Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam secara subtansial mengajarkan kepada manusia untuk memahami dunia, yang tidak sedikit memberikan petunjuk tentang bagaimana idealnya manusia untuk hidup dalam tuntutan zaman yang semakin berkembang. Dalam sosiologi, dikenal adanya klasifikasi mengenai masyarakat perkotaan dan pedesaan. Masyarakat perkotaan diindikasikan antara lain dengan pola kemasyarakatan yang hedonistik, dengan jenis mata pencaharian yang heterogen, dan yang lebih terlihat adalah pola interaksi sosial yang cenderung individual yang dapat dilihat dengan pembangunan pagar rumah yang tinggi, pemeliharaan anjing sebagai penjaga rumah atau intensitas jam kerja yang hampir tidak menyempatkan waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, sehingga satu sama lain terkadang tidak saling mengenal. Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang dikenal dengan ciri-ciri antara lain bermata pencaharian yang seragam, komunikasi keluarga yang lebih terjalin baik, termasuk interaksi sosial yang terbentuk kokoh dengan dasar nilai ajaran agama diniyah, semangat tolong menolong ta’awuniyah, toleransi tasammuh, maupun saling mengingatkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar irsyadiyah. Dari indikasi-indikasi di atas, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa masyarakat pedesaan lebih tendensius dengan Kesalehan Sosial yang lebih nyata terlihat dibandingkan dengan masyarakat kota. Namun dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin otomat seperti sekarang ini, nampaknya identitas masyarakat perkotaan dan pedesaan semakin sulit untuk dikenali. Di satu sisi, masyarakat pedesaan sedikit demi sedikit beranjak meninggalkan identitasnya sebagai masyarakat yang lebih relijius dengan mengikuti pola modernisasi yang memudarkan integritas keimanan mereka. Di sisi yang lain, masyarakat perkotaan merasa jenuh dengan ketertekanan akibat aktivitas yang padat yang membuat mereka miskin akan pencerahan agama sehingga kebutuhan akan jalan spiritual merupakan jalan keluar setelah hal itu sempat gagal menyokong aspirasi masyarakat perkotaan yang umumnya terpelajar dan lebih rasional. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin beragam tersebut tentunya paradigma ‘khairu ummah’ masih menjadi cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Bukan berarti tidak ada usaha untuk menuju cita-cita tersebut, akan tetapi masyarakat Islam perkotaan maupun pedesaan yang selalu berusaha istiqamah dalam memberikan kontribusi positif bagi perkembangan agama atau setidaknya tetap melaksanakan ibadah dan muamalah mereka sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al-Quran dan sunnah mulai kehilangan orientasi keagamaan mereka. 1 Masyarakat Kecamatan Ciomas merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang dahulu masih mempunyai indikator-indikator untuk dikatakan sebagai masyarakat pedesaan seperti mata pencaharian yang seragam yaitu pertanian, hubungan kekerabatan dan kemasyarakatan yang kental serta makmurnya pengembangan keagamaan di mesjid-mesjid atau majlis taklim. Namun kurang dari 20 tahun, pergeseran nilai mulai terlihat dengan berubahnya hampir seluruh wilayah pertanian menjadi perumahan, rumah toko ruko, serta pembangunan lain untuk mendukung modernisasi. 1 Yusuf Al-Qardhawy. Anatomi Masyarakat Islam Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000. h. xi Padahal masyarakat Ciomas masih mempunyai hak untuk membentuk kesadaran kolektif dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum dalam upaya pencapaian doktrin “khoiru ummah” tersebut 2 , atau minimal tetap mempertahankan kesalehan ritual dan Kesalehan Sosial yang selama ini tertanam di hati masyarakat. Pemikiran keagamaan masyarakat yang seperti itu tidak instan terjadi dalam masyarakat. “Peranan elite agama maupun lembaga sosial keagamaan dipandang perlu dijadikan ujung tombak bagi pembentukan benteng akidah, akhlak, dan moral masyarakat di zaman modern seperti sekarang ini.” 3 Salah satu hal yang unik dalam masyarakat Kecamatan Ciomas yang beranjak modern tersebut adalah terdapatnya ritual tarekat di beberapa mesjid dan sebuah Pondok Pesantren, yang terletak tepat di pinggir jalan utama Ciomas sebagai gerbang modernisasi dalam hal transportasi. Tarekat yang dimaksud adalah Terkat Qadiriyah Naqsabandiyah TQN, salah satu tarekat terbesar di Indonesia yang mempunyai perwakilan di daerah Bogor yang dikembangkan oleh Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Di mesjid-mesjid dan Pondok Pesantren tersebut saat ini setiap ba’da Maghrib, para pengikut tarekat sekitar sudah terbiasa melakukan ritual dzikir khas TQN, padahal mesjid-mesjid dan pesantren tersebut di samping terletak di daerah yang modern, bahkan mesjid-mesjid tersebut juga bukan mesjid milik TQN. Tarekat menjadi fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. “Munculnya minat yang lebih tinggi terhadap jalan spiritual pada abad ke-21 ini merupakan tanda bahwa tarekat telah menjadi salah satu pilihan 2 Ibid, hlm xiv 3 Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok Elite; Peranan elit-penentu dalam masyarakat modern Jakarta: RaJawali Pers, 2000. h. 96-104 ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensinya di tengah dinamika kehidupan modern.” 4 Tidak sedikit para selebriti, politisi, teknokrat, dan pengusaha yang menjadikan tarekat sebagai penyeimbang aktifitas mereka di perkotaan. Mereka berharap tarekat dapat memberikan ketenangan batin agar mereka tidak terlalu jauh melenceng dari aturan agama. Secara garis besar, “tarekat mengajarkan kelembutan spiritual melalui peningkatan kesalehan ritual, khususnya dzikir baik secara profan maupun sakral, sehingga jamaahnya dapat lebih mengendalikan hati agar terus terikat dengan Allah.” 5 Permasalahnnya, apakah keberadaan TQN itu berdampak banyak bukan hanya terhadap peningkatan kesalehan ritual melainkan juga pada peningkatan Kesalehan Sosial masyarakat, khususnya para ikhwan ?. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mengambil judul skripsi : “Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Peningkatan Kesalehan Sosial Ikhwan Studi Analitis terhadap Para Anggota TQN Ciomas”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah