Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Medan

(1)

SOSIALISASI ANAK USIA DINI YANG MENGIKUTI

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI NONFORMAL DI KOTA

MEDAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh SUWARNO

031301064

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Medan” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Desember 2007

Suwarno 031301064


(3)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER 2007

Suwarno: 031301064

Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Medan

xi + 103 hal ; 2007, Jumlah tabel 30, Jumlah Grafik 7 Bibliografi 29 (1969-2006)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia dini di kota Medan yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal, berjumlah 130 orang dengan sampel uji coba 47 orang.

Variabel dalam penelitian ini adalah sosialsiasi, yang diteliti dengan metode deskriptif. Subjek diperoleh dengan teknik sampel acak. Untuk mengetahui reliabilitas alat ukur digunakan teknik koefisien Alpha Cronbanch. Berdasarkan hasil data uji coba yang diolah dengan program SPSS version 12,0 for windows, maka diperoleh koefisien Alpha keseluruhan item 0,886 untuk skala sosialisasi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan mayoritas berada dalam kategori tinggi dan sedang. Hal ini berarti anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan mempunyai sosialisasi yang cukup baik dalam menjalani kehidupan sosialnya sehari-hari. Kemampuan sosialisasi yang tinggi berarti bahwa anak-anak tersebut mampu untuk berinteraksi dengan baik dimana mereka memulai interaksi dan memacahkan suasana serta dapat mempertahankan hubungan tersebut. Kemampuan sosialisasi sedang berarti bahwa anak-anak tersebut memiliki kemampuan sosialisasi yang biasa saja, mereka dapat berinteraksi dengan baik tetapi sangat tergantung pada lingkungan mereka berada, bila lingkungan yang hangat dan menerima, maka mereka dapat bersosialisasi dengan sangat baik juga tetapi jika lingkungan yang kurang hangat, maka mereka biasanya juga tidak menjadi anak yang memulai interaksi. Selain itu, diperoleh hasil bahwa dari gambaran skor sosialasasi pada tiga aspek sosialisasi, aspek penyesuaian sosial berada pada kategori tinggi, sedangkan untuk aspek penerimaan sosial dan keterampilan sosial berada pada kategori sedang.


(4)

berkat dan anugerah yang diberikan kepada peneliti. segala syukur peneliti panjatkan atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan”.

Peneliti juga ingin berterima kasih kepada:

1. Bapak Prof. dr.Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU beserta Pembantu Dekan I, II dan III.

2. Ibu Eka Ervika, M.Si, Psi selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus koordinator bagian perkembangan.

3. Ibu Arliza J.L. M.si selaku dosen pembimbing akademik.

4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi USU atas segala bimbingan dan pelajaran yang diberikan selama saya menempuh perkuliahan.

5. Seluruh staf administrasi Fakultas Psikologi USU khususnya Pak Aswan dan Pak Iskandar atas bantuannya dalam melengkapi administrasi dan staf lainnya yang tidak saya sebutkan satu persatu.

6. Orangtua saya yaitu ibu saya yang senantiasa mendukung dan terus berdoa untuk saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, yang tak terus mendukung saya di dalam segala hal dan untuk seluruh keluarga saya yaitu kedua kakak dan adik saya.


(5)

7. Kepada Lurah kelurahan Sekip, kelurahan Titi Kuning, kelurahan Sei Kambing B, dan Kelurahan Sunggal. Bantuan dan izin pengambilan data yang diberikan membuat saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

8. Guru-guru dan semua orang tua anak PAUD yang telah membantu saya dalam pengisian data penelitian.

9. Mahasiswa psikologi angkatan ’03, Semangat!!! Nina, Momo, Achie, Oni, Rima, dan banyak lagi yang tak tersebut satu persatu.

10. Team Bush’03, buat Gendut, Panu, Batax, Frans, Oma, Nani, Binjai, Duren, Mimi, Ulup, Cici, dan Surti. Kalian tuh yang paling heboh, jadi tetap kompak ya..

11. Tim labsos Berjaya BAR.. pengalaman yang tak terlupakan buat kita semua. Indra si Raja Lingga, Rio manusia bertiit, Sasa anak luar kota, Ayu yang selalu ditinggal, Jukri yang the best, serta figuran kami Batax.

12. Seluruh saudara-saudara di Pakam kota kebanggaan kita, atas segala doa dan dukungannya.

13. Terakhir buat special one, yang membantu dalam penyelesaian skripsi dan yang terus mendukung tanpa henti. Perananmu tak tergantikan…

Penyelesaian skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu peneliti mohon maaf atas semuanya dan kiranya penelitian ini dapat bermanfaat buat kita semua.

Medan, Desember 2007


(6)

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GRAFIK ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Sistematika Penelitian ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Sosialisasi ... 14

A.1. Pengertian Sosialisasi ... 14

A.2. Agen Sosialisasi ... 16

A.2.a. Keluarga ... 16

A.2.b. Teman Sebaya ... 19

A.2.c. Sekolah ... 22

A.2.d. Media ... 23

A.3. Aspek Sosialisasi ... 24


(7)

A.3.c. Keterampilan Sosial ... 28

B. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ... 29

B.1. Pengertian PAUD ... 29

B.2. Tujuan dan Fungsi PAUD ... 31

B.3. Prinsip-Prinsip PAUD ... 31

B.4. Kurikulum PAUD ... 33

C. Anak Usia Dini ... 35

C.1. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini ... 37

C.2. Pola Perilaku Anak Usia Dini ... 39

BAB III METODOLOGI PENELTIAN... 44

A. Variabel Penelitian ... 44

B. Defenisi Operasional ... 44

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 45

C.1. Populasi dan Sampel ... 45

C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 46

C.3. Jumlah Sampel Penelitian ... 46

D. Instrumen/Alat Ukur yang Digunakan... 46

E. Seleksi Aitem ... 47

F. Reliabilitas Pengukuran ... 47

G. Validitas Pengukuran ... 48

H. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 50


(8)

BAB IV ANALISA DATA... 55

A. Gambaran Subjek Penelitian... 55

A.1. Jenis Kelamin ... 55

A.2. Usia ... 56

A.3. Urutan Kelahiran ... 57

A.4. Jumlah Saudara ... 57

A.5. Lokasi PAUD ... 58

A.6. Lama Mengikuti Program ... 59

A.7. Status Ibu ... 59

B. Hasil Utama Penelitian ... 61

B.1. Gambaran Umum Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan ... 61

B.2. Gambaran Skor Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan ... 63

B.2.a. Gambaran Skor Sosialisasi Aspek Penerimaan Sosial .... 63

B.2.b. Gambaran Skor Sosialisasi Aspek Penyesuaian Sosial ... 64

B.2.c. Gambaran Skor Sosialisasi Aspek Keterampilan Sosial . 65 C. Hasil Tambahan Penelitian ... 67


(9)

Kelamin ... 67

C.2. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Usia ... 68

C.3. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 69

C.4. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Jumlah Saudara ... 70

C.5. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Lokasi PAUD ... 72

C.6. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Lama Mengikuti Program ... 73

C.7. Gambaran Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan Berdasarkan Status Ibu ... 75

D. Hasil Wawancara dan Observasi ... 77

D.1. Kelurahan Sekip ... 77

D.2. Kelurahan Titi Kuning ... 79

D.3. Kelurahan Sei Kambing B ... 81

D.4. Kelurahan Sunggal ... 83


(10)

C.1. Saran Metodologis ... 98

C.2. Saran untuk Penggerak PAUD ... 99

C.3. Saran untuk Orangtua ... 99


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Alat Ukur dan Distribusi Aitem ... 47

Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Sosialisasi Lulus Uji Coba ... 50

Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Sosialisasi Setelah Uji Coba ... 50

Tabel 4 Penyebaran Subjek Penelitian ... 60

Tabel 5 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi (Rata-rata Empirik) ... 61

Tabel 6 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi (Rata-rata Hipotetik) ... 61

Tabel 7 Kategorisasi Norma Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan ... 62

Tabel 8 Kategorisasi Skor Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan ... 62

Tabel 9 Gambaran Umum Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti PAUD Nonformal di Kota Medan ... 63

Tabel 10 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi Aspek Penerimaan Sosial (Rata-rata Empirik) ... 63

Tabel 11 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi Aspek Penerimaan Sosial (Rata-rata Hipotetik) ... 63

Tabel 12 Kategorisasi Skor Aspek Penerimaan Sosial ... 64

Tabel 13 Gambaran Umum Aspek Penerimaan Sosial... 64 Tabel 14 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi


(12)

Tabel 16 Kategorisasi Skor Aspek Penyesuaian Sosial ... 65 Tabel 17 Gambaran Umum Aspek Penyesuaian Sosial ... 65 Tabel 18 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi

Aspek Keterampilan Sosial (Rata-rata Empirik) ... 66 Tabel 19 Gambaran mean, nilai minimum dan maksimum Sosialisasi

Aspek Keterampilan Sosial (Rata-rata Hipotetik) ... 66 Tabel 20 Kategorisasi Skor Aspek Keterampilan Sosial ... 66 Tabel 21 Gambaran Umum Aspek Keterampilan Sosial ... 66 Tabel 22 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67 Tabel 23 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Usia ... 68 Tabel 24 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 70 Tabel 25 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Jumlah Saudara ... 71 Tabel 26 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Lokasi PAUD ... 72 Tabel 27 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang


(13)

Program ... 74 Tabel 28 Gambaran Skor Skala Sosialisasi Anak Usia Dini yang

Mengikuti PAUD Nonformal Berdasarkan Status Ibu ... 75 Tabel 29 Hasil Analisis Data Sosialisasi dan Aspek Sosialisasi dengan

Data Kontrol ... 76 Tabel 30 Hasil Analisis Data Aspek Sosialisasi Anak Usia Dini yang


(14)

Grafik 2 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 56

Grafik 3 Penyebaran Subjek Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 57

Grafik 4 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jumlah Saudara ... 58

Grafik 5 Penyebaran Subjek Berdasarkan Lokasi PAUD ... 58

Grafik 6 Penyebaran Subjek Berdasarkan Lama Mengikuti Program ... 59


(15)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER 2007

Suwarno: 031301064

Sosialisasi Anak Usia Dini yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Medan

xi + 103 hal ; 2007, Jumlah tabel 30, Jumlah Grafik 7 Bibliografi 29 (1969-2006)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia dini di kota Medan yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal, berjumlah 130 orang dengan sampel uji coba 47 orang.

Variabel dalam penelitian ini adalah sosialsiasi, yang diteliti dengan metode deskriptif. Subjek diperoleh dengan teknik sampel acak. Untuk mengetahui reliabilitas alat ukur digunakan teknik koefisien Alpha Cronbanch. Berdasarkan hasil data uji coba yang diolah dengan program SPSS version 12,0 for windows, maka diperoleh koefisien Alpha keseluruhan item 0,886 untuk skala sosialisasi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan mayoritas berada dalam kategori tinggi dan sedang. Hal ini berarti anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di kota Medan mempunyai sosialisasi yang cukup baik dalam menjalani kehidupan sosialnya sehari-hari. Kemampuan sosialisasi yang tinggi berarti bahwa anak-anak tersebut mampu untuk berinteraksi dengan baik dimana mereka memulai interaksi dan memacahkan suasana serta dapat mempertahankan hubungan tersebut. Kemampuan sosialisasi sedang berarti bahwa anak-anak tersebut memiliki kemampuan sosialisasi yang biasa saja, mereka dapat berinteraksi dengan baik tetapi sangat tergantung pada lingkungan mereka berada, bila lingkungan yang hangat dan menerima, maka mereka dapat bersosialisasi dengan sangat baik juga tetapi jika lingkungan yang kurang hangat, maka mereka biasanya juga tidak menjadi anak yang memulai interaksi. Selain itu, diperoleh hasil bahwa dari gambaran skor sosialasasi pada tiga aspek sosialisasi, aspek penyesuaian sosial berada pada kategori tinggi, sedangkan untuk aspek penerimaan sosial dan keterampilan sosial berada pada kategori sedang.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak usia dini merupakan populasi yang cukup besar (12,85% dari keseluruhan populasi, Sensus Penduduk 2000). Gutama (dalam Dharmawan, 2006) mengatakan bahwa anak usia dini merupakan masa emas karena perkembangan otak yang sangat cepat pada masa ini. Perkembangan yang sangat cepat ini juga harus disertai dengan pemenuhan tugas-tugas perkembangannya sehingga anak dapat tumbuh dengan baik.

Tugas perkembangan anak usia dini yang paling utama adalah menyesuaikan diri dengan perkembangan fisiknya yang pesat dan berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung dan orang lain. Anak berusaha untuk mengendalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara sosial (Hurlock, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan sosialisasi pada masa anak-anak sangat penting dan perlu diperhatikan dalam pendidikan anak.

Perkembangan sosialiasasi yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Bagaimana anak tersebut mengerti mengenai keadaan lingkungan dan mempengaruhinya dalam berperilaku baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain (Hurlock, 1998).


(17)

2

dimana anak menghabiskan waktu sehari-hari sangat menentukan perkembangan sosialisasi anak tersebut (Berns, 2004).

Keluarga merupakan tempat dimana anak-anak mendapatkan nilai-nilai dalam masa awal perkembangannya. Anggota keluarga terutama orangtua merupakan model bagi anak-anak dalam berperilaku karena pada masa kanak-kanak awal, seorang anak sangat suka meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Keluarga bukan saja terdiri dari orang-orangtua tetapi juga saudara kandung dan keluarga besar seperti kakek dan nenek. Interaksi antara saudara juga dapat membentuk kemampuan sosialisasi anak karena anak dibiasakan untuk dapat berinteraksi dengan orang lain yang sebaya. Kakek dan nenek juga merupakan orang yang selalu memberikan nasehat dan bimbingan serta perhatian sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan baik.

Faktor lain selain keluarga yang berpengaruh pada perkembangan sosialisasi anak adalah pengaruh dari teman sebaya dan sekolah tempat anak-anak tersebut belajar (Landreth, 1969). Teman sebaya menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1998) adalah kumpulan orang-orang yang kurang lebih berusia sama dan bertindak bersama-sama. Anak-anak mulai membentuk hubungan dengan teman sebaya pada masa kanak-kanak akhir dan berusaha agar diterima oleh teman sebaya mereka karena interaksi hubungan pada teman sebaya selalu berupa bermain dan bersenang-senang.

Teman sebaya menjadi orang-orang yang penting dalam sosialisasi anak-anak karena interaksi antar teman sebaya membuat anak-anak mengerti mengenai hubungan sosial yang lebih besar daripada hanya sekedar keluarga. Pendapat dari


(18)

teman sebaya biasanya menjadi hal yang sangat diperhatikan dan didengarkan oleh anak-anak seusianya apalagi seoarang anak yang merupakan “star” atau pemimpin kelompok tersebut. Anak-anak berusaha untuk bertindak sesuai dengan yang diharapkan kelompoknya agar dapat diterima oleh kelompok tersebut sehingga perilaku anak biasanya sesuai dengan nilai kelompoknya.

Faktor sekolah tempat anak-anak belajar juga menjadi hal yang berpengaruh pada perkembangan sosialisasi anak selain teman sebaya karena salah satu fungsi sekolah untuk anak usia dini adalah mengembangkan kemampuan sosialisasi anak-anak agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Suyanto, 2005).

Sekolah memiliki kelebihan-kelebihan yang dapat mendukung dalam perkembangan sosialisasi anak karena fasilitas-fasilitas yang dimiliki serta guru-guru yang berpengalaman. Anak-anak dididik dan dilengkapi dengan berbagai permainan yang dapat mengembangkan kemampuan sosialisasi dan teman-teman sekelas yang merupakan lingkungan sosial.

Guru juga merupakan figur yang berperan penting dalam perkembangan anak. Guru memiliki beberapa peran, yaitu sebagai instruktur, model, evaluator, dan penegak disiplin. Guru berperan sebagai instruktur untuk memberikan arahan dan bimbingan mengenai cara anak dalam bertingkah laku, guru juga menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya, dan guru juga harus dapat mendidik dan mengajarkan tentang disiplin kepada anak didiknya. Bagaimana guru memainkan peranannya dengan baik menentukan bagaimana anak dalam mengembangkan


(19)

4

sosialisasi anak, bagaimana guru berperan sebagai model untuk ditiru oleh anak-anak menentukan bagaimana kemampuan anak-anak tersebut bersosialisasi, karena anak-anak sangat suka untuk meniru orang-orang yang berinteraksi dengannya.

Fungsi sekolah sebagai tempat untuk membentuk kemampuan sosialisasi anak menjadikannya sebagai salah satu faktor yang sangat dipertimbangkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Fungsi sekolah yang sangat penting pada masa anak-anak itu membuat pemerintah Indonesia mengembangkan program pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai program pendidikan untuk anak-anak dengan fungsi untuk mengembangkan anak-anak agar dapat tumbuh secara optimal.

Tujuan PAUD adalah untuk mengembangkan seluruh potensi anak agar dapat berfungsi sebagai manusia utuh (Suyanto, 2005). Anak-anak umumnya belum mengetahui tata krama, sopan santun, aturan, etika, dan berbagai hal tentang dunia. Anak juga sedang belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami orang lain sehingga anak perlu dibimbing untuk memahami berbagai hal tentang dunia dan dapat berinteraksi dengan orang lain agar dapat hidup di masyarakat.

Salah satu hakekat pendidikan anak usia dini menurut Suyanto (2005), adalah juga untuk mengembangkan kemampuan sosial anak, yaitu kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya. Kemampuan sosial ini diperoleh melalui proses sosialisasi, artinya pengalaman hubungan dengan orang lain dapat menjadi dasar bagi anak untuk dapat mengembangkan kemampuan sosialnya. (Hurlock, 1998).


(20)

Pendidikan anak usia dini (PAUD) memegang posisi yang sangat fundamental dalam kaitannya dengan penyiapan SDM atau generasi unggul. Fundamental berarti bahwa pengalaman pendidikan dini dapat memberikan pengaruh yang “membekas” sehingga melandasi proses pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya. Pandangan ini didasarkan baik pada alasan keagamaan, pandangan para ahli maupun temuan-temuan ilmiah (Abdulhak, 2003).

Secara kelembagaan, pendidikan anak usia dini diselenggarakan melalui tiga jalur, yakni jalur pendidikan formal (seperti Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal), jalur pendidikan nonformal (seperti Kelompok Bermain dan Tempat Penitipan/Pengasuhan anak), jalur pendidikan informal (dalam keluarga dan masyarakat).

Salah satu jalur pendidikan anak usia dini adalah jalur formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan melalui instansi yang khusus untuk mengadakan pendidikan kepada anak-anak, salah satunya adalah Taman Kanak-kanak (TK). Agen-agen sosialisasi yang berperan penting dalam pendidikan jalur formal ini adalah sekolah, teman sebaya, dan guru yang mengajar. Sekolah merupakan tempat anak meluangkan waktu setiap hari secara rutin sehingga sebagian besar waktu anak dihabiskan di sini. Teman sebaya merupakan anak-anak lain yang berada di lingkungan sekolah yang juga berinteraksi dengan anak selama berada di sekolah. Terakhir adalah guru yang mengajar di sekolah, karena pembelajaran nilai-nilai yang diperlukan anak-anak didapatkan dari guru yang mengajar.


