Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

Tesis

Program Pendidikan Magister Bedah

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN KADAR

VASCULAR ENDOTHELIAL

GROWTH FACTOR

(VEGF) SERUM DENGAN

PERITUMORAL EDEMA INDEX

(PTEI) PADA

PENDERITA MENINGIOMA INTRAKRANIAL

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH :

THOMAS TOMMY

NO. CHS :FL 2172 / 2009

NIM : 097116005

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN – 2013


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL

GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM DENGAN

PERITUMORAL EDEMA INDEX (PTEI) PADA

PENDERITA MENINGIOMA INTRAKRANIAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN.

Nama PPDS : Thomas Tommy

Nomor CHS : FL 2172 / 2009

NIM : 097116005

Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah Saraf

Kategori : Bedah Saraf

Menyetujui,

PembimbingI : Pembimbing II :

(Prof. dr. Adril A. Hakim, SpS, SpBS(K)) (Prof. dr. Abdul Gofar S., SpBS(K))

NIP : 19460718 197703 1 000 NIP : 19440507 197703 1 001

Ketua Departemen Ketua Program Studi llmu Bedah Saraf, Ilmu Bedah Saraf,

(Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS(K)) (Prof. dr. Abdul Gofar S., SpBS(K))

NIP : 19490331 197711 1 001 NIP : 19440507 197703 1 001


(3)

Sudah diperiksa penelitian :

JUDUL : HUBUNGAN KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL

GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM DENGAN

PERITUMORAL EDEMA INDEX (PTEI) PADA

PENDERITA MENINGIOMA INTRAKRANIAL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN.

PENELITI : dr. THOMAS TOMMY

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH SARAF

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA

MEDAN, 5 JUNI 2013

KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU

( Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes. ) NIP :19690609 199903 2 001


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

DAFTAR TABEL, GAMBAR DAN KURVA ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 3

1.3. TUJUAN PENELITIAN ... 3

1.4. MANFAAT PENELITIAN ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MENINGIOMA ... 4

2.1.1. Sejarah dan Definisi Meningioma ... 4

2.1.2. Epidemiologi Meningioma ... 4

2.1.3. Patologi ... 4

2.1.4. Klasifikasi Meningioma ... 5

2.1.5. Karakteristik dan Diagnostik Meningioma ... 6

2.1.6. Prognosis ... 7

2.2. EDEMA OTAK ... 7

2.2.1. Edema Vasogenik... 8

2.2.2. Edema Sitotoksik ... 9

2.3. EDEMA PERITUMORAL DAN MENINGIOMA ... 10

2.3.1. Mengukur Peritumoral Edema ... 11

2.4. VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR(VEGF) ... 12

2.5. RESEPTOR VEGF ... 19

2.6. PERAN VEGF DAN TERAPI ANTI ANGIOGENIK... 21

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ... 22

3.2. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22

3.3. HIPOTESIS ... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. RANCANGAN PENELITIAN ... 31

4.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN... 31


(5)

4.3.1. Populasi Penelitian ... 31

4.3.2. Sampel Penelitian ... 31

4.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 31

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi... 32

4.3.3 Estimasi Besar Sampel ... 32

4.4. METODE PENGUMPULAN DATA ... 33

4.4.1 Persetujuan Setelah Penjelasan ... 33

4.4.2 Etika Penelitian ... 33

4.4.3 Pengumpulan Data ... 33

4.4.4 Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah ... 33

4.4.5 Pengolahan Sampel Darah ... 34

4.5. METODE ANALISIS DATA ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1. KARAKTERISTIK SAMPEL ... 36

5.1.1 Jenis Kelamin ... 36

5.1.2. Umur ... 36

5.1.3. Frekuensi Lokasi Tumor ... 37

5.1.4. Suku ... 38

5.1.5. Distribusi Berdasarkan Histopatologi ... 39

5.1.6. Distribusi Peritumoral Edema Index (PTEI) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)... 39

5.2. PTEI DAN VEGF DIBEDAKAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN ... 42

5.3. HUBUNGAN ANTARA PTEI DAN VEGF ... 43

BAB 6 PEMBAHASAN, SIMPULAN DAN SARAN 6.1. PEMBAHASAN ... 45

6.2. SIMPULAN ... 51

6.3. SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. : Data Penelitian

Lampiran 2. : Susunan Peneliti

Lampiran 3. : Naskah Penjelasan kepada Orang Tua / Kerabat Pasien

Lampiran 4. : Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 5. : Persetujuan Komite Medik Tentang Pelaksanaan Penelitian

Bidang Kesehatan Lampiran 6. : Analisis Statistik

Lampiran 7. : Dokumentasi Penelitian


(7)

DAFTAR TABEL, GAMBAR DAN KURVA

Tabel 5.1. : Jenis kelamin.

Tabel 5.2. : Analisis deskriptif (Umur).

Tabel 5.3. : Klasifikasi berdasarkan lokasi tumor. Tabel 5. 4 : Distribusi berdasarkan suku.

Tabel 5.5. : Frekuensi berdasarkan histopatologi. Tabel 5.6. : Analisis deskriptif PTEI dan VEGF.

Tabel 5.7. : PTEI dan VEGF berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 5.1. : Tampilan micro-wells sebelum pengukuran dengan ELISA

analyser.

Gambar 5.2. :Box Plot distribusi PTEI dan VEGF.


(8)

DAFTAR SINGKATAN

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

VEGFR : Vascular Endothelial Growth Factor Receptor

PTEI : Peritumoral Edema Index

MMP : Matrix Metalloproteinase

HIF1α : Heat Induced Factor 1α

IL : Interleukin

bFGF : Fibroblast Growth Factor

TGFα :Transforming Growth Factor α

TGF β : Transforming Growth Factor β

PDGF : Platelet Derived Growth Factor

Ang : Angiopoietin

Tie : Receptor Tirosin Kinase

EMA : Epithelial Membrane Antigen

CPA : Cerebellopontine Angle

MIB-1 : Suatu penamaan suatu teknik untuk menentukan index protein

Ki-67.

LCS : Liquor cerebrospinal

ATP : Adenosine Triphosphate

BBB : Blood brain barrier / Sawar darah otak

OeI / EI : Edema Index

VPF : Vascular Permeability Factor

PIGF : Placental Growth Factor

cDNA : Complement Deoxyribose Nucleic Acid

Flt-1 : Fms like tyrosine kinase. Disebut juga VEGFR-1

Flk : Fetal liver kinase. Disebut juga VEGFR-2

Fms : Macrophage Stimulating Factor


(9)

HuR : Human antigen R (HuR), juga dikenal sebagai ELAVL1 sebuah RNA binding protein

mRNA : Messenger Ribose Nucleic Acid

KDR : Kinase Insert Domain Receptor

EGF : Epidermal Growth Factor

RTK : Receptor of Tyrosine Kinase

CA4P : Combrestatin A4 3-O-Phosphate

VDA : Vascular Destoyer Tubulin Binding Agent

ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

HRP : Horse Radish Protein


(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Meningioma adalah suatu tumor jinak yang terjadi pada selaput otak susunan saraf pusat. Meningioma berasal dari arachnoid cap cells, suatu lapisan neuroektodermal yang membentuk lapis luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Tumor ini terjadi sekitar 20% dari semua tumor primer intrakranial dengan insiden yang telah dilaporkan sebesar 4,4 per 100.000 orang per tahun dan terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010). Penderita meningioma intrakranial dapat datang dengan edema peritumoral yang menyebabkan disfungsi neurologis perioperatif dan dapat meningkatkan risikocedera struktur-struktur neural intraoperatif jika edema yang terjadi cukup luas(Parket al, 2010).

Penelitian dan telaah literatur ilmiah dengan tujuan untuk mengetahui mengapa dapat terjadi variasi klinis edema telah dilakukan. Sampai tahun 2010 telah diteliti berbagai molekul yang berhubungandengan edema peritumoral pada meningioma, contohnya : VEGF, MMP9 (Panagopoulos et al, 2008; Iwado et al, 2012), HIF-1α, Interleukin-6 dan tenascin (Parket al, 2010), bFGF, TGFα, TGFß (Samotoet al, 1995).Beberapa penelitian lainnya juga telah menghubungkan proses angiogenesis dengan edema peritumoral. Angiogenesis dimediasi oleh sejumlah faktor pertumbuhan yang berbeda dan tampak sebagai suatu hal yang vital untuk pertumbuhan tumor (Lamszus et al, 2000).Faktor-faktor angiogenik, seperti VEGF, platelet-derived growth factor BB (PDGF-BB), dan angiopoietin-2 (Ang-2) telah dideskripsikan dalam sebuah publikasi (Ilhanet al, 2009).

Molekul Interleukin-6 adalah sebuah sitokin multifungsi dengan efek stimulasi poten terhadap respons imun sebagai tambahan dari fungsi-fungsi lainnya, termasuk regulasi sintesis protein fase akut, hematopoiesis, dan metabolismetulang. Interleukin-6 terekspresi pada berbagai tumor, termasuk


(11)

tumor otak. Baru-baru ini IL-6 ditemukan dapat menginduksi disfungsi sawar endothelial sehingga menyebabkan peningkatkan permeabilitas cairan yang berhubungan dengan kejadian edema. Temuan ini mengarahkan bahwa IL-6 dapat menjadi faktor penting terjadinya edema. Park et al telah memublikasikan bahwa IL-6 diproduksi oleh meningioma dan beratnya peritumoral edema berhubungan secara signifikan dengan ekspresi IL-6 (2010).

Sebagian peneliti lainnya mencurigai adanya peranVEGF yang mempengaruhi proses terjadinya edema. Edema pada meningioma telah dipikirkan sebagai akibat efek vasogenik dan berhubungan dengan sekresi VEGF oleh tumor, bukan sebagai akibat dari masa jaringan sekitar atau invasi vena yang menyebabkan kongesti vaskular (Saloner et al, 2010).

Angiopoietin juga telah teridentifikasi sebagai salah satu faktor pertumbuhan penting yang berhubungan dengan signalisasi VEGF. Ketika terstimulasi, angiopoietin-1 dan 2 (Ang-1/-2) disekresikan dan bekerja melalui reseptor tirosin kinase (Tie-2). Ang-1 menginduksi autofosforilasi reseptor Tie-2 yang memiliki ketergantungan terhadap Tirosine kinase, dimana Ang-2 memiliki sifat antagonis natural (Ilhanet al, 2009).

Penderita meningioma intrakranial datang ke Rumah Sakit dalam keadaan yang bervariasi, tergantung dari lokasi tumor; mulai dengan penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal, atau hanya dengan nyeri kepala saja. Gejala klinis yang terjadi, selain oleh akibat efek masa yang ditimbulkan oleh tumor, dapat ditimbulkan oleh adanya proses edema yang akan memengaruhi fungsi-fungsi fisiologis susunan saraf pusat. Proses edema yang terjadi dapat juga bervariasi; edema berat, edema ringan, maupun tanpa terjadi suatu edema.

Sampai saat ini penulis belum dapat menemukan publikasi penelitian yang spesifik mengenai VEGF dengan derajat luasnya edema peritumoral di Indonesia khususnya Sumatera Utara.Dengan karakteristik suatu tumor jinak yang dengan penatalaksanaan tepat dapat memberikan hasil yang baik dan dengan kompleksitas dalam mempelajari proses patologi yang terjadi,menyebabkan topik-topik dari meningioma menarik untuk dipelajari.


(12)

1.2.

RUMUSAN MASALAH

Belum diketahui hubungan kadar VEGF serum dengan PTEI pada penderita meningioma intrakranial.

Belum ada data penelitian mengenai hubungan kadar VEGF serum dengan PEI pada penderita meningioma intrakranial yang telah dilakukan di Indonesia.

1.3.

TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum :

Mengetahui hubungan antara kadar VEGF dalam serum terhadap luasnya edema peritumoral pada pasien meningioma intrakranial.

Tujuan khusus :

a. Mengetahui kadar VEGF serum pada pasien meningioma intrakranial.

b. Mengetahui PTEI pada pasien meningioma intrakranial.

