35
BAB III ANALISA PERBANDINGAN TENTANG PENAFSIRAN SURAT
AL-INSYIQÂQ
A. Menurut Tafsir al-Misbâh karya M. Quraish Shihab
Sebelum mengetahui bagaimana Quraish Shihab menafsirkan surah al- Insyiqâq, penulis akan sedikit memaparkan mengenai surah ini. Ayat-ayat surah
ini disepakati oleh Ulama turun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Namanya yang dikenal pada masa sahabat Nabi SAW. adalah surah Idzâ
Insyaqqat as-Samâ
1
. Imâm Mâlik meriwayatkan sebagaimana tercantum dalam al-
Muwaththa’-nya bahwa Abû Salamah berkata: Sahabat Nabi, Abû Hurairah, sujud ketika membaca surah Idzâ Insyaqqat as-Samâ. Setelah selesai Abû
Hurairah menjelaskan kepada mereka bahwa Rasul SAW. pun sujud ketika membacanya. Dalam beberapa kitab tafsir, begitu juga dalam Mushaf, nama
tersebut dipersingkat sehingga hanya menjadi surah al-Insyiqâq. Inilah satu- satunya nama yang dikenal untuk kumpulan ayat-ayat surah ini.
Tema untuk surah ini menurut al- Biqa‟i adalah penjelasan menyangkut
uraian akhir surah yang lalu al-Mutaffifin yaitu bahwa hamba-hamba Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya akan memperoleh kenikmatan, sedang musuh-
musuhnya akan tersiksa. Itu karena mereka tidak mempercayai adanya hari Kebangkitan, tidak juga percaya bahwa akan ada manusia diperhadapkan dengan
Tuhan Maha Raja mereka, serupa dengan hamba sahaya diperhadapkan kepada
1
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 137
Raja atau Penguasa lalu dijatuhi putusan; ada yang memperoleh ganjaran baik dan ada juga yang disiksa. Nama surah ini al-Insyiqâq menunjuk tema utama itu.
Demikian kurang lebih al- Biqa‟i
2
. Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-83 dari segi urutan turunnya. Ia
turun sesudah surah al-Infitâr dan sebelum surah ar-Rûm. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Mekah, Madinah dan Kufah sebanyak 25 ayat,
dan menurut cara perhitungan ulama Bashrah sebanyak 23 ayat.
Ayat 1-5
ْ َقش ا ءا َّلا ا -
ْ َقح ا ِرل ْ أ
-
ْ َدم ْر ْلا ا -
ام ْ قْلأ ْ َ ا يف
-
ْ َقح ا ِرل ْ أ
Artinya: Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, pada waktu itu manusia
akan mengetahui akibat perbuatannya.
Surah yang lalu diakhiri dengan uraian tentang kenikmatan yang akan diperoleh hamba-hamba Allah yang taat, dan bahwa musuh-musuhnya akan
disiksa. Di sini Allah bersumpah dengan kehancuran alam raya untuk menegaskan bahwa manusia
–suka atau tidak suka— pasti akan menemui Allah untuk mengetahui dan memperoleh balasan bagi amal perbuatannya ketika hidup di
dunia. Dan kalau dalam surah yang lalu Allah menyinggung tentang catatan amal manusia
–baik yang durhaka maupun yang taat, maka di sini Allah menyebutkan keniscayaan pertemuan dengan-Nya sambil menguraikan tentang penyerahan
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 137
kitab-kitab amalan itu. Di sini Allah berfirman: Apabila Langit yang terlihat dewasa ini sedemikian kokoh, terbelah karena rapuhnya dan sangat patuh kepada
Tuhannya sehingga
menerima putusan
Allah, membelah
dan memporakporandakannya, dan memang sudah semestinya langit itu patuh atau
benar-benar telah menjadi nyata bagi semua pihak ketika itu keterbelahan dan kehancurannya serta kepatuhannya kepada Allah, yang selama ini diduga oleh
sementara orang berdiri sendiri, dan apabila bumi dibentangkan yakni diratakan gunung-gunung dan tebingnya, sehingga ia bagaikan sangat luas, dan bumi itu
pun mencampakkan serta memuntahkan apa saja yang ada di dalam perut-nya dan
bersungguh menjadikan dirinya kosong dari segala yang selama ini terpendam di perut bumi, dan itu semua adalah karena ia sangat patuh kepada
Tuhannya, dan memang sudah semestinya bumi itu patuh. Betapa ia tidak patuh
padahal sejak semula, pada awal penciptaanya dia telah menyatakan kepatuhannya baca QS. Fussilat [41]: 11. Apabila itu terjadi, maka manusia akan
segera menerima balasan amal perbuatannya. Kemudian, dalam menafsirkannya Quraish menjelaskan dahulu arti
kosakata yang terdapat dalam surat al-Insyiqâq. Kata
ْ أ
adzinat terambil dari kata
أ
udzunun yakni telinga yang merupakan alat pendengaran. Dari sini
kata yang digunakan ayat di atas diartikan mendengar dan yang dimaksud adalah patuh.