(21)

6

Jalur pendidikan anak usia dini lainnya adalah jalur informal, yaitu pendidikan yang diselenggarakan di keluarga ataupun masyarakat. Jalur pendidikan ini melibatkan orang tua anak sendiri sebagai pengajar bagi anak. Pendidikan anak usia dini jalur informal ini menekankan pada keluarga sebagai agen sosialisasi terutama pada anak. Anak dididik secara khusus di rumah tanpa dimasukkan ke dalam sekolah formal sehingga anak tidak mendapatkan stimulus dan interaksi di sekolah baik dengan teman sebaya maupun guru yang mengajar karena anak dididik oleh orangtuanya sendiri.

Jalur pendidikan anak usia dini yang terakhir adalah jalur nonformal, yaitu jalur pendidikan yang dilaksanakan diluar jalur pendidikan formal di sekolah untuk mendukung jalur formal. Perbedaan jalur nonformal dengan formal ini adalah bahwa pada jalur formal menekankan pada kurikulum sedangkan pada jalur nonformal tidak memiliki kurikulum yang terperinci, selain itu guru yang mengajar pada jalur formal idealnya harus mengecap pendidikan guru TK terlebih dahulu sedangkan pada jalur nonformal tidak mementingkan itu. Jalur nonformal ini tidak dilaksanakan melalui izin Departemen Pendidikan sehingga hasil lulusannya tidak mendapatkan ijazah seperti pada jalur formal, tetapi walaupun demikian tetap dilaksanakan agar dapat mendukung pertumbuhan anak yang optimal.

Agen sosialisasi yang berperan dalam program pendidikan ini adalah orangtua, teman sebaya dan guru yang mengajar. Orangtua merupakan agen utama karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan bersama dengan orangtua mereka (Papalia, 2003). Anak sangat mudah meniru pada masa


(22)

kanak-kanak awal sehingga apa yang biasa dilakukan oleh orangtua mereka ditiru dan dijadikan sebagai model dalam berperilaku.

Teman sebaya dan guru yang mengajar juga menjadi agen yang berpengaruh. Sepanjang anak menjalani proses belajar, anak berinteraksi dengan teman sebaya mereka di sekolah. Pendapat dari teman sebaya biasanya sangat diperhatikan dan dilakukan oleh anak-anak agar anak tersebut dapat diterima oleh teman sebaya mereka itu. Sama halnya juga guru yang mengajar mereka, karena anak-anak lebih memperhatikan apa yang dikatakan guru mereka daripada orangtua mereka. Guru dihadapan anak-anak merupakan sosok yang harus diteladani karena memang itulah konsep yang diterima oleh anak-anak (Papalia, 2003).

Salah satu jalur pendidikan anak usia dini yang mulai digerakkan pada saat ini di Medan adalah jalur nonformal yang dilaksanakan melalui ibu-ibu PKK. Model pendidikan ini lebih kepada jalur nonformal karena tidak dilaksanakan melalui suatu institusi khusus yang formal walaupun pada dasarnya memiliki suatu kurikulum yang menjadi acuan.

Tujuan dilaksanakannya pendidikan anak usia dini jalur nonformal ini adalah untuk memberikan stimulus awal kepada anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Sekolah bukan hanya mendidik anak agar dapat memiliki kemampuan akademis tetapi juga agar agar mendapatkan lingkungan sosial yang membantu dalam perkembangan sosial anak. Pendidikan anak usia dini yang dilaksanakan oleh ibu-ibu PKK ini juga bertujuan agar anak dapat


(23)

8

bersama dengan teman sebaya mereka dalam lingkup yang lebih besar selain hanya tetangga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Berns (2004) bahwa lingkungan sosial pada anak-anak yang mengikuti sekolah lebih besar lingkupnya karena anak-anak dihadapkan pada komunitas yang memang mayoritas anak-anak.

Pelaksanaan pendidikan anak usia dini yang dilaksanakan melalui ibu-ibu PKK ini memiliki jadwal yang berbeda-beda pada setiap kelurahan, tergantung kepada koordinator lapangan masing-masing. Salah satu kegiatan pendidikan anak usia dini yang dijadikan contoh adalah PAUD “Anggrek” di daerah Medan Area. Pelaksanaan PAUD di daerah ini dilaksanakan setiap hari selasa sampai dengan jumat pada pukul 09.00 sampai dengan 10.30.

Materi yang diberikan pada program pendidikan anak usia dini yang dilaksanakan ini menekankan kepada bermain pada anak. Program dimulai dengan nyanyian di awal kemudian anak-anak memasuki kelas dan melakukan kegiatan seperti mewarnai, belajar huruf, berhitung dan belajar mengaji. Setiap anak yang telah selesai melakukan tugasnya diizinkan untuk bermain-main sehingga memiliki kesempatan yang besar untuk bersosialisasi sesama teman sebaya mereka.

Program pendidikan yang dijalankan oleh ibu PKK ini dilaksanakan dengan mengoptimalkan agen-agen sosialisasi yang berperan dalam perkembangan sosialisasi anak yaitu, orangtua, teman sebaya dan sekolah atau tempat belajar si anak. Pengoptimalan ini karena perkembangan anak bukan merupakan pengaruh dari faktor-faktor yang ada secara terpisah melainkan saling


(24)

mempengaruhi antar setiap faktor yang ada yaitu keluarga, teman sebaya dan sekolah. Para orangtua kadang-kadang diberikan penyuluhan mengenai pendidikan anak usia dini agar dapat juga membimbing anak-anak mereka dirumah walaupun tidak dilaksanakan secara rutin. Sebagian besar orangtua juga menemani anak-anak mereka ketika sedang belajar dengan menunggu anak mereka di luar sehingga orangtua dapat mengetahui apa yang dipelajari dan dapat mudah menyesuaikan cara mengajar ketika mereka berada di rumah.

Pengoptimalan para agen sosialisasi ini diharapkan dapat mendukung perkembangan anak secara optimal bukan saja pada sisi akademis tetapi juga perkembangan bidang lainnya terutama perkembangan sosial anak-anak.

Berdasarkan hasil wawancara kepada orang tua yaitu ibu yang menunggu anak-anaknya selama mereka mengikuti program, anak-anak mereka mengalami kemajuan yang baik setelah mengikuti PAUD. Mereka mengatakan bahwa anak-anak mereka mengalami kemajuan terutama dalam hal membaca, menulis, bernyanyi dan membaca ayat. Sosialisasi mereka juga berkembang karena anak-anak mereka sekarang memiliki lebih banyak teman bermain disekitar rumah mereka karena biasannya tempat tinggal mereka tidak berjauhan.

Beberapa penggalan hasil wawancara yang dilakukan adalah sebagai berikut:

“ kalau dari kemajuan ya banyaklah.. dulunya gak bisa membaca sekarang dah mulai bisa, menulis juga dah mulai bisa. Mereka suka mengulang-ulang yang mereka pelajari disini biasanya. Terus nyanyi-nyanyi bahkan sekarang mereka bisa membaca ayat-ayat pendek karena disinikan juga diajari baca doa.” (Ibu Nani)


(25)

10

Mengenai sosialisasi,

“kalau dari pergaulan sih.. makin bagus juga, dulu paling masih sama-sama teman sebelah rumah atau dua tiga rumah, sekarang dah mulai punya teman yang lebih banyak, nih mamak ibu ini yang tinggalnya diujung sering main-main sama. Terus kalo lagi belajar, mereka juga suka mengajari teman atau adiknya yang ngak bisa, diajari cara baca, cara nulis, yang seperti itulah. Udah syukur itu, padahal dulu gak bisa.” (Ibu Nani)

Proses perkembangan sosialisasi seorang anak juga tidak lepas dari hambatan-hambatan yang dapat menyebabkan kemampuan seorang anak itu tidak dapat berkembang secara optimal. Hambatan-hambatan tersebut dapat saja datang dari dalam diri seorang anak maupun dari luar diri si anak.

Hambatan dari dalam diri anak tersebut berupa usia, urutan kelahiran dan kepribadian si anak. Anakanak pada umur 1-2 tahun biasanya bermain sendiri dan masih suka bermain sesukanya dan mulai bermain secara kelompok ketika memasuki usia 3 tahun. Anak berumur 3-4 tahun baru saja mulai meninggalkan sifat egosentris yang artinya mulai bermain secara kelompok daripada bermain sendiri. Anak-anak mulai bersosialisasi pada masa ini sehingga lebih sulit untuk berinteraksi selain perkembangan otak mereka yang masih terbatas. Kepribadian anak juga sangat menentukan apakah seorang anak dapat mudah berinteraksi dan diterima oleh kelompok teman sebaya mereka atau tidak (Landreth, 1969).

Hambatan dari luar dapat muncul dari agen sosialisasi itu sendiri apabila agen sosialisasi yang disebutkan di atas tidak dapat memberikan stimulus yang positif. Agen-agen yang seharusnya membantu anak dalam mengembangkan kemampuan sosialisasinya dapat berbalik menjadi hambatan. Pengasuhan yang diterima seorang anak dari orangtuanya dapat menentukan karena anak yang


(26)

biasanya menerima pengasuhan yang hangat akan dapat menjalin hubungan yang hangat juga dengan teman sebayanya (Wang, 2002).

Teman sebaya pada anak-anak juga dapat menjadi hambatan bagi perkembangan sosialisasinya. Anak-anak pada usia 3-6 tahun biasanya berkelompok dengan teman sebaya mereka yang memiliki nilai yang sama. Apabila ada anak yang tidak diterima sebagai anggota kelompok menyebabkan anak tersebut terisolasi dan menyendiri sehingga menjadi anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program pendidikan anak usia dini yang dilaksanakan di Medan diusahakan untuk mengurangi hambatan yang ada agar dapat memaksimalkan perkembangan anak. Program pendidikan yang dilakukan juga diusahakan untuk memaksimalkan setiap agen sosialisasi yang berperan dalam perkembangan anak sehingga setelah mengikuti program ini diharapkan anak-anak dapat bersosialisasi dengan baik.

