\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Penggunaan minyak goreng biasanya sebagai media
penggorengan bahan pangan, penambah cita rasa ataupun shortening yang membentuk tekstur pada roti. Sebanyak 49 dari total permintaan minyak goreng di Indonesia adalah
untuk konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan industri, termasuk industri perhotelan dan restoran-restoran dan juga usaha fast food.Wijana, 2005
Menurut Amang 1993, Minyak goreng dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku, diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, kacang-kacangan, bunga matahari dan
bahan baku lainnya. Penggunaan minyak goreng berbahan baku kelapa sawit sejak beberapa tahun terakhir semakin mendominasi pengolahan minyak goreng setelah sempat
dipegang oleh kelapa sebagai bahan baku minyak goreng di Indonesia. Dilihat dari sifat teknisnya, minyak goreng yang terbuat dari CPO memiliki banyak keunggulan,
diantaranya yaitu : 1. Kecenderungan berasap lebih rendah
2. Sifat pembakaran yang lebih baik untuk kue dan roti, dan 3. Tingkat perkaratan pada kuali lebih rendah
Sebagai bahan pokok, kenaikan harga minyak goreng dipasar Indonesia membutuhkan peran pemerintah untuk melakukan pengendalian. Kenaikan harga tersebut
pada saat ini tidak hanya meresahkan masyarakat miskin dan industri kecil, tetapi juga memberikan efek pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Jika ini tidak
dikendalikan, dampak kenaikan harga minyak goreng dapat berkembang tidak hanya terbatas pada isu ekonomi, tetapi merambat ke masalah sosial dan politik. Susila, 2007
Amang 1995, menyebutkan bahwa kebijakan harga yang diberikan untuk bahan pangan merupakan instrumen pokok kebijaksanaan pengadaan pangan. Tujuan kebijakan
harga dilakukan diantaranya, untuk : 1. Melindungi produsen dari penurunan drastis harga pasar yang biasanya terjadi
pada musim panen 2. Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya
pada musim paceklik, dan 3. Mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.
Tabel 2.1 menunjukkan pemberlakuan peraturan yang berbeda-beda terkait harga minyak goreng. Hal ini disebabkan oleh berbedanya situasi dan kondisi per periode.
Pada tahun 1977-1978 dan sekitar tahun 1984 terjadi gejolak kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena negara kekurangan pasokan kopra dan
CPO. Pada tahun 1977-1978 minyak kelapa sawit hanya diperuntukkan bagi ekspor, namun selanjutnya minyak kelapa sawit mulai diarahkan untuk memenuhi kekurangan
bahan baku minyak goreng dalam negeri karena dinilai bisa mensubstitusi minyak kelapa dan kopra yang mengalami kelangkaan. Sedangkan pada tahun 1984 pemerintah
memandang perlu diadakan kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng dan menugaskan BULOG mengawasi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan minyak
goreng, diantaranya mengawasi pengolahan bahan baku minyak goreng, mengawasi
pengapalan CPO dan produk turunannya dari pusat produksi ke pabrik minyak goreng dan mengawasi pendistribusian minyak goreng.
Tabel 2.1 Lima Periode Kebijaksanaan Stabilisasi Harga CPO dan Minyak Goreng
Selama Tahun 1979-1996 No.
Periode Kebijaksanaan Pemerintah
1. 1979-1983
a. Digunakan instrument alokasijatah bagi kebutuhan dalam negeri
b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri
c. Diperlukan ijin dari Departemen Perdagangan untuk ekspor
2. 1984-1986 Mei
a. Ditetapkan pajak ekspor CPO sebesar 37,18 persen
b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri.
c. Instrumen alokasi dan perijinan tetap dipertahankan
3. 1986 Juni 1991 Mei
a. Pajak ekspor CPO diturukan menjadi 0 nol persen.
b. Ditetapkan system alokasi ekspor. c. Tetap mempertahankan sistem penetapan
harga CPO untuk penjualan dalam negeri. 4.