1.4.

MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah : Bagi peneliti :

a. Memberikan gambaran dan data awal untuk penelitian di masa depan

mengenai VEGF dan meningioma intracranial.

b. Meningkatkan pengetahuan peneliti di dalam bidang Biologi

Molekuler dalam lingkup Ilmu Bedah Saraf, khususnya mengenai peran VEGF dalam meningioma intrakranial.

Bagi masyarakat :

a. Bertambahnya pemahaman mengenai edema peritumoral pada

meningioma akan meningkatkan strategi penatalaksanaan dalam pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.


(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

MENINGIOMA

2.1.1. Sejarah dan Definisi Meningioma

Meningioma adalah sebuah penamaan yang diberikan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922 untuk mendeskripsikan suatu tumor jinak pada selaput otak susunan saraf pusat (Al-Rodhan dan Laws, 1991).Pada awalnya, tumor ini dinamakan tumor fungoid, sarcoma, cylindroma, endothelioma, fibroma, meningoethelioma, arachnothelioma, meningocytoma, mesothelioma, leptomeningioma, dural exothelioma, arachnoidal fibroblastoma, dan pada akhirnya dinamakan meningioma (Chou dan Miles, 1991).

2.1.2. Epidemiologi Meningioma

Pada penelitian di Rochester, Minnesota, Amerika Serikat, yang dilakukan pada tahun 1935 hingga 1977, meningioma terdistribusi sebanyak 40%, tetapi penelitian epidemiologi tahun 1985 di negara yang sama melaporkan 20% dari tumor intrakranial adalah meningioma dengan insiden kejadian meningioma yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, sebesar 4,4 per 100.000 orang pertahun. Meningioma terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010) dengan predominasi perempuan terhadap laki-laki dengan rasio sebesar 2 : 1. Pada anak-anak, meningioma kerap terjadi 1% hingga 4% dari semua tumor otak. Umur rata-rata pada saat terdiagnosis adalah 11,6 tahun, dibandingkan dengan umur 6,3 tahun untuk tumor-tumor intrakranial lainnya pada anak (Otsukaet al, 2004; Al-Mefty et al, 2011).

2.1.3. Patologi

Meningioma biasanya berbentuk globular dan berkapsul.Tumor ini melekat pada dura dan dapat menekan jaringan otak yang berdekatan tanpa menginvasinya.Walaupun invasi dura dan sinus biasa terjadi, meningioma biasanya mudah dipisahkan dari pia mater (Al-Mefty et al, 2011). Meningioma


(14)

berasal dari lapisan neuroektodermal yang membentuk arachnoid cap cells, yang membentuk lapisan luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Seiring dengan pertambahan umur, kelompok-kelompok arachnoid cap cell akan menjadi lebih

jelas, membentuk whorls dan psammoma bodiesyang identik dengan

meningioma.Meningioma memiliki tampilan mesenkimal (sel berbentuk spindle dan produksi stroma kolagen) dan epitelial (sitologi bulat atau poligonal, adanya sejumlah intracellular junctions, ekspresi epithelial membrane antigen (EMA) dan fungsi-fungsi sekresi seperti kelenjar, yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis membedakan meningioma dengan arachnoid cap cells matur (Marwin et al, 2010).

2.1.4. Klasifikasi Meningioma

Pada tahun 2000, WHO mengklasifikasikan meningioma pada bagian tumor-tumor dari susunan saraf pusat (Tumors of the nervous system) di bawah bagian tumor dari meninges dan sub-bagian tumor dari sel-sel meningothelial.WHO mengenal tiga derajat berdasarkan kriteria patologinya dan risiko rekurensi serta pola pertumbuhannya (Al-Mefty et al, 2011).

Menurut klasifikasi WHO, meningioma dibagi menjadi 3 grade, yaitu Jinak (Benign :Grade I), Atipikal (Atypical : Grade II), dan Ganas (Malignant : Grade III). Meningioma meningothelial, meningioma fibrous (fibroblastik), meningioma transisional, meningioma psammomatous, meningioma angiomatosa, meningioma mikrokistik, meningioma sekretorik, meningioma lymphoplasmacyte-rich, meningioma metaplastik diklasifikasikan sebagai grade I. Meningioma chordoid, meningioma clear-cell, meningioma atypical diklasifikasikan sebagai grade II. Meningioma papillary, meningioma rhabdoid, meningioma anaplastik diklasifikasikan sebagai grade III (Otsuka, 2004; Marwin et al, 2010).

Lokasi umum meningioma primer dari urutan paling sering adalah parasagital, cavernous, tubercullum sellae, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium cerebelli, sudut serebelopontin, dan sinus sigmoid. Meningioma dengan frekuensi lebih rendah dapat terjadi di medula spinalis,


(15)

intraventricular, orbita (optic nerve sheath dan foramina opticum), intraoseus (tulang temporal petrosa), pineal, ekstrakalvaria, dan ektopik (cavum nasi, sinus paranasal, glandula parotis, paru-paru, glandula adrenal, dan mediastinum(Chou dan Miles, 1991;Otsuka, 2010).

Selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Bitzer et al, lokasi meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya pada konveksitas, falx, sphenoid wing, frontobasal, temporobasal, supraselar, tentorial, infratentorial, dan lainnya (1998).

Berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma dapat tumbuh sebagai suatu masa (en masse) atau tumbuh memanjang seperti karpet (en plaque). Varian en plaque pada awalnya dideskripsikan oleh Cushing sebagai suatu karakteristik tipikal meningioma sphenoid ridge, yang dapat juga disebut sebagai “hyperostosing en plaque meningiomas”. Deskripsi ini kemudian direvisi oleh Bonnal pada tahun 1980, dengan tipe-tipe dari meningioma sphenoid ridgeadalah

:en masse, invading en plaque, dan invading en masse.En masse adalah

meningioma globular klasik, meningiomainvading en plaque didefinisikan sebagai tumor berbentuk seperti karpet dengan adanya abnormalitas tulang, sedangkan meningioma en massedidefinisikan sebagai bentuk antara darien masse klasik dan meningioma invading en plaque dengan perlekatan dura yang luas tetapi tanpa tampilan seperti karpet (Talacchi et al, 2011).

2.1.5. Karakteristik dan Diagnosis Meningioma

Secara umum, penampilan karakteristik dan diagnosis meningioma adalah batas yang tegas dan perlekatan fokal pada dura. Tumor ini biasanya berbentuk globular, berkapsul, dan memiliki proyeksi pertumbuhan ke arah dalam, memiliki efek menekan tetapi tidak menginvasi parenkim kecuali dalam bentuk maligna, dan terkadang menginvasi dura dan sinus. Jika meningioma segar dipotong akan tampak pucat dan semi-transparan atau homogen dan berwana coklat kemerahan tergantung dari derajat vaskularisasinya. Pola kumparan (whorl) biasanya akan tampak pada permukaan potongan setelah dilakukan fiksasi. Konsistensi berpasir adalah tampilan umum yang dihubungkan dengan adanya badan psammoma.


(16)

Jaringan pembuluh darah yang kasar dapat tampak pada varian meningioma angiomatosa (Chou dan Miles, 1991).

2.1.6. Prognosis

Meningioma memiliki prognosis yang berbeda pada setiap klasifikasi atau derajatnya. Invasi parenkim otak dan lokasi anatomi akan memengaruhi prognosis serta laju rekurensi. Tumor yang berada pada dasar tengkorak seperti pada ala sphenoidalis atau invasi struktur yang penting seperti sinus venosus akan menimbulkan kesulitan dalam total removal dari tumor sehingga menimbulkan angka rekurensi yang tinggi. Walaupun meningioma yang berbatas tegas dapat diangkat secara keseluruhan, meningioma yang memiliki ekstensi ke ruang subdural (10% kasus) akan sulit untuk direseksi seluruhnya, seperti pada meningioma en plaque. Selain dari invasi parenkim dan lokasi anatomi, rekurensi juga kerap terjadi pada meningioma yang memiliki profil ganas, seperti pada pola hemangiopericytic atau papiler. Kriteria selular keganasan adalah adanya mitosis, peningkatan selularitas, polimorfisme inti sel, dan nekrosis fokal. Indeks mitosis yang tinggi juga salah satu aspek yang mengarah pada keganasan (Al-Mefty et al, 2011).

Hubungan kejadian rekurensi telah ditelaah dengan seksama. Hal-hal yang berhubungan dengan kejadian rekurensi tersebut adalah : umur, jenis kelamin, volume tumor, bentuk tumor, perubahan tulang, edema otak, perdarahan, subtipe histologis, indeks label MIB-1, dan VEGF. Tingkat ekspresi VEGF berhubungan dengan prediktor tertinggi terjadinya rekurensi, diikuti dengan indeks label MIB-1

yang tinggi (Al-Mefty et al, 2011). Ekspresi VEGF yang tinggi berhubungan

dengan kejadian rekurensi meningioma secara signifikan dan residual sekresi VEGF yang tersisa setelah pembedahan dapat menyebabkan neovaskularisasi yang dapat mendorong terjadinya rekurensi tumor (Yamasaki et al, 2000).

2.2.

EDEMA OTAK

Edema otak didefinisikan sebagai peningkatan volume otak akibat akumulasi cairan abnormal terlokalisasi atau difus di dalam parenkim otak (Weil


(17)

& Oldfield, 2011).Definisi ini tidak mengikutsertakan pembesaran volume akibat penumpukan darah akibat vasodilatasi (akibat hiperkapnia) atau gangguan aliran vena akibat obstruksi vena serebri dan sinus venosus (Nag et al, 2009).

Sesuai dengan Hukum Monroe-Kellie, pada awalnya perubahan volume otak dikompensasi dengan penurunan kadar LCS dan volume darah. Pada lesi hemisfer yang besar, pembengkakkan yang progresif akan melebihi kemampuan mekanisme kompensasi sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, yang dapat menyebabkan herniasi jaringan otak, yang mengarah kepada kematian. Besarnya edema yang terjadi dapat juga menyebabkan defisit neurologis progresif dan dapat membatasi pandanganlapangan operasi (Lindley et al, 1991). Permasalahan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan terhadap edema menjadi suatu hal yang penting dan sering dibahas pada literatur.

Sebagian besar klasifikasi edema serebri mendeskripsikan empat kategori edema, yaitu : sitotoksik, vasogenik, interstisial, osmotik. Usaha untuk menentukan kategori edema yang terjadi dalam suatu kasus adalah hal yang sulit karena dalam masing-masing kasus dapat terjadi lebih dari satu tipe edema yang terjadi secara bersamaan sebagai akibat dari keadaan penyebab yang terjadi (Weil & Oldfield, 2011).

2.2.1. Edema Vasogenik

Edema vasogenik dapat memiliki mekanisme yang sama dengan edema sitotoksik dan bentuk edema lainnya. Penyebab utama dari pembentukan edema vasogenik adalah adanya kelainan sawar darah otak.Hal yang paling umum terjadi adalah pada tumor otak primer atau sekunder, dimana pembuluh darah mikro yang baru terbentuk memiliki defisiensi tight junctions, menyebabkan gangguan sawar darah otak sehingga terjadikebocoran plasma ke ruang ekstraselular. Selain proses yang telah dijelaskan sebelum ini, edema dapat juga terjadi akibat adanya invasi dan migrasi sel. Sebagai tambahan, banyak tumor memiliki mekanisme aktif yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan pembentukan vaskularisasi baru. Hal yang paling luas dipelajari adalah agen yang dapat meningkatkan permeabilitas, proliferasi endothelial, dan migrasi serta organisasi kapiler baru, yaitu VEGF.


(18)

Agen-agen lain yang telah teridentifikasi adalah angiopoietin-1, angiopeietin-2, fibroblast growth factor, hepatocyte growth factor / scatter factor, platelet-derived

growth factor, interleukin-3 (IL3), IL4, IL8, transforming growth factor-α

(TGFα), TGFß, sejumlah molekul adhesi dan protease seperti urokinase plasminogen activator, multiple matrix proteinase, integrin, bahkan onkogen(Weil & Oldfield, 2011).