Berdasarkan tujuan dari program pendidikan anak usia dini yang telah dijalankan dan pelaksanaan di lapangan khususnya di Medan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti ingin melihat gambaran sosialisasi pada anak usia dini yang mengikuti program pendidikan anak usia dini jalur nonformal di kota Medan.


(27)

12

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran sosialisasi pada anak usia dini yang mengikuti kegiatan pendidikan anak usia dini di Medan?

2. Bagaimana gambaran mean skor sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini ditinjau Lokasi PAUD, usia, jenis kelamin, lamanya mengikuti kegiatan, jumlah saudara, dan status pekerjaan ibu?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini di Medan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan perkembangan. tentang “Sosialisasi anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini nonformal di Medan.”

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi orang tua yang memiliki anak usia dini mengenai pentingnya pendidikan anak usia dini bagi perkembangan sosialisasi anak, selain itu penelitian ini juga dapat merupakan


(28)

gambaran yang dapat digunakan sebagai evaluasi bagi pelaksanaan program pendidikan anak usia dini yang sedang dilaksanakan di kota Medan.

E. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas:

Latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Merupakan landasan teori yang terdiri atas:

Sosialisasi, pendidikan anak usia dini (PAUD), anak usia dini. BAB III Merupakan metodologi penelitian, yang terdiri atas:

Identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, populasi, sampel dan teknik sampling, serta metode pengumpulan data. BAB IV Merupakan analisa data, yang terdiri atas:

Gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian utama, dan hasil penelitian tambahan.

BAB V Merupakan kesimpulan, diskusi, dan saran.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sosialisasi

A.1. Pengertian Sosialisasi

Brim (dalam Brice, 1994) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan, kemampuan dan dasar yang membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi anggota dari suatu kelompok. Pengertian ini memandang sosialisasi sebagai suatu proses belajar dimana individu belajar dan mendapatkan nilai dari kelompok-kelompok yang dimasukinya.

Pengertian tersebut juga sejalan dengan pengertian dari Zigler dan Child (dalam Brice, 1994) yang menyatakan bahwa sosialisasi adalah keseluruhan proses dimana individu mengembangkan, melalui proses transaksi dengan orang lain, bentuk-bentuk khusus dari perilaku dan pengalaman yang berhubungan dengan sosialnya. Pengertian ini menekankan pada hubungan dengan orang lain dalam pembentukan sosialisasi bukan hanya pada proses perkembangan saja. Sosialisasi merupakan suatu proses dari perkembangan individu yaitu disposisi perilaku dan hubungan dengan orang lain, bukan hanya keluarga tetapi juga semua orang yang bertransaksi dengan orang tersebut.

Menurut Hurlock (1998), sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang memperoleh kemampuan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan


(30)

sosial. Kemampuan sosial ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak.

Sosialisasi adalah suatu proses pembentukan standar individu tentang keterampilan, dorongan sikap dan perilaku agar dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat (Hetherington dan Parke, 1999). Pembentukan standar individu tersebut didapatkan dari orangtua sejak dari lahir sampai dewasa. Sosialisasi merupakan suatu proses sepanjang hidup sejak dari lahir sampai akhir hidup.

Papalia (2003) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif untuk dapat menjadi anggota masyarakat. Proses tersebut bermula dari keluarga sebagai tempat anak melakukan kontak pertama dan berkembang terus selama kehidupan anak. Pengertian ini juga mencakup mengenai proses transaksi dengan orang lain dalam lingkungan sekolah, maupun dengan teman sebayanya. Sosialisasi bergantung pada proses internalisasi standar-standar sosial yang berlaku dalam kelompok. Anak-anak menerima standar sosial tersebut atau tidak tergantung pada rasa aman yang dirasakan oleh anak tersebut di dalam kelompoknya (Papalia, 2003).

Ambron (dalam Yusuf, 2005) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan


(31)

16

lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya. Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berada.

A.2. Agen Sosialisasi

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua yang kasar, maka anak cenderung menampilkan perilaku maladjustment (Yusuf, 2005).

Elkin (dalam Brice, 1994), megemukakan bahwa agen sosialisasi adalah kelompok-kelompok dimana suatu individu mendapatkan proses belajar sosialisasi. Agen-agen sosialisasi tersebut adalah: (1) Keluarga, (2) Teman sebaya, (3) Sekolah, dan (4) Media. Setiap agen sosialisasi memiliki bentuk dan nilai yang berbeda bagi proses sosialisasi anak.

A.2.a. Keluarga

Keluarga merupakan agen sosialisasi anak yang paling awal, dimana keluarga merupakan tempat pertama anak melakukan hubungan sosial. Anak akan membawa ingatan mengenai hubungan keluarganya dalam melakukan kontak sosial dengan sahabat, guru, tetangga dan lainnya (Hetherington dan Parke, 1999).


(32)

Wahini (2002) mengemukakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama terjadinya sosialisasi pada anak. Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak.

Anggota keluarga yang pertama yang paling berpengaruh dalam proses sosialisasi adalah orangtua. Bentuk pengasuhan, sikap orangtua terhadap anak semuanya dapat mempengaruhi proses sosialisasi anak kedepannya (Hethrington & Parke, 1999).

Kehangatan dari orang tua dalam mengasuh anak sangat penting dalam proses sosialisasi. Orangtua yang hangat dan penuh kasih, akan membuat anak merasa aman dan berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut. Anak juga akan merasa nyaman dan mengurangi nilai stres dari anak sehingga anak mampu bersosialisasi dengan baik (Baumrind dalam Hetherington & Parke, 1999).

Tujuan dari sosialisasi adalah membuat anak mampu untuk mengatur dan memilih perilaku yang tepat dalam berhubungan sosial. Peran kontrol keluarga juga sangat berperan dalam menjaga hubungan sosial anak. Apabila orang tua konsisten dalam menerapkan disiplin keluarga maka anak juga akan menerima dan menginternalisasi aturan keluarga dengan baik (Crockenberg & Litman dalam Hetherington & Parke, 1999).


(33)

18

Menurut Kopp (dalam Hetherington & Parke, 1999), tantangan dalam mendidik sosialisasi anak adalah bukan suatu uji coba, orangtua perlu untuk membimbing anaknya agar dapat menyesuaikan diri dengan keluarga dan lingkungan. Kemampuan anak dalam sosialisasi tidak hanya berpengaruh dalam hubungan keluarga dengan interaksi sosial lainnya tetapi merupakan suatu kemampuan sosial sepanjang hidup dan berperan dalam perkembangan emosional dan perkembangan lainnya.

Hubungan dengan para anggota keluarga tidak hanya semata-mata dengan orang tua saja, tetapi juga dengan saudara. Tidak hanya satu anggota keluarga yang mempengaruhi sosialisasi pada anak. Cicirelli (dalam Santrock, 1997) mengemukakan bahwa ada bukti yang menyatakan bahwa hubungan saudara mungkin lebih kuat pengaruhnya pada sosialisasi anak daripada hubungan anak dengan orang tua.

Menurut Katz (dalam Hetherington & Parke, 1999), hubungan saudara mungkin merupakan konteks utama bagi anak dalam mempelajari bagaimana bersaing dengan orang lain, bagaimana bertoleransi dengan orang lain. Persaingan dalam hubungan tidak akan menghilangkan hubungan sehingga merupakan awal dalam belajar berhubungan dengan orang lain.

Keluarga besar juga menjadi salah satu pengaruh besar dalam sosialisasi anak. Keluarga besar yang terdiri dari kakek, nenek dan keluarga inti, interaksi yang terjadi dalam keluarga semakin tinggi. Santrock (1997) menyatakan bahwa keluarga besar dapat mengurangi kadar stres yang terjadi pada anak-anak.


(34)

Interaksi dalam keluarga besar khususnya kakek dan nenek kepada anak-anak menyebabkan rasa aman bagi anak dan mengurangi kadar stres bagi anak.

Keluarga besar juga memberikan dorongan emosional bagi anak-anak sehingga dapat memaksimalkan perkembangan emosional anak. Kehadiran nenek juga memberikan dorongan emosional kepada orangtua melalui nasehat dan bimbingan (Santrock, 1997).

Berdasarkan uraian di atas, keluarga merupakan agen sosialisasi yang paling awal dalam perkembangan anak-anak, dimana pihak yang berpengaruh adalah orangtua, saudara kandung, dan juga keluarga besar lainnya.

A.2.b. Teman Sebaya

Teman sebaya memainkan peranan yang khusus dalam perkembangan anak. Hubungan anak dengan orangtuanya lebih sering, walaupun demikian interaksi diantara teman sebaya lebih bebas dan egaliter. Hubungan dengan teman sebaya menawarkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi hubungan interpersonal yang baru. Hubungan itu menjadi dasar bagi anak dalam perkembangan kemampuan sosialnya (Hetehrington & Parke, 1999).

Teman sebaya adalah anak-anak yang memiliki usia yang setara dan tahap kematangan yang sama (Santrock, 1997). Salah satu fungsi yang utama dari teman sebaya adalah menyediakan informasi dan perbandingan mengenai dunia di luar lingkungan keluarga bagi anak. Anak-anak menerima masukan mengenai kemampuan mereka dari teman sebayanya. Anak-anak mengevaluasi apa yang


(35)

20

Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1998), teman sebaya adalah kumpulan orang-orang yang kurang lebih berusia sama yang berpikir dan bertindak bersama-sama. Kelompok teman sebaya ini disebut Havighurts sebagai geng. Anak-anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi perilakunya.

Hubungan teman sebaya yang baik sangat penting bagi perkembangan sosial anak-anak. Isolasi sosial, sangat berperan kuat dalam berbagai masalah-masalah sosialisasi anak (Santrock, 1997). Suatu studi yang dilakukan oleh Roff, Sells, & Golden (dalam Santrock, 1997) menyatakan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik berhubungan dengan kecenderungan untuk keluar dari sekolah, perilaku delinkuen ketika masa dewasa.

