METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Metode Data Sekunder. Menurut Wirartha 2005 Penggunaan Metode Data Sekunder lebih banyak digunakan untuk Penelitian mengenai
kebijakan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dukungan Jenis Data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan dan Perindustrian,
Instansi dan Asosiasi terkait dan publikasi instansi-instansi terkait.
3.2. Metode Analisis Data
Evaluasi terhadap efektif atau tidak efektifnya kebijakan yang telah diberlakukan pemerintah dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng dilakukan dengan
pendekatan ekonometrika, Salah satu pendekatan yang digunakan yaitu dengan Analisis Regresi Linear Berganda. Sehingga nantinya akan diperoleh dugaan dari
koefisienparameter hubungan ekonomi. Nilai koefisienparameter dugaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan atau parameter dari teori ekonomi yang
kemudian akan sangat penting untuk pengambilan keputusan bagi perusahaan maupun formulasi kebijakan ekonomi pemerintah dan nilai tersebut akan dapat membandingkan
dampak dari berbagai alternatif kebijakan.Wirartha, 2005 Tujuan utama dibuatnya kebijakan Pemberian Subsidi penghapusan PPN,
Pungutan ekspor dan Domestic Market Obligation adalah untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan menstabilkan harga minyak goreng. Harga minyak
goreng domestik pada bulan ke-t diasumsikan dipengaruhi oleh harga minyak goreng domestik bulan sebelumnya, Harga CPO domestik, Harga CPO Internasional, serta
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng Pungutan Ekspor, dan Domestic Market Obligation .
Untuk menguji hipotesis 1, 2, 3 dan 4 diuji dengan menggunakan analisis regresi. .
Dengan persamaan :
1 5
4 4
3 3
2 2
1 1
D X
X X
X Y
Dengan : = Konstanta Intersep
Y = Harga Minyak goreng domestik pada bulan ke-t Rupiah
X
1
= Harga Minyak goreng Domestik pada bulan ke t-1 Rupiah X
2
= Harga CPO domestik pada bulan ke-t Rupiah X
3
= Harga CPO Internasional pada bulan ke t Rupiah X
4
= Kebijakan Pungutan Ekspor atas turunan CPO untuk Minyak goreng
D
1
= Dummy Kebijakan Domestik Market Obligation Pasokan Produsen Minyak goreng ke pasar domestik ; 0= Sebelum ada perubahan
kebijakan , 1= Setelah ada perubahan kebijakan pasokan
µ = Random error
1
,
2
,
3
,
4
,
5
,
6
= Koefisien variabel regresi
Hipotesis 1 yang digunakan adalah : H
: Kebijakan Pungutan Ekspor akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.
H
1
: Kebijakan Pungutan Ekspor tidak akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.
Hipotesis 2 yang digunakan adalah : H
: Kebijakan Domestic Market Obligation akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah
H
1
: Kebijakan Domestic Market Obligation tidak akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.
Hipotesis 3 yang digunakan adalah : H
: Harga CPO Domestik tidak akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah
H
1
: Harga CPO Domestik akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.
Hipotesis 4 yang digunakan adalah : H
: Harga CPO Internasional tidak akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah
H
1
: Harga CPO Internasional tidak akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.
Langkah-Langkah Analisis Kebijakan
Untuk mendapatkan hasil yang optimal didalam penelitian ini digunakan langkah- langkah sebagai berikut:
3.3.1. Mengubah Harga nominal ke dalam Harga riil
Data yang digunakan adalah data harga minyak goreng curah dan harga CPO Domestik. Data harga tersebut di ubah kedalam harga Riil.
Untuk mendapatkan harga Riil digunakan rumus sebagai berikut : Harga Riil =
arg 100
min arg
Konsumen a
H Indeks
IHK al
No a
H
Harga riil adalah harga satu barang dilihat dari satu waktu yang konstan. Untuk mendapatkan harga riil, adalah dengan mengeluarkan faktor inflasi dengan menggunakan
data Indeks Harga Konsumen IHK. Basri.M,dkk, 2007 IHK atau Indeks Harga Konsumen adalah nomor indeks yang mengukur harga
rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga Household. IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu Negara dan juga sebagai
pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah,uang pensiun dan kontrak lainnya.Anonim, 2008
3.3.2. Interpretasi Hasil Uji Kesesuaian Test of Godness of Fit
Koefisien Determinasi R
2
Besaran R
2
yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikankesesuaian goodness of fit dari garis regresi. R
2
mengukur proporsi bagian atau persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi Gujarati,1994.
Uji Tingkat Penting Test of Significance
Pengujian tingkat penting adalah suatu prosedur dengan mana hasil sampel digunakan untuk menguji kebenaran atau kepalsuan suatu hipotesis nol.
Keputusan untuk menerima atau menolak H dibuat atas dasar nilai statistik uji
yang diperoleh dari data yang dimiliki.
Uji parsial Uji t-Statistik
Dengan Kriteria Uji : a. Jika
t h
t t maka ada pengaruh nyata variabel bebas terhadap variabel terikat
Rumus :
h h
h
b SE
a t
Dimana : t
h
= t hitung a
h
= koefisien regresi hasil estimasi untuk variable ke-h SE = standar error koefisien a
h
Sarwoko, 2005 Selanjutnya, identifikasi masalah lainnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan
data sekunder dan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan masalah, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya. Sifatnya sekedar
mengungkapkan fakta fact finding. Hasil penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki.
Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah
dipahami dan disimpulkan. Kebanyakan pengolahan data didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan. Wirartha, 2006
3.3.3. Uji Asumsi Regresi Linear Berganda Uji linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah persamaan regresi yang diperoleh linear atau tidak. Kriteria yang digunakan adalah bila F
hitung
F
tabel
bentuk hubungan adalah linier.
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menghindari adanya hubungan yang linear antar variabel bebas. Menurut Gujarati 1994 multikolinearitas dapat dideteksi
dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat : - Jika nilai Toleransi atau VIF Variance Inflation Factor kurang dari 0,1
atau nilai VIF melebihi 10 - Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8
- Jika nilai F-hitung melebihi nilai F-Tabel dari regresi antar variabel bebas
Uji Autokorelasi
Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antara anggota observasi dalam beberapa deret waktu serial correlation atau antara anggota observasi berbagai obyek
atau ruang spatial correlation. Uji Autokorelasi terutama digunakan untuk data time series. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model analisis regresi
yang digunakan, maka cara yang digunakan dengan melakukan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin Watson. .Ekofeum.online, 2005
Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi : Bila DW terletak antara batas atas atau upper bound du dan 4-du, maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound dl,
maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.
Bila nilai DW lebih besar daripada 4-dl, maka koefisien autokorelasi lebih kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
Bila nilai DW terletak diantara batas atas du dan batas bawah dl atau DW terletak antara 4-du dan 4-dl, maka hasilnya tidak dapat
disimpulkan.
3.4. Definisi dan Batasan Operasional 3.4.1. Definisi
Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan pengertian dalam penelitian ini, maka diberikan batasan operasional sebagai berikut :
1. Kebijakan Pemerintah adalah kebijakan dalam program stabilisasi harga minyak goreng yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk komoditi CPO
Kebijakan Pungutan Ekspor dan DMO dan untuk minyak goreng Subsidi pada Januari 2006 sampai maret 2008
2. Minyak Goreng adalah minyak goreng curah yang di produksi oleh prosesor dalam negeri.
3. Subsidi adalah pembebasan PPN sebesar 10 yang seharusnya ditanggung oleh produsen dalam mengelola CPO menjadi minyak goreng, dan pengadaan Operasi
pasar untuk masyarakat dalam kurun waktu 2007-2008 4. Pungutan Ekspor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditas CPO yang
di ekspor dalam satuan persen. 5. Domestic Market Obligtion DMO adalah Pasokan Crude Palm Oil CPO untuk
kebutuhan dalam negeri dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng curah yang wajib dipenuhi oleh perusahaan perkebunan Kelapa sawit diIndonesia, baik
anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia GAPKI maupun bukan Anggota GAPKI .
6. Stabilisasi harga minyak goreng adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui program kebijakan Stabilisasi harga minyak goreng yaitu dengan
kebijakan Penghapusan PPN sebesar 10 Subsidi bagi produsen , Pungutan Ekspor PE dan Domestic Market Obligation DMO .
7. Harga CPO domestik adalah harga rata-rata penjualan dari perkebunan besar Negara ke pengolah minyak goreng dalam negeri. Amang.dkk, 1996
3.4.2. Batasan Operasional
1. Waktu penelitian dimulai pada tahun 2008 2. Data yang diambil adalah data dalam kurun waktu sebelum kebijakan yaitu tahun
2006 hingga setelah kebijakan dibuat pada tahun 2007 sampai Maret 2008.
PROFIL INDUSTRI DAN KEBIJAKAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA
4.1. Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit Indonesia 4.1.1. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Perkebunan kelapa sawit yang pertama ditanam di Indonesia adalah yang terdapat di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848, berasal dari Mauritus, Afrika Barat. Pertama kali
dirintis oleh seorang pengusaha berkebangsaan Jerman bernama K.Scahdt di Tanah
Hitam, Sumatera Utara pada tahun 1911. Perkembangan perkebunan kelapa sawit terus mengalami kemajuan yang pesat terutama dengan keterlibatan Belanda. Pada tahun 1939
Indonesia telah menjadi eksportir minyak kelapa sawit di dunia. Namun sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1957 perkebuna kelapa sawit
Indonesia mengalami kemunduran, hal ini diakibatkan oleh politik nasional anti kolonial dan kapitalis yang menolak investasi dan pinjaman dari bangsa asing sehingga pada tahun
1957 perkebunan kelapa sawit dinasionalisasikan dibawah Perusahaan Perkebunan Negara Baru.
Presiden Soeharto pada tahun 1968 menarik investasi asing di seluruh sektor industri termasuk sektor pertanian yang menimbulkan pengaruh besar terhadap
perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia, dan ditandai dengan adanya Perseroan Terbatas Perkebunan PTP yang terdiri atas 27 PTP di seluruh Indonesia.
Tahap kedua investasi yaitu pada tahun 1985-1998 yang ditandai dengan pesatnya investor asing dan dalam negeri yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia sehingga membuat perkebunan Indonesia berkembang pesat yaitu dari 597 hektar lahan pada tahun 1985 meningkat menjadi 2,7 juta hektar pada tahun 1998.
Krisis Ekonomi melanda Indonesia sejak akhir 1997 turut membuat banyaknya kegagalan ekspansi atau perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, hal ini tidak
lain akibat terpuruknya perbankan nasional dan banyaknya bank yang tutup. Setelah tahun 2002 perekonomian Indonesia menunjukkan perbaikan dan
membuka peluang ekspansi lagi bagi perkebunan kelapa sawit Indonesia. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya izin oleh Departemen Pertanian pada akhir 2003 kepada 74
perusahaan dengan izin lahan seluas 672.977 hektar. Nilai investasi perkebunan kelapa sawit ini mencapai 17,3 Triliun Rupiah dan diharapkan akan terus meningkat.
Menurut Saputra 2007, Produsen kelapa sawit di Tanah air tebagi atas tiga golongan, yaitu :
1. Perkebunan Rakyat Smallholder sekitar 34 dari total Area perkebunan Kelapa sawit.
2. Perkebunan Pemerintah Public Plantation sekitar 12 dari total Area perkebunan Kelapa sawit.
3. Perkebunan Swasta Besar Private Plantation sekitar 54 dari total Area perkebunan Kelapa sawit
Perkembangan Luas Area Perkebunan
Pada tahun 1996 Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia sekitar 2,2 juta hektar yang didominasi oleh perkebunan swasta. Sekitar satu dasawarsa perkembangannya yaitu
pada tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai angka 6 Juta Hektar dengan produksi CPO mencapai 15 Juta Ton. Dari Luas areal sebesar 6 juta ton
tersebut, Luas perkebunan rakyat adalah sebesar 43,4 dari total keseluruhan kebun dengan produksi 6,09 Juta ton, Luas perkebunan Negara adalah sebesar 11,47 dari total
keseluruhan kebun dengan produksi sekitar 2,29 juta ton dan luas perkebunan swasta adalah seluas 45,13 dari total keseluruhan kebun di Indonesia dengan produksi
mencapai 7,5 juta ton. Tabel 4.1 menunjukkan secara detail perkembangan Luas Areal ha dan Produksi
CPO ton Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaannya Tahun 1996-2006.
