Perkembangan definisi dan diagnosis PCOS

meningkatnya jumlah folikel preantral dan folikel antral kecil yang memproduksi AMH. 2,26 Pigny P,et al 2003, Piltonen T, et al 2005, Laven JS,et al 2004, membuktikan bahwa kadar AMH berhubungan dengan jumlah folikel yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi ovarium, dan juga menunjukkan hubungan dengan kadar testosteron dan LH serum. 10,26 Moran LJ,et al 2007, menyatakan sebagai penanda dari jumlah folikel antral kecil, AMH juga dapat mencerminkan perluasan penyakit pada PCOS dan memprediksi kemungkinan terjadinya normalisasi siklus menstruasi dengan intervensi penurunan berat badan. 27 Stubbs SA,et al 2005 menemukan pewarnaan histokimia AMH pada ovarium wanita PCOS menurun secara bermakna pada pematangan folikel primer, yang mengindikasikan keterlibatan AMH secara langsung dalam proses rekrutmen folikel awal yang tidak normal pada pasien-pasien tersebut. 27 Lebih jauh lagi menurut Pellat L, et al 2007 perubahan produksi AMH oleh folikel antral ukuran menengah diduga merupakan elemen kunci dalam kegagalan seleksi folikel dominan pada wanita PCOS 28 . Peningkatan kadar AMH juga telah diamati pada anak perempuan prepubertal 29 , dan peripubertal 30 dari wanita PCOS, dan begitu juga remaja PCOS dengan siklus menstruasi yang normal, yang mengindikasikan bahwa perubahan perkembangan folikel sudah dijumpai pada masa anak-anak dan dewasa muda sebelum dijumpainya fenotip klinis dari disfungsi ovarium. 31

2.4. Perkembangan definisi dan diagnosis PCOS

Sampai saat ini , dijumpai tiga konsensus yang diajukan untuk mendiagnosa PCOS. Diawali dengan konsensus yang dihasilkan dari konferensi para ahli yang disponsori oleh National Institutes of Health NIH Amerika serikat pada tahun 1990. Diagnosa ditegakkan dengan dijumpainya 1 Keadaan hiperandrogenisme danatau hiperandrogenemia, 2 Anovulasi kronik, dan 3 eksklusi dari penyakit lain yang menyerupai misalnya hiperprolaktinemia, gangguan tiroid, dan hiperplasia adrenal kongenital. Konsensus kedua dihasilkan dari konferensi yang disponsori oleh European Society for Human Reproduction and Embryology ESHRE dan American Society for Reproductive Medicine ASRM pada tahun 2003 di Rotterdam. PCOS dapat didiagnosa setelah eksklusi dari penyakit lain yang menyerupai,dan Universitas Sumatera Utara dijumpainya dua dari tiga keadaan 1 oligo atau anovulasi, 2 Tanda klinis dan atau biokimiawi dari hiperandrogenisme, atau 3 Ovarium Polikistik. Harus dingat bahwa rekomendasi ini tidak menggantikan Kriteria NIH 1990, melainkan memperluas defenisi PCOS. Konsensus ketiga dikeluarkan oleh Androgen Excess Society AES tahun 2006, menyatakan bahwa untuk mendiagnosa PCOS harus memenuhi 3 kriteria: 1 Peningkatan androgen hiperandrogenisme klinis danatau biokimiawi, 2 Disfungsi ovarium oligo-anovulasi danatau gambaran ovarium polikistik, dan 3 Eksklusi penyebab lain peningkatan androgen atau gangguan ovulasi. 1 Tabel 2.1 Dikutip dari : Anti-Mullerian hormone and ovarian dysfunction 17 Kriteria NIH 1990 tidak hilang, melainkan diperluas dengan adanya kriteria rotterdam. Namun, memasukkan USG kedalam kriteria penegakan diagnosa PCOS banyak menimbulkan kontroversi hingga saat ini. Kontroversi yang muncul menyangkut reprodusibilitas dari pemeriksaan folikel antral menggunakan USG yang bagi sebagian kalangan ahli masih belum memadai. 1 Selain itu penentuan jumlah folikel serta ukuran folikel yang menjadi batasan PCOS juga masih kontroversial. Adams et al 1985 mengajukan kriteria dijumpainya lebih dari sepuluh kista berukuran 2-8 mm yang tersusun pada pinggir ovarium Universitas Sumatera Utara mengelilingi stroma yang padat. Tahun 1994, Dewailly et al mengajukan penggunaan hipertropi ovarium berupa luas area ovarium 5,5 cm 2 unilateral atau bilateral. Jonard et al 2003 pada tahun 2003 mengajukan dijumpainya volume ovarium lebih dari 11 mm danatau dijumpainya 12 folikel berukuran 2-9 mm rata- rata dari kedua ovarium. 32 Setelah konsensus Rotterdam, kontroversi masih terus berlanjut. Menurut Balen et al 2003 dengan kemajuan teknologi USG, ketajaman atau ekogenisitas stroma ovarium dapat diketahui secara lebih objektif, dan oleh karenanya kwantifikasi dari stroma ovarium melalui gambaran USG ternyata membuktikan bahwa hipertropi stroma merupakan penanda yang paling sering dan merupakan kriteria spesifik dari disfungsi endogen ovarium. Namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah aplikasinya pada praktek rutin sehari-hari. 3 Belosi C et al 2006, dengan mempertimbangkan hal tersebut, mengajukan kriteria diagnostik yang dianggap lebih reprodusibel yaitu pengukuran rasio stroma per luas area ovarium SA rasio dengan nilai titik potong 0,34. 32 Azzis 2005 menyimpulkan dalam artikelnya bahwa kriteria Rotterdam tahun 2003 dianggap prematur,khususnya sehubungan dengan heterogenisitas fenotip dari sindrom ini. 33

2.5. Skor Ferriman-Gallwey