Seiring dengan perkembangan anak dan hubungannya dengan teman sebaya, pertukaran negatif dan konflik juga semakin meningkat (Hay & Ross dalam Hetherington & Parke, 1999). Menjadi sociable dan mendapatkan konflik selalu berjalan beriringan. Anak-anak yang sering mengalami konflik dengan teman sebaya biasanya lebih mudah berinteraksi dengan orang lain (Brown & Brownell dalam Hetherington & Parke, 1999).

Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa teman sebaya merupakan sumber informasi bagi anak-anak dalam berhubungan dengan orang lain. Teman sebaya dalam perannya sebagai sumber informasi dapat menjadi reinforcer, model dan juga pembanding yang menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk bersosialisasi dan belajar.


(36)

Adapun fungsi teman sebaya dalam sosialisasi anak menurut Hetherington & Parke (1999) adalah:

1. Teman Sebaya sebagai Reinforcer

Anak-anak cenderung untuk berbagi dengan teman sebaya daripada dengan orang tuanya (Chalesworth & Hartup dalam Hetherington & Parke, 1999). Banyak orangtua yang menemukan bahwa anak-anak lebih mendengarkan nasehat teman sebaya daripada nasehat orang tuanya.

Tidak diragukan lagi bahwa dorongan teman sebaya dalam bentuk penerimaan dan perhatian mempengaruhi sosialisasi anak. Berbagai studi membuktikan bahwa peranan teman sebaya dalam membentuk tingkah laku anak-anak apakah ke arah positif ataupun negatif sangat besar (Hetherington & Parke, 1999).

2. Teman Sebaya sebagai Model

Teman sebaya juga mempengaruhi anak-anak dengan berperan sebagai model. Anak-anak mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai berbagai jenis respon melalui pengamatannya terhadap perilaku anak-anak lainnya (Papalia, 2003). Anak-anak juga belajar kemampuan sosial melalui imitasi, modeling terhadap anggota kelompok yang lebih dominan (Hetherington & Parke, 1999).

3. Teman Sebaya sebagai Pemandu dan Instruktur

Teman sebaya menyediakan kesempatan untuk bersosialisasi dan mengembangkan hubungan dan rasa memiliki (Zarbatany et al. dalam Hetehrington & Parke, 1999). Teman sebaya berperan dalam memberikan


(37)

22

dimana teman sebaya saling memberi informasi dan masukan serta panduan bagi teman sebaya lainnya.

A.2.c. Sekolah

Tujuan utama dari sekolah adalah untuk mengembangkan dan mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Sekolah membantu anak mendapatkan orientasi abstrak simbolis mengenai dunia, yang membuat anak-anak mampu mengembangkan kemampuan berpikir mengenai konsep umum, peraturan, dan situasi tertentu.

Sekolah tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum saja, sekolah juga mengajarkan anak-anak untuk berpikir mengenai dunia dalam berbagai cara. Hal ini membuat fungsi sekolah bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif anak tetapi juga kemampuan sosial anak (Hetherington & Parke, 1999).

Sekolah khususnya TK dan RA difokuskan pada peletakan dasar-dasar pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Penyelenggaraan TK dan RA secara khusus bertujuan untuk memantapkan perkembangan fisik, emosi, dan sosial untuk siap mengikuti pendidikan berikutnya (Megawangi, Latifah, & Dina, 2005).

Menurut Megawangi dkk (2005), kemampuan sosialisasi merupakan salah satu yang difokuskan dalam pendidikan anak usia dini. Anak-anak diharapkan mampu berinteraksi dengan orang lain dan berkomunikasi secara efektif.

Penelitian oleh Epstein (dalam Hetherington & Parke, 1999) membuktikan bahwa sekolah bersama dengan keluarga dan teman sebaya mempengaruhi anak


(38)

dalam perkembangan orrientasi nilai anak, perkembangan jiwa politik dan motivasi anak.

A.2.d. Media

Media meliputi Koran, majalah, buku, radio, televisi dan berbagai jenis alat komunikasi lainnya yang mencapai jumlah pendengar yang besar yang disampaikan melalui medium impersonal antara pengirim dan penerima. Media tidak langsung mempengaruhi interaksi seperti halnya agen sosialisasi yang lain, walaupun begitu media tetap merupakan agen sosialisasi karena mengungkapkan berbagai aspek mengenai masyarakat dan mempengaruhi anak-anak dalam pengertiannya mengenai dunia (Berns, 2004).

Anak-anak, karena kemampuan kognitif yang belum sepenuhnya matang sangat dipengaruhi oleh media massa (Huston, Zilman & Bryant dalam Berns, 2004). Mereka memproses apa yang dilihat dan didengar dan menjadikan itu sebagai sesuatu yang berarti bagi mereka.

Televisi merupakan salah satu media yang paling mempengaruhi anak-anak (Hetherington & Parke, 1999). Anak-anak-anak biasanya meniru karakter-karakter yang ada di dalam televisi, terutama yang aktif dan terkenal. Mereka bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan tokoh televisi yang mereka lihat dan hal itu mereka bawa dalam pergaulan sehari-hari dan biasanya dilakukan ketika bersama dengan teman-teman sebaya mereka (Berns, 2004).


(39)

24

membedakannya dari media lain, khususnya karena televisi lebih diminati daripada media lain (Singer, Singer & Zuckerman dalam Berns, 2004).

Anak-anak adalah pendengar khusus dalam kaitannya dengan televisi (Dorr dalam Berns, 2004). Anak-anak memandang images yang mereka lihat di dalam televisi adalah nyata seperti bahwa kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Huston, Zillman, & Bryant dalam Berns, 2004).

Media sebagai salah satu agen sosialisasi tidak dapat dilepaskan dari anak-anak dan harus diperhatikan karena sangat berpengaruh pada perkembangan anak-anak, khususnya pada masa kanak-kanak awal karena belum mampu menyaring informasi secara baik.

A.3. Aspek Sosialisasi

Menurut Hurlock (1998), sosialisasi terdiri dari tiga aspek yaitu penyesuaian sosial, penerimaan sosial dan keterampilan sosial. Keberhasilan seorang anak dalam sosialisasi dapat dilihat dari keberhasilannya dalam ketiga faktor tersebut.

A.3.a. Penyesuaian Sosial

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya (Hurlock, 1998).


(40)

Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan.

Anak-anak diharapkan agar semakin lama dapat semakin menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan dapat memenuhi harapan sosial sesuai dengan usia mereka. Tidak ada seorangpun yang mengharapkan seorang bayi untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik, namun semakin besar seseorang diharapkan untuk dapat menyesuaikan diri (Hurlock, 1998).

Hurlock (1998) mengungkapkan beberapa kriteria penyesuaian sosial untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara sosial.

1. Penampilan nyata. Perilaku sosial anak yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, akan diterima menjadi anggota kelompok.

2. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.

3. Sikap sosial. Anak harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.

4. Kepuasan pribadi. Anak harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkan dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin


(41)

26

A.3.b. Penerimaan Sosial

Penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seorang menjadi anggota. Penerimaan sosial ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan anak untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain untuk bekerja atau bermain dengannya (Hurlock, 1998).

Hurlock (1998) mengkategorikan penerimaan sosial ke dalam 6 kategori yaitu :

1. Star. Hampir semua orang dalam kelompok menganggap “star” sebagai sahabat karib, meskipun “star” tidak banyak membalas uluran persahabatan ini. Setiap orang mengagumi “star” karena adanya beberapa sifat yang menonjol. Hanya sedikit sekali anak-anak yang termasuk dalam kategori ini. 2. Accepted. Anak yang “accepted” disukai oleh sebagian besar anggota

kelompok. Statusnya kurang terjamin dibandingkan dengan status “star”, dan dia dapat kehilangan status tersebut bila dia terus-menerus melakukan atau mengatakan sesuatu yang menentang anggota kelompok.

3. Isolate. “Isolate” tidak mempunyai sahabat diantara teman sebayanya. Hanya sedikit sekali anak yang termasuk dalam kategori ini. Ada dua jenis “isolate” : “voluntary isolate” yang menarik diri dari kelompok karena kurang memiliki minat untuk menjadi anggota kelompok atau untuk mengikuti aktivitas kelompok; “involuntary isolate” yang ditolak oleh kelompok meskipun dia ingin menjadi anggota kelompok tersebut. “Involuntary isolate” yang “subjektif” mungkin beranggapan bahwa ia tidak


(42)

dibutuhkan dan menjauhkan diri dari kelompok “involuntary isolate” yang “objektif,” sebaliknya, benar-benar ditolak oleh kelompok.

4. Fringer. “Fringer” adalah orang yang terletak pada garis batas penerimaan. Seperti “climber,” dia berada pada posisi yang genting karena dia bisa kehilangan penerimaan yang dia peroleh melalui tindakan atau ucapan tentang sesuatu yang dapat menyebabkan kelompok berbalik menentang dia. 5. Climber. “Climber” diterima dalam suatu kelompok tetapi ingin

memperoleh penerimaan dalam kelompok yang secara sosial lebih disukai. Posisinya genting karena dia mudah kehilangan penerimaan yang telah diperolehnya dalam kelompok semula dan mudah mengalami kegagalan untuk memperoleh penerimaan dalam kelompok yang baru bila dia melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan anggota kelompok tersebut.

6. Neglectee. “Neglectee” adalah orang yang tidak disukai tetapi juga tidak dibenci. Dia diabaikan karena dia pemalu, pendiam, dan tidak termasuk kategori tertentu. Dia hampir tidak dapat memberikan apa-apa sehingga anggota kelompok mengabaikannya.

Hurlock (1998), juga memberikan beberapa sumber umum penilaian tingkat penerimaan sosial, yaitu:

1. Ekspresi wajah atau nada suara seseorang. Anak memperoleh isyarat tentang bagaimana perasaan orang lain terhadap mereka melalui ekspresi wajah yang diberikan kepada mereka.


