yaitu limbah dihancurkan secara termal melalui proses pembakaran suhu sedang (800-9000C) dengan kadar oksigen yang diturunkan yang kemudian menghasilkan abu dan gas. Abunya akan mengandung kurang dari 1% materi tak terbakar yang dapat dibuang ke landfill. Alat yang digunakan disebut insinerator pirolitik.

Insinerator pirolitik digunakan untuk pengolahan limbah infeksius, limbah benda tajam, limbah patologis dan residu sediaan farmasi dan bahan kimia. Sedangkan


(59)

limbah dengan kontainer bertekanan dan mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi tidak boleh memakai insinerator pirolitik.

Harga insinerator pirolitik relatif mahal, demikian pula biaya operasional dan pemeliharaannya. Juga diperlukan tenaga yang terlatih dengan baik untuk menjalankan insinerator tersebut.

3. Rotary klin.

Rotary klin (tungku berputar) yang terdiri dari sebuah open berputar dan sebuah bilik pasca pembakaran. Suhu insinerasi 1200-16000C yang memungkinkan terjadinya penguraian bahan kimia. Rotary klin sesuai untuk kategori limbah infeksius, limbah benda tajam, limbah patologis, limbah bahan kimia dan sediaan farmasi serta limbah sitotoksik. Limbah yang tidak boleh diinsinerasi dengan Rotary klin adalah kontainer bertekanan dan limbah yang mengandung logam berat berkonsentrasi tinggi. Biaya peralatan dan biaya operasional cukup tinggi, demikian pula dengan energi yang dibutuhkan. Limbah produk sampingan insinerasi sangat korosif sehingga lapisan tahan panas tungku harus sering diperbaiki atau diganti. Dibutuhkan tenaga yang terlatih dengan baik untuk menjalankannya.

4. Desinfeksi kimia.

Desinfeksi kimia yang digunakan secara rutin dalam aktivitas layanan kesehatan untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan medis dan pada lantai atau dinding, saat ini telah diperluas penggunaannya untuk pengolahan limbah medis. Zat kimia ditambahkan ke dalam limbah untuk membunuh atau menonaktifkan patogen yang ada di dalamnya, perlakuan tersebut biasanya menyebabkan desinfeksi,


(60)

bukan sterilisasi. Desinfeksi kimia paling sesuai untuk mengolah limbah seperti darah, urine dan feses. Limbah medis padat dan limbah infeksius mencakup kultur mikrobiologis, serta limbah benda tajam juga dapat didesinfeksi secara kimia dengan syarat desinfektan yang dipergunakan berasal dari jenis yang kuat, yang juga termasuk bahan berbahaya dan hanya boleh digunakan oleh petugas yang terlatih dan terlindung dengan baik.

Jenis bahan kimia yang digunakan untuk desinfeksi limbah medis seperti formaldehid, etilen oksida, glutaraldehid, natium hipoklorit dan klor dioksida.

5. Autoclaving.

Autoclaving merupakan proses desinfeksi termal basah yang efisien. Biasanya otoklaf digunakan di rumah sakit untuk sterilisasi peralatan medis yang dapat digunakan kembali. Peralatan tersebut hanya dapat mengolah sedikit limbah sehingga umumnya hanya digunakan untuk limbah yang sangat infeksius misalnya kultur mikroba atau benda tajam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inaktivasi yang efektif terhadap semua mikroorganisme vegetatif dan kebanyakan spora bakteri dalam sedikit limbah (sekitar 5-8 kg) memerlukan siklus 60 menit pada suhu dan tekanan minimum 1210C sehingga kondisi tersebut memungkinkan uap untuk berpenetrasi secara maksimum ke dalam materi limbah.

6. Sanitary landfill.

Sanitary landfill adalah pembuangan limbah yang terkelola di sebuah lokasi yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata, dipadatkan, dan ditimbun


(61)

(ditutup dengan tanah) setiap hari. Penutupan yang adekuat bagian dasar dan sisi lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah keluar dari lokasi.

Pembuangan limbah infeksius dan sedikit limbah sediaan farmasi dapat dilakukan dengan sanitary landfill. Metode ini dapat mencegah kontaminasi tanah dan air permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau, serta kontak langsung dengan masyarakat umum.

7. Encapsulation (pembungkusan).

Encapsulation (pembungkusan) adalah pengolahan limbah dengan memasukkan limbah ke dalam kontainer kemudian ditambahkan zat yang membuat limbah tidak dapat bergerak kemudian kontainer ditutup. Proses ini dapat menggunakan kotak yang terbuat dari drum logam yang tiga perempatnya diisi dengan benda tajam atau residu bahan kimia atau sediaan farmasi. Kontainer atau kotak tersebut kemudian ditutup dengan sejenis busa plastik, pasir bitumen, adukan semen atau materi lempung. Setelah media tersebut kering, kontainer dapat ditutup dan dibuang ke lokasi landfill.

8. Inertisasi.

Proses inertisasi mencakup pencampuran limbah dengan semen dan substansi lain sebelum dibuang guna meminimalkan resiko berpindahnya substansi yang terkandung dalam limbah ke air permukaan atau air tanah. Proporsi campuran terdiri dari 65% limbah farmasi, 15% batu kapur, 15% semen dan 5% air. Metode ini sangat sesuai untuk limbah sediaan farmasi dan untuk abu insinerasi yang mengandung


(62)

logam berkadar tinggi. Proses ini tidak mahal dan dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana. Tetapi inertisasi tidak bisa digunakan untuk limbah infeksius.