Tabel 4.1 Perkembangan Luas Areal ha dan Produksi CPO ton Perkebunan Kelapa Sawit
Menurut Status Kepemilikannya Tahun 1996-2006. Tahun
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta Luas
Produksi Luas
Produksi Luas
Produksi
1996 738.887 1.133.547 426.804
1.706.852 1.083.823 2.058.259
1997 813.175 1.292.829 448.735
1.800.252 1.254.169 2.287.366
1998 890.506 1.348.163 489.143
1.857.089 1.409.134 2.434.902
1999 1.038.289 1.544.300 516.447
1.845.599 1.617.427 2.615.000
2000 1.190.154 1.977.814 528.716
1.970.578 2.050.739 3.632.109
2001 1.566.031 2.800.744 540.728
1.606.458 2.314.209 4.690.270
2002 1.795.321 3.134.323 556.323
1.642.825 2.430.222 5.242.837
2003 1.854.394 3.517.324 662.803
1.750.651 2.766.360 5.172.859
2004 2.220.338 4.345.268 605.865
1.827.158 2.458.520 6.060.229
2005 2.356.895 4.979.641 529.854
1.603.451 2.567.068 6.540.573
2006 2.636.425 6.092.022 696.699
2.298.564 2.741.802 7.509.413
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Selama 10 tahun terakhir 1997-2006 perkembangan luas perkebunan Indonesia
di dominasi oleh perkebunan swasta yang hingga tahun 2006 mencapai 2,74 juta hektar diikuti oleh perkebunan rakyat yang mencapai 2,63 juta hektar, yang terakhir adalah
perkebunan Negara yang hanya mencapai 696 ribu hektar. Hal ini dapat dilihat dari gambar 4.1. Perkembangan Luas Area Perkebunan
Kelapa Sawit pada tahun 1997-2006.
Gambar 4.1. Perkembangan Luas Area Perkebunan Indonesia berdasarkan Kepemilikan
Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Sejak tahun 1967 hingga tahun 2006 produksi minyak kelapa sawit Indonesia telah banyak mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 Indonesia telah memproduksi
sekitar 168 ribu ton dan hingga tahun 2006 Indonesia telah memproduksi minyak kelapa sawit sebanyak 17,10 juta ton. Saat ini Indonesia telah mengungguli Malaysia dalam hal
produksi minyak kelapa sawit. Pada 10 tahun terakhir 1997-2006, perkebunan Indonesia yang terdiri dari
perkebunan Swasta pada tahun 1997 menghasilkan 2,28 juta ton minyak sawit dan mencapai 7,50 juta ton pada tahun 2006. Perkebunan Negara pada tahun 1997
menghasilkan 1,80 juta ton pada tahun 2006 mencapai produksi sekitar 2,29 juta ton dan perkebunan rakyat yang pada tahun 1997 hanya menghasilkan 1,29 juta ton namun pada
tahun 2006 bisa menghasilkan minyak sawit sebanyak 6,09 juta ton . Hal ini dapat terlihat dari gambar 4.2 Perkembangan Produksi Minyak Kelapa
Sawit di Indonesia selama 10 tahun terakhir 1997-2006.
500000 1000000
1500000 2000000
2500000 3000000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rakyat
Negara Swasta
Gambar 4.2. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Indonesia berdasarkan Kepemilikan
4.1.2. Industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit
Perkembangan industri minyak kelapa sawit di Indonesia salah satunya ditandai dengan bertambahnya jumlah unit dan kapasitas pabrik pengolahan kelapa sawit. Industri
minyak kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan perkebunan swasta besar, yaitu dari 295 PKS terdapat 226 unit PKS yang dimiliki perkebunan besar swasta 77,4,
sedangkan yang dikelola oleh perkebunan negara hanya 69 unit PKS 22,6. Lampiran.12
Hingga tahun 2005 sudah tercatat sebanyak 295 PKS Pabrik Kelapa Sawit yang tersebar di 17 Propinsi di Indonesia. Sebagian besar PKS terdapat di Sumatera 82,4,
Sisanya di Jawa 0,7, Kalimantan 10,8, Sulawesi 3,4 dan Papua 2,7.