(43)

28

2. Perlakuan yang diterima anak dari orang lain. Perlakuan teman sebaya atau orang dewasa lain dapat mengungkapkan dengan cukup akurat apakah seorang anak disukai atau tidak.

3. Kesediaan. Kepastian bahwa anak disukai adalah juga melalui kesediaan orang lain dalam melakukan apa yang diinginkan oleh si anak. Anak akan memperoleh kepastian bahwa dia disukai bila anak lain dengan sukarela meniru cara bicara, perilaku, ataupun pakaiannya.

4. Jumlah teman. Anak yang memiliki banyak teman bermain atau sahabat mengetahui bahwa mereka diterima dengan lebih baik daripada anak yang hanya memiliki sedikit teman bermain atau sahabat.

5. Perkataan orang lain. Melalui perkataan orang lain terhadap anak, anak dapat mengetahui dengan mudah bagaimana perasaan orang lain terhadap mereka.

6. Sebutan. Isyarat yang paling akurat tentang tingkat penerimaan sosial yang diperoleh anak adalah melalui sebutan yang mereka terima. Ejekan yang diterima dapat menjadi ungkapan bahwa anak tersebut kurang diterima daripada sebutan yang lebih menyenangkan, seperti “Kawan”.

A.3.c. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan sosial dalam membina hubungan dengan orang lain dan lingkungan. Individu harus menjadi anggota yang kooperatif untuk menjadi anggota kelompok sosial yang diterima oleh


(44)

lingkungan, dan untuk mendapatkan penerimaan tersebut diperlukan keterampilan sosial tertentu (Hurlock, 1998).

Hetherington & Parke (1999) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk keterampilan sosial pada anak-anak meliputi: dapat menyemangati orang alin, dapat memulai interaksi dengan orang lain, dapat berkomunikasi dengan baik, mampu mengikuti aturan yang telah diberitahukan dengan baik, dan mencoba mengajak anak lain untuk ikut berpartisipasi.

National Association of School Psychologists (2002) mengemukakan hasil positif dari anak-anak yang mempunyai keterampilan sosial yang baik, yaitu dengan keterampilan sosial yang tinggi anak-anak akan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sosial yang akan menguatkan hubungan interpersonal mereka dan memudahkan kesuksesan disekolah.

B. Pendidikan Anak Usia Dini

B.1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20, 2003).


(45)

30

lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan ini dilakukan melalui penyediaan pengalaman dan stimulasi yang kaya dan bersifat megembangkan secara terpadu dan menyeluruh agar anak dapat tumbuh kembang secara sehat dan optimal sesuai dengan nilai, norma, dan harapan masyarakat.

Istilah lain yang sering digunakan untuk diskusi tentang pendidikan anak usia dini adalah “nursery school” atau “preschool” (prasekolah). Nursery school adalah program pendidikan anak usia dua, tiga dan empat tahun (Patmonodewo, 2000).

Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 (dalam Patmonodewo, 2000) tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan “Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.” Pendidikan prasekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan ketrampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.

PP RI No. 27 Tahun 1990 (dalam Patmonodewo, 2000) tentang Pendidikan Prasekolah. Bab I Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Taman Kanak-kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak.


(46)

B.2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Anak Usia Dini

PAUD dimaksudkan untuk menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak usia dini agar ia dapat tumbuh kembang secara sehat dan optimal sesuai dengan nilai, norma dan harapan masyarakat.

Sesuai dengan aspek perkembangan dan keperluan kehidupan anak selanjutnya, PAUD memiliki fungsi-fungsi (Abdulhak, 2003) sebagai berikut:

a. Pengembangan segenap potensi anak,

b. Penanaman nilai-nilai dan norma-norma kehidupan,

c. Pembentukan dan pembiasaan perilaku-perilaku yang diharapkan, d. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar,

e. Pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif.

B.3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelengaraan PAUD (Abdulhak, 2003) adalah sebagai berikut:

a. Holistik dan terpadu; PAUD dilakukan dengan terarah ke pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program utuh dan proporsional. Secara makro, prinsip holistic dan terpadu ini juga mengandung makna bahwa penyelenggaraan PAUD dilakukan secara terintegrasi dengan sistem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan


(47)

32

yang dilakukan dalam berbagai unit pendidikan – keluarga, sekolah dan masyarakat.

b. Berbasis keilmuan; Prinsip ini mengandung arti bahwa praktek pendidikan anak usia dini yang tepat perlu dikembangkan berdasarkan temuan-temuan muktahir dalam bidang keilmuan yang relevan. Dalam hal ini, para ahli PAUD perlu senantiasa menyebarluaskan temuan-temuan ilmiahnya di bidang PAUD sehingga dapat diaplikasikan oleh para praktisi PAUD baik oleh tenaga professional di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini maupun oleh tenaga-tenaga non-profesional di masyarakat dan keluarga. c. Berorientasi pada perkembangan anak; PAUD dilaksanakan sesuai dengan

karakteristik dan tingkat perkembangan anak sehingga proses pendidikannya bersifat tidak terstruktur, informal, emergen dan responsive terhadap perbedaan individual anak, serta melalui aktivitas langsung dalam suasana bermain.

d. Berorientasi masyarakat; Anak adalah bagian dari masyarakat dan sekaligus sebagai genarasi penerus dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, PAUD hendaknya berlandaskan dan sekaligus turut mengembangkan nilai-nilai sosio-kultural yang berkembang pada masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, prinsip ini juga mensyaratkan perlunya PAUD untuk memanfaatkan potensi lokal baik itu berupa keragaman sosial-budaya maupun berupa sumber-sumber daya potensial yang ada di masyarakat setempat.


(48)

B.4. Kurikulum PAUD

Rosegrant (dalam Suyanto, 2005) menyarankan agar pengembangan kurikulum untuk PAUD mengikuti pola sebagai berikut:

1. Berdasarkan keilmuan PAUD

Kurikulum PAUD didasarkan atas ilmu terkini dari PAUD dan hasil-hasil penelitian tentang belajar dan pembelajaran. Kajian keilmuan secara komprehensif hendaknya menjadi landasan pengembangan kurikulum. Pengetahuan. Keterampilan, serta sikap merupakan satu kesatuan. Cara memperoleh pengetahuan dan keterampilan akan mempengaruhi sikap anak, begitu juga sebaliknya.

2. Mengembangkan Anak secara Menyeluruh

Tujuan kurikuler hendaknya ditujukan untuk mengembangkan anak secara menyeluruh, yang meliputi aspek fisik-motorik, sosial, moral, emosional, dan kognitif. Isi kkurikulum hendaknya mencerminkan sofat demokratis, adanya kebebasan untuk menentukan pilihan, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, serta keterbukaan. Tujuan kurikuler juga hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.

3. Relevan, Menarik dan Menantang

Isi kurikulum hendaknya relevan, menarik dan menantang anak untuk melakukan eksplorasi, memecahkan masalah, mencoba, dan berpikir. Kurikulum yang efektif dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari konteks yang berarti dalam kehidupan anak.


(49)

34

Perencanaan kurikulum hendaknya mempertimbangkan kebutuhan anak, perkembangan anak, kebutuhan masyarakat, dan ideology bangsa secara nasional. Keurikulum hendaknya realistis dan dapat dicapai oleh anak. Apa yang dipelajari anak hendaknya sesuai dengan apa yang diinginkan anak, masyarakat dan negara. Nasionalisme, kebudayaan, nilai-nilai susila dan norma hendaknya diperhatikan dalam penyusunan kurikulum.

5. Mengembangkan Kecerdasan

Kurikulum hendaknya mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir, menalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Pembelajaran pada anak usia dini hendaknya tidak bersifat hafalan, tetapi mengembangkan kecerdasan dengan cara melatih anak berpikir, bernalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.

6. Menyenangkan

Kurikulum disesuaikan dengan kondisi psikologis anak sehingga anak merasa mampu, senang, rileks, dan nyaman belajar di TK. Anak usia dini suka bermain, aktif dan selalu ingin tahu. Oleh karena itu, kegiatan kurikuler dirancang agar anak dapat belajar sambil bermain, aktif secara fisik dan mental untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

7. Fleksibel

Kurikulum sebaiknya bersifat fleksibel, baik tentang isi maupun waktu agar dapat disesuaikan dengan perkembangan, minat dan kebutuhan setiap anak. Kurikulum TK fiharapkan bisa mengakomodasi hal-hal baru, menyediakan


(50)

alternatif, dan memungkinkan anak untuk memilih kegiatan. Selain itu, dalam pelaksanaannya tidak terlalu dibatasi oleh waktu.

8. Menyatu dan Padu

Kurikulum untuk TK bersifat menyatu dan padu (unified and integrated), artinya tidak mengajarkan bidang studi sendiri-sendiri atau secara terpisah, tetapi secara terpadu dan terintegrasi melalui tematik unit.

C. Anak Usia Dini

Anak usia dini merupakan anak yang berusia 0-6 tahun atau dalam bahasa perkembangannya disebut sebagai masa kanak-kanak awal. Masa kanak-kanak awal merupakan masa emas pertumbuhan karena mengalami pertumbuhan yang pesat dalam fisik dan kognitifnya. Perkembangan anak pada masa kanak-kanak awal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1999).

Masa kanak-kanak awal sering disebut “usia prageng”. Pada masa ini sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain meningkat dan ini sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial mereka. Anak-anak yang mengikuti pendidikan prasekolah, biasanya mempunyai sejumlah besar hubungan sosial yang telah ditentukan dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah. Alasannya adalah mereka dipersiapkan secara lebih baik untuk melakukan partisipasi yang aktif dalam kelompok dibandingkan dengan anak-anak yang


(51)

36

aktivitas sosialnya terbatas dengan anggota keluarga dan anak-anak dari lingkungan tetangga dekat (Hurlock, 1998).

