Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
Filariasis masih merupakan masalah kesehatan khususnya di beberapa kecamatan dan desa yang menjadi kantong filariasis di Kabupaten Muaro Jambi
sehingga perlu penanganan yang intensif. Dimana timbul dan terjadinya penularan kaki gajah Filariasis sangat dipengaruhi keadaan lingkungan, perilaku dan
pengetahuan masyarakat serta adanya vektor sebagai penularan penyakit tersebut. Untuk itu diperlukan dukungan dari berbagai lintas program, lintas sektoral, LSM
Lembaga Swadaya Masyaraakat dan masyarakat itu sendiri dalam pemberantasan penyakit filariasis.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana pengaruh karakteristik kepala keluarga umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap terhadap tindakan pencegahan penyakit kaki gajah filariasis di Desa Kemingking Dalam
Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007”.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan pengaruh karakteristik kepala keluarga umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007.
1.4. Manfaat Penelitian
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan pada program pengendalian, penanggulangan
penyebaran filariasis di Kabupaten Muaro Jambi. 2. Memberi masukan untuk dapat mengantisipasi penyakit filariasis di
Kabupaten Muaro Jambi. 3. Bagi masyarakat dapat memberikan pemahaman tentang resiko terjadinya
filariasis pada masyarakat dan upaya perbaikan lingkungan yang tepat untuk memutuskan mata rantai penularan filariasis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit filariasis 2.1.1.
Definisi
Filariasis ialah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang di sebabkan oleh mikrofilaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening, sehingga menyebabkan kerusakan pada sistim limpatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa
peradangan kelenjar dan saluran getah bening adenolimfangitis terutama di daerah pangkal paha dan ketiak, tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai
demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut Depkes RI, 2002.
2.1.2. Cara masuk mikrofilaria ke dalam tubuh
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara melalui gigitan nyamuk, dimana tubuh manusia dapat terinfeksi mikrofilaria apabila nyamuk yang
mengigit tubuh manusia mengandung larva cacing filaria yang infektif stadium 3. Mikrofilaria akan keluar dari tubuh nyamuk dan masuk ke dalam tubuh manusia pada
saat nyamuk mengigit dan menghisap darah manusia. Depkes RI, 2002.
2.1.3. Epidemiologis
Penyebaran filariasis hampir diseluruh wilayah Indonesia, dibeberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus filariasis di Indonesia
cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang tersebar di 1.553 Desa, di 231 Kabupaten dan
26 Propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas 42 dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan.
Tingkat endemisitas filariasis berdasarkan hasil survei pada tahun 1999 masih tinggi dengan rata-rata mf Mikrofilaria Rate 3,1 dengan interval 0,5-19,64.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat penularan filariasis di Indonesia masih tinggi. Filariasis umumnya endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan,
di daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum filariasis tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Irian Jaya. Filariasis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia, sedangkan
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditemukan di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak Banten. Filariasis malayi tersebar di Sumatera,
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Seram. Filariasis timori terdapat di Kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.
Filariasis bersifat menahun Kronis dan bila tidak memperoleh pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki kaki gajah, lengan,
payudara serta alat kelamin, baik pada wanita maupun laki-laki. Meskipun filariasis tidak menimbulkan kematian secara langsung tetapi
merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainya. Hal ini disebabkan, karena bila terjadi kecacatan
menetap, maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan Negara.
Seringnya serangan akut pada penderita filariasis sangat menurunkan produktivitas kerja, sehingga akhirnya dapat juga merugikan masyarakat. Selain itu penderita akan
mengalami kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 2000,
menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan oleh seorang penderita penyakit kaki gajah per tahun sekitar 17,8 dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3 dari
biaya untuk makan. Dengan demikian maka penderita akan menjadi beban bagi keluarga dan negara Depkes RI, 2002.
2.1.4. Penyebab filariasis di Indonesia
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : a.
Wuchereria bancrofti b.
Brugia malayi c.
