12
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. TEORI
KEAGENAN
Teori keagenan menyebutkan bahwa perusahaan adalah tempat bagi hubungan kontrak yang terjadi antara manajemen, pemilik, kreditur, dan
pemerintah Harahap, 2002:486. Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing- masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan di sini terjadi karena adanya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan yaitu antara pemegang saham
dan pihak manajemen. Eisenhardt 1989 dalam Ujiyanto dan Pramuka 2007 menyatakan bahwa
teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia, yaitu : 1.
Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri self interest. 2.
Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang bounded rationality.
3. Manusia selalu menghindari risiko risk averse.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajemen sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya. Pemegang saham termotivasi kontrak untuk mensejahterakan dirinya sedangkan manajemen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan
ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat
13
terutama karena pemegang saham tidak dapat memonitor aktivitas manajemen sehari-hari untuk memastikan bahwa manajemen bekerja sesuai dengan keinginan
pemegang saham yaitu meningkatkan nilai perusahaan. Menurut
Bodie et al.
2006:9 terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah keagenan antara lain yaitu, mensejajarkan
kepentingan manajemen dengan pemegang saham dengan mengikutsertakan manajemen untuk memiliki saham perusahaan tersebut, dengan adanya dewan
komisaris, dan dengan adanya kepemilikan institusional sebagai monitoring agent.
2.2. TEORI
LEGITIMASI
Dowling dan Preffer 1975 dalam Ghozali dan Chariri 2007:411 menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis
perilaku organisasi, mereka memberikan alasan yang logis tentang legitimasi organisasi dan mengatakan sebagai berikut :
“Organisasi berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam
sistem sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut. Selama kedua sistem tersebut selaras, kita dapat melihat hal tersebut sebagai
legitimasi perusahaan. Ketika ketidakselarasan aktual atau potensial terjadi diantara kedua sistem nilai tersebut, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi
perusahaan”. Perusahaan membutuhkan legitimasi dari masyarakat dalam
memaksimalkan nilai perusahaan sehingga perusahaan cenderung menggunakan
14
kinerja berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan untuk membenarkan atau melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat yang
dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan kegiatannya dalam memaksimalkan nilai perusahaan.
Corporate Social Responsibility dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan
bagaimana seharusnya perusahaan merumuskan kebijakan agar memperoleh legitimasi dari masyarakat. Corporate Social Responsibility dapat dipandang
sesuai dengan pemikiran teori legitimasi, dimana Corporate Social Responsibility dilakukan dengan pemikiran sebagai berikut :
1. Memperoleh legitimasi dan menjaga perusahaan dari hal-hal yang tidak
diinginkan. 2.
Menyamakan persepsi dan opini masyarakat bahwa kegiatan perusahaan telah sesuai dengan batasan, sehingga selanjutnya mengamankan posisi
perusahaan. Dengan menerapkan Corporate Social Responsibility, diharapkan
perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan
Corporate Social Responsibility mengharapkan akan direspon positif oleh para
pelaku pasar yang dapat membentuk image positif bagi perusahaan yang akan berguna untuk meningkatkan nilai perusahaan.
15
2.3. NILAI