Siapa yang mendengar dengan baik, maka tentu dia patuh, apalagi yang dipatuhi langit dan bumi itu adalah
هَر
rabbahû yakni Tuhannya yang mencipta
dan mengendalikannya.
Ayat tersebut tidak menyebut secara tersurat apa yang akan terjadi setelah kejadian-kejadian yang menimpa langit dan bumi. Ini karena hal tersebut sudah
cukup jelas, apalagi dalam surah al-Mutaffifin yang lalu telah disinggung tentang keniscayaan Kiamat dan balasan bagi setiap orang.
Makna keterbelahan langit pada ayat ini serupa dengan makna infitâr pada surah al-Infitâr. Hanya saja bedanya, di sini ditampilkan kepatuhan langit dan
bumi menerima ketetapan Allah SWT. yang mengakhiri peranannya di alam dunia ini.
Langit dan bumi, oleh ayat di atas digambarkan sebagai sesuatu yang hidup dan demikian patuh. Bumi adalah tempat manusia hidup. Ayat di atas
menggambarkan bahwa bumi mengeluarkan segala isinya. Ini memberikan kesan bahwa bumi pun melepaskan diri dari segala sesuatu
–termasuk manusia lebih- lebih yang durhaka
— melepaskan pula segala yang ada pada perutnya karena takut kepada Allah. Kemudian Qurasih mencoba membandingkan ayat ini dengan
keadaan manusia menghadapi goncangan Kiamat:
ا ْ ح ْ ح ا ك عض ْ عضْرأ اَ ع ةعضْرم ك هّْ ا ْ ر ْ ي ديدش هَلا اّع َ ّل راّّ مه ام راّس اَلا ر
Artinya: Ingatlah pada hari ketika kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya
dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,
akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya. Q.S. al-Hajj 22:2
AYAT 6-9
هيقا ف ًاحْدك كِر ىل حداك كَ اّ ْلا ا يأ اي -
ه اتك ي أ ْ م اَم ف ه ي ي
- ًاريّي ًا اّح ساحي فْ ّف
- ًار رّْم ه ْهأ ىل ق ي
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya, Adapun
orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada
kaumnya yang sama-sama beriman dengan gembira.
Setelah ayat yang lalu mengisyaratkan kepatuhan langit dan bumi serta keniscayaan adanya balasan dan ganjaran maka ayat di atas menyeru dan
mengingatkan manusia bahwa : Hai manusia, sesungguhnya engkau siapa pun di antara kamu giat bekerja menuju Tuhan Pencipta dan Pemelihara-mu; kegiatan
dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya karena itu adalah bagian dari perjalanan
menuju kepada-Nya, maka pasti engkau akan menemui-Nya —suka atau tidak
suka dan ketika itulah masing-masing akan menerima balasan amal perbuatannya. Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan
atau dati arah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah
karena dia adalah orang yang taat dan selama kehidupan dunia ini dia sudah selalu melakukan
perhitungan dan intropeksi terhadap dirinya, dan dia juga akan kembali kepada sanak keluaranya
yang sama-sama beriman atau pasangannya dari bidadari- bidadari yang siap menyambutnya
–atau sesamanya yang mukmin karena merekalah saudara-saudaranya, ia kembali menemui mereka dengan gembira.