Brugia timori Dari tiga spesies tersebut secara epidemiologi dapat dibagi lagi menjadi 6 tipe
yaitu :
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
a. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan urban seperti di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya.
b. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa tersebar luas terutama Irian Jaya yang mempunyai periodisitas nokturna.
c. Brugia malayi yang di temukan di daerah persawahan yang bersifat periodik nokturna.
d. Brugia malayi yang ditemukan di daerah rawa, bersifat sub periodik nokturna. e. Brugia malayi yang ditemukan di hutan bersifat non periodik, mikrofilaria
ditemukan dalam daerah tepi baik malam maupun siang hari. f. Brugia timori yang bersifat periodik nokturna ditemukan di daerah Nusa tenggara
Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga di daerah lain Depkes RI, 2002.
2.1.5. Hospes
Hospes induk semang dari filariasis adalah manusia. Pada dasarnya semua manusia dapat terjangkit filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif
mengandung larva stadium 3. Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang- orang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya tidak semua orang yang hidup disuatu daerah endemis filariasis terinfeksi dan semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukan gejala. Meskipun
tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Makin lama pendatang menempati daerah endemis filariasis makin besar kemungkinannya terkena
infeksi. Pendatang baru dari daerah non endemis ke daerah endemis misalnya
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
transmigran lebih banyak menunjukkan gejala, tetapi pada pemeriksaan darah jari lebih sedikit yang mengandung mikrofilaria.
Di suatu daerah endemis tinggi sebagian besar penduduk dapat terinfeksi. Biasanya pendatang baru ke daerah yang endemis seperti transmigran lebih cepat
menunjukan gejala klinis akut bila terinfeksi walaupun mikrofilaria dalam belum ditemukan. Semakin lama pendatang baru menempati daerah endemis filariasis, maka
akan lebih banyak yang terinfeksi. Hospes reservoir berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria
yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi yang sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada hewan lutung Presbytis
cristatus, kera Macaca fascicularis dan kucing Felis catus yang dapat merupakan sumber infeksi pada manusia. Brugia malayi tipe sub periodik nokturna umumnya
ditemukan di daerah rawa-rawa. Brugia malayi tipe non periodik ditemukan di hutan dan mikrofilarianya ditemukan dalam darah tepi baik siang maupun malam hari.
Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes
reservoir sebagai sumber penyakit Depkes RI, 2002.
2.1.6. Vektor
Vektor penyakit kaki gajah filariasis adalah nyamuk yang mengandung mikrofilaria di dalam tubuhnya. Di Indonesia hingga saat ini telah di ketahui terdapat
23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor dan merupakan vektor yang potensial untuk
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
menyebabkan penyakit kaki gajah filariasis. Terdapat 10 spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor penular Wuchereria bancrofti tipe
pedesaan. Sedangan untuk vektor penular Wuchereria bancrofti tipe perkotaan adalah nyamuk Culex quinguefasciatus. Vektor penular Brugia malayi tercatat ada
6 spesies Mansonia dan untuk wilayah Indonesia bagian Timur selain Mansonia ada juga vektor lain yaitu nyamuk Anopheles barbirostris. Demikian pula untuk vektor
penular Brugia malayi tipe sub periodik nokturna sebagai vektornya adalah beberapa jenis nyamuk spesies Mansonia. Pada daerah bagian Timur yaitu Nusa Tenggara
Timur dan Kepulauan Maluku Selatan sebagai vektor penular Brugia timori adalah jenis nyamuk Anopheles barbirostris. Depkes RI, 2002.
Nyamuk dapat bersifat antropofilik menyukai darah manusia, zoofilik menyukai darah hewan dan zoantropofilik menyukai darah hewan dan manusia,
eksofagik mencari mangsa diluar rumah dan endofagik mencari mangsa di dalam rumah. Tempat beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk
istirahat pada tempat-tempat teduh seperti di semak-semak sekitar tempat perindukan, dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor
filariasis menentukan distribusi filariasis. Setiap daerah endemis filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk yang
berbeda-beda dan setiap spesies dapat menjadi vektor utama penyebab filariasis.
2.1.7. Daur hidup
Filaria limfatik dalam daur hidupnya memerlukan nyamuk sebagai vektor. Nyamuk menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria dengan
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
kepadatan tertentu. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada saat
nyamuk vektor menghisap darah manusia atau hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk dan melepaskan sarungnya di dalam lambung
nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot-otot torak, setelah lebih kurang 3 hari mikrofilaria ini akan memendek menyerupai sosis dan disebut larva stadium I L1.
