Waktu Wajib Nafkah KONSEP NAFKAH MENURUT HUKUM ISLAM

40 tidak menanggung biaya pengobatan bagi anaknya yang sakit, ayah semacam ini pasti akan mendapatkan celaan dari masyarakat. Seiring dengan pemahaman yang lebih maju mengenai relasi dalam rumah tangga, serta adanya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan terhadap anak maupun perempuan, serta berpedoman pada prinsip moralitas serta penafsiran atas berbagai teks al-Qur’an maupun hadits mengenai nafkah, KHI kemudian merumuskan dalam pasal 80 bahwa biaya pengobatan dan perawatan termasuk dalam kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami terhadap istrinya. 15 Demikianlah pembahasan seputar pedebatan mengenai kewajiban suami untuk menanggung pengobatan bagi istrinya yang sedang sakit.

D. Waktu Wajib Nafkah

Bagi pasangan suami istri yang dua-duanya telah dewasa, nafkah baru diwajibkan sejak suami menggauli istri demikian pendapat Imam Malik, 16 dalam kondisi semacam ini tidak ada perdebatan yang berarti dari imam madzhab yang lain, karena kondisi diatas dianggap sebagai kondisi yang normal bagi pasangan suami istri. Persoalan terjadi manakala salah satu pihak bermasalah misalnya salah satu pihak belum dewasa. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami 15 Ghozali, Fiqih Munakahat..., hal. 161. 16 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, Penerjemah Imam Ghazali Said, Ahmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal. 519. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 41 yang belum dewasa wajib memberi nafkah kepada istri telah dewasa, 17 jika istri yang belum dewasa maka syafi’i memiliki dua pendapat. Pertama, suami wajib menafkahi jika sudah menggaulinya, Kedua, istri berhak mendapatkan nafkah betapapun juga keadaannya. 18 Pendapat pertama madzhab syafi’i kiranya merujuk pada Nabi bahwa beliau menikahi ‘Aisyah dan tidak menafkahinya kecuali dua tahun kemudian setelah Nabi mencampurinya. 19 Namun Hanafi mengkategorikan istri yang belum dewasa menjadi tiga bagian, istri yang masih kecil tapi belum bisa melayani dan digauli, istri semacam ini tidak berhak atas nafkah. Istri yang masih kecil tetapi bisa digauli wajib diberi nafkah. Istri yang masih kecil tetapi dapat melayani suami tetapi tidak dapat digauli, istri semacam ini tidak berhak atas nafkah. Selanjutnya mengenai suami yang belum dewasa, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali berpendapat istri wajib diberi nafkah karena yang menjadi penghalang untuk bersenggama ada pada pihak suami dan bukan istri. Sedangkan Maliki dan Imamiyah berpendapat sebaliknya. 20 Perbedaan pendapat dikalangan ulama fikih disebabkan oleh perbedaan cara pandang mengenai apakah nafkah diperuntukkan sebagai ganti kenikmatan yang diperoleh suami, atau karena istri sudah diikat oleh suami. 17 Sabiq, Fikih Sunnah jilid 7,..., hal. 81. 18 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2..., hal. 519. 19 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 7..., hal. 81. 20 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab..., hal. 403. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 42 Dari pemaparan diatas penulis mengamati fenomena hukum yang menarik dari hukum Islam dimana para ahli hukum Islam pada waktu itu telah begitu teliti dalam menetapkan sebuah hukum guna mengakomodir segala kebutuhan hukum yang ada sehingga menurut penulis ini bisa menjadi preseden hukum yang baik bagi perkembangan hukum perikatan di Indonesia. Mengingat betapa rumitnya menentukan waktu wajibnya nafkah bagi pasangan yang salah satunya masih belum dewasa, penulis melihat ada kejelian dari para pembuat hukum di Indonesia guna mangakomodir kepentingan umat Islam, yakni dengan membuat kebijakan hukum seputar batasan umur bagi pasangan suami istri yang akan menikah, dalam KHI ditetapkan bahwa seseorang diperbolehkan menikah yakni pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sedangkan dalam KUH Perdata batasan minimum usia bagi laki-laki yang ingin menikah yaitu usia 18 tahun dan 15 tahun bagi perempuan, 21 hal ini sangat baik guna memberikan kemaslahatan bagi calon pasangan suami istri yang akan menikah, diharapkan bahwa batasan usia yang diberikan meniscayakan bahwa seorang suami sudah memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghidupi keluarganya, dan istri sudah mampu untuk mengurus rumah tangganya. Batasan usia perkawinan juga memberikan dampak positif agar perdebatan panjang dikalangan ahli hukum tentang persoalan ini dapat dituntaskan. 21 Batasan usia calon pasangan suami istri dalam KHI ditentukan dalam pasal 15, lihat H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, cet. Ke- III, hal. 117. Sedangkan dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 29, lihat R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, cet. Ke- XXIV, hal. 8. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M 43 Demikianlah pembahasan seputar konsep nafkah dalam perspektif hukum Islam atau fiqh. Banyak hal sebenarnya yang dibahas oleh hukum Islam mengenai persoalan nafkah, misalnya siapa saja yang berhak menerima nafkah, atau bagaimanakah peraturan mengenai nafkah bagi wanita yang beriddah atau bagaimana nafkah bagi istri yang nusyuz, namun titik tekan dalam skripsi ini yang membuat penulis memutuskan untuk tidak membahasnya secara keseluruhan. KEIKUTSERTAAN ISTRI MENCARI NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam SHI Oleh : Cecep Hadiyan NIM : 102043124910 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H 2009 M

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEIKUTSERTAAN ISTRI