2.7. Landasan Teori

Pengelolaan limbah medis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari higiene layanan kesehatan dalam hal ini puskesmas dan pengendalian infeksi. Limbah medis harus dipandang sebagai reservoir mikroorganisme patogen, yang dapat menyebabkan kontaminasi dan infeksi. Jika limbah medis tidak dikelola dengan tepat, mikroorganisme ini dapat berpindah melalui kontak langsung, melalui udara, atau melalui berbagai jenis vektor. Dengan cara inilah limbah infeksius berkontribusi pada kejadian infeksi nosokomial, yang menempatkan perawat menjadi orang yang beresiko tinggi.

Untuk mencegah agar limbah medis tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan efek yang merugikan kesehatan manusia khususnya perawat itu sendiri, serta memastikan bahwa limbah medis telah menjalani proses pemilahan yang tepat dan dikemas secara aman, terutama limbah benda tajam yang harus dikemas dalam wadah anti robek, maka diperlukan promosi/pendidikan kesehatan, sehingga perawat dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap dalam upaya pengelolaan/pembuangan limbah medis tersebut. Promosi kesehatan sebaiknya menggunakan metode yang sesuai dengan kelompok sasaran, sehingga tujuan promosi kesehatan tercapai.


(63)

Pengetahuan dan sikap bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, namun muncul karena pengaruh lingkungan dan atau melalui proses belajar. Proses belajar akan mempengaruhi hasil belajar berupa perubahan pengetahuan dan sikap. Dalam proses belajar ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu masukan (input), proses, dan keluaran (output) (Notoatmodjo, 2007).

Teori Asosiasi yang dikemukan oleh John Locke dan Herbart merupakan salah satu teori proses belajar. Menurut teori asosiasi, belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menggabung-gabungkan tanggapan-tanggapan dengan jalan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsangan-rangsangan. Makin banyak dan sering diberikan stimulus, maka makin memperkaya tanggapan pada subjek belajar. Teori proses belajar yang lain adalah teori belajar Gestalt yang mengemukakan bahwa belajar adalah memberikan problem kepada subjek belajar untuk dipecahkan dari berbagai macam segi (Notoatmodjo, 2007).

Peningkatan pengetahuan dan sikap sebagai hasil belajar dipengaruhi oleh metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Agar tercapai hasil belajar (perubahan perilaku), maka pemilihan metode yang paling efektif perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi setempat. Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk meningkatkan pengetahuan adalah metode ceramah. Metode ini dapat menyampaikan pesan dalam waktu yang singkat tetapi kelemahannya adalah pesan tersebut mudah dilupakan setelah beberapa lama sesudahnya (Lunandi, 1993). Selain metode ceramah, metode diskusi juga merupakan pilihan yang dapat dipakai


(64)

dalam proses belajar. Diskusi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan, peningkatan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk mempengaruhi sasaran agar mau mengubah sikap (Kartono, 1998).

Pengetahuan merupakan dasar pembentukan sikap. Dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan dapat mempengaruhi sikap, seterusnya sikap juga akan mempengaruhi tindakan sesuai dengan yang diinginkan.

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti yang tercantum pada gambar 2.1

Pre-test Post-test

Intervensi Metode Diskusi

Pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat

Pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat

Intervensi Metode Ceramah

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Konsep utama penelitian adalah untuk menganalisis efektifitas metode diskusi dan metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat.


(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment), dengan rancangan pretest-posttest group design (Arikunto, 2003). Rancangan ini sangat baik digunakan untuk evaluasi program pendidikan kesehatan atau pelatihan-pelatihan lainnya (Notoatmodjo, 2002). Penelitian ini menggunakan dua kelompok, yaitu kelompok yang diberi intervensi dengan metode diskusi dan kelompok yang diberi intervensi dengan metode ceramah.

Rancangan penelitian sebagai berikut:

O1 X1 O2 O3 X2 O4

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian Keterangan :

a. O1 adalah Pre-test, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tertutup untuk mengetahui pengetahuan dan sikap perawat tentang pembuangan limbah medis padat sebelum dilakukan intervensi dengan metode diskusi.

b. O3 adalah Pre-test, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tertutup untuk mengetahui pengetahuan dan sikap perawat tentang pembuangan limbah medis padat sebelum dilakukan intervensi dengan metode ceramah .


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Efektivitas Metode Ceramah Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dalam Penanganan Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

1 63 105

Determinan Tindakan Perawat Dalam Membuang Limbah Medis Padat Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2008

4 76 193

Efektivitas Metode Ceramah Dan Diskusi Kelompok Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Kesehatan Reproduksi Pada Remaja Di Yayasan Pendidikan Harapan Mekar Medan

4 77 154

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil tentang Pencegahan Makrosomia di Puskesmas Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016

0 0 17

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Siswi Tentang Dismenorea di SMA Swasta Raksana Medan Tahun 2016

0 0 19

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Siswi Tentang Dismenorea di SMA Swasta Raksana Medan Tahun 2016

0 0 2

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Siswi Tentang Dismenorea di SMA Swasta Raksana Medan Tahun 2016

0 0 9

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Siswi Tentang Dismenorea di SMA Swasta Raksana Medan Tahun 2016

0 2 39

Pengaruh Metode Ceramah dan Metode Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Siswi Tentang Dismenorea di SMA Swasta Raksana Medan Tahun 2016

0 1 4

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN KETERSEDIAAN FASILITAS DENGAN PERILAKU PERAWAT DALAM MEMBUANG LIMBAH MEDIS PADAT DI RS BHAKTI WIRA TAMTAMA SEMARANG TAHUN 2015

1 2 55