Teori Semiotik Roland Barthes
                                                                                Teori Roland
Barthes 1915-1980,
dalam teorinya
Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan  konotasi.  Kata  konotasi  berasal  dari  bahasa  latin  connotare, „„  menjadi
makna“  dan  mengarah  pada  tanda-tanda  kultural  yang  terpisah  atau  bebeda dengan  kata  dan  bentuk-bentuk  lain  dari  komunikasi.  Kata  melibatkan  simbol-
simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Roland Barthes, semiotikus  terkemuka  dari  Prancis  dalam  bukunya  Mythologies  1972
memaparkan  konotasi  kultural  dari  berbagai  aspek  kehidupan  keseharian  orang Prancis,  seperti  steak  dan  frites,  deterjen,  mobil  ciotron  dan  gulat.  Menurutnya,
tujuannya  untuk  membawakan  dunia  tentang  “apa-yang  terjadi-tanpa- mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara lebih luas basis
idiologinya. Sedangkan  denotasi,  di  pihak  lain,  menunjukan  arti  literatur  atau  yang
eksplisit  dari  kata-kata  dan  fenomena  yang  lain.  Sebagai  contoh  Boneka  Barbie menunjukan  boneka  mainan,  yang  dipasarkan  pertama  kali  pada  tahun  1959,
dengan tinggi 11,5 inci, dengan ukuran dada 5,25 inci, tinggi pinggang 3 inci dan pinggul  4,25  inci.  Sementara  konotasi  dari  barbie,  secara  kontras  penuh
kontroversi.
9
Karna  menurut  sebagian  orang  bahwa  boneka  Barbie  tersebut adalah  lambang  atau  simbol  dari  emansipasi  wanita.  Di  bawah  ini  bisa  kita  lihat
ada gambar mengenai teori Roland Barthes.
9
Arthur  Asa  Berger,  Media  Analysis  Techniques,  Yogyakarta:  Penerbitan  Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999, hal.15.
Gambar 1. Peta Tanda Roland Barthes
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi,  ketika  suatu  tanda  yang  memiliki  makna  konotasi  kemudian  berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya:  Pohon  beringin  yang  rindang  dan  lebat  menimbulkan  konotasi keramat  karena  dianggap  sebagai  hunian  para  makhluk  halus.  Konotasi  keramat
ini  kemudian  berkembang  menjadi  asumsi  umum  yang  melekat  pada  simbol pohon  beringin,  sehingga  pohon  beringin  yang  keramat  bukan  lagi  menjadi
sebuah  konotasi  tapi  berubah  menjadi  denotasi  pada  pemaknaan  tingkat  kedua.
Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
10
Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda  adalah  peran  pembaca  the  reader.  Konotasi,  walaupun  merupakan  sifat
asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-
dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini  oleh  Barthes  disebut  dengan  konotatif,  yang  di  dalam  buku  Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier
penanda 2.
signified
petanda 3.
denotative sign tanda denotatif
4. CONNOTATIVE SIGNIFER
PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFED
PETANDA KONOTATIF 1.
CONNOTATIVE SIGN  TANDA KONOTATIF
10
“Teori semiotik“ diakses Rabu, 19 Januari 2011 pukul  21.15 WIB dari http:junaedi2008.blogspot.com200901teori-semiotik.html
Dari  peta  Barthes  di  atas  terlihat  bahwa  tanda  denotatif  3  terdiri  atas penanda  1  dan  petanda  2.  Akan  tetapi,  pada  saat  bersamaan,  tanda  denotatif
adalah  juga  penanda  konotatif  4.  Jadi,  dalam  konsep  Barthes,  tanda  konotatif tidak  sekadar  memiliki  makna  tambahan  namun  juga  mengandung  kedua  bagian
tanda  denotatif  yang  melandasi  keberadaannya.  Pada  dasarnya,  ada  perbedaan antara  denotasi  dan  konotasi  dalam  pengertian  secara  umum  serta  denotasi  dan
konotasi yang dipahami oleh Barthes.
Di  dalam  semiologi  Barthes  dan  para  pengikutnya,  denotasi  merupakan sistem  signifikasi  tingkat  pertama,  sementara  konotasi  merupakan  tingkat  kedua.
Dalam  hal  ini  denotasi  justru  lebih  diasosiasikan  dengan  ketertutupan  makna. Sebagai  reaksi  untuk  melawan  keharfiahan  denotasi  yang  bersifat  opresif  ini,
Barthes  mencoba  menyingkirkan  dan  menolaknya.  Baginya  yang  ada  hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu
yang  bersifat  alamiah  Budiman,  1999:22.  Dalam  kerangka  Barthes,  konotasi identik  dengan  operasi  ideologi,  yang  disebutnya  sebagai  „mitos’  dan  berfungsi
untuk  mengungkapkan  dan  memberikan  pembenaran  bagi  nilai-nilai  dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi  penanda,  petanda,  dan  tanda.  Namun  sebagai  suatu  sistem  yang  unik, mitos  dibangun  oleh  suatu  rantai  pemaknaan  yang  telah  ada  sebelumnya  atau
dengan  kata  lain,  mitos  adalah  juga  suatu  sistem  pemaknaan  tataran  ke-dua.  Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
11
                