2.2.2. Edema Sitotoksik

Edema sitotoksik dapat terjadi setelah adanya infark serebri atau meningitis, iskemik, sindroma Reye, trauma, kejang, dan intoksikasi air.Mekanisme umum terjadinya edema sitotoksik yang berhubungan dengan iskemia serebri adalah peran dari glutamat yang berlebihan.Pembengkakkan sel glia yang berhubungan dengan glutamat adalah adanya influx natrium ke dalam astrosit oleh hiperaktivitas glutamate transporter, menyebabkan influx klorida dan air secara pasif. Mekanisme lain dari edema sitotoksik adalah berkurangnya ATP intraseluler yang menyebabkan influx kalsium (Weil& Oldfield, 2011). Karena edema sitotoksik kurang berperan dalam pembentukan peritumoral edema, maka tidak dibahas secara mendalam pada pembahasan ini.


(19)

2.3.

EDEMA PERITUMORAL DAN MENINGIOMA

Edema peritumoral adalah suatu edema yang terjadi pada jaringan di sekitar tumor, berhubungan dengan suatu edema vasogenik. Edema vasogenik peritumoral secara fisiologi berarti adanya peningkatan kandungan air per gram jaringan yang menyebabkan pembesaran berlebihan dari ruang ekstraselular. Oleh karena itu, temuan VEGF pada ruang ekstraselular dan ekspresinya menggarisbawahi peran VEGF pada pembentukan edema peritumoral (Plate et al, 1997).

Meningioma seperti pada tumor susunan saraf pusat lainnya juga memiliki kemampuan untuk menyebabkan edema peritumoral. Pemeriksaan CT Scan dan MRI telah menunjukkan insiden edema serebri di sekeliling tumor sebesar 46% hingga 92% (Lindley et al, 1991; Paeket al, 2002; Otsuka,2004 ; Bitzer et al, 1998).

Edema yang terjadi telah dihubungkan dengan umur, jenis kelamin, ukuran tumor, lokasi, histologi, laju pertumbuhan, produk sekresi dan reseptor hormon. Akan tetapi, tidak ada hubungan absolut telah ditegakkan antara jumlah edema dan faktor-faktor yang telah disebutkan (Lindley et al, 1991; Osawa, 2013).

Edema yang terjadi pada white matter lebih rentan mengalami edema dibandingkan dengan grey matter. Hal ini disebabkan karena white matter memiliki densitas sel yang lebih tinggi dengan koneksi antar sel yang lebih banyak, sehingga ruang ekstraseluler grey matter kurang terpengaruh terhadap terjadinya edema(Nag et al, 2009).

Pada edema vasogenik, terjadi kerusakan komponen sawar darah-otak (BBB). Komponen seluler dari BBB adalah sel endotel, perisit, dan prosesus

astrositik perivaskular, dan neuron yang terlibat membentuk unit

neurovaskular.Tipe sel yang telah banyak dipelajari adalah sel endotel serebri yang memiliki dua penampilan struktural berbeda, yang membatasi permeabilitasnya terhadap protein plasma.Sel-sel tersebut memiliki caveolae lebih sedikit atau vesikel plasmalemmal dibandingkan dengan pembuluh darah non-neuronal dan tight junction sirkumferensial tampak sepanjang ruang antar


(20)

endotel.Penelitian ultrastruktural telah mendemonstrasikan peningkatan jumlah caveolae endotelial.Temuan ini mengarahkan pemikiran bahwa peningkatan jumlah caveolae endotelial adalah jalur utama lewatnya protein plasma melewati endotel melalui transitosis fase cair dan kanal transendotelial (Nag et al, 2009).

Beberapa konsep mengenai patogenesis terjadinya edema peritumoral telah dijelaskan, seperti: ukuran tumor, lokasi, histologi, derajat selular atau vaskularisasi, kemungkinan terjadinya iskemia, obstruksi aliran balik vena akibat kompresi oleh tumor atau aktivitas sekresi, reseptor hormon seks, juga adanya perdarahan dari peredaran darah serebral, tetapi semua itu belum dapat dipastikan (Bitzer et al, 1998; Vaz et al, 1998).

2.3.1. Mengukur Peritumoral Edema

Dari hasil pemeriksaan radiologis, volume dari tumor dan edema dapat diukur dan indeks edema dapat dihitung (Bitzer et al, 1998; Otsuka et al, 2004). Volume dari tumor dapat diperhitungkan dengan formula hitung volume elliptical sphere :

Hubungan antara edema peritumoral dengan volume tumor didefinisikan sebagai indeks edema:

OeI =1, mengindikasikan tidak ditemukannya edema.

Derajat dari beratnya edema peritumoral telah ditentukan oleh Paek SH et al pada penelitiannya tahun 2002 sebagai : Grade 0, tidak terjadi edema atau edema yang dapat dihiraukan (PTEI <0,1); Grade 1, edema ringan (0,1<PTEI<1,0); Grade 2, edema sedang (1,0<PTEI<2,0); Grade 3, edema berat (PTEI >2).

abc

v

=

π

×

3

4

Tumor Edema

v

v

v


(21)

2.4.

VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR(VEGF)

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) adalah suatu protein yang identik dengan Vascular Permeability Factor (VPF), terdiri dari A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, Placental Growth Factor (PIGF), Vammin atau VEGF-F. Sebelum ditemukan isoformlain, VEGF-A dikenal hanya dengan VEGF.VEGF adalah sebuah protein terglikosilasi berbentuk homodimer dengan ikatan disulfida, berukuran 34 - 46 kD (Plate et al, 1997; Bitzer et al, 1998; Machein dan Plate, 2000), dengan terminal N dan domain ikatan heparin. Memiliki homologi sebesar 20% terhadap platelet-derived-growth-factor(PDGF).

VEGF-A yang juga disebut identik denganVascular Permeability Factor (VPF)(Sakuma et al, 2008; Bitzer et al, 1998), adalah sebuah Growth Factor dengan aktivitas mitogenik spesifik terhadap endotel. VEGF telah dimurnikan dari sel-sel folikulostelata hipofisis, sel-sel AtT-20 hipofisis dan sel-sel GS-9L glioma dalam medium terkondisi. Selain itu, dari sel-sel tumor guinea pigdan sel-sel limfoma histiositik manusia U-937 dalam medium terkondisi, sebuah protein yang memiliki kemampuan untuk menginduksi permeabilitas vaskular telah dimurnikan dan dinamakan VPF(Machein dan Plate, 2000).

Kloning molekuler dari complement DNA (cDNA) menunjukkan terdapat empat macam VGEF pada manusia sampai sejauh ini. Hal ini terjadi akibat dari alternative splicing dari mRNA (Bitzer et al, 1998). Keempat isoform berbeda

tersebut telah dinamakan berdasarkan jumlah asam aminonya, yaitu VEGF121,

VEGF165, VEGF189, dan VEGF206. Isoform terkecil VEGF121 tidak berikatan dengan haparin dan secara efisien disekresikan oleh sel-sel kedalam medium terkondisi. VEGF189 berikatan dengan heparin dan disekresikan, tetapi tetap

berikatan dengan matriks ekstraselular dari permukaan sel. VEGF165 yang

terkarakterisasi terbaik, paling dikenal dan paling banyak jumlahnya pada sebagian besar jaringan dan tumor, berikatan dengan heparin dan tersekresi tetapi tampak berikatan dengan matriks ekstraselular sampai keadaan tertentu. Signifikansi biologis dari isoform terbesar VEGF206 masih belum jelas (Plate et al, 1997).Korteks dewasa normal memiliki ekspresi mRNA dan protein VEGF


(22)

basal sedangkan ekspresi mRNA dan protein VEGF tinggi terdapat pada sel-sel epitelial pleksus koroid normal dan sel-sel ependimal (Nag et al, 2009).

VEGF-B adalah anggota dari keluarga VEGF yang menunjukkan homologi kuat terhadap VEGF-A. VEGF B memiliki dua isoform, yang mengikat VEGFR-1 dan neuropilin. VEGF-B adalah satu-satunya anggota dari keluarga VEGF yang terekspresi dalam kadar yang dapat terdeteksi pada susunan saraf pusat orang dewasa. VEGF-B memiliki peran dalam pemeliharaan BBB dalam keadaan stabil dan dapat bersifat protektif dalam kerusakan BBB dan pembentukan edema (Nag et al, 2009).

Sifat-sifat VEGF yang dapat menginduksi permeabilitas (Bitzer et al, 1998) telah didemonstrasikan pada jaringan otak.Publikasi oleh Nassehi (2013) telah menyatakan bahwa VEGF berperan dalam pembentukan edema pada meningioma dengan menginduksi pembentukan kapiler yang memiliki permeabilitas tinggi (leaky) sehingga menyebabkan sekresi VEGF dan plasma ke dalam jaringan peritumoral.Suntikan intrakortikal dari VEGF-A menghasilkan kerusakan BBB pada lokasi suntikan (Nag et al, 2009).

Sebuah hubungan yang kuat ditemukan antara ekspresi VEGF dan luasnya

neovaskularisasi pada tumor otak (Bitzer et al, 1998). Walaupun beberapa

jaringan normal memproduksi mRNA VEGF/VPF, jika dibandingkan, sel-sel tumor memiliki overekspresi mRNA dan protein VEGF/VPF (Otsukaet al, 2004).

VEGF adalah sebuah mitogen spesifik dari sel endotelial, in vitro, yang menginduksi angiogenesis dan permeabilitas vaskular secara in vivo (Plate et al, 1997; Otsuka, 2004),dengan potensi 1000 kali dibandingkan dengan histamin, VEGF juga merupakan suatu faktor angiogenesis penting selama perkembangan embrionik, pembentukan stroma tumor (Otsukaet al, 2004).Selain itu, defisiensi glukosa juga dapat menginduksi ekspresi VGEF. Dalam pertumbuhan tumor, VEGF penting untuk angiogenesis dan dapat menginduksi edema peritumoral (Paeket al, 2002).

Suatu penelitian oleh Bitzer et al(1998) menunjukkan bahwa glioma

dengan VEGF negatif jarang sekali berhubungan dengan edema, dimana glioma VEGF positif seringkali tampil dengan edema atau kista tumoral. Dari penelitian


(23)

tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa VEGF merupakan hubungan yang penting antara terjadinya edematogenesis yang berinteraksi dengan faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas seperti histamin, serotonin, bradikinin, leukokin dan prostaglandin.

Selain itu, VEGF dapat terinduksi oleh hipoksia sebagai penginduksi mayor) dan terekspresi dalam jumlah tinggi pada sel-sel perinekrotik palisade dari glioblastoma manusia sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. Secara in vitro, hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi VEGF sekitar sepuluh kali lipat dan juga suatu pendorong ekspresi gen (over expression) VEGF pada sel-sel glioblastoma secara in vivo. Hal ini mencerminkan pemicu paling penting dari angiogenesis dan edema. Adanya mRNA VEGF dalam jumlah besar pada sel-sel hipoksik adalah akibat peningkatan transkripsi gen VEGF dan peningkatan stabilitas messenger RNA (mRNA). Induksi hipoksik dari ekspresi VEGF juga dapat dimediasi oleh aktivasi c-src. Pada sel dengan c-src negatif kegagalan induksi VEGF oleh hipoksia telah terobservasi. Secara in situ, sel-sel yang mengekspresikan mRNA VGEF ditemukan dalam jumlah banyak di sekitar daerah nekrosis. Sel-sel ini kemungkinan dekat dengan kematian sel hipoksik dan menghasilkan sejumlah besar VEGF dalam rangka untuk menyelamatkan diri (Plate et al, 1997).