Keuntungan pendidikan prasekolah adalah bahwa pusat pendidikan tersebut memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan para guru yang terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang menyenangkan dan berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan yang mungkin menyebabkan mereka menghindari hubungan sosial. Akibatnya semua reaksi negatif kepada anak lain berkurang. Walaupun demikian, reaksi negatif terhadap guru kadang-kadang meningkat sedikit setelah anak lebih suka bergaul dengan teman sebaya daripada dengan orang dewasa (Hurlock, 1998).

Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Perkembangan fisik pada masa kanak-kanak awal mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan motorik halus megalami kemajuan yang sangat pesat sehingga anak-anak pada masa ini dapat melakukan kegiatan menulis, dan gerakan motorik halus lainnya. Hal ini menyebabkan anak-anak pada masa ini dapat belajar banyak dan menyerap banyak hal (Yusuf, 2005).

Sejalan dengan perkembangan fisiknya, anak juga harus menjalani perkembangan sosialnya. perkembangan sosial anak dimulai dari sifat egosentris, individual ke arah interaksi sosial. Anak bersifat egosentris pada mulanya, memandang segala sesuatu dari sisi dirinya sendiri sehingga pada usia 2-3 tahun anak masih suka bermain sendiri sampai akhirnya ia mulai berintaraksi dengan orang lain (Suyanto, 2005).


(52)

C.1. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosialnya. Menurut Hurlock (1998), untuk menjadi orang yang mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses yaitu:

1. belajar berperilaku yang dapat diterima sosial, 2. memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan 3. perkembangan sikap sosial.

Yusuf (2005) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak sudah tampak jelas pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:

a. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.

b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan. c. Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.

d. Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group).

Sikap anak-anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial dan seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain sebagian besar tergantung pada pengalaman belajar selama tahun-tahun awal kehidupan yang merupakan masa pembentukan. Menurut Hurlock (1998), ada empat faktor yang menentukan apakah mereka dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan menjadi


(53)

38

1. Kesempatan yang penuh untuk sosialisasi. Hal ini sangatlah penting karena anak-anak tidak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika sebagian besar waktu mereka dipergunakan seorang diri. Anak perlu untuk bergaul tidak hanya dengan anak yang seumur tetapi juga dengan orang dewasa yang umur dan lingkungannga berbeda.

2. Anak-anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan menarik bagi orang lain. Pembicaraan yang bersifat sosial, merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, tetapi pembicaraan yang egosentrik menghalangi sosialisasi.

3. Anak hanya akan belajar sosialisasi hanya apabila mereka mempunyai motivasi untuk melakukannya. Motivasi sebagian besar bergantung kepada tingkat kepuasan yang dapat diberikan oleh aktivitas sosial kepada anak. Jika mereka mendapatkan kesenangan melalui hubungan dengan orang lain, mereka akan mengulangi hubungan tersebut dan sebaliknya, jika hubungan sosial hanya memberikan kegembiraan sedikit, mereka akan menghindarinya. 4. Metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak

mempelajari beberapa pola perilaku yang penting bagi penyesuaian sosial yang baik melakui metode coba-coba. Mereka juga belajar mempraktekkan peran, yaitu dengan menirukan orang lain yang dijadikan tujuan identifikasinya. Mereka akan belajar lebih cepat jika diajar oleh seseorang yang dapat membimbing dan megarahkan kegiatan belajar dan memilihkan


(54)

teman sejawat sehingga mereka akan mempunyai contoh yang baik untuk ditiru.

C.2. Pola Perilaku Pada Anak Usia Dini

Anak-anak pada masa awal biasanya mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial melalui hubungan dan pergaulan sosial baik dengan orangtua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya (Yusuf, 2005).

Pola-pola perilaku anak-anak tersebut menurut Hurlock (1998) terbagi dua yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial. Pola perilaku sosial adalah sebagai berikut:

1. Kerja sama. Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja sama dengan anak lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama.

2. Persaingan. Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan menyebabkan timbulnya sosialisasi yang buruk.

3. Kemurahan hati. Kemurahan hari sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.


(55)

40

4. Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpatik sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.

5. Empati. Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain. 6. Ketergantungan. Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan,

perhatian, dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial. Anak berjiwa bebas kekurangan motivasi ini. 7. Sikap ramah. Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan

melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.

8. Sikap tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka milliki dan yang tidak terus-menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri.

9. Meniru. Meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak-anak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka.

10.Perilaku kelekatan. Landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih


(56)

kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini kepada anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka. Pola perilaku yang tidak sosial adalah sebagai berikut:

1. Negativisme. Neativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu. Biasanya hal itu dimulai pada usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara umur 3 dan 6 tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan penolakan lisan untuk menuruti perintah.

2. Agresi. Agresi adalah tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman permusuhan, biasanya tidak ditimbulkan oleh orang lain. Anak-anak mungkin mengekspresikan sikap agresif mereka berupa penyerangan secara fisik atau lisan terhadap anak lain, biasanya terhadap anak yang lebih kecil.

3. Pertengkaran. Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan yang umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan yang tidak beralasan. Pertengkaran berbeda dari agresi; pertama karena pertengkaran melibatkan dua orang atau lebih sedangkan agresi merupakan tindakan individu, dan kedua karena salah seorang yang terlibat di dalam peterngkaran memainkan peran bertahan sedangkan dalam agresi peran selalu agresif.

4. Mengejek atau menggertak. Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, tetapi menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik.


(57)

42

5. Perilaku yang sok kuasa. Perilaku sok kuasa adalah kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi ”majikan”. Jika diarahkan secara tepat hal ini dapat menjadi sifat kepemimpinan.

6. Egosentrisme. Hampir semua anak kecil bersifat egosentrik dalam arti bahwa mereka cenderung berpikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri. Apakah kecenderungan ini akan hilang, menetap atau berkembang semakin kuat, sebagian bergantung pada kesadaran anak bahwa hal itu membuat mereka tidak popular dan sebagian lagi bergantung pada kuat lemahnya keinginan mereka untuk menjadi populer.

7. Prasangka. Landasan prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak awal yaitu tatkala anak menyadari bahwa sebagian orang berbeda dari mereka dalam hal penampilan dan perilaku dan bahwa perbedaan ini oleh kelompok sosial dianggap sebagai tanda kerendahan.

8. Antagonisme jenis kelamin. Ketika masa kanak-kanak berakhir, banyak anak laki-laki ditekan oleh keluarga laki-laki dan teman sebaya untuk menghindari pergaulan dengan anak perempuan atau memainkan “permainan anak perempuan”. Mereka juga mengetahui bahwa kelompok sosial memandang laki-laki lebih tingga derajatnya daripada perempuan. Walaupun demikian, pada umur ini anak laki-laki tidak melakukan pembedaan terhadap anak perempuan, tetapi menghindari mereka dan menghindari aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas anak perempuan.


(58)

Sebagian dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanak-kanak merupakan landasan yang diletakkan pada masa bayi, tetapi banyak juga diantaranya yang merupakan landasan baru yang dibina oleh hubungan sosial dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang ditonton dari televisi, ataupun buku komik (Berns, 2004).

Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanak-kanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku mereka dan bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi tingkat penerimaan dari kelompok teman sebaya (Hurlock, 1998).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa kanak-kanak awal (anak usia dini) merupakan masa yang sangat penting dalam menentukan perkembangan sosialisasi anak di kemudian hari sehingga sangat perlu untuk diperhatikan. Khususnya perkembangan sosialnya sehingga perlu diperhatikan agar anak dapat berkembang menjadi anak-anak yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakatnya karena pada masa kanak-kanak awal peningkatan perilaku sosial sangat penting dan menentukan bagaimana perilaku sosial anak pada tahap berikutnya.


(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena hanya merupakan gambaran sosialisasi pada remaja anak tunggal di kota Medan. Penelitian ini hanya berusaha menyajikan data dan merupakan penelitian pendahuluan untuk dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.

A.Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian adalah “Sosialisasi anak usia dini.”

B. Definisi Operasional

Sosialisasi pada anak usia dini adalah kemampuan anak-anak usia dini untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengadaptasi nilai-nilai dalam lingkungannya untuk dapat diterima dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Sosialisasi dalam penelitian ini diukur berdasarkan 2 (dua) indikator sosialisasi, yaitu penyesuaian sosial dan penerimaan sosial. Sosialisasi diukur melalui skala sosialisasi yang diberikan kepada orang tua (Ibu) anak-anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini.

Skala yang diberikan adalah skala Likert dengan pilihan 4 (empat) jawaban dari Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Aitem dalam skala terdiri dari aitem favorable dan unfavorable.


(60)

Skor 1 (satu) diberikan pada jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) pada aitem

favorable, 2 (dua) untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), skor 3 (tiga) untuk jawaban Sesuai (S), dan skor 4 (empat) untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), dan sebaliknya untuk aitem unfavorable.

Skor total pada skala tersebut menunjukkan tinggi-rendahnya kemampuan sosialisasi seseorang. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan sosialisasinya dan semakin rendah skor menunjukkan semakin rendah kemampuan sosialisasinya.

C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel C. 1. Populasi dan Sampel

Menurut Hadi (2004), yang dimaksud dengan populasi adalah semua individu untuk siapa hasil penelitian ini akan digeneralisasikan. Populasi dari penelitian ini adalah anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini yang berada di kota Medan.

Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang akan dikenakan langsung dengan penelitian. Sampel dalam penelitian ini anak usia dini yang mengikuti pendidikan anak usia dini kelurahan-kelurahan di kota Medan yang terpilih secara acak oleh peneliti yang dalam hal ini adalah Kelurahan Sekip, Kelurahan Titi Kuning, Kelurahan Sei Kambing B, dan Kelurahan Sunggal.


(61)

46

C.2 Teknik Pengambilan Sampel

Sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil sampel (Hadi, 2004). Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwati, 1994). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampel acak.