1991 Juni 1994 Agustus a. Pemerintah membebaskan perdagangan dan
ekspor CPO Adanya keinginan agar harga ditentukan oleh kekuatan pasar
5. 1994 September
a. Ditetapkan Pajak Ekspor progresif CPO dan produk olahan lainnya bervariasi antara 40-60
persen tergantung harga FOB. b. Sejak pertengahan 1995, BULOG dan PTP
bekerjasama membentuk
persediaan penyanggan buffer stock CPO
c. Kerjasama BULOG dengan produsen minyak goreng bimoli melakukan operasi pasar
Menurut Amang 199 Sumber : Amang, 1996
Dampak kebijakan tersebut cukup positif mengingat harga minyak goreng dapat diredam. Oleh sebab itu kenaikan harga minyak goreng baru terjadi lagi pada tahun 1992
dan kemudian pada tahun 1994 terjadi lagi gejolak kenaikan harga minyak goreng akibat dari kenaikan harga CPO di dunia. Adanya gejolak harga tersebut berusaha diatasi
dengan menerapkan pajak ekspor hingga 60 dan dibarengi dengan kebijakan alokasi CPO di pasar domestik pada tahun 1994. Kebijakan tersebut yang mendikte pasar
mengakibatkan mekanisme pasar tidak berjalan. Harga CPO domestik terisolasi dari harga CPO internasional dan harga minyak goreng menjadi stabil. Pada saat ini ketika
harga minyak goreng naik yang diduga akibat dari naiknya harga CPO internasional pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dalam rangka menstabilkan harga minyak
goreng di pasar domestik. Kebijakan yang dikeluarkan yaitu Kewajiban memasok CPO ke pengolah dalam negeri DMO, Menaikkan Pungutan Ekspor, dan Penghapusan PPN
atas minyak goreng curah dan kemasan Kebijakan Domestic Market Obligation DMO sebagai salah satu instrumen
kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng dilakukan pemerintah dengan mewajibkan produsen CPO dan minyak goreng untuk mengalokasikan
produksinya pada harga tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan harga maksimum sama dengan Harga Eceran Tertinggi HET. Susila,2007
Kebijakan Domestik Market Obligation didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian No.339KptsPD.30052007 Lampiran 4 yang ditetapkan pada tanggal 31
Mei 2007 tentang pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi harga minyak goreng curah. Keputusan Menteri Pertanian tersebut menetapkan bahwa pasokan
CPO wajib dipenuhi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merupakan anggota GAPKI Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia maupun non anggota GAPKI.
Dua alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah untuk kebijakan Domestic Market Obligation minyak sawit mentah yaitu :
1. Pengusaha wajib menyediakan pasokan minyak goreng domestik sebanyak 20 yaitu 2,4 Juta Ton minyak goreng atau setara dengan 3,3 Juta ton CPO.
2. Pengusaha wajib menyediakan pasokan untuk kebutuhan minyak goreng domestik 18 yaitu sekitar 2,15 juta ton atau setara dengan 2,96 juta ton minyak sawit
mentah CPO. Kedua alternatif kebijakan tersebut dibuat berdasarkan pada perhitungan
kebutuhan minyak goreng selama setahun dan berlaku untuk produsen CPO yang mempunyai luas lahan perkebunan sedikitnya 1.000 Hektar. Mekanisme yang dibuat
adalah para produsen tersebut menyerahkan minyak sawit mentah kepada pengolah untuk diolah menjadi minyak goreng.
Selain DMO pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Pungutan Ekspor sebagai respon atas kenaikan harga minyak goreng. Kebijakan Pungutan Ekspor akan
mengakibatkan berkurangnya volume ekspor CPO sehingga ketersediaannya di dalam negeri menjadi terjamin dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak goreng.
Pemerintah Indonesia berharap dengan adanya Pungutan Ekspor atas CPO dan turunannya dapat melindungi konsumen dalam negeri, dan jika harga CPO di pasar
internasional turun maka pungutan ekspor juga akan diturunkan. Dasar diberlakukannya Pungutan Ekspor adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK :
1. No.130PMK 0102005 2. No.61PMK 0112007
3. No.94PMK 0112007 4. No.09PMK 0112008
Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah adalah kebijakan pemberian subsidi. Jenis subsidi yang dikeluarkan ada yang diberikan kepada produsen
yaitu berupa pembebasan PPN minyak goreng curah. Melalui keputusan menteri Keuangan nomor 118PMK.0112007 Lampiran 5 tanggal 24 September 2007 tentang
PPN Minyak Goreng Curah dalam negeri sebesar 10 ditanggung pemerintah yang mengacu pada UU Nomor 412007 tentang Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara,
yang menetapkan bahwa PPN minyak goreng curah dan tidak bermerek ditingkat produsen Di-Tanggung-Pemerintah DTP. Pada 4 Februari 2008 pemerintah
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.15PMK.0112008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam
negeri.Lampiran 6. PPN yang ditanggung pemerintah pada tahun 2007 dianggarkan sebesar 300
Milyar, Sedangkan untuk minyak goreng kemasan direncanakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun anggaran 2008 sebanyak 600 Milyar. Boediono
Menko Perekonomian mengatakan bahwa melalui kebijakan ini produsen dan distributor akan diringankan karena sebagian biaya produksi dibayar pemerintah,
sehingga diharapkan produsen dan distributor turut bertanggung jawab memastikan agar harga minyak goreng dapat turun lebih rendah dan stabil hingga akhir tahun.