Beberapa penelitian lainnya menyimpulkan bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan vaskularisasi meningioma sedangkan ada beberapa penelitian yang menentangnya, hal ini dapat disebabkan karena adanya keterlibatan meningioma angiomatosa dan meningioma dengan grade yang lebih tinggi, seperti meningioma atipikal dan anaplastik. Meningioma angiomatosa menunjukkan densitas mikrovaskular terpadat, tetapi kadar VEGF-A tidak selalu tertinggi. Grade meningioma yang lebih tinggi akan memiliki kadar VEGF-A lebih tinggi tanpa peningkatan densitas mikrovaskular. Walaupun VEGF-A terlibat dalam angiogenesis pada meningioma, peningkatan ekspresi VEGF-A tidak menyebabkan peningkatan jumlah pembuluh darah (Sakuma et al, 2008).

VEGF-A juga telah dilaporkan sebagai regulator kunci terjadinya neovaskularisasi dan pembentukan edema peritumoral pada meningioma (Sakuma


(24)

et al, 2008). Dibandingkan dengan meningioma dengan ekspresi VGEF negatif, tumor dengan pewarnaan VGEF positif menunjukan indeks edema rata-rata lebih tinggi secara signifikan (4,2 vs. 1,5; p<0,018) (Bitzer et al, 1998). Pada penelitian klinis, konsep VEGF adalah suatu mediator utama dari edema peritumoral telah dikonfirmasi dengan berkurangnya penyangatan kontras, yang berhubungan dengan permeabilitas vaskuler, dan edema di sekitarnya pada pencitraan setelah pasien dengan glioblastoma diterapi dengan anti-VEGF, bevacizumab (Weil & Oldfield, 2011).

Beberapa penelitian telah melaporkan pentingnya ekspresi VEGF terhadap terjadinya edema peritumoral pada tumor otak. Telah dilaporkan hubungan antara VEGF terhadap edema peritumoral pada tingkat protein dan mRNA pada meningioma dan adanya hubungan yang kuat antara edema peritumoral dengan ekspresi VEGF. Sampai saat ini hubungan dari reseptor VEGF terhadap edema peritumoral dan peran reseptor VEGF pada edema peritumoral dan ekspresi reseptor-reseptor VEGF yang berhubungan dengan edema peritumoralmasih dalam penyelidikan. Telah diusulkan bahwa induksi terjadinya fenestrasi endotelialjaringan tumor mungkin menjadi mekanisme terjadinya edema yang dimediasi VEGF pada tumor otak. Penelitian oleh Otsuka et al menunjukkan ekspresi dari Flt-1 dan Flk-1 berhubungan dengan ekspresi VEGF dan ukuran dari edema peritumoral (2004).

VEGF ditemukan terekspresi secara heterogen dan secara eksklusif pada meningioma (Schmid, 2010), mengindikasikan bahwa faktor pertumbuhan lain dari VEGF mungkin memiliki peran dalam vaskularisasi meningioma. Placental growth factor (PIGF) yang berikatan dengan 1 tetapi tidak pada VEGFR-2 terdeteksi dalam beberapa meningioma. Signifikansi dari temuan ini sampai saat ini belum jelas(Plate et al, 1997), akan tetapi, VEGF diketahui menginduksi angiogenesis, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan memegang peran dalam neovaskularisasi dan pembentukan stroma tumor. Akumulasi VEGF yang berikatan dengan Flt-1 pada sel-sel meningioma berhubungan dengan terbentuknya kista mikro, yang menyebabkan terjadinya meningioma mikrokistik pada tampilan histologis, sehingga ekspresi dari VEGF dan reseptor VEGF


(25)

berhubungan secara positif dan berhubungan dengan terjadinya edema peritumoral pada meningioma (Otsukaet al 2004).

Meningioma dengan perdarahan tambahan dari pembuluh darah cerebral berhubungan dengan rata-rata indeks edema yang lebih tinggi secara signifikan (4,1 vs. 1,2; p<0,01) dan insiden edema (94,7% vs. 20,0%; p<0,0023) dibandingkan meningioma dengan perdarahan eksklusif dari arteri dura. Semua meningioma dengan ekspresi VGEF yang tinggi berhubungan dengan vaskularisasi yang berasal dari arteri cerebral (Bitzer et al, 1998).

Penelitian yang dilakukan oleh Bitzer et almenunjukkan adanya hubungan antara ekspresi VEGF, suplai arterial tumor dan edema peritumoral. Perkembangan dari suplai perdarahan dari arteri serebral dapat menjadi suatu hal yang penting dalam pembentukan edema yang berhubungan dengan meningioma. VGEF dapat mencerminkan suatu mediator yang berpotensi dalam evolusi vaskularisasi pada meningioma (1998).

Sebuah hubungan erat antara insiden edema dengan perdarahan arterial dari arteri serebral pada meningioma telah ditemukan. Perdarahan yang berasal dari pia mencerminkan sebuah hubungan erat antara tumor dan jaringan otak yang berhubungan. Membran araknoid ditembus oleh pembuluh darah serebral yang dapat dianggap tidak terdapat lagi pembatas fisiologis, suatu hal yang dapat mengindikasikan suatu infiltrasi tumor atau terjadinya disintegrasi pembatas araknoid. Sebuah hubungan yang kuat telah dibuktikan secara histologis akan adanya perlekatan tumor pada jaringan otak berdekatan dan keberadaan suatu edema (Bitzer et al, 1998).

Perkembangan dari perfusi pial terhadap tumor yang dialirkan oleh arteri serebral mencerminkan suatu tahap penting dalam proses angiogenesis suatu meningioma. Pada tumor dengan ukuran yang lebih kecil, perdarahan dura dapat menyokong nutrisi yang dibutuhkan, oleh karena itu perdarahan pial belum dibutuhkan. Dengan ukuran yang semakin membesar keberadaan perdarahan dari pial juga meningkat dan dapat ditemukan pembuluh-pembuluh serebral yang menembus tepi tumor. Pada umumnya perkembangan kapiler dibutuhkan jika ukuran tumor melebihi beberapa milimeter. Sebagai suatu mediator dari


(26)

angiogenesis keberadaan dari suatu faktor angiogenik telah dipostulasikan (Bitzer et al, 1998).

Edema peritumoral pada meningioma dapat memunculkan gejala klinis juga efek yang tidak diinginkan sebagai akibat dari adanya distorsi atau berkurangnya aliran darah cerebral sehinggaterjadi peningkatan tekanan intrakranial. (Bitzer et al, 1998). Edema peritumoral tersebut dipertimbangkan sebagai sebuah contoh dari edema vasogenik (Wang et al, 2011) akibat terganggunya sawar darah otak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas, walaupun hal ini sulit untuk dijelaskan dan mekanisme patofisiologinya belum jelas dimengerti. Peran dari pembuluh darah baru (neovessel) dan kapiler jaringan peritumoral meningioma dalam pembentukkan edema telah dipertimbangkan tetapi belum dapat diklarifikasi(Vaz et al, 1998).

Beberapa penelitian menekankan pentingnya VGEF dalam perkembangan angiogenesis tumor (Bitzer et al, 1998). Meningioma timbul secara ekstra-serebral sehingga terpisah dari white matter oleh leptomeninges dan korteks, selain itu, pertumbuhan tumor dapat merusak leptomeninges dan korteks sehingga mempersatukan jarak antara tumor dan white matter sehingga dapat terjadi transmisi langsung cairan edema (Vaz et al, 1998). Akan tetapi, faktor mekanik yang disebabkan oleh penekanan tumor terhadap jaringan sekitar tidak cukup menjelaskan terjadinya edema pada banyak kasus, khususnya meningioma yang berukuran kecil (Vaz et al, 1998).Penelitian oleh Constantini et al (1993) telah mendemonstrasikan tidak ada hubungan antara peritumoral edema dan kandungan air pada tumor. Pembuluh darah mikro dapat memberikan kontribusi dalam terbentuknya edema serebri di sekitar meningioma. Keberadaan perubahan morfologi sel-sel kapiler yang tidak berhubungan langsung dengan sel tumor dapat disebabkan oleh aksi dari satu atau beberapa faktor yang dapat berdifusi dengan jarak tertentu dari masa tumor (Vaz et al, 1998). Oleh sebab itu, dapat diambil kesimpulan bahwa sel-sel meningioma dapat melepaskan mediator kimiawi yang dapat menyebabkan edema, salah satu mediator kimawi tersebut adalah VEGF. VEGF dapat menembus jaringan pertumoral dan menyebabkan edema (Wang et al, 2011). VEGF dan VEGF mRNA secara simultan terekspresi


(27)

dengan korelasi positif terhadap terjadinya edema pada meningioma, tetapi hanya VEGF yang terdapat pada jaringan peritumoral tanpa adanya VEGF mRNA. Seiring dengan menjauhnya jarak dari tumor, ekspresi protein VEGF telah ditemukan menurun secara gradual (Wang et al, 2011).

VEGF berperan penting dalam mekanisme edema vasogenik pada meningioma. Meningioma dengan VEGF positif akan memiliki edema lebih luas,

yang berhubungan erat dengan intensitas pewarnaan VEGF secara

imunohistokimia. Beberapa peneliti juga telah menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA VEGF pada meningioma berhubungan dengan edema dan peningkatan peredaran darah dari arteri serebral melalui induksi proliferasi arteri dan perkembangan kapiler (Bitzer et al, 1998). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekspresi VEGF berhubungan positif dengan ekspresi HuR protein (Sakuma et al, 2008). Hipoksia akan menginduksi upregulation ekspresi VEGF dan translokasi sitoplasmik protein HuR pada sel-sel meningioma, dan jika terjadi inhibisi translokasi protein HuR akan mengurangi upregulation ekspresi VEGF. Temuan ini mengagas pemikiran bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan terjadinya

edema peritumoral pada meningioma dan HuR terlibat dalam

upregulationekspresi VEGF.

Dua jalur alternatif dari upregulasi VEGF adalah melalui :

1. Epidermal growth factor (EGF), platelet derived growth factor-B

(PDGF-B) dan basic fibroblast growth factor (bFGF) mampu menginduksi VEGF dalam sel-sel glioma secara in vitro tetapi masih belum jelas apakah dapat menginduksi VEGF secara in vivo.

2. Sel-sel yang terpengaruh oleh p53 mutan mengekspresikan kadar

VEGF lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel yang mengekspresikan p53 wild type. Tetapi, sampai saat ini belum ada bukti mencukupi untuk untuk menentukan peran overekspresi reseptor EGF atau hilangnya fungsi p53 dari upregulasi VEGF pada glioma secara in vivo (Plate et al, 1997).


(28)

Pemberian steroid mempengaruhi edema vasogenik yang menyebabkan berkurangnya ruang ekstraselular. Mekanisme ini belum jelas diketahui, tetapi telah ditunjukkan bahwa dexamethasone mampu menginhibisi produksi VEGF pada sel-sel glioma yang bergantung dengan dosis (Plate et al, 1997). Pemberian dexametahasone seperti yang telah dideskripsikan penggunaannya pertama kali pada tahun 1961 oleh Galicich, French, dan Melby (McClelland, 2008) telah terbukti dapat menurunkan sekresi VEGF sebesar 32% dari garis dasar (Tsai et al, 1999). Akan tetapi pemberian steroid dapat menjadi pisau bermata dua. Pemberian steroid untuk terapi tumor otak preoperatif dapat menyebabkan penurunan fungsi imunitas, hiperglikemia, dan gangguan penyembuhan luka (Bebawy, 2012).

Dasar struktural dari induksi permeabilitas vaskuler dari VEGF belum dimengerti dengan baik, namun beberapa mekanisme yang telah dipaparkan. Setelah VEGF berikatan dengan reseptornya, terjadi perubahan sitoskeletal yang menyebabkan kontraksi sel dan peningkatan permeabilitas vaskuler (interseluler). Mekanisme lain yang diajukan adalah peningkatan aktivitas organel vesiculer-vacuolar yang berfungsi sebagai transpor transendotelial secara in vivo dan oleh karena itu mengubah endotelium dari fenotipe tidak berfenestrasi menjadi terfenestrasi (seperti pada gromelorus) (Plate et al, 1997).