1000000 2000000
3000000 4000000
5000000 6000000
7000000 8000000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rakyat
Negara Sw asta
Tabel 4.2 Jumlah Pabrik Kelapa Sawit PKS menurut Propinsi tahun 2005
Propinsi Jumlah
PKS Kontribusi
Kapasitas TonJam
Kontribusi
NAD 17 5,8
543 4,7 Sumut
88 29,8 3131 27,1
Sumbar 9 3,1
335 2,9 Riau
71 24,1 3039 26,3
Jambi 17 5,8
835 7,2 Sumsel
25 8,5 1205 10,4
Bengkulu 7 2,4
290 2,5 Babel
3 1,0 137 1,2
Lampung 6 2,0
228 2,0
Sumatera 243 82,4
9743 84,2
Jabar 2 0,7
60 0,5
Jawa 2 0,7
60 0,5 Kalbar
13 4,4 520 4,5
Kalteng 7 2,4
258 2,5 Kalsel
4 1,5 140 1,2
Kaltim 8 2,7
250 2,2
Kalimantan 32 10,8
1195 10,3
Sulteng 4 1,4
120 1,0 Sulsel
6 2,0 210 1,8
Sulawesi 10 3,4
330 2,9 Papua
8 2,7 240 2,1
Total 295
100.00 11568
100.00
Sumber : BisInfocus, 2005 Dalam hal produksi maka Sumatera masih unggul dibandingkan dengan daerah
lainnya, hal ini dapat dilihat dari jumlah PKS yang tersebar di beberapa propinsi di Sumatera. Kalimantan dengan kontribusi sebanyak 10,8 dari kapasitas nasional mulai
mengembangkan industri kelapa sawitnya dengan melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Demikian juga dengan Sulawesi dan Papua, dengan tuntutan dan upaya
yang sejalan untuk ekspansi area perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, maka daerah tersebut juga memiliki peluang besar dalam memperluas area kelapa sawitnya.
Gambar 4.3. Kontribusi Jumlah Pabrik Kelapa Sawit Berdasarkan Propinsi
Pengolahan Kelapa Sawit
Minyak sawit adalah bahan baku utama minyak goreng. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang ikatan molekulnya
mudah dipisahkan dengan alkali, sehingga mudah dibentuk untuk berbagai keperluan, seperti pelumas dalam berbagai proses idustri dan untuk industri tekstil.
Tanaman Kelapa Sawit secara umum waktu tumbuh rata-rata 20 25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit
tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat sampai enam tahun. Dan pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode matang
the mature periode, dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan segar Fresh Fruit Bunch. Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh
tahun mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Dan terkadang pada usia 20-25 tahun tanaman kelapa sawit mati.
8 2 .4 0 .7
1 0 .8 3 .4 2 .7
S u m a te ra J a w a
K a lim a n ta n S u la w e s i
P a p u a
Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan secara maksimal. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit kernel, dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO
crude palm oil sedangkan buah sawit diolah menjadi PK kernel palm. Ekstraksi CPO rata-rata 20 sedangkan PK 2.5. Sementara itu cangkang
kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri melalui proses penyulingan, penjernihan
dan penghilangan bau atau RBDPO Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil. Disamping itu CPO dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat RBD Stearin
dan untuk produksi minyak sawit cair RBD Olein. RBD Olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD Stearin terutama dipergunakan untuk
margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam
lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit tersebut dapat menghasilkan 73 olein, 21 stearin, 5 PFAD Palm Fatty Acid Distillate dan 0.5
buangan.
4.2. Kebijakan
Menurut Amang 1996, Minyak sawit dikenal sebagai bahan mentah utama minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng. Ditinjau
dari segi pemenuhan gizi, peran minyak goreng adalah cukup penting karena minyak goreng merupakan sumber nabati utama. Hal ini ditunjukkan dari hasil SUSENAS 1993
yang menunjukkan bahwa 10 persen konsumsi kalori pangan berasal dari minyak goreng nabati dan lemak, khususnya minyak. Dari segi penghasil devisa, kelapa sawit
memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam neraca perdagangan nasional.
Menurut BisInfocus 2005, Pertumbuhan volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia menunjukkan rata-rata 23 per tahun dalam kurun waktu satu dasawarsa
1995-2004. Volume ekspor CPO meningkat dari 1,265 juta ton di tahun 1995 menjadi 8,66 juta ton di tahun 2004.
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2000000
4000000 6000000
8000000 10000000
Gambar 4.4. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Kelapa Sawit CPO Indonesia
Gambar 4.4 menunjukkan adanya variasi peningkatan volume ekspor minyak kelapa sawit CPO pada kurun waktu 1995 hingga 2004. Walaupun sempat mengalami
penurunan yaitu pada tahun 1998 namun setelah itu volume ekspor CPO terus bergerak walaupun lambat dan menunjukkan peningkatan yang signifikan hingga tahun 2002 tetapi
tidak bertahan lama karena pada tahun 2003 tidak meningkat tajam, barulah pada tahun 2004 menunjukkan peningkatan volume ekspor lagi.