Tabel 2.2 Dampak Positif dan Negatif Masing-Masing Pilihan Kebijakan
Kebijakan Potensi Dampak PositifManfaat
Potensi Dampak Negatif Masalah
Pajak Ekspor Penerimaan Negara
Distribusi beban antara konsumen dan produsen
Mudah dilaksanakan Mendistorsi pasar internasional dan
domestik
Menghambat upaya peningkatan ekspor
Menurunkan pendapatan industri CPO domestik
Menurunkan pendapatan petani Domestik
Market Obligation
Efektivitas relatif lebih baik Mendistorsi pasar internasional dan
domestik Menghambat upaya peningkatan
ekspor Menurunkan pendapatan industri
CPO domestik Menurunkan pendapatan petani
Penerimaan negara lebih rendah Operasi Pasar
Tidak mendistorsi pasar ekspor
Tidak membebani industri berbasis CPO
Tidak membebani petani Membebani anggaran negara cukup
besar
Efektivitas rendah
Subsidi ke Industri Minyak
Goreng Tidak mendistorsi pasar eskpor
Tidak membebani industri
berbasis CPO Tidak membebani petani
Membebani anggaran negara cukup besar
Ekspor minyak goreng bersubsidi
Kesulitan implementasi Subsidi ke
Orang Miskin Tidak mendistorsi pasar eskpor
Tidak membebani industri berbasis CPO
Tidak membebani petani Target lebih fokus sehingga beban
anggaran lebih rendah Membebani anggaran negara
Pelaksanaan sering tidak tepat sasaran
Sumber : Susila, 2007
Ilham dan Hermanto 2007, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tujuan dari dibuatnya kebijakan harga pertanian adalah untuk mengurangi ketidakpastian usaha tani,
menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Instrumen yang bisa digunakan diantaranya dengan kebijakan perdagangan, kebijakan
nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Sedangkan secara tidak langsung stabilisasi harga dapat dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan
input. Kebijakan input yang dimaksud adalah dengan subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, pestisida dan benih.
Susila 2007, telah melakukan suatu studi dengan mengilustrasikan pengenaan Pungutan Ekspor Perkebunan terhadap beberapa aspek Industri perkebunan Dengan
menetapkan PE menjadi 5 sebagai skenario yang moderat, harga primer produk perkebunan di pasar domestik rata-rata menjadi 3.20 lebih rendah bila dibandingkan
dengan tidak ada pajak ekspor. Namun sebagai akibatnya, harga ditingkat petani juga akan mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada harga di tingkat produsen
yang akanmengalami penurunan yang selanjutnya kan berdampak pada perluasan areal di industri hulu, penurunan produktifitas dan produksi. Selain itu gross margin penerimaan
kotor petani akan mengalami penurunan. Berbagai penelitian kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang dibuat oleh
pemerintah, Kebijakan pengenaan Pungutan Ekspor dianggap tidak berpihak pada pengusaha kelapa sawit. Jatno Sunarjo dalam penelitiannya tentang Pengaruh Pajak
Ekspor terhadap Pendapatan Produsen Kelapa Sawit menyimpulkan bahwa pengaruh dari pajak ekspor ternyata menurunkan pendapatan riil marjinal pada usaha perkebunan.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan pajak ekspor sebesar Rp.1.000.000 akan
menurunkan pendapatan riil marjinal perkebunan swasta sebesar 0,1501. Kemudian Jatno Sunarjo juga menyimpulkan bahwa ternyata proporsi dari penerimaan pajak ekspor CPO
dibandingkan dengan seluruh penerimaan negara dari sektor pajak sebenarnya relatif sangat kecil. Daniel 2007, dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa Kenaikan
pungutan Ekspor diperkirakan akan menurunkan daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan dapat menyebabkan keterpurukan industri minyak kelapa sawit Indonesia.
Susila 2007, dalam penelitiannya merekomendasikan 2 kombinasi kebijakan mengingat setiap kebijakan memiliki dampak positif dan negatif. Dua kebijakan tersebut
adalah 1 kebijakan yang berkaitan langsung dengan produsen dan perdagangan internasional, dan 2 kebijakan yang berkaitan dengan konsumen. Susila
menyebutkannya sebagai Decoupled Policies Kebijakan berpasangan, seperti yang diterapkan di Negara maju seperti Amerika dalam membuat kebijakan produksi yang
semakin dipisahkan dengan kebijakan perdagangan. Jika kebijakan Decouple Policies disepakati maka kebijakan yang diambil adalah adalah kebijakan yang bisa bersifat
jangka panjang yaitu Kombinasi kebijakan Pungutan ekspor PE dan Subsidi kepada Rakyat miskin. PE ditetapkan mengikuti harga CPO dan nilai tukar. Sesuai dengan tabel
ilustrasi penetapan Lampiran.11. Jika harga CPO sekitar US 700ton dan nilai tukar Rp.9000Kg, maka PE adalah sekitar 10 . Dengan asumsi bahwa harga CPO adalah
sekitar 600 US ton, maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan sekitar Rp.5 Triliun. Sedangkan untuk konsumen dibutuhkan dana yang besar dan manajemen
distribusi yang handal . Kebijakan yang direkomendasikan mengadopsi kebijakan Ratian Card, yaitu ketika harga minyak goreng diatas HET Harga Eceran tertinggi setiap
penduduk miskin diberi sejenis kartu agar bisa memperoleh minyak goreng dalam
volume dan harga tertentu. Dengan asumsi bahwa penduduk miskin sekitar 40 juta orang, HET Rp.6500kg, dan konsumsi per kapita 16kgkapitatahun,maka jumlah subsidi yang
dibutuhkan tidak lebih dari Rp.1 Triliun, ini jauh lebih sedikit dari yang didapat oleh pemerintah dari hasil pungutan Ekspor.
2.2. Landasan Teori