Dalam menafsirkan, Quraish juga mengutip pendapat Ibn „Âsyûr. Kata
حداك
kâdihun dan
احْدك
kadhan pada mulanya berarti bersungguh-sungguh
hingga letih dalam melakukan kegiatan. Manusia dalam bekerja pada dasarnya
melihat hari esoknya, bahkan melihat masanya yang akan datang baik singkat maupun lama. Demikian yang dilakukan hingga berakhir umurnya dengan
kematian dan pertemuan dengan Allah. Atas dasar itulah sehingga ayat di atas menyatakan bahwa usaha manusia berlanjut hingga akhirnya ia menemui Allah
SWT. Pengukuhan kata Kâdih dengan kadhan untuk memberi gambaran bahwa perjalanan menuju Allah itu adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat dihindari
3
. Manusia mau atau tidak pasti berakhir usahanya dengan kematian dan
pertemuan dengan Allah. Ini karena manusia adalah hamba-Nya, sekaligus Dia adalah pengatur dan pengendali segala urusannya. Ayat ini mengisyaratkan
keniscayaan adanya pertanggungjawaban, karena tidak mungkin pertemuan itu, tanpa tujuan, apalagi yang ditemui adalah Allah Yang Maha Agung Sang Pencipta
manusia. Allah dengan penciptaan dan pengaturan-Nya serta manusia dengan kebebasan memilih yang dianugerahkan kepada-Nya, tentulah akan dituntut untuk
mempertanggungjawabkan hasil pilihannya itu. Akan berakhir perjalanan, usaha serta hidupnya pada Allah, dalam arti segala sesuatu pada akhirnya kembali
kepada putusan Tuhan Yang Maha Agung itu. Kata
ْي يلا
al-yamîn biasa diartikan kanan. Kata ini mempunyai banyak arti, antara lain kekuatan, kebahagiaan, keberkatan. Agama menjadikan kanan
sebagai lambang kebajikan dan keberuntungan. Oleh karena itu, penghuni surga kelak akan menerima buku amalan mereka dengan tangan kanan. Dari sini, serta
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 141
dari arti-arti yang disebutkan di atas seperti kebahagiaan dan lain-lain, penghuni surga dinamai as-hâb al-yamînkelompok kanan.
Firman-Nya: kembali kepada sanak keluarganya dipahaminya sebagai perumpamaan seorang musaffir yang kembali dari satu perjalanan dagang,
kembali dengan membawa keuntungan besar untuk diri dan keluarganya. Di samping menurut Ulama asal Tunisia itu, tidak dapat dikatakan ia kembali ke
surga menemui keluarganya, karena sebelum ini ia belum pernah berada di surga. Kembali kepada keluarga
juga merupakan kiasan tentang rasa aman, santai dan keterhindaran dari segala keletihan. Demikian lebih kurang pendapat Ibn „Âsyûr
yang dikutip oleh Quraish Shihab
4
.