Sebuah penelitian menunjukkan suatu regulasi parakrin dari proses angiogenesis. VEGF dapat meningkatkan permeabilitas dari pembuluh-pembuluh darah serebral dan dapat menginduksi edematogenesis jaringan otak sekitar (Bitzer et al, 1998).

2.5.

RESEPTOR VEGF

VEGF dan reseptornya adalah regulator mayor dari angiogenesis pertumbuhan dan perkembangan. Telah ditemukan dua reseptor tirosine kinase dengan afinitas tinggi terhadap VGEF, yaitu VEGFR-1 (flt-1) dan VEGFR-2 (flk-1/KDR). Reseptor VEGF bersama dengan reseptor PDGF-α dan –β dan flt-4, membentuk subklas III dari reseptor tirosine kinase. Tirosine kinase seperti fms mununjukkan hubungan struktural dengan reseptor Fms/Kit/PDGF. Flt-1 terdiri


(29)

dari tujuh ulangan seperti imunoglobulin pada domain ikatan ligan, sebuah domain transmembran dan sebuah kinase (Plate et al, 1997).

Terdapat sedikitnya dua reseptor transmembran VEGF: fms-like tyrosine kinase (flt) dan fetal liver kinase (flk). Flt dan flk memiliki afinitas ikatan VEGF dan aktivitas tirosine kinase yang berbeda. Flt-1 dan Flk-1 adalah reseptor yang paling sering diteliti. Ekspresi dari Flk-1 dibutuhkan untuk efek mitogenitas dari VEGF, sedangkan Flt-1 mungkin berfungsi sebagai regulator negatif dari fungsi VEGF dengan memodulasi ketersediaan VEGF. Telah diketahui bahwa VEGF-A berikatan secara spesifik terhadap Flt-1 dan Flk-1, VEGF-B terhadap Flt-1, VEGF-C dan VEGF-D terhadap Flt-4 dan Flk-1, dan VEGF-E terhadap Flk-1.

Sel-sel endotelial akan terstimulasi oleh sel-sel tumor secara parakrin. (Bitzer et al, 1998; Otsukaet al, 2004) karena VEGF terdeteksi dalam jumlah besar pada pembuluh darahdi sekitar sel-sel yang memproduksi mRNA VEGF.VEGF yang disekresikan oleh sel tumor, berikatan dengan sel-sel endotelial yang mengekspresikan reseptor VEGF. Namun, pertumbuhan suatu keganasan intraparenkimal pada otak tidak perlu bergantung terhadap kemampuan sel-sel tumor untuk memproduksi VEGF (Plate et al, 1997).

Selain reseptor VEGF trans-membran, terdapat dua bentuk reseptor VEGF yang larut dalam plasma yang disebabkan oleh mekanisme alternative splicing(Saito et al, 2013), yaitu sVEGFR-1 dan sVEGFR-2 (Lorquet et al, 2010). Reseptor ini secara fisiologis terbentuk dan terjadi produksi berlebihan pada beberapa keadaan patologis. Reseptor ini juga dapat dianggap sebagai agen anti-VEGF. sVEGFR-1 memiliki peran penting dalam pembentukkan tunas dan migrasi pembuluh darah. Mekanisme peran sVEGFR-1 dan sVEGFR-2 dalam maturasi vaskular merupakan suatu hal yang kompleks akan tetapi terdapat beberapa bukti selama proses angiogénesis reseptor tersebut terlibat dalam komunikasi antara sel endotelium dan sel mural menyebabkan migrasi sel mural dan maturasi vaskular, selain itu upregulation sVEGFR-1 oleh VEGF-A dapat menjadi sistem umpan balik negatif (Saito et al, 2013).


(30)

2.6.

PERAN VEGF DAN TERAPI ANTI ANGIOGENIK

Sebuah terapi anti-angiogenik adalah metode baru yang potensial untuk menterapi tumor-tumor dengan proses angiogenik tinggi dengan prognosis buruk dan agresif (Preusser et al, 2012). Dalam rangka menemukan strategi terapi alternatif, efek transfer genetik secara in vivo dari mutan dengan mutan VEGFR-2 negatif banyak diteliti.

Penelitian yang melakukan injeksi antibodi monoklonal anti-VEGF netralisasi ke dalam tumor menunjukkan inhibisi signifikan pertumbuhan tumor karena efek inhibisi angiogénesis tumor.Hal ini menyebabkan VEGF dapat dianggap sebagai suatu faktor penting dalam proses angiogenesis suatu tumor.Inhibisi dari angiogenesis juga dapat menyediakan suatu konsep terapi terhadap meningioma yang tidak dapat dioperasi.Selain itu, terapi genetik anti-angiogenik dapat dilakukan pada tumor-tumor yang tidak dapat dioperasi (Plate et al, 1997;Bitzer et al, 1998).

Publikasi oleh Akerman (2013) menyatakan bahwa ekspresi isoform VEGF dapat berguna dalam prediksi respon terapi antiangiogenik dan terapi perusak neovaskularisasi. Terhadap tikus dengan tumor yang diberikan SU5416, sebuah inhibitor indolinone receptor tyrosine kinase (RTK) dengan aktifitas anti VEGFR-2, terjadi normalisasi vaskularisasi. Pemberian SU5416 pre-terapi dapat menyebabkan resistensi terhadap terapi agen perusak tubulin-binding vaskuler (VDA) yaitu combrestatin A4 3-O-phosphate (CA4P). Normalisasi vaskular yang disebabkan oleh terapi anti-angiogenik dapat mengurangi efektifitas terapi VDA.


(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1.

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.2.

VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL PTEI (Peritumoral Edema Index)

Definisi : Adalah suatu indeks atau perbandingan antara ukuran tumor dengan ukuran edema peritumoral.

Cara Ukur : Dari hasil pemeriksaan radiologis, volume dari tumor dan edema dapat diukur dan indeks edema dapat dihitung. Volume dapat dihitung dengan formula hitung volume bola :

Hubungan antara edema peritumoral dengan volume tumor dihitung dengan PTEI :

Alat Ukur : Volume tumor dan edema diukur melalui pemeriksaan MRI secara terkomputerisasi. Untuk data-data yang tidak diukur dengan komputer, diukur secara manual dengan skala dan mistar.

abc

v

=

π

×

3

4

Tumor Edema

v

v

v

OeI

=

+

Tumor

Meningioma Intrakranial

PTEI VEGF


(32)

Hasil Ukur : Hasil penghitungan akan didapat dalam satuan milimeter

kubik (mm3

Coating antibody anti-VEGF-A manusia ditempelkan pada sumur-sumur mikro.

), dan hasil penghitungan indeks akan mendapat satuan angka indeks.

VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)

Definisi : VEGF adalah suatu faktor pertumbuhan dengan aktivitas

mitogenik spesifik terhadap endotel, berbentuk protein terglikosilasi berbentuk dimer dengan ikatan disulfida, berukuran 34 – 46 kD.

Cara Ukur : Kadar VEGF akan diukur dengan cara Sandwich ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dengan perangkat pemeriksaan (VEGFA (Human) ELISA kit, Abnova, Taiwan). Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan ELISA analyser Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc.).

Prinsip Pengujian :

Keberadaan VEGF-A manusia pada sampel atau standar akan berikatan dengan antibody yang telah ditempelkan pada sumur-sumur mikro.


(33)

Setelah dilakukan inkubasi, komponen-komponen biologis dibuang dengan melakukan tahap pencucian. Antibodi terhadap VEGF-A manusia yang telah dikonjugasikan dengan biotin ditambahkan dan akan berikatan dengan VEGF-A yang telah ditangkap oleh antibody yang telah ditambahkan pertama kali. Setelah dilakukan inkubasi, antibody anti-VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin yang tidak berikatan akan dibuang dengan tahap pencucian. Streptavidin-HRP ditambahkan dan berikatan pada antibody anti-VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin.

Setelah dilakukan inkubasi, Streptavidin-HRP yang tidak berikatan dibuang dengan tahap pencucian, kemudian larutan substrat reaktif terhadap HRP ditambahkan pada sumur-sumur pemeriksaan.

Reaksi antara substrat reaktif yang berikatan dengan HRP akan menghasilkan produk berwarna berhubungan dengan proporsinya terhadap keberadaan VEGF-A manusia yang terkandung dalam sampel atau standar. Reaksi ini dihentikan dengan menambahkan larutan bersifat asam. Kandungan VEGF-A didapat dengan mengukur absorbansi pada 450 nm. Kurva standar dibuat dari 7 standar VEGF-A dengan beberapa pengenceran, sehingga kadar VEGF-A sampel dapat ditentukan.


(34)

Protokol Penelitian : Protokol Pengujian

Konsentrat buffer sebaiknya berada dalam temperature ruangan dan sebaiknya dilarutkan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan. Jika terbentuk kristal di dalam konsentrat buffer, dapat dihangatkan sedikit hingga terlarut secara menyeluruh.

Buffer pencuci

Tuangkan 50 ml konsentrat buffer pencuci (20x) ke dalam tabung 1000ml. Larutkan hingga mencapai volume 1000ml dengan air de-ionisasi atau akuadest. Campurkan perlahan untuk menghindari pembentukan busa.Pindahkan ke dalam

botol pencuci dan simpan pada temperatur 2o hingga

25oC.Larutan buffer pencuci ini (1x) stabil selama 30 hari.

Buffer penguji

Tuangkan semua isi (5ml) kosentrat buffer penguji (20x) ke dalam tabung 100ml. Larutkan hingga mencapai volume 100ml dengan akuadest. Campurkan perlahan untuk

menghindari pembentukan busa. Simpan pada temperatur 2o

hingga 8oC. Larutan buffer pencuci ini (1x) stabil selama 30 hari

Konjugat Biotin

Larutan konjugat Biotin harus digunakan dalam waktu 30 menit setelah dilakukan pengenceran.Buatlah larutan 1:100 dari konsentrat konjugat Biotin dengan Buffer penguji (1x) dalam tabung plastik bersih. (0,06ml konsentrat ditambahkan 5,94ml buffer penguji atau 0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88ml buffer penguji).


(35)

Streptavidin-HRP

Larutan Streptavidin HRP harus digunakan dalam waktu 30 menit setelah dilakukan pengenceran.Buatlah larutan 1:100 dari konsentrat Streptavidin-HRP dengan Buffer penguji (1x) dalam tabung plastik bersih. (0,06ml konsentrat ditambahkan 5,94ml buffer penguji atau 0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88ml buffer penguji).

Standar VEGF-A manusia

Rekonstitusi VEGF-A manusia standar dengan menambahkan akuadest.Volume rekonstitusi ditentukan dari label tabung standar. Goyangkan atau campurkan perlahan untuk memastikan proses pelarutan yang homogen (konsentrasi standar rekonstitusi = 2 ng/ml).Rekonstitusikan standar selama 10-30 menit. Campurkan dengan baik sebelum melakukan pelarutan berikutnya.Setelah digunakan, larutan standar yang tersisa tidak dapat disimpan dan harus dibuang.Pelarutan standar dapat dilakukan secara langsung pada plat sumur mikro atau secara alternatif pada tabung lain.Pipetkan 225µl pengencer sampel pada setiap tabung. Pipetkan 225µl standar ter-rekonstitusi (2ng/ml) ke dalam tabung pertama, berikan tanda S1 dan kemudian campurkan (konsentrasi 1ng/ml), pipetkan 225µl larutan S1 ke dalam tabung kedua, berikan label S2 dan kemudian campurkan. Lakukan dilusi serial 5 kali lagi sehingga dapat membentuk kurva standar.Pengencer standar digunakan sebagai blanko.


