b Menentramkan hati. Hal ini dapat terjadi dengan mengikuti tarekat
yang medianya mayoritas didominasi oleh dzikir, dan Allah menjanjikan dalam Al-Quran bahwa dzikir dapat menentramkan hati.
c Membentuk persaudaraan sufi sufi brotherhood. Manfaatnya
beragam, karena tergabung dalam satu kelompok, bisa saja ide-ide besar tercetus untuk mengembangkan TQN atau Islam pada umumnya
secara sosial.
4. Sejarah Perkembangan Tarekat
Tarekat mempunyai sejarah yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Konsep pembebasan keraguan dan keputusasaan yang ditawarkan tasawuf
cukup berhasil menarik minat kaum muslim yang terkenal mempunyai kecenderungan zuhud.
22
Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW, tokoh yang dikenal sebagai sufi yang paling sufi. Dengan gaya hidup sederhana,
tetapi penuh
kesungguhan, Nabi
Muhammad SAW
berhasil menyandingkan perilaku zuhud dengan tugasnya sebagai Rasul yang
akhlaknya tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian Al- Quran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan awal cita-cita pergerakan
tasawuf dalam Islam. Sepeninggalnya Rasul, Khulafaurrasyidin, dan para tabi’in, sedikit
demi sedikit sifat zuhud kaum muslim mulai terkikis dan mulai berubah menjadi budaya yang mementingkan keduniaan. Bentuk perilaku seperti
ini umumnya dilakukan oleh orang-orang kaya yang hidup dengan
22
Amsal Bakhtiar, Tasawuf dan gerakan tarekat Bandung: Angkasa, 2003, h. 63
berfoya-foya dan berpotensi melakukan berbagai kemaksiatan karena harta yang melimpah ruah mereka tersebut. “Hal itulah yang kemudian
membuat Hasan Basri, Sufyan Tsauri, Ibrahim ibn Adham, Rabi’ah Adawiyah, Syaqiq Balkhi beserta zahid lainnya kecewa dengan degradasi
akhlak masyarakat aghniya. Pada abad ke-2 H, mereka merubah ke-zuhud- an menjadi gerakan yang saat ini dikenal dengan tasawuf.”
23
Adalah Rabi’ah Adawiyah yang kemudian memperkenalkan konsep mahabbah yang berhasil memunculkan revolusi ketekunan
para zahid pada taraf yang lebih ‘abid, zuhud, tawakkul, serta mujahadah
dengan berakhir pada ma’rifah Allah dimana pintu hijab antara makhluk dan Sang Khalik melalui mata batin terbuka lebar.
Konsep mahabbah Rabi’ah Adawiyah itu yang pada abad ke-3 Hijriyah membuat tasawuf dikonversi oleh para zahid dari asketisme
zuhud menjadi mistisme.
24
Dalam pandangan keilmuan tasawuf, konsep ma’rifah ibarat dua
sisi mata uang. Pada sisi yang begitu positif, konsep ma’rifah menjadikan tasawuf menjadi sebuah sumbangan berharga bagi khazanah Islam.
Konsep ma’rifah dijadikan salah satu kriteria bagi kenaikan tingkat seorang sufi apakah mereka hanya sebatas zahid atau telah dipromosikan
pada tingkat yang lebih tinggi seperti arif-shufi-waly.
25
Namun di sisi lain, konsep ma’rifah menjadi begitu subjektif karena mistisme tasawuf harus dipandang dengan kacamata tasawuf
dan tidak dapat dibuktikan melalui metodologi keilmuan modern. Subjektifitas individu para sufi inilah yang kemudian membuat
tasawuf menjadi rawan akan penyimpangan akidah. Hal inilah yang akhirnya dipertentangkan oleh fuqaha dan mutakallimin ahl al-
zawahir
disatu sisi melawan pandangan para sufi ahl al-bawathin.
26
23
ibid, h. 63-64
24
ibid, h. 64
25
ibid
26
ibid
Pandangan-pandangan mereka yang terlihat jelas perbedaannya setidaknya dapat dilihat pada beberapa hal yaitu :
1. Ahl al-zawahir menonjolkan pengalaman agama dalam bentuk yang
formalistik syiar-syiar lahiriah. Sedang dilain pihak, para ahl al- bawathin
menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.
2. Adanya teori-teori ahl al-bawathin yang menggusarkan para Ahl al-
zawahir , misalnya teori al-fana fi ‘l-Lah peleburan diri dalam Allah
yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lah cinta Allah hasil pemikiran Rabi’ah al-‘Adawiyah serta teori Maqamat-
Ahwal terminal-terminal dan situasi-situasi ciptaan Dzunn-un al-
Mishri, atau bahkan statemen “ana al-haqq” yang diucapkan oleh al- Hallaj. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para Ahl al-
zawahir .
3. Sebagian ahl al-bawathin tidak merasa terikat dengan syiar-syiar
agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal.
Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syariah.
4. Ahl al-bawathin mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan
rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang
luar biasa keramat.
Banyak sufi yang sebenarnya setuju bahwa konsep ma’rifah ternyata potensial untuk disamarkan oleh para pseudo-sufi yang
menjadikan tasawuf susah dikendalikan dan diortodoksikan kembali, sampai akhirnya sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali melalui karya
besarnya Ihya ‘Ulumuddin berhasil memadukan pandangan ulama syariah dan kalam dengan pandangan para sufi yang konsensusnya
adalah diterimanya tasawuf di kalangan ulama.
27
Hasil yang cukup menggembirakan ini membawa tasawuf ke
dalam perkembangan baru, bahkan pada abad ke-5 Hijriyah disinyalir menjadi titik awal “booming” tasawuf yang mendominasi aktifitas
masyarakat muslim di dunia. Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarekat itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani w.
561 H1166 M di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghana
dan Jawa. Tidak hanya satu, ratusan bahkan ribuan tarekat tersebar di dunia Islam. Di Mesir dikenal Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh
Sayid Ahmad al-Rifa’i w. 1182. Tarekat Syadziliyah yang didirikan Abu Madyan Shuhaib w. 1258 di Maroko dan Tunisia serta dunia
Islam bagian Timur pada umumnya. Munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Belum lagi
tarekat Mauliyah-nya penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi w. 672 H1273 M yang menggunakan media alat musik sebagai
sarana dzikir.
28
Di Indonesia, tasawuf atau tarekat diperkirakan mengalami
perkembangan pada abad ke-16 Masehi. Hal itu ditandai dengan ditemukannya bukti-bukti karya tulis berbentuk manuskrip, primbon,
27
ibid, h. 64-65
28
Ali Yafie, “Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http:www.almanaar.wordpress.com
maupun naskah dalam bahasa Jawa dan Sumatera. Temuan ini juga memperlihatkan adanya pertentangan dua kubu di atas.
29
Namun dari semua temuan yang sekarang disimpan di bibliotek Leiden Belanda dan perpustakaan Ferrara Italia tersebut disimpulkan oleh
Steenbrink bahwa tasawuf pertama yang berkembang di Jawa adalah kolaborasi yang dibawa Al-Ghazali yang mementingkan pelaksanaan
syariah dibandingkan konsep milik Ibnu ‘Arabi tentang wihdat al-wujud.
30
Tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat
Rifa’iyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Sanusiyah, termasuk Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah TQN.
5. Macam-Macam tarekat