Ayat 10-15
رْ ظ ءار ه اتك ي أ ْ م اَمأ -
ًار بث عْدي فْ ّف -
ًاريعس ى ّْي -
ًار رّْم ه ْهأ يف اك هَ -
ر حي َل أ َ ظ هَ -
ه اك هَر َ ى ًاريّ
Artinya: Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, dia akan berteriak: Celakalah aku. dia akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala neraka. Sesungguhnya dia dahulu di dunia bergembira di kalangan kaumnya yang sama-sama kafir. Sesungguhnya dia
menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada Tuhannya. . Bukan demikian, yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu
melihatnya. Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan keadaan yang taat, kini ayat di
atas menguraikan keadaan yang durhaka. Allah berfirman: Dan adapun orang
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 142
yang diberikan kitabnya dengan tangan kiri dari balik punggungnya sebagai tanda
penghinaan, maka dia akan mengalami penghitungan yang sulit dan akan berteriak memanggil kecelakaan agar ia segera binasa tidak mengalami lebih
banyak lagi siksaan, atau ia akan berkata: “Celakalah aku karena akan mengalami
kesengsaraan.” dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala yaitu neraka. Sesungguhnya dahulu ketika dia hidup di dunia di tengah keluarganya dia
selalu bergembira tanpa batas lagi angkuh dan berfoya-foya. Susungguhnya ketika itu dia menduga atau yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada
Tuhannya, dan karena itu dia tidak akan pernah melakukan perhitungan atas dirinya. Tidaklah demikian Dia pasti akan kembali kepada Allah, sesungguhnya
Tuhannya selalu terhadapnya saja Maha Melihat sehingga Maha Mengetahui
tingkah laku dan motivasinya. Di samping itu Tuhan juga memerintahkan malaikat mencatat amal-amalnya sehingga dia kelak tidak dapat ingkar atas apa
yang telah dilakukannya. Ayat di atas menyatakan bahwa akan ada yang akan diberi kitab amalanya
dari balik punggungnya, maka itu tidak harus dipertentangkan dengan ayat-ayat yang lain yang menyatakan diberikan melalui tangan kirinya, karena bisa saja
kitab diberikan melalui punggung dan diterima oleh tangan kirinya. Apalagi –
seperti ditulis Tabât abâ‟i yang dikutip oleh Quraish— ada orang-orang di hari
kemudian yang diubah mukanya dan diputarkan ke belakangnya
5
baca QS. An- Nisâ‟ [4]: 47. Ada juga yang diberi kitabnya di belakang punggungnya adalah
orang-orang yang durhaka dari kelompok kaum muslimin. Mereka itu tidak diberi
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 143
kitab amalannya dengan tangan kanannya, karena ini khusus kepada yang taat, tidak juga diberi dengan tangan kirinya, karena ini khusus buat orang-orang yang
kafir. Yang diberi dari belakang itu, terlebih dahulu masuk neraka, lalu dikeluarkan darinya untuk kemudian masuk ke surga.
Kata
ر حي
berarti kembali yakni kembali setelah kematian. Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa yang bersangkutan mengingkari adanya hari
Kebangkitan. Firman-Nya: Sesungguhnya Tuhannya selalu terhadapnya Maha Melihat,
dengan mendahulukan kata terhadapnya sebagai isyarat bahwa tidak satu pun dari kegiatan yang bersangkutan, luput dari pengetahuan Allah, seakan-akan
hanya terhadapnya saja Tuhan melihat. Penggalan ayat ini memberi isyarat tentang keniscayaan Perhitungan atas amal-amal manusia. Allah Maha
Mengetahui tentang manusia, dan ini berarti Dia Maha Mengetahui serta membedakan antara yang taat dengan yang durhaka, dan tentu saja tidaklah wajar
mempersamakan antara keduanya. Dari sini perlu ada ganjaran bagi yang taat dan siksa bagi yang durhaka.
Ayat 16-19
قفَشلا مّْقأ ا ف -
قس ام ْيَلا -
قَّا ا ر قْلا -
ع ًاقبط َ بكْرتل قبط
Artinya: Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, . dan
dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan.
Untuk lebih menegaskan kebatilan pandangan mereka yang menduga tidak akan ada kebangkitan, Allah menekankan hal itu dengan berfirman: Maka
sesungguhnya Aku tidak bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam serta apa yang dihimpun
–nya baik manusia, binatang maupun selainnya, dan dengan bulan apabila menjadi purnama, sesungguhnya kamu pasti
melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan, bermula di dunia, lalu kematian
lalu hidup di alam Barzakh, lalu Kebangkitan dan akhirnya berada di surga atau neraka.