(36)

Prosedur penelitian:

1. Tentukan jumlah sumur yang akan dibutuhkan untuk

melakukan pengujian (Jumlah sampel ditambahkan dengan blanko dan standar. Setiap sampel, standar, blanko dan sampel control sebaiknya diuji sebagai duplo. Lepaskan sumur-sumur yang tidak dipakai dari pemegang dan simpan dalam kantung aluminium dengan pengering yang telah disediakan pada temperatur 2o-8o

2. Cucilah sumur mikro dua kali dengan sekitar 400µl,

Buffer pencuci pada setiap sumur dengan aspirasi berulang diantara pencucian. Diamkan buffer pencuci selama sekitar 10-15 detik sebelum aspirasi. Perhatikan untuk tidak menggores permukaan sumur mikro. Kosongkan sumur dan ketukkan perlahan sumur mikro pada handuk kertas / tissue / atau sponge penghisap untuk menghilangkan buffer pencuci yang berlebihan. Gunakan sumur mikro segera setelah pencucian. Cara lain: sumur mikro dapat diletakkan terbalik pada handuk kertas / tissue / atau sponge penghisap tidak lebih dari 15 menit. Sumur mikro tidak boleh mengalami pengeringan.

dengan pengemasan ketat.


(37)

3. Pengenceran standar:

Tambahkan 100µl pengencer sampel duplo terhadap

semua sumur standar. Pipetkan 100µl larutan standar

(2000pg/ml) duplo pada sumur A1 dan A2. Campurkan kandungan sumur A1 dan A2 dengan aspirasi dan ejeksi berulang (konsentrasi standar 1, S1 = 1000pg/ml), dan

pindahkan 100µl ke dalam tabung B1 dan B2. Lakukan

proses pengenceran serial sebanyak 5 kali, membentuk dua baris standar VEGF-A standar dengan konsentrasi 1000 hingga 15,6 pg/ml.

4. Tambahkan 100µl pengencer sampel duplo pada sumur

kosong (blanko).

5. Tambahkan 50µl pengencer sampel pada sumur sampel. 6. Tambahkan 50µl sampel-sampel secara duplo pada sumur

sampel.

7. Tutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada

temperatur ruangan 18-25o

8. Persiapkan konjugat biotin.

C selama 2 jam pada pengaduk plat mikro dengan 100rpm.

9. Lepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro

sebanyak 6 kali seperti pada tahap 2 dari protokol pengujian.

10.Tambahkan 100µl konjugat biotin.

11.Tutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada

temperatur ruangan 18-25o

12.Persiapkan Streptavidin-HRP.

C selama 1 jam pada pengaduk plat mikro dengan 100rpm.

13.Lepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro

sebanyak 6 kali seperti pada tahap 2 dari protokol pengujian.


(38)

14.Tambahkan 100 µl Streptavidin-HRP yang telah diencerkan pada semua sumur, termasuk sumur blanko.

15.Tutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada

temperatur ruangan 18-25o

16.Lepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro

sebanyak 6 kali seperti pada tahap 2 dari protokol pengujian.

C selama 1 jam pada pengaduk plat mikro dengan 100rpm.

17.Pipetkan 100µl larutan substrat TMB pada semua sumur.

18.Tutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada

temperatur ruangan 18-25o

19.Pengembangan warna pada plat sebaiknya terus

diperhatikan dan reaksi substrat di-stop sebelum tidak dapat diukur lagi. Penentuan waktu yang ideal untuk setiap pengembangan warna harus dilakukan secara individual terhadap setiap pengujian.

C selama 30 menit. Hindari paparan terhadap cahaya.

20.Direkomendasikan untuk menambahkan larutan stop

ketika standar tertinggi telah berwarna biru gelap. Cara lain, dapat dengan menggunakan reader ELISA pada 620 nm. Reaksi substrat sebaiknya distop ketika standar 1 mencapai OD 0,9 – 0,95.

21.Stop reaksi enzimatik dengan memberikan 100µl larutan stop secara cepat pada setiap sumur. Hasil harus dibaca segera setelah larutan stop diberikan atau dalam 1 jam jika disimpan pada suhu 2-8o

22.Baca absorbansi setiap sumur mikro pada

spektrofotometer menggunakan 450 nm sebagai gelombang cahaya primer (dapat juga menggunakan 610 - 650nm).


(39)

Alat Ukur : Pengukuran dilakukan dengan menggunakan ELISA analyser Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc.)

Hasil Ukur : Hasil ukur akan didapat dalam satuan pg/ml.

3.3.

HIPOTESIS

Terdapathubungan antara kadar VEGF dalam serum terhadap nilai PTEI pada penderita meningioma intrakranial.


(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1.

RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi Cross

Sectionalanalitik untuk mengukur kadar VEGF serum dan PTEI yang terjadi pada penderita meningioma dilanjutkan dengan analisa hubungan antara kadar VEGF serum dengan PTEI.

4.2.

LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit H. Adam Malik / Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2012 hingga April 2013.

4.3.

POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 4.3.1. Populasi Penelitian

Semua pasien yang datang berobat dengan diagnosis meningioma intrakranial ke RS. H. Adam Malik.

4.3.2. Sampel Penelitian 4.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dari penelitian ini :

a. Pasien yang telah terdiagnosis secara klinis dengan meningioma pada berbagai lokasi intrakranial.

b. Pasien yang telah dilakukan pemeriksaan MRI kepala dengan

kontras gadolinium intravena.

c. Pasien yang telah dilakukan operasi sehingga terdapat jaringan tumor yang dapat dikonfirmasi sebagai meningioma oleh bagian Patologi Anatomi.


(41)

d. Diagnosis telah ditegakkan dengan hasil pemeriksaan Patologi Anatomi.

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dari penelitian ini :

a. Kejadian berulang (rekurensi) atau kekambuhan (residif). b. Pasien yang mengalami rudapaksa.

c. Pasien yang memiliki tumor lain pada bagian tubuhnya. 4.3.3 Estimasi Besar Sampel

Pada penelitian ini akan digunakan pengambilan sampel tunggal. Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesis dengan menggunakan koefisien korelasi (r) diperlukan informasi :

a. Perkiraan koefisien korelasi, r = 0,8 (Goldmanet al 1997; Samoto, et al 1995).

b. Tingkat kemaknaan, (95%), Zα

c. Power, (80%), Z

= 1,96 ß

Rumus yang digunakan (Madiyoet al 2008) :

� =� (��+�ß)

�, 5 ln�(1+�)

(1−�)�

2

+ 3

Perhitungan (n = jumlah sampel) :

� = �(1,96 + 0,842)

�, 5 ln�(1+0,8)

(10,8)�

2

+ 3

� ≈10


(42)

4.4.

METODE PENGUMPULAN DATA 4.4.1 Persetujuan Setelah Penjelasan

Semua subjek penelitian akan dimintai persetujuannya untuk

diikutsertakan dalam penelitiansetelah dilakukan penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan. Jika subjek mengalami gangguan kesadaran, maka persetujuan akan diminta dari keluarga pasien.

4.4.2 Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis tersimpan (untuk sampel yang diambil sebelum dilakukannya penelitian) dan sediaan darah yang diambil dari pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik.Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas

Kedokteran USU (No.245/KOMET/FK USU/2012).

4.4.3 Pengumpulan Data

Data pasien dikumpulkan setelah pasien terdiagnosa dengan sangkaan suatu meningioma, data diambil dengan suatu wawancara klinis dengan fokus terhadap pertanyaan-pertanyaan dari formulir yang akan diisi. Data kemudian dikumpulkan dan diberikan kode khusus dan ditabulasikan ke dalam perangkat lunak pengolah data.

4.4.4 Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah

Setelah pasien dan atau keluarganya menyetujui pengambilan data dan telah menandatangani formulir persetujuan setelah pemberitahuan, sampel darah akan diambil dari vena mediana cubiti dengan menggunakan alat suntik steril ukuran 10 cc sesuai dengan prosedur phlebotomi yang telah baku. Darah diambil sebanyak sekitar 6 cc. Setelah sampel darah diambil, sampel tersebut segera dikode sesuai urutannya, dan diserahkan kepada instalasi Patologi Klinis untuk diproses menjadi serum. Setelah sampel mengalami penggumpalan, sampel kemudian akan disentrifuge dengan kekuatan 2.500 rpm selama 15 menit, dan


(43)

supernatan dipindahkan ke dalam tabung aliquot dan kemudian disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -25o

4.4.5 Pengolahan Sampel Darah C.

Serum yang tersimpan akan dicairkan pada suhu ruangan selama sekitar 5 menit dan akan dilakukan pemeriksaan assay VEGF. Pemeriksaan tersebut adalah suatu pemeriksaan kuantitatif dengan menggunakan teknik sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Sebuah antibodi monoklonal spesifik terhadap VEGF telah dilekatkan pada sumur-sumur dalam microplate. Standar dan sampel dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang tersedia dengan menggunakan pipet mikro dan keberadaan VEGF akan diikat dengan antibodi imobilisasi. Setelah dilakukan teknik pencucian untuk membuang substrat-substrat yang tidak berikatan, sebuah anitbodi poliklonal VEGF yang berikatan dengan enzim ditambahkan pada sumur-sumur tersebut. Setelah dilakukan pencucian kembali, untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan, sebuah larutan substrat ditambahkan pada sumur-sumur sehingga menimbulkan reaksi yang mengeluarkan warna. Warna yang muncul akan sesuai dengan proporsi dari keberadaan VEGF yang terikat pada tahap awal. Perkembangan warna dihentikan dan intensitas dari warna tersebut diukur dengan menggunakan alat pembaca spektrofotometri.

4.5.

METODE ANALISIS DATA

Data yang didapat akan diolah dengan metode yang terdiri dari dua tahapan, yaitu analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang variable penelitian dan uji analisis hipotesis untuk menentukan derajat keeratan hubungan antara VEGF dengan PTEI. Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pengolah data.Variabel kategorik dianalisis dalam bentuk frekuensi dan persentase yang disajikan baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Analisis deskriptif variable numerik dilakukan pemusatan (mean, median) dan penyebaran (standar deviasi, minimum-maksimum). Jika sebaran data normal,


(44)

digunakan pasangan mean dan standar deviasi. Jika sebaran data tidak normal, digunakan median dengan minimum-maksimum.

Untuk menguji adanya hubungan antara nilai PTEI dan kadar VEGF serum, ditentukan terlebih dahulunilai signifikansi secara statistik apakah memiliki kur va normal atau tidak normal dengan menggunakan Kolmogorof-Smirrnov atau Shapiro-Wilk (tergantung jumlah sampel). Jika memiliki sebarannormal akan dilanjutkan analisis dengan menggunakan metode Pearson dan jika memiliki sebarantidak normal, korelasi dinilaidengan Spearman’s correlation test. Nilai P ≤0,05 dipertimbangkan suatu hubungan signifikan.


(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1.

KARAKTERISTIK SAMPEL

Penelitian dilakukan bulan Pebruari 2012 sampai dengan bulan Pebruari 2013.Dalam kurun waktu tersebut didapatkan sebanyak 20 penderita meningioma intrakranial yang memiliki hasil MRI, dilakukan operasi, dan terdiagnosis pasti meningioma melalui pemeriksaan histopatologi. Terhadap penderita tersebut dilakukan pengukuran volume tumor dan volume edema, dilakukan pengambilan darah yang diproses menjadi serum dan dilakukan pengukuran kadar VEGF serum. PTEI dihitung dengan melakukan perbandingan volume edema dibagi dengan volume tumor.Hasil lengkap data penderita dapat dilihat pada lampiran.

5.1.1 Jenis Kelamin

Setelah dilakukan pendataan dan memasukkan data tersebut ke dalam tabel, didapatkan sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan sampel laki-laki, dimana sampel perempuan 14 orang (70%) dan laki-laki 6 orang (30%).

Tabel 5.1. Jenis Kelamin

n %

Laki-Laki 6 30.0

Perempuan 14 70.0

Total 20 100.0

5.1.2. Umur

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap umur didapati bahwa mean adalah 46,20 ± 16,3 tahun dengan nilai minimal 28 tahun dan maksimal 89 tahun. Nilai median adalah 44 tahun. Pada uji normalitas, didapatkan distribusi tidak normal (Shapiro-Wilk, p< 0,05).


(46)

Terhadap sampel dilakukan klasifikasi umur berdasarkan dekade kehidupan.Kejadian meningioma intracranial memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok umur 30 – 39 tahun dan 40 – 49 tahun dengan masing-masing sebanyak 6 orang (30%).