Dalam waktu kurang lebih seminggu larva L1 akan bertukar kulit, tumbuh menjadi gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II L2. Pada hari ke sepuluh dan
selanjutnya, larva L2 akan bertukar kulit sekali lagi tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III L3.
Gerak larva L3 ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang
mengandung larva L3 yang sangat infektif ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk kedalam tubuh hospes dan bersarang
di saluran limfe. Di dalam saluran limfe, larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV L4 dan stadium V L5 atau cacing dewasa.
Brugia malayi dan Brugia timori dari L3 menjadi dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti dari L3 sampai dewasa di perlukan
waktu lebih kurang 9 bulan. Umur cacing dewasa filaria 5-10 tahun FK.UI, 2003. Setelah dewasa, akan terjadi perkawinan dan cacing betina melahirkan
mikrofilaria yang dapat ditemukan di dalam darah dan secara berkala di temukan di
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
dalam darah tepi untuk mengumpankan diri agar di isap oleh nyamuk vektor dan ditularkan ke inang yang baru WHO, 1997.
2.1.8. Gejala klinis
Seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor yang mengandung mikrofilaria dengan kepadatan tertentu. Akibat
dari gigitan tersebut akan menimbulkan gejala klinis pada manusia yang sudah terinfeksi filariasis. Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut
dan gejala klinis kronis. Gejala klinis akut adalah berupa peradangan pada kelenjar limfe limfadenitis
atau saluran limfe limfangitis. Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau kelelahan dan dapat pula
disertai abses bisul yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan meninggalkan bekas seperti parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat
dan temukan didaerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat didaerah penularan filariasis dengan golongan spesies cacing filaria Brugia malayi dan Brugia
timori. Pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti gejala akut yang berupa peradangan tidak jelas, tetapi elephantiasis dapat mencapai ukuran yang besar. Gejala
infeksi wuchereria bancrofti yang lebih jelas adalah orchitis, epidemitis, hidrokel dan kiluria. Bahkan hidrokel sering dipakai sebagai indikator endemis Wuchereria
bancrofti seperti elephantiasis scroti yang menyebabkan penderita tidak dapat berjalan. Elephantiasis dapat terjadi pada seluruh kaki dan lengan Depkes RI, 2002.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
Gejala kronis meliputi limfadema, hidrokel dan kiluria. Limfadema merupakan gejala kronis yang dialami penderita pada seluruh kaki atau lengan,
skrotum, vagina dan payudara. Gejala ini biasanya terdapat pada penderita yang terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancrofti, sedangkan untuk
penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, gejala klinisnya dapat mengenai kaki dan lengan di bawah lutut atau siku.
Hidrokel merupakan gejala klinis yang menyebabkan terjadinya pelebaran kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe.
Sedangkan kiluria adalah gejala klinis yang dialami penderita dengan mengeluarkan air seni seperti susu. Adanya cairan seperti susu ini disebabkan oleh
kebocoran saluran limfe didaerah pelvik ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk ke dalam saluran kencing. Namun gejala klinis kiluria ini jarang ditemukan Depkes
RI, 2002.
2.2. Keadaan Lingkungan Sosial dan budaya
Lingkungan sosial dan budaya ialah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk antara lain sosial ekonomi, perilaku
penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya penduduk, kebiasaan hidup penduduk, tradisi penduduk dan sebagainya. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat
yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan penduduk bertani berkebun, dan kebiasaan penduduk bekerja malam hari atau keluar malam hari, serta kebiasaan
penduduk pada malam hari sebelum dan sewaktu tidur. Kebiasaan- kebiasaan tersebut berkaitan dengan terjadinya kontak antara manusia dengan vektor terjadinya infeksi.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007. 2007
USU e-Repository©2009
Umumnya laki-laki menunjukkan angka infeksi microfilaria rate lebih tinggi dari perempuan karena umunya laki-laki lebih sering terpapar akibat pekerjaan dan
kebiasaanya, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi kontak dengan vektor lebih sering dari perempuan Nyoman Saniambara, 2005.
2.3. Penentuan desa endemis filaria