Kata
ال
lâ pada firman-Nya:
مّْقأ ا ف
falâ uqsimu bisa dipahami sebagai menafikan kata
مّْقأ
uqsimu sehingga itu berarti Allah tidak bersumpah. Bisa juga kata lâ dipahami sebagai sisipan atau yang diistilahkan dalam bahasa Arab
dengan lâ Zâidah
6
guna menekan sumpah tentang cahaya merah di waktu senja itu. Bila dipahami demikian, maka kata lâ tidak diterjemahkan. Walaupun
terdapat perbedaan itu, namun pada akhirnya semua sepakat bahwa ayat di atas mengandung penekanan. Seseorang ketika menafikan sesuatu boleh jadi saat itu,
ia justru menekankan pentingnya kandungan pembicaraannya. Seperti yang dikatakan Quraish. Misalnya ketika seseorang menasihati seorang anak untuk
memperhatikan orang tuanya dengan berkata, “rasanya saya tidak perlu berpesan pada Anda untuk memperhatikan orang tua Anda.” Menafikan pesan di sini,
justru merupakan penekanan sungguh-sungguh menyangkut perlunya perhatian itu.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 144
Kata
7
قفَشلا
asy-syafaq adalah warna merah yang terlihat di ufuk pada awal malam pada saat terbenamnya matahari. Selain itu dalam menafsirkan,
Quraish juga mengutip pendapat ar-Râghib al-Asfahâni yang memahami kata ini pada mulanya berarti bercampur. Warna merah yang terlihat di ufuk adalah
karena bercampurnya sisa-sisa cahaya siang matahari dengan kegelapan malam. Dari sini rasa takut yang bercampur dengan cinta dinamai
ةقفش
syafaqah . Ada
juga yang memahami asal maknanya adalah kelemahlembutan. Warna yang terlihat di ufuk pada saat matahari mulai terbenam mengesankan
kelemahlembutan, karena itu ia dinamai syafaq. Kata
قس
wasaqa berarti menghimpun. Apabila malam tiba, maka terhimpunlah apa yang tadinya bertebaran di siang hari. Manusia kembali ke
rumahnya berhimpun dengan sanak keluarganya, binatang pun demikian. Ini karena semua mendambakan ketenangan yang dapat diberikan oleh kegelapan
malam. Ada juga yang memahami makna tersebut dengan arti kata mengusik, maksudnya, kehadiran malam bagaikan mengusik bintang-bintang yang tadinya
tersembunyi sehingga menjadi nampak dengan jelas di langit. Makna ini lebih serasi dengan penyebutan asy-syafaq pada ayat yang sebelumnya serta
penyebutan al-qamarbulan pada ayat sesudahnya. Allah bersumpah dengan hal-hal di atas bukan saja untuk menunjukkan
betapa besar kuasa-Nya, tetapi juga menjadikan keadaan apa yang disebutnya sebagai keniscayaan. Yakni semua mengalami perubahan sebagaimana manusia
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 144
juga mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan hidupnya, karena dia pasti melalui tingkat demi tingkat.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang arti
قبط ع ًاقبط َ بكْرتل
latarkabunna t abaqan ‘an tabaq yang Quraish terjemahkan dengan kamu pasti
melalui tingkat demi tingkat. Perbedaan itu lahir dari banyaknya makna yang
dapat dikandung oleh kata
َ بكْرتل
latarkabunna dan kata
اقبط
tabaqan Kata la tarkubunna terambil dari kata
كر
rakiba yang pada mulanya
berarti mengendarai. Di samping makna harfiah ini ia juga diartikan secara majâzi dalam arti mengalahkan, menguasai, mengikuti, menelusuri, bercampur, selalu
bersama serta mengatasi dan meninggi.
Adapun kata tabaq maka ia antara lain mengandung makna persamaan sesuatu atau situasi dengan sesuatu yang lain baik ia bertumpuk maupun tidak.