Adanya variasi pertumbuhan volume ekspor CPO diduga karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam mendorong peningkatan ekspor kelapa sawit
Indonesia. Diantara kebijakan tersebut yaitu pengenaan tarif pungutan ekspor yang cenderung menghambat perkembangan ekspor. Walaupun kebijakan tersebut dianggap
mampu mengendalikan pasokan minyak goreng sawit dalam negeri.
Pemerintah menganggap bahwa peranan minyak goreng terhadap perekonomian cukup besar, terutama dalam rangka stabilisasi harga baik bagi produsen maupun bagi
konsumen, maka berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan tersebut terutama dibuat ketika terjadi gejolak harga minyak goreng.
Kebijakan periode Tahun 1969-1976
Masalah yang terjadi adalah mengenai tata niaga kopra yang menjadi bahan baku minyak goreng yang dominan pada saat itu. Kopra merupakan salah satu sumber devisa
Negara yang cukup potensial dan menjadi sumber pendapatan bagi beberapa daerah seperti Sulawesi Tengah. Pada tahun 1960-an terjadi kemerosotan ekspor kopra yang
sangat memprihatinkan, dan dalam beberapa tahun produksi kopra tidak mengalami kenaikan. Padahal permintaan akan minyak goreng terus meningkat. Terjadinya
penurunan produksi kopra di Indonesia erat hubungannya dengan goncangan harga kopra di pasaran dunia yang berdampak negative pada pendapatan petani kopra dan
produksinya. Pada saat itu petani kopra hanya menerima kurang dari 50 persen harga ekspor, yang menjadi penyebab diantaranya adalah :
1. Tidak ada kepastian usaha bagi para eksportir dan pengusaha akibat banyaknya campur tangan instansi dalam tata niaganya dan adanya pungutan resmi dan tidak
resmi yang membuat biaya pemasaran menjadi membengkak. 2. Petani kopra tidak merasakan banyak manfaat dari koperasi kopra
3. Hilangnya kepercayaan luar negeri terhadap mutu dan kontinuitas pasokan kopra Indonesia yang disebabkan lemahnya koordinasi pemasaran dan pengapalan.
4. Penertiban dalam bidang pemasaran, pengapalan dan stabilisasi harga kopra, terutama pasar dalam negeri, belum dapat dilaksanakan dengan peraturan-
peraturan yang ada. Atas dasar permasalahan tersebut pemerintah pada tahun 1969 mengeluarkan
Keputusan Presiden Keppres Nomor 671969 untuk mengkoordinasi pemasaran kopra. Instrumen yang diterapkan yaitu :
1. Harga kopra minimum sebagai harga patokan minimal di tingkat petani ditetapkan secara periodik.
2. Ditetapkan rayonisasi bagi pelaku tata niaga untuk menjamin keterturan tata niaga 3. Penentukan pelabuhan akumulasi ekspor kopra untuk menjamin kepastian
pengapalan danpeningkatan efisiensi penanganan 4. Dibentuk agen pemasaran di luar negeri untuk mengembalikan citra ekspor kopra
Indonesia dan perdagangan kopra dikenakan sumbangan rehabilitasi kopra yang besarnya bervariasi antar daerah, hal ini dimaksudkan untuk peningkatan produksi
dengan jalan mengadakan konvensi dengan para pelaksana tata niaga untuk menyumbangkan sebagian dari keuntungan untuk tujuan rehabilitasi produksi
kopra. 5. Koperasi kopra dipilih secara selektif dan didata oleh pemerintah daerah untuk
menjaga harga tetap kompetitif. 6. Diperbolehkannya perdagangan kopra antar pulau jika harga kopra dalam negeri
lebih tinggi dari harga dunia. 7. Dibentuk tim konsultasi daerah untuk kelancaran kerja BAPENGKO Badan
Pengurusan Kopra dan diadakan pertemuan berkala.