Tabel 5.2. Analisis Deskriptif (Umur)

Nilai

Mean 46.20

Median 44.00

Std. Deviation 16.363

Minimum 28

Maximum 89

Kelompok Umur n %

20 – 29 2 10.0

30 – 39 6 30.0

40 -49 6 30.0

50 -59 3 15.0

60 – 69 1 5.0

70 -79 1 5.0

80 – 89 1 5.0

Total 20 100.0

5.1.3. Frekuensi Lokasi Tumor

Berdasarkan lokasi terjadinya meningioma, didapatkan frekuensi terbanyak adalah convexity meningioma (6 penderita, 30%), diikuti oleh sphenoid ridge meningioma (4 penderita, 20%) dan Falcine meningioma (3 penderita, 15%).


(47)

Tabel 5.3. Klasifikasi berdasarkan lokasi tumor

n %

Convexity 6 30.0

CPA 1 5.0

En Plaque 1 5.0

Falx 3 15.0

Foramen Magnum 1 5.0

Intraosseus 1 5.0

Peritorcular 1 5.0

Sphenoid Ridge 4 20.0

Subfrontal 1 5.0

Suprasellar 1 5.0

Total 20 100.0

5.1.4. Suku

Berdasarkan suku, didapati Suku terbanyak adalah suku Batak dan Jawa, masing-masing memiliki frekuensi sebesar 8 (40%), diikuti oleh suku Aceh (2, 10%), Mandailing (1, 5%), dan Tamil (1, 5%).

Tabel 5.4. Distribusi berdasarkan suku

Suku n %

Batak 8 40.0

Jawa 8 40.0

Tamil 1 5.0

Aceh 2 10.0

Mandailing 1 5.0


(48)

5.1.5. Distribusi Berdasarkan Histopatologi

Berdasarkan hasil histopatologi, didapati frekuensi terbanyak adalah tipe Meningothelial meningioma sebesar 14 kasus (70%), diikuti oleh Transitional meningioma 3 kasus (15%), Fibroblastic meningioma 2 kasus (10%), dan Atypical meningioma 1 kasus (5%).

Tabel 5.5. Frekuensi berdasarkan histopatologi

Histopatologi n %

Atypical 1 5.0

Fibroblastic 2 10.0

Meningothelial 14 70.0

Transitional 3 15.0

Total 20 100.0

5.1.6. Distribusi Peritumoral Edema Index (PTEI) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Volume tumor dan Volume edema didapatkan melalui cara yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pola Peritumoral Edema Index (PTEI) dideskripsikan dengan menguji pola distribusinya terlebih dahulu. Tes normalitas dilakukan dengan Shapiro-Wilk dengan nilai p<0,05 yang menyatakan bahwa data memiliki pola distribusi tidak normal; Sehingga PTEI dideskripsikan sebagai Median 1,64 (Max-Min, 7,24 – 1,03).

Setelah melakukan proses sampel serum dengan menggunakan alat ELISA analyzer sesuai protokol yang telah ditentukan akan didapatkan kumpulan micro-wells standar dan uji yang telah diberikan larutan STOP. Kumpulan micro-micro-wells tersebut kemudian diukur absorbansi-nya pada gelombang cahaya 450nm.

Hasil absorbansi kemudian diplot secara otomatis oleh komputer serta perangkat lunaknya menjadi kurva standar. Dari kurva standar akan didapat nilai konversi konsentrasi VEGF serum. Berdasarkan komputerisasi pada alat pemeriksaan, koefisien intra-assay memiliki nilai 6,2%, dan inter-assay bernilai 4,3%.


(49)

Gambar 5.1. Tampilan micro-wells sebelum pengukuran absorbansi dengan ELISA analyzer.

Kurva 5.1. Kurva standar untuk menentukan konsentrasi VEGF.

Nilai absrobansi VEGF dan konsentrasi VEGF yang didapatkan dari pemeriksaan adalah tertera pada lampiran. Pola Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dideskripsikan dengan menguji pola distribusinya terlebih dahulu. Tes normalitas dilakukan dengan Shapiro-Wilk dengan nilai p<0,05 yang menyatakan bahwa data memiliki pola distribusi tidak normal; Sehingga VEGF dideskripsikan sebagai Median 148,64 pg/mL (Max-Min, 918,26 – 42,66 pg/mL).


(50)

Gambar 5.2. Box Plot distribusi PTEI dan VEGF.

Berdasarkan Box Plot, terdapat beberapa outliers pada nilai PTEI maupun VEGF. Nilai dari outliers pada PTEI adalah 7,24 dan pada VEGF terdapat tiga outliers dengan nilai masing – masing : 888,90 pg/mL, 898,01 pg/mL, dan 918,26 pg/mL.

Nilai PTEI

Mean 2.7045

Median 1.6400

Std. Deviation 1.87835

Minimum 1.03

Maximum 7.24

VEGF

Mean 270.88

Median 148.64

Std. Deviation 303.762

Minimum 42.66


(51)

5.2.

PTEI DAN VEGF DIBEDAKAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Jika data dibedakan berdasarkan jenis kelamin, akan didapatkan bahwa seluruh kelompok akan memiliki pola distribusi tidak normal (PTEI Perempuan, p<0,05; VEGF Laki-laki, p<0,05; VEGF Perempuan, p<0,05) kecuali kelompok PTEI Laki-laki, p>0,05 yang memiliki distribusi normal.

Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa nilai dari PTEI Laki-laki memiliki Mean 1,607, SD 0,2712; PTEI Perempuan memiliki Median 2,5700 (Min-Max, 1,23 – 7,24); Nilai VEGF Laki-laki Median 348,31 pg/mL (Min-Max, 53,36 – 918,26 pg/mL); Nilai VEGF Perempuan Median 123,39 pg/mL (Min-Max, 42,66 – 898,01 pg/mL).

Tabel 5.7. PTEI dan VEGF berdasarkan jenis kelamin. PTEI

Jenis Kelamin n Mean Median SD Min Max p

Laki-Laki 6 1.6067 1.4350 0.6643 1.03 2.89

0.043

Perempuan 14 3.1750 2.5700 2.0475 1.23 7.24

VEGF

Laki-Laki 6 454.05 348.31 381.261 53.36 918.26

0.099

Perempuan 14 192.38 123.39 238.390 42.66 898.01


(52)

Berdasarkan Box Plot, dapat dilihat beberapa outliersyang terdapat pada

kelompok PTEI Laki-Laki dan VEGF Perempuan. Nilai dari outliers tersebut

adalah 2,89 dari kelompok PTEI laki-laki; 534,76 pg/mL dan 898,01 pg/mL dari kelompok VEGF perempuan.

Kemaknaan dalam pengelompokan berdasarkan jenis kelamin ditentukan dengan menggunakan tes Student t jika distribusi data normal dan Mann-Whitney U jika distribusi data normal. Karena sebagian besar distribusi data tidak normal, maka dilakukan uji Mann-Whitney U dengan hasil PTEI p: 0,043 dan VEGF p : 0,099. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara nilai PTEI laki-laki dengan perempuan dan tidak ada perbedaan bermakna antara nilai VEGF laki-laki dengan perempuan.

5.3.

HUBUNGAN ANTARA PTEI DAN VEGF

Setelah dilakukan telaah karakteristik data yang diperoleh, dicarilah hubungan antara PTEI dan VEGF. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, analisis hubungan antara PTEI dan VEGF akan dilakuan dengan menggunakan metode Pearson Correlation test jika data memiliki distribusi normal atau Spearman’s Correlation test jika data memiliki distribusi tidak normal.

Karena test of normality dari data yang dimiliki memiliki nilai Shapiro-Wilk p<0,05 maka dapat disimpulkan data yang tersedia memiliki distribusi tidak normal, sehingga analisis data akan menggunakan Spearman’s Correlationtest.

Tabel 5.8. Tes Korelasi*

p r

PTEI dengan VEGF 0,296 0,246


(53)

Berdasarkan tabel, nilai korelasi yang didapat adalah r = 0,246 dengan p>0,05. Nilai significancy 0,296 dan nilai Korelasi Spearman sebesar 0,246

menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif kekuatan lemah tidak


(54)

BAB 6

PEMBAHASAN, SIMPULAN DAN SARAN

6.1.

PEMBAHASAN

Meningioma adalah suatu tumor jinak pada selaput otak susunan saraf pusat yang berasal dari lapisan neuroektodermal yang membentuk arachnoid cap cells yang membentuk lapisan luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Berdasarkan literatur, meningioma terjadi pada sekitar 20% dari semua tumor primer intrakranial (Otsuka et al, 2004) dan dengan insiden yang telah dilaporkan sebesar 4,4 kasus per 100.000 orang per tahun dan terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010), dengan dominasi jenis kelamin perempuan terhadap laki-laki dengan ratio 2 : 1 (Al-Mefty et al, 2011).

Dalam penelitian ini didapatkan 20 kasus meningioma intrakranial pada RSUP. H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu penelitian sekitar satu tahun dengan rata-rata umur 46,20 ± 16,3 tahun dan dengan dominasi jenis kelamin perempuan terhadap laki-laki dengan ratio 2,3 : 1.

Berdasarkan lokasi terjadinya meningioma, urutan paling sering adalah parasagittal, cavernous, tubercullum sella, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium cerebelli, CPA, dan sigmoid sinus (Chou dan Miles, 1991). Hal ini hampir menyerupai dengan sebaran lokasi tumor terbanyak pada penelitian ini, yaitu frekuensi terbanyak adalah convexity meningioma (6 penderita, 30%), diikuti oleh sphenoid ridge meningioma (4 penderita, 20%) dan Falcine meningioma (3 penderita, 15%).

Berdasarkan kesukuan didapati Suku terbanyak adalah suku Batak dan Jawa, masing-masing memiliki frekuensi sebesar 8 (40%), diikuti oleh suku Aceh (2, 10%), Mandailing (1, 5%), dan Tamil (1, 5%). Karena RSUP. H. Adam Malik Medan adalah merupakan pusat rujukan pelayanan kesehatan untuk provinsi Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, hasil frekuensi meningioma intrakranial berdasarkan kesukuan hampir sesuai dengan demografi penduduk propinsi Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam.


(55)

Berdasarkan hasil histopatologi, didapati frekuensi terbanyak adalah tipe Meningothelial meningioma sebesar 14 kasus (70%), diikuti oleh Transitional meningioma 3 kasus (15%), Fibroblastic meningioma 2 kasus (10%), dan Atypical meningioma 1 kasus (5%). Menurut Grading WHO, maka dapat ditentukan terjadi 19 kasus WHO grade I dan 1 kasus WHO grade II. Indeks edema tertinggi dengan nilai 7,24 adalah transisional meningioma.

Publikasi oleh Nassehi et al (2013), menyatakan bahwa angiomatous meningioma memiliki edema index lebih tinggi dan panjang kapiler lebih panjang serta eskpresi mRNA VEGF, mRNA Neuropilin-1, dan VEGFR-2 lebih tinggi.Hal ini berlawanan dengan publikasi lainnya yang membahas perbedaan ekspresi VEGF berdasarkan tipe histopatologi meningioma menyimpulkan bahwa VEGF tidak menyebabkan peningkatan jumlah pembuluh darah (microvascular density).Terdapat perbedaan temuan pada penelitian ini yang mendapatkan indeks edema tertinggi pada transisional meningioma dengan literatur yang menyatakan angiomatous meningioma.Namun penelitian ke arah topik ini bukanlah tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sehingga tidak dibahas lebih mendalam.

Berdasarkan literatur, terdapat berbagai kategori edema serebri.Walaupun begitu, usaha menentukan suatu edema yang terjadi ke dalam salah satu kategori merupakan suatu hal yang sulit karena terhadap penderita dapat terjadi lebih dari satu tipe edema secara bersamaan (Weil & Oldfield, 2011).Namun dalam kasus tumor serebri, khususnya pada kasus-kasus meningioma, edema yang terjadi dipertimbangkan sebagai edema vasogenik.