Walaupun tidak secara spesifik dalam penyebutan nama kitabnya, dikatakan Quraish bahwa sa
habat Nabi, Ibn „Âbbâs, memahami kalimat di atas dalam arti ancaman menyangkut hari Kiamat yakni, kamu akan mengalami situasi
yang sulit setelah situasi sebelumnya. Sahabat Nabi yang lain, Jâbir Ibn „Abdillâh memahami situasi dimaksud sebagai situasi kematian, Kebangkitan dan
kebahagiaan atau kesengsaraan
8
. Ada juga yang memahami kata tabaq dalam arti kedudukan. Yakni kamu
semua mengalami kedudukan yang berbeda yaitu dari kedudukan duniawi menuju kedudukan ukhrawi. Ada orang-orang yang hidup dalam dunia ini dalam
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 145
kedudukan yang rendah, namun di akhirat akan menuju kedudukan yang tinggi. Ada lagi yang memahami dalam arti, “siapa yang kini dalam kesalehan, maka
kesalehannya itu akan mengajaknya menuju kesalehan yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya, karena
segala sesuatu mengajak sesuai dengan keadaanya.” Ada lagi yang berpendapat bahwa, “kamu akan berjalan menuju satu
tempat guna menghadiri perhitungan di hari kemudian. Kehadiran itu dalam bentuk kelompok demi kelompok.”
Quraish juga mengutip pendapat al-B iqâ‟i. Dalam memahami kalimat
tersebut sebagai berbicara tentang tingkat-tingkat yang dilalui manusia dalam perjalanan hidupnya. Tingkat pertama yang dilaluinya adalah dalam perut ibu,
kemudian lahir dalam keadaan bayi, kemudian menyusu, lalu disapih, kemudian menjadi remaja, dewasa, tua dan pikun, lalu meninggalkan dunia ini ke alam
barzakh. Selanjutnya, kebangkitan dari kubur, penggiringan ke padang mahsyar, hisâb yakni perhitungan dan pertanggungjawaban, lalu penimbangan amal, lalu
melewati sirât atau jembatan dan akhirnya berada di surga atau neraka. Di samping itu ada juga tingkat-tingkat yang bersifat non material dalam hal
keburukan atau keluhuran
9
. Menurut Sayyid Qutub
–lanjut Quraish—, makna ini adalah: “kamu akan mengalami situasi demi situasi sesuai dengan telah apa yang telah digariskan bagi
kamu. Situasi itu dilukiskan bagai sesuatu yang dikendarai dan semua akan dibawa oleh kendaraannya menuju arah yang ditetapkan dan akan berakhir pada
tujuan itu, sebagaimana keadaan yang terlihat di alam raya ini, seperti cahaya
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ân,
Jakarta; Lentera Hati, 2002 hal. 146
merah dikala senja, malam dengan apa yang telah dihimpunnya serta bulan ketika purnama, sampai akhirnya semua akan menemui Tuhannya sebagaimana
disinggung oleh ayat- ayat yang lalu.”
Ayat 20-21
مْ ي ال ْم ل ا ف -
دجّْي ال آْرقْلا م ْي ع رق ا
Artinya: Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.
Cukup sudah penjelasan dan bukti-bukti yang dipaparkan Allah menyangkut keniscayaan kiamat dan semua pemberitaan al-
Qur‟ân. Jika demikian, sungguh aneh sikap mereka. Mengapa mereka para pendurhaka ini tak
mau beriman kepada tuntunan Allah serta memperbaharui keimanannya secara
terus menerus dan dari saat ke saat ? apa yang merintangi mereka ? Dan mengapa juga apabila dibacakan kepada mereka al-
Qur’ân, oleh siapa pun, mereka senantiasa enggan bersujud yakni tunduk dengan hati serta pikiran mereka atau
meletakkan dahi mereka ke bumi sebagai pengakuan tentang kebesaran Allah dan kebenaran firman-firman-Nya ?.
Ayat di atas yang mengecam orang-orang kafir yang enggan bersujud, merupakan salah satu ayat sajdah yakni dianjurkan bagi pembaca dan
pendengarnya untuk sujud. Demikian pendapat imam Syâfi‟i –kutip Qurasih—. Salah satu alasannya adalah hadits Abû Hurairah yang telah dikutip pada awal
uraian surah ini. Namun –sambung Quraish— Imam Mâlik tidak menjadikan ayat
di atas sebagai ayat sajdah. Menurutnya tidak ada ayat sajdah pada surah-surah al-Mufassal.