Hasil kebijakan tersebut berdampak positif dan negatif. Diantara dampak positifnya dalah adanya jaminan kepastian usaha, campur tangan instansi pemerintah
dalam BAPENGKO berkurang, membaiknya kepercayaan importir di luar negeri, akumulasi dan pengapalan kopra membaik dan cukup lancar dan sumbangan Rehabilitasi
Kopra digunakan untuk menunjang sarana produksi kopra. Adapun dampak negatifnya adalah menyangkut dana sumbangan rehabilitasi kopra hanya 30 persen saja yang
diserahkan ke BAPENGKO dan tidak jelas penggunaannya, akibatnya produksi merosot dan pendapatan petani juga berkurang, bahkan banyak terjadi pengalihan kebun kopra
menjadi kopi dan coklat.
Kebijakan periode Tahun 1977-1985
Akibat dari gejolak harga kopra tahun 19771978 Indonesia mengalami kekurangan bahan baku minyak goreng. Minyak sawit semula hanya ditujukan untuk
ekspor. Tapi perkembangan selanjutnya minyak sawit juga diarahkan untuk pasar dalam negeri, karena minyak sawit dapat mensubstitusi minyak kelapa dan pasar domestik
mengalami kelangkaan kopra. Maka pemerintah membuat kebijakan untuk mengatasi kekurangan pasokan
bahan baku minyak goreng dan utnuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri. Diantara kebijakan tersebut yaitu :
1. Pemasaran hasil produksi CPO dan minyak inti sawit diatur oleh pemerintah dan sebagian hasilnya diharuskan untuk dipasarkan di dalam negeri sebagai substitusi
minyak kelapa. 2. Kebijaksanaan penetapan harga CPO dan stearin untuk industri dalam negeri
yang dikeluarkan setiap tiga bulan sekali.
3. Perdagangan minyak kelapa dan minyak sawit serta derivatnya dibebaskan, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, artinya tidak ada lagi keharusan untuk
penjualan di dalam negeri. Hasil kebijakan tersebut memberi pengaruh langsung, diantaranya meningkatnya
volume perdagangan dalam negeri mengikat namun pangsa luar negeri menjadi berkurang, dengan penetapan harga CPO maka harga CPO dalam negeri menjadil;ebih
mahal dari pada harga CPO di pasar dunia sehingga menimbulkan kelesuan industri minyak goreng dalam negeri dan berpengaruh terhadap produsen kelapa sawit.
Kebijakan Periode Tahun 1984-1993
Pada tahun 1984 terjadi gejolak harga minyak goreng karena pasokan minyak goreng dalam negeri berkurang. Disamping kebijakan yang berlaku, pemerintah
memandang perlu untuk membuat program stabilisasi harga. Pemerintah menugaskan BULOG Badan Urusan Logistik untuk mengadakan monitoring berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan minyak goreng, yaitu : 1. Mengawasi pengolahan bahan baku minyak goreng di pabrik kelapa sawit.
2. Mengawasi pengapalan CPO dan derivatnya daripusat-pusat produksi ke pabrik minyak goreng.
3. Mengawasi pendistribusian minyak goreng. Dampak yang terjadi akibat kebijakan tersebut dirasa cukup positif, dimana
gejolak harga dapat diredam dan variasi harga minyak goreng di dalam negeri relatif rendah.
Kebijakan Periode Tahun 1994
Masalah dimulai sejak tahun 1992 dimana ketika harga bahan pokok stabil namun harga minyak goreng justru meningkat. Hal ini sehubungan dengan kenaikan harga CPO
yang cepat di luar negeri, sehingga membuat laju ekspor CPO dari Indonesia meningkat. Peningkatan tersebut mengakibatkan langkanya CPO di pasaran dalam negeri.
Pemerintah kemudian menetapkan berbagai kebijakan untuk meredam harga minyak goreng dan menjamin pasokan untuk dalam negeri diantaranya :
1. Menetapkan pajak ekspor atas CPO dan hasil olahannya secara berkala. 2. Penumpukan cadangan penyangga CPO di dalam negeri oleh BULOG.
3. Impor CPO oleh BULOG jika penetapan pajak ekspor dan cadangan penyangga belum memadai.
Dampak kebijakan tersebut cukup positif dimana terjadi perlambatan laju inflasi dan gerakan kenaikan harga minyak goreng di dalm negeri dapat diperlambat relatif
terhadap laju kenaikan harga minyak goreng di pasaran dunia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam persamaan diketahui variabel bebas terdiri dari Harga Minyak goreng pada bulan t-1 X
1
, Harga CPO Domestik pada bulan ke-t X
2
, Harga CPO Internasional pada bulan ke-t X
3
, Kebijakan Pungutan Ekspor atas CPO untuk minyak goreng X
4
, dan Dummy Kebijakan Domestik Market Obligation D
1
, dari variabel-variabel bebas tersebut akan dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap penurunan harga minyak
goreng Curah Domestik sebagai variabel dependen variabel terikat. Namun dalam kajian penulisan lebih lanjut ditentukan bahwa variabel bebas yang digunakan hanya
Harga CPO Domestik X
1
, Kebijakan Pungutan Ekspor atas CPO untuk minyak goreng X
2
dan Dummy Kebijakan Domestik Market Obligatin D
1
. Hal ini dikarenakan adanya gejala Multikolinearitas yang terjadi pada persamaan.
