Khulu’ Sebagai Pilihan Bagi Istri Untuk Memutuskan Perkawinan Karena

52 keluarga yang terjadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia kiranya dapat dimengerti.

B. Khulu’ Sebagai Pilihan Bagi Istri Untuk Memutuskan Perkawinan Karena

Ketidakmampuan Suami Dalam Menafkahi Keluarganya Menurut para fuqaha’ khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus dirinya agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan sighat khulu’, mubara’ah, atau talak. 9 Secara sederhana khulu’ adalah perceraian atas keinginan pihak istri, sedang suami tidak menghendaki. 10 Dalam KHI persoalan khulu’ diatur dalam pasal 148. 11 Khulu’ diperbolehkan berdasar pada firman Allah : 12 ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ 9 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-III, hal. 220 10 Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, cet. Ke-II, hal. 232. 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, Cet. Ke-III, hal. 45 12 Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan penerimaan iwadh. Khulu yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadh. Lihat al-Qur’ân dan Terjemahnya Madinah Munawwarah: Komplek Percetakan al-Qur’ân Khadim al-Haramain asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 53 Artinya : Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Q.S. Al-Baqarah [2]: 229 Ayat diatas memberikan keleluasan bagi pasangan suami istri untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam rumah tangganya, bahkan sampai pada tahapan perceraian manakala memang pasangan suami istri benar-benar khawatir jika ikatan perkawinan mereka dilanjutkan akan membawa dampak bahaya yang lebih besar, meski sebenarnya talak maupun khulu’ sebenarnya sesuatu yang halal namun sangat dibenci oleh Allah. Namun al-Qur’ân juga memberikan catatan bahwa segala upaya yang akan dilakukan dalam rangka menyelesaikan segala urusan rumah tangga haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik. Hak khulu’ diberikan kepada istri sebagai upaya persamaan hukum bagi pihak istri sebagaimana suami yang boleh menceraikan istrinya, agar istri yang memang sudah merasa tidak nyaman dan aman bersama suaminya juga memiliki hak yang sama untuk mengajukan perceraian. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 54 Khulu’ dapat dilakukan manakala istri sudah tidak sanggup lagi dengan segala prilaku suaminya yang membuatnya semakin menderita dan tersiksa, namun khulu’ juga dapat dilakukan manakala istri merasa bahwa dengan segala kondisi yang dimiliki suaminya, seorang istri khawatir tidak mampu melakukan kewajibannya dengan baik, sehingga dapat menyebabkan adanya pelanggaran terhadap perintah Allah. 13 Lalu bagaimanakah dengan seorang suami yang tidak mampu menafkahi keluarganya, apakah seorang istri juga diperbolehkan untuk melakukan khulu’?. Dalam hukum Islam ada dua pendapat mengenai aturan tentang suami yang tidak mampu memberikan nafkah, pendapat pertama yakni pendapat yang diprakarsai oleh Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal yang menyatakan bahwa, istri boleh mengajukan khulu’ jika suami tidak mampu menafkahi istrinya dengan berdasar pada ayat al-Qur’ân surat al-Baqarah ayat 229 diatas, Imam Syafi’i mengqiyaskan persoalan ini pada persoalan mengenai kepemilikan budak yang wajib dibebaskan ketika majikannya tidak mampu lagi menafkahinya. 14 Pendapat ini konsisten terhadap aturan yang menyatakan bahwa beban nafkah merupakan kewajiban suami atas istrinya, dengan demikian secara logis dapat diterima jika istri dapat mengajukan khulu’ jika suami tidak mampu memberikan nafkah. 13 Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer..., hal. 508 14 Humaira, Pandangan Hukum Islam ..., hal. 89-95. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 55 Namun pendapat kedua yang disampaikan oleh Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa istri tidak berhak mangajukan cerai atas suami yang tidak mampu memberi nafkah, dasar argumentasinya adalah al-Qur’ân surat al-Baqarah ayat 280, ⌧ ☺ ةﺮܿ۹ﻟا ٨ Artinya : Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. Q.S. Al-Baqarah [2] 280 . Dalam hal ini Imam Abu Hanifah menggunakan istilah “penangguhan” pemberian nafkah bagi suami yang tidak mampu menafkahi istrinya yang memang secara formil menjadi tanggung jawab suami, penulis melihat, Imam Abu Hanifah lebih mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan dimana menjaga keutuhan rumah tangga merupakan hal yang harus dijaga oleh suami istri secara bersama-sama, sehingga ketidakmampuan suami dalam memenuhi nafkah tidak serta merta membolehkan istri begitu saja boleh mengajukan khulu’. Sementara di dalam KHI seorang istri dapat melakukan khulu’ jika memenuhi beberapa persyaratan yang tercantum dalam pasal 116 berikut ini: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 56 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; 7. Suami melanggar taklik talak; 8. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 15 Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 16 pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Sedangkan dalam KUH Perdata 17 sebab-sebab atau syarat-syarat yang dapat digunakan oleh pasangan suami istri untuk mengajukan perceraiaan ke pengadilan diatur dalam bagian ketiga pasal 209, 18 dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah dan hanyalah sebagai berikut : 1. Zina, 2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk, 3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan, 15 Lihat KHI Pasal 116 dan pasal 124, H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, Cet. III, hal. 132-133. 16 http:bsdm.bappenas.go.iddataPerundanganUU20No.20120Tahun20197420Te ntang20Perkawinan.pdf 17 Meski KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi dalam system hokum perdata di Indonesia, penulis tetap mengutip sebagai perbandingan saja, karena rincian ketentuan yang disampaikan di dalamnya. 18 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, Cet. 24, hal. 51. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 57 4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh salah seorang dari suami-istri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya. Yang menarik untuk dikaji dari ketentuan hukum yang menjadi rujukan hukum perdata yang berlaku di Indonesia di atas adalah, bahwa semua ketentuan hukum di atas tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa ketidakmampuan seorang suami dalam memberikan nafkah terhadap keluarganya boleh atau bisa menjadi alasan untuk mengajukan perceraian. Bahkan dalam KHI pun yang notabene mengambil sebagian besar kebijakan hukumnya dari khazanah kitab- kitab hukum Islam klasik yang membolehkan seorang istri mengajukan khulu’ terhadap suami yang tidak mampu menafkahi, justru tidak mencantumkan persoalan ketidakmampuan suami dalam memberikan nafkah sebagai salah satu syarat bagi seorang istri yang ingin menggugat cerai suaminya. Nampaknya baik KHI maupun UU No.1 Tahun 1974 secara tersirat ingin menyampaikan pesan bahwa ketidakmampuan seorang suami dalam memberikan nafkah terhadap keluarganya bukanlah alasan yang manusiawi sebagai alasan untuk mengajukan gugatan cerai, mengingat bahwa secara umum tidak ada satupun pasangan suami istri yang ingin hidup dalam kekurangan secara ekonomi, dan tidak ada satupun suami yang tidak ingin membahagiakan keluarganya kecuali dalam keadaan tertentu mungkin kita dapati fenomena adanya suami- suami yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian penulis melihat ada KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 58 pertimbangan secara moral dalam ketentuan hukum dalam KHI maupun dalam KUH Perdata mengenai perceraian. Tetapi merujuk pada data-data di beberapa pengadilan agama yang telah penulis sampaikan dalam bab II diatas, secara praktis kita dapati fenomena gugat cerai yang diajukan oleh istri karena ketidakmampuan seorang suami memberikan nafkah pada keluarganya, meskipun secara formil tidak ada aturan yang membolehkan seorang istri menggugat cerai suaminya karena ketidakmampuan seorang suami dalam menafkahi keluarganya. Nampaknya kesulitan para hakim dalam persoalan ini adalah karena ketentuan mengenai kelayakan nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami sangat relatif, tergantung kepada kebutuhan masing-masing pasangan suami istri. Sehingga ketika terjadi kasus semacam ini seorang hakim seringkali memutuskan cerainya pasangan suami istri bukan karena tuntutan istri karena suami yang tidak mampu mencukupi nafkah keluarga tetapi karena hubungan suami istri yang tidak lagi harmonis. Dengan demikian menurut penulis adalah bahwa Khulu’ merupakan pilihan yang dapat diambil oleh seorang istri dalam kondisi tertentu yang memaksa. Jika memang nafkah secara formil menjadi hak bagi istri dan menjadi kewajiban bagi suami untuk memenuhinya, maka sebagai konsekwensi hukumnya adalah, ketidakmampuan suami dalam memenuhi nafkah keluarga bisa dan sah untuk dijadikan alasan seorang istri untuk mengajukan khulu’ terhadap suaminya, namun bagi istri yang tetap ingin mempertahankan keutuhan keluarganya meski KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 59 suami tidak mampu menafkahinya, sehingga seorang istri harus melampaui kewajibannya yakni dengan ikut serta menafkahi keluarga, adalah sesuatu yang teramat sangat mulia dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, karena sebaliknya perkawinan tidak saja terkait dengan persoalan perdata semata, tetapi ada unsur memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan ‘ubbudiyah didalamnya yang juga layak untuk diperjuangkan.

C. Hukum Nafkah Dari Istri Untuk Keluarga