Lindley et al (1991) dan Bitzer et al (1998) telah mengemukakan beberapa konsep terjadinya edema peritumoral. Konsep pertama adalah terjadinya hubungan antara tumor dan parenkim melewati sawar darah-otak melalui suatu mikrosirkulasi. Melalui hubungan ini, protein dan cairan intravaskuler dapat masuk ke dalam ruang ekstraseluler white matter.Lokasi tumor yang berada pada ekstra-aksial menyebabkan hipotesis ini tidak dipercaya secara kuat menyebabkan edema peritumoral.

Konsep kedua, edema terjadi akibat efek masa dari tumor. Masa tumor menekan parenkim sehingga menyebabkan terjadinya edema. Masa yang lebih


(1)

masing tipe histopatologi dengan edema peritumoral yang terjadi serta kadar VEGF serum.

3. Untuk membuktikan terdapat pengaruh single nucleotide polimorphisms (SNPs) terhadap kadar VEGF maupun ekspresi VEGF, dapat dilakukan pemeriksaan VEGF gene sequencing.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mefty O, Abdulrauf SI, Haddad GF. Meningioma.2011. In Youmans Neurological Surgery, edited by Winn HR, 6th ed. Elsevier, People’s Republic of China. 131:1426-49.

Al-Rodhan NRF, Laws ER. 1991. The History of Intracranial Meningiomas. In Meningiomas, edited by Al-Mefty O. Raven Press, New York. 1:1-7. Akerman S, Fisher M, Daniel RA, Lefley D, Reyes-Aldasoro CC, Lunt SJ, et al.

2013. Influence of soluble or matrix-bound isoforms of vascular endothelial frowth factor-a on tumor response to vascular-targeted strategies. Int J Cancer.

Bebawy JF. 2012. Perioperative steroids for peritumoral intracranial edema: a review of mechanisms, efficacy, and side effects. J Neurosurg Anesthesiol. 24(3):173-7.

Bitzer M, Opitz H, Popp J, Morgalla M, Gruber A, Heiss E, Voigt K. 1998. Angiogenesis and Brain Oedema in Intracranial Meningiomas: Influence of Vascular Endothelial Growth Factor. Acta Neurochir (Wien). 140: 333-340.

Chou SM, Miles JM. 1991. The Pathology of Meningiomas. In Meningiomas, edited by Al-Mefty O. Raven Press, New York. 4:37-57.

Constantini S, Tamir J, Gomori M, Shohami E. 1983. Tumor prostaglandin levels correlate with edema around supratentorial meningiomas. Neurosurgery. 25:125-131.

Deb P, Pal S, Dutta V, Boruah D, Chandran VM, Bhatoe HS. 2012. Correlation of expression pattern of aquaporin-1 in primary central nervous system tumors with tumor type, grade, proliferation, microvessel density, contrast-enhancement and perilesional edema. J Cancer Res Ther. 8(4):571-7.

Desai S, Laskar S, Pandey BN. 2013. Autocrine IL-8 and VEGF mediate epithelial-mesenchymal transition and invasiveness via p38/JNK-ATF-2 signalling in A549 lung cancer cells. Cell Signal.


(3)

Ding YS, Wang HD, Tang K, Hu ZG, Jin W, Yan W. 2008. Expression of vascular endothelial growth factor in human meningiomas and peritumoral brain areas. Ann Clin Lab Sci. 38(4):344-51.

Finley SD, Popel AS. 2013. Effect of tumor microenviroment on tumor VEGF during anti-VEGF treatment: Systems biology predictions. J Natl Cancer Inst.

Fontanella M, Gallone S, Panciani PP, Garbossa D, Stefini R, Latronico N, et al. 2013. Vascular endothelial growth factor gene polymorphisms and intracranial aneurysms.Acta Neurochir (Wien).

Goldman CK, Bharara S, Palmer CA, Vitek J, Tsai JC, Weiss HL, Gillespie GY. 1997. Brain edema in meningiomas is associated with increased vascular endothelial growth factor expression. Neurosurgery. 40:1269-77.

Ilhan A, Gartner W, Neziri D, Czech T, Base W, Horl WH, et al. 2009. Angiogenic Factors in Plasma of Brain Tumour Patients. Anticancer Research. 29:731-6.

Iwado E, Ichikawa T, Kosaka H, Otsuka S, Kambara H, Tamiya T, et al. 2012. Role of VEGF and matrix metalloproteinase-9 in peritumoral brain edema associated with supratentorial benign meningiomas. Neuropathology. 32(6):638-46.

Kamaly-Asl ID. 2010. Molecular, genetic, patient and surgical factors involved in the development and outcome of central nervous system tumours. MD thesis, University of Manchester.

Lindley JG, Challa VR, Kelly DL Jr. 1991.Meningiomas and Brain Edema.In Meningiomas, edited by Al-Mefty O. Raven Press, New York. 5:59-73. Lorquet S, Berndt S, Blacher S, Gengoux E, Peulen O, Maquo i E, et al. 2010.

Soluble forms of VEGF receptor-1 and -2 promote vascular maturation via mural cell recruitment. FASEB J. 24:3782-3795.

Luo T, Chen L, He P, Hu QC, Zhong XR, Sun Y, et al. 2013. Vascular endothelial growth factor (VEGF) gene polymorphisms and breast cancer risk in a Chinese population. Asian Pac J Cancer Prev. 14(4):2433-7.


(4)

Madiyono B, Moeslichan SMz, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. 2008. Perkiraan Besar Sampel. In Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, 3rded, edited by Sastroasmoro S, Ismael S. Sagung Seto. Jakarta. 16:302-31.

Marwin C, Perry A. 2010.Pathological classification and molecular genetics of meningiomas.J Neurooncol. 99:379-391.

McClelland S 3rd, Long DM. 2008.Genesis of the use of corticosteroids in the treatment and prevention of brain edema.Neurosurgery. 62(4):965-7.

Nag S, Manias JL, Stewart DJ. 2009. Pathology and new players in the pathogenesis of brain edema. Acta Neuropathol. 118:197-217.

Nassehi D. 2013. Intracranial meningiomas, the VEGF-A pathway, and peritumoral brain oedema. Dan Med J. 60(4):B4626.

Nassehi D, Dyrbye H, Andresen M, Thomsen C, Juhler M, Laursen H, et al. 2011. Vascular endothelial growth factor A protein level and gene expression in intracranial meningiomas with brain edema. APMIS. 119(12):831-43. Nassehi D, Sorensen LP, Dyrbye H, Thomsen C, Juhler M, Laursen H, et al.

2013. Peritumoral brain edema in angiomatous supratentorial meningiomas: an investigation of the vascular endothelial growth factor A pathway. APMIS.

Otsuka S, Tamiya T, Ono Y, Michiue H, Kurozumi K, Daido S, et al. 2004.The relationship between peritumoral brain edema and the expression of vascular endothelial growth factor and its receptors in intracranial meningiomas.J Neurooncol. 70:349-357.

Paek SH, Kim CY, Kim YY, Park IA, Kim MS, Kim DG, Jung HW. 2002. Correlation of clinical and biological parameters with peritumoral edema in meningioma. J Neurooncol. 60:235-245.

Panagopoulos AT, Lancellotti CL, Veiga JC, de Aguiar PH, Colguhoun A. 2008. Expression of cell adhesion proteins and proteins related to angiogenesis and fatty acid metabolism in benign, atypical, and anaplastic meningiomas. J Neurooncol. 89(1):73-87.


(5)

Park KJ, Kang SH, Chae YS, Yu MO, Cho TH, Suh JK, et al. 2011. Influence of interleukin-6 on the development of peritumoral brain edema in meningiomas. J Neurosurg. 112:73-80.

Plate K. H., Warnke P. C. 1997.Vascular endothelial factor.JNeurooncol.35:365-372.

Saito T, Takeda N, Amiya E, Nakao T, Abe H, Semba H, et al. 2013. VEGF-A induces its negative regulator, soluble form of VEGFR-1, by modulating its alternative splicing. FEBS Lett. Pii:S0014-5793(13)00392-x.

Sakuma T, Nakagawa T, Ido K, Takeuchi H, Sato K, Kubota T. 2008. Expression of vascular endothelial growth factor-A and mRNA stability factor HuR in human meningiomas. J Neurooncol. 88:143-155.

Saloner D, Uzelac A, Hetts S, Martin A, Dillon W. 2010. Modern meningioma imaging techniques.J Neurooncol. 99:333-40.

Samoto K, Ikezaki K, Ono M, Shono T, Kohno K, Kuwano M, et al. 1995. Expression of vascular endothelial growth factor and its possible relation with neovascularization in human brain tumors. Cancer res. 55:1189-93. Schmid S, Aboul-Enein F, Pfisterer W, Birkner T, Stadek C, Knosp E. 2010.

Vascular endothelial growth factor: the major factor for tumor neovascularization and edema formation in meningioma patients. Neurosurgery. 67(6):1703-8.

Sivaprasad S, Govardhan B, Harithakrishna R, Venkat RG, Pradeep R, Kunal B, et al. 2013. Association of vascular endotelial growth factor (VEGF) gene polymorphism and increased serum VEGF concentration with pancreatic adenocarcinoma. Pancreatology. 13(3):267-72.

Stefanaki I, Dimisianos G, Antoniou C, Katsambas A, Stratigos A. 2008. Investigation of +405 dan -460 polymorphisms of vascular endothelial growth factor in psoriasis and short-term responsiveness to efalizumab therapy. Dermatology. 217(3):201-2.

Talacchi A, Corsini F, Gerosa M. 2011. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta Neurochir. 153:53-61.


(6)

Tsai JC, Hsiao YY, Teng LJ, Shun CT, Chen CT, Goldman CK, et al. 1999. Regulation of vascular endothelial growth factor secretion in human meningioma cells.J Formos Med Assoc. 98(2):111-7.

Osawa T, Tosaka M, Nagaishi M, Yoshimoto Y. 2013. Factors affecting peritumoral brain edema in meningioma: special histological subtypes with prominently extensive edema. J Neurooncol. 111(1):49-57.

Vaz R, Borges N, Cruz C, Azevedo I. 1998. Cerebral edema associated with meningiomas : the role of peritumoral brain tissue. J Neurooncol. 36:285-291.

Wang P, Ni RY, Chen MN, Mou KJ, Mao Q, Liu YH. 2011. Expression of aquaporin-4 in human supratentorial meningiomas with peritumoral brain edema and correlation of VEGF with edema formation. Genet. Mol. Res. 10(3):2165-2171.

Weil RJ, Oldfield EH.2011. Cerebral Edema.In Youmans Neurological Surgery, edited by Winn HR, 6th ed. Elsevier, People’s Republic of China. 9:162-8. Wongpiyabovorn J, Yooyongsatit S, Ruchusatsawat K, Avihingsanon Y,

Hirankarn N. 2008. Association of the CTG (-2578/-460/+405) haplotype within the vascular endothelial growth factor gene with early-onset psoriasis.Tissue Antigens. 72(5):458-63.

Yamasaki F, Yoshioka H, Hama S, Sugiyama K, Arita K, Kurisu K. 2000. Recurrence of meningiomas.Cancer. 89(5):1102-10.

Zablotna M, Sobjanek M, Nedoszytko B, Lange M, Kozicka D, Glen J, et al. 2011. Association of psoriasis with the VEGF gene polymorphism in the Northern Polish population.J Eur Acad Dermatol Venereol.


Dokumen yang terkait

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

4 106 117

Korelasi Kadar β-hCG Serum Terhadap Kadar TSH, T3, Dan T4 Pada Molahidatidosa Di RSUP.H.Adam Malik Dan RSUD dr. Pirngadi Medan Periode Tahun 2008 - 2012

2 48 68

Hubungan Kadar Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2) Serum Dengan Derajat Meningioma Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

9 109 49

Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

3 83 88

Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

0 47 7

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 18

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 30

Hubungan Kadar Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2) Serum Dengan Derajat Meningioma Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5