Gejala multikolinearitas dapat dideteksi salah satunya dengan Tabel Coefficient Lampiran 2. Pada semua variabel nilai VIF mempunyai nilai lebih dari 10, dan nilai
toleransi kurang dari 0,1. Nilai tolerance yang mendekati 0, menunjukkan adanya multikolineritas yang tinggi, yang mengakibatkan peningkatan standar error dari
koefisien regresi. Tolerance adalah persentase variance pada setiap variabel yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel lainnya. Sehingga, tolerance yang kecil menunjukkan
bahwa 70-90 variance dapat dijelaskan oleh variabel lain. Gujarati 1994 mengungkapkan tindakan perbaikan yang bisa dilakukan ketika
terdapat masalah multikolinearitas yang serius salah satunya dengan mengeluarkan suatu variabel atau variabel-variabel dari bias spesifikasi. Cara ini merupakan cara yang
sederhana karena kesalahan yang mungkin terjadi adalah bias spesifikasi atau kesalahan spesifikasi . Dalam persamaan Variabel X
1
Harga Minyak goreng Domestik pada bulan
ke t-1 secara logika akan berkolinear dengan variabel X
2
Harga CPO domestik pada bulan ke-t. Hal ini disebabkan karena harga Minyak goreng domestik akan cenderung
bergerak dengan arah yang sama dengan Harga CPO Domestik. CPO merupakan produk turunan dari Kelapa Sawit. Menurut Pahan 2007, Berdasarkan SKB 3 Menteri,
Pengaturan alokasi produksi Minyak Kelapa Sawit MKS berdasarkan penggunaan dan harganya ditentukan sebagai berikut :
1. Harga MKS untuk pembuatan minyak goreng ditetapkan di Belawan 2. Harga MKS untuk operasi pasar berdasarkan minyak goreng dikurangi dengan
biaya operasional 3. Harga MKS untuk industri hilir sama dengan harga Ekspor FOB Belawan.
Sehingga untuk menghilangkan multikolinearitas dari persamaan, Variabel X
1
Harga Minyak goreng Domestik pada bulan ke t-1 dikeluarkan dari persamaan. Hal yang sama juga berlaku untuk X
3
Harga CPO Internasional pada bulan ke- t. Erningpraja,dkk2004 dalam tulisannya tentang Dibalik Harga TBS yang dapat
Kubayar menggambarkan bahwa Harga CPO DomestikFOB terbentuk berdasarkan harga CPO duniaCPO Internasional. Hal ini menyebabkan kedua variabel cenderung
memiliki arah yang sama. Hal yang sama juga diungkapkan Pahan2007 bahwa Pembentukan harga MKS akan sangat ditentukan oleh situasi perdagangan MKS diluar
negeri. Dari Coefficient Table Lampiran 2, variabel Harga CPO internasional memiliki korelasi tertinggi yaitu 484,358. Sehingga variabel ini perlu untuk dikeluarkan sehingga
akan mengatasi masalah multikolinearitas yang terjadi.
Setelah mengeluarkan 2 variabel dari persamaan, diperoleh persamaan baru :
1 3
2 2
1 1
D X
X Dengan :
Y = Harga Minyak goreng Domestik pada bulan ke-t Rupiah
X
1
= Harga CPO Domestik pada bulan ke t Rupiah X
2
= Kebijakan Pungutan Ekspor atas turunan CPO untuk Minyak goreng
D
1
= Dummy Kebijakan Domestik Market Obligation Pasokan Produsen Minyak goreng ke pasar domestik ; 0= Sebelum ada penetapan
Kebijakan DMO , 1= Setelah ada penetapan kebijakan DMO µ
= Random Error ß
1
, ß
2
, ß
3
=Koefisien variabel regresi
5.1. Hasil