C.3 Jumlah Subyek Penelitian

Jumlah total yang menjadi sampel penelitian adalah 130 orang dengan sampel uji coba sebanyak 47 orang. Mengenai jumlah sampel, tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian, seperti yang dikatakan oleh Siegel (1994) bahwa kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel.

D. Instrumen/Alat Ukur yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan skala sosialisasi yang diberikan kepada orang

tua subjek penelitian. Skala dibuat berdasarkan tiga aspek sosialisasi yang dikemukakan oleh Hurlock (1998).


(62)

Tabel 1. Blue Print Alat Ukur dan Distribusi Aitem

No Aspek Aitem Jumlah

1 Penerimaan Sosial F: 1,7,16,19,22,28,40,46,49,55,70

UF: 4,10,13,25,31,34,37,43,52,58,61,64,67,73

11 14

2 Penyesuaian Sosial F: 5,11,14,32,35,38,41,53,56,59,68,71,74

UF: 2,8,17,21,23,26,29,44,47,50,62,65

13 12

3 Keterampilan Sosial F: 3,6,9,24,27,33,39,42,45,60,63,69,72

UF: 12,15,18,20,30,36,48,51,54,57,66,75

13 12

Total 75

E. Seleksi Item

Proses seleksi item dalam penelitian ini menggunakan nilai korelasi aitem total yang disebut dengan indeks daya beda aitem. Daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes (Azwar, 2003).

Batasan koefisien korelasi yang biasanya digunakan dalam suatu penelitian adalah 0,30. Semua aitem yang memiliki korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang memuaskan (Azwar, 2003). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menggunakan batasan koefisien korelasi 0,30 untuk penelitian ini, sehingga aitem yang akan lolos dalam uji coba adalah aitem yang memiliki nilai koefisien korelasi ≥ 0,30.

F. Reliabilitas Pengukuran


(63)

48

rendahnya realibilitas ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas. Pada penelitian ini estimasi reliabilitas dilihat dengan

menggunakan koefisien Alpha Cronbach.

G. Validitas Pengukuran

Penelitian ini menggunakan 2 jenis validitas yaitu validitas tampang dan validitas isi. Validitas tampang adalah bagaimana kesan pertama yang muncul ketika melihat sebuah alat ukur. Sedangkan validitas isi adalah sejauhmana aitem-aitem yang ada dalam alat ukur sesuai dengan variabel yang akan diukur (Hadi, 2004).

Validitas tampang pada penelitian ini didapatkan dari desain alat ukur yang disajikan dalam bentuk buku dengan sampul yang berwarna agar subjek dapat mengerjakan pengisian dengan nyaman. Kerapian alat ukur diusahakan dengan menyajikan alat ukur di kertas F4 80 gram yang dibuat dalam bentuk buku dan terdiri dari 8 (delapan) halaman. Ukuran huruf pada alat ukur adalah 12 dengan jenis huruf Times New Roman. Bagian sampul terdapat gambar anak-anak yang bergandengan tangan dan identitas universitas peneliti. Halaman kedua, ketiga dan keempat berupa kata pengantar dari peneliti mengenai tujuan penelitian, dilanjutkan dengan lembar identitas subjek dan petunjuk pengerjaan skala. Halaman berikutnya merupakan aitem-aitem yang harus diisi.

Validitas isi pada penelitian ini diusahakan dengan cara berkonsultasi dengan pihak lain yang lebih mengerti tentang pembuatan alat ukur dan variabel


(1)

diterima akan bersifat lebih kooperatif dan ramah, mereka bersifat baik terhadap teman mereka dan mau berbagi milik mereka dengan anak lain. Anak yang diterima juga lebih berorientasi pada kelompok daripada egosentris. Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanak-kanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku mereka dan bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi tingkat penerimaan dari kelompok teman sebaya (Hurlock, 1998).

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan mempunyai penerimaan sosial yang baik. Melalui data tambahan diperoleh bahwa, subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki, berusia 6 tahun, merupakan anak sulung, mempunyai jumlah saudara yang banyak, mengikuti PAUD di kelurahan Sunggal, yang sudah lama mengikuti program PAUD, ayahnya bekerja sebagai pegawai swasta dan memiliki ibu yang tidak bekerja memiliki mean empirik tertinggi pada aspek penerimaan sosial.

b. Aspek penyesuaian sosial, rata-rata sosialisasi anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan didapat bahwa 71,5 % (93 orang) anak usia dini memiliki sosialisasi dalam kategori tinggi dan 28,5 % (37 orang) dalam kategori sedang. Hal ini berarti bahwa penyesuaian anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan berada dalam kategori tinggi. Subjek dengan penyesuaian sosial yang tinggi berarti, mereka mampu untuk


(2)

mereka dapat menyesuaikan diri dimanapun mereka berada. Mereka dapat memenuhi harapan sosial sesuai dengan usia mereka dengan mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan.

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan mempunyai penyesuaian sosial yang sangat baik. Melalui data tambahan diperoleh bahwa, subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki, berusia 6 tahun, merupakan anak tunggal, mempunyai jumlah saudara yang banyak, mengikuti PAUD di kelurahan Sei Kambing B, yang sudah lama mengikuti program PAUD, ayahnya bekerja sebagai pegawai swasta dan memiliki ibu yang tidak bekerja memiliki rata-rata empirik tertinggi pada aspek penyesuaian sosial.

c. Aspek keterampilan sosial, rata-rata sosialisasi anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan didapat bahwa 56,9 % (74 orang) anak usia dini memiliki sosialisasi dalam kategori sedang, 42,4 % (55 orang) dalam kategori tinggi, dan 0,7 % (1 orang) dalam kategori rendah. Hal ini berarti keterampilan sosial anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan memiliki keterampilan sosial dalam kategori sedang.

Anak yang memiliki keterampilan social yang sedang berarti memiliki keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan sosialnya. Mereka bukan berarti memiliki keterampilan sosial yang menengah melainkan tidak dapat secara konsisten melakukan tindakan-tindakan sehari-hari, mereka sangat tergantung pada lingkungan.


(3)

Hurlock (1999) yang menyatakan bahwa dari studi-studi mengenai penyesuaian sosial telah menunjukkan bahwa hubungan antar pribadi di dalam keluarga sangat berpengaruh, yaitu hubungan diantara orangtua, antara anak dengan kakak atau adiknya, dan antara anak-anak dengan orangtua, dimana pola asuh orangtua berpengaruh kepada keterampilan sosial anak. Hal ini didukung oleh Hair, et al, (2002), yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial anak adalah keluarga. Hubungan yang baik antara orangtua dan anak akan berpengaruh pada perkembangan hubungan sosial anak.

Kuantitas interaksi dan komunikasi orangtua-anak pada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang ibunya bekerja akan berbeda daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga dimana ibu tidak bekerja (Santrock, 2003). Para ahli menyimpulkan bahwa banyaknya perhatian yang diterima anak kurang penting artinya bagi perkembangan anak jika dibandingkan dengan kualitas perhatian yang ia terima (Etaugh & Folger, 1998). Jika kuantitas waktu interaksi ibu yang bekerja dengan anaknya terbatas namun ia mampu untuk menjaga kualitas dari interaksi tersebut, maka tidak akan terjadi hambatan dalam perkembangan anak khususnya dalam perkembangan keterampilan sosialnya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara orangtua-anak akan menjaga kualitas interaksi orangtua sehingga ibu yang bekerja tetap dapat memberikan perhatian dalam proses perkembangan keterampilan sosial anak (Mu’tadin, 2002).


(4)

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa anak usia dini yang mengikuti PAUD nonformal di kota Medan mempunyai keterampilan sosial yang baik. Melalui data tambahan diperoleh bahwa, subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan, berusia 6 tahun, merupakan anak sulung, mempunyai jumlah saudara yang sedang, mengikuti PAUD di kelurahan Sunggal, yang sudah lama mengikuti program PAUD, ayahnya bekerja sebagai wiraswasta dan memiliki ibu yang tidak bekerja memiliki rata-rata empirik tertinggi pada aspek keterampilan sosial.

C. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran mengingat penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran–saran ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan kelanjutan studi ilmiah mengenai sosialisasi anak usia dini di kota Medan khususnya pada anak usia dini yang mengikuti program PAUD nonformal.

C.1. Saran Metodologis

a. Penelitian selanjutnya yang melibatkan orangtua subjek sebaiknya dilengkapi dengan data tambahan untuk mengurangi efek “faking good” sehingga data yang didapat lebih akurat. Data tambahan yang dilengkapi dapat berupa data observasi maupun wawancara terhadap subjek.


(5)

b. Melakukan penelitian dengan tema yang sama untuk dapat melihat pengaruh atau perbedaan pada sosialisasi anak usia dini, jangan hanya kepada gambaran saja.

c. Gambaran berdasarkan status ibu sebaiknya dilengkapi dengan jenis pekerjaan ibu, dan juga lamanya ibu bekerja sehingga diketahui waktu yang diberikan ibu terhadap anaknya.

C.2. Saran untuk Penggerak PAUD

a. Perlu adanya kemerataan program PAUD khususnya dalam hal kurikulum dan fasilitas yang diberikan sehingga program dapat berjalan lebih optimal.

b. Pelatihan bagi guru-guru yang mengajar sangat diperlukan agar program PAUD ini dapat lebih di maksimalkan.

C.3. Saran untuk Orangtua

a. Perlu adanya perhatian dan kerja sama dengan guru yang bersangkutan sehingga apa yang didapatkan dalam proses pembelajaran dapat juga dilanjutkan di rumah karena sebagian besar waktu anak berada dengan keluarga.

b. Keluarga merupakan agen sosialisasi awal sehingga perlu ditanamkan agar anak dapat menyesuaikan diri, bukan pada kemampuan akademis karena kurikulum anak usia dini hendaknya mengembangkan kemampuan anak


(6)

Pembelajaran pada anak usia dini hendaknya tidak bersifat hafalan, tetapi mengembangkan kecerdasan dengan cara melatih anak berpikir, bernalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.