Ayat 22-25
ِّّي ْا رفك يَّلا -
ع ي ا م ْعأ هَلا -
ميلأ اّع مهْرِشبف -
اَل ْ م رْيغ رْجأ ْم ل احلاَّلا ْا ع ْا مآ يَّلا
Artinya: bahkan orang-orang kafir itu mendustakannya. Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Maka
beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih, tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-
putusnya.
Ayat-ayat yang lalu mempertanyakan apa yang merintangi mereka untuk beriman dan patuh. Ayat di atas menyatakan bahwa tidak ada yang merintangi
mereka untuk bersujud dan beriman, bahkan sebaliknya terlalu banyak bukti dan dorongan untuk melakukannya. Tetapi karena kebejatan hati mereka, maka
mereka enggan, bahkan orang-orang kafir itu terus-menerus mendustakan al- Qur‟ân dengan berbagai dalih padahal Allah lebih mengetahui dari siapa pun
tentang apa yang mereka senantiasa sembunyikan dalam hati mereka antara lain tentang kekaguman kepada al-Q
ur‟ân. Akan tetapi mereka pun enggan mengakuinya karena khawatir kehilangan kedudukan dan pengaruh, demikian
juga tentang kebejatan dan kelicikan mereka. Jika demikian itu sikap mereka maka
“gembirakanlah” mereka dengan siksa yang pedih. Demikian itulah yang dipersiapkan untuk orang-orang kafir, tetapi orang-orang yang beriman dan
membuktikan keimanan mereka dengan beramal saleh, bagi mereka pahala yang agung lagi tidak putus-putusnya dan itu secara sempurna mereka peroleh pada
hari kiamat yang bermula pada saat langit terbelah dan bumi dibentangkan.
Kata
ْ عْ ي
yû’ûn seakar kata
اع
wa’â yakni wadah tempat menghimpun sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah menyembunyikan, karena
biasanya kata tersebut digunakan untuk menggambarkan penghimpunan sesuatu agar tidak hilang, dan ini mengesankan kekikiran dan dari sini pula lahir makna
menyembunyikan. Demikian Ibn „Âsyur.
Penggunaan bentuk kata kerja pada kata
ْ ّّي
yukdzdzibûn dan
ْ عْ ي
yû’ûn di samping menunjukkan kesinambungan, juga untuk menghadirkan dalam benak sikap buruk itu, seakan-akan nampak pada mereka sedang
melakukannya. Adapun penggunaan kata kerja masa lampau pada kata
اْ ماء
âmanû maka ini untuk mengisyaratkan bahwa keimanan mereka itu berlanjut terus dan bagaikan telah terbukti hingga kematian mereka.
Kata
ْ ْ م
mamnûn terambil dari kata
م
manna yang berarti putus. Sehingga ajrun ghairu mamnûn berarti ganjaran yang demikian banyak dan tidak
putus-putusnya. Bisa juga kata tersebut terambil dari kata
ه م
mannahu yang antara lain berarti anugerah dan dengan demikian ia berarti ganjaran yang tidak
disebut-sebut sehingga tidak memalukan apalagi menyakitkan hati penerimanya.
Makna ini serupa dengan firman Allah:
أا ِ ْلا مّ اقدص ْا طْب ا ْا مآ يَّلا ا يأ اي
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan
si penerima.
Awal surah ini dimulai dengan sumpah menyangkut sekian banyak hal yang menegaskan adanya pembalasan hari Pembalasan, akhirnya pun berbicara
tentang balasan yang disiapkan Allah bagi manusia –baik yang durhaka mau pun
yang taat. Demikian bertemu uraian awal surah ini dengan akhirnya
10
. Maha benar Allah dalam segala firman-Nya dan Maha indah dan serasi ayat-ayat-Nya. Wa
Allâh A’lam.
B. Menurut Al-