Karakteristik fisika- kimia perairan dan sedimen

Kerapatan pohon mangrove di Desa Lontar Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten disajikan pada Gambar 9 dan data mentah dapat dilihat pada Lampiran 3. 16 19 21 5 10 15 20 25 Stasiun I Stasiun II Stasiun III K e r a pa ta n po ho n pe r m 2 Gambar 9. Tingkat kerapatan pohon mangrove pada masing-masing stasiun pengamatan Kerapatan pohon mangrove di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten memperlihatkan hasil yang berbeda. Stasiun yang mempunyai kerapatan tertinggi adalah stasiun III dengan nilai kerapatan 21 pohon per 100 m 2 sedangkan kerapatan terendah dijumpai di stasiun I dengan kerapatan 16 pohon per 100 m 2 . Hal ini diakibatkan karena penyebaran dari biji tidak merata dan letak penanaman mangrove tidak teratur.

4.2 Karakteristik fisika- kimia perairan dan sedimen

Parameter fisika-kimia perairan yang diukur adalah pH, temperatur, salinitas dan bahan anorganik nitrat dan ortofosfat. Hasil pengukuran parameter fisika- kimia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Bahan Anorganik ppm Stasiun pH Temperatur °C Salinitas ° oo Nitrat Ortofosfat I 8 33 30 0,085 Tak terdeteksi II 8 33 30 0,193 0,071 III 9 33 25 0,502 0,021 Derajat keasaman pH adalah jumlah ion hidrogen yang terdapat pada larutan. Nilai pH di daerah penelitian berkisar antara 8-9, nilai tersebut menunjukkan nilai basa yang normal untuk permukaan perairan Indonesia yang pada umumnya berkisar antara 6,0-8,5 Aksornkoae, 1993. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 9 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun I dan II yaitu 8. Nilai pH yang tinggi di stasiun III menyebabkan mikroorganisme yang ada pada stasiun III berkembang secara optimal dan sangat produktif. Stasiun III merupakan daerah yang masih terpengaruh oleh daratan. Temperatur perairan yang tergolong tinggi sebesar 33 °C ditemukan hampir di setiap stasiun. Hal ini disebabkan oleh pengukuran temperatur yang dilakukan pada siang hari. Penyebab lainnya adalah wilayah pengambilan data merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya yang diterima tinggi. Menurut Soenardjo 1999 temperatur optimum untuk bakteri berkisar 27 °C- 36 °C. Kisaran temperatur tersebut sangat baik untuk proses penguraian dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Berdasarkan hasil penelitian, temperatur yang diperoleh masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses dekomposisi. Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove Aksornkoae, 1993. Hasil nilai kisaran salinitas antar stasiun adalah 25-30 ° oo . Salinitas terbesar terdapat pada stasiun I dan stasiun II sedangkan salinitas terkecil terdapat pada stasiun III. Nilai salinitas yang bervariasi di duga karena daerah pada stasiun I dan II jauh dari muara sungai sedangkan daerah pada stasiun III berdekatan dengan muara sungai Cimanceri dan masukkan air tawarnya masih tinggi. Nutrien utama yang dibutuhkan oleh tumbuhan mangrove yang mempengaruhi produksi dan laju dekomposisi serasah adalah nitrat dan fosfat dalam bentuk ortofosfat. Menurut Effendi 2003 nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nilai nitrat di perairan berkisar antara 0,085-0,502 ppm. Kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 0,502 ppm, dan terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0,085 ppm. Kandungan nitrat yang tinggi pada stasiun III disebabkan adanya pengaruh daratan yang tinggi berupa suplai dari kegiatan rumah tangga, resapan air tanah dan masukan air dari muara sungai. Menurut klasifikasi tingkat kesuburan perairan, kandungan nitrat di daerah penelitian termasuk dalam kriteria subur Vollenweider, 1968 in Effendi, 2003 disajikan pada Tabel 1. Hasil kisaran kandungan ortofosfat yang didapat adalah tak terdeteksi sampai 0,071 ppm, kandungan ortofosfat yang tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 0,071 ppm sedangkan kandungan terendah terdapat pada stasiun I yaitu nilainya tak terdefinisi. Hal ini disebabkan nilai ortofosfat tak terdeteksi oleh alat yang digunakan spektrofotometer. Kandungan ortofosfat tinggi seperti halnya nitrat disebabkan pengaruh daratan yang tinggi berupa masukan air dari muara sungai dan suplai dari kegiatan rumah tangga. Menurut klasifikasi tingkat kesuburan perairan kandungan ortofosfat di stasiun penelitian termasuk dalam kriteria suburVollenweider, 1968 in Effendi, 2003 disajikan pada Tabel 2. Parameter fisik sedimen yang diambil adalah tekstur substrat sedangkan parameter kimia sedimen yang diambil adalah nitrogen total dan ortofosfat. Hasilnya di sajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Ukuran fraksi dan bahan anorganik tanah Tekstur substrat Stasiun Pasir Debu Liat Nitrogen total ppm Ortofosfat ppm I 12 51 37 90 3,4 II 0 58 42 110 9,2 III 1 51 48 170 8,7 Klasifikasi tekstur substrat menggunakan diagram segitiga tekstur tanah dan sebaran butir Gambar 2, klasifikasi tekstur substrat pada stasiun I yaitu lempung liat berdebu sedangkan stasiun II dan III adalah liat berdebu. Persentase pasir, debu, dan liat masing-masing berkisar 0-12 , 51-58 , dan 37-48 . Pembentukan tekstur substrat mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor fisik yaitu gerakan arus pasang Soenardjo, 1999. Di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi halus dan berwarna hitam dan kandungan unsur haranya tinggi. Tabel 5 menunjukan kandungan nitrogen total dan ortofosfat pada tanah. Kandungan nitrogen total untuk setiap stasiunnya mempunyai nilai kisaran 90-170 ppm. Nitrogen total tanah yang tertinggi berada pada stasiun III yaitu 170 ppm dan nilai terendah didapat pada stasiun I yaitu 90 ppm. Kisaran kandungan ortofosfat tanah antara 3,4-9,2 ppm. Ortofosfat tanah yang tertinggi pada stasiun II dan kandungan ortofosfat tanah terendah terdapat di stasiun I. Kandungan ortofosfat tanah sangat rendah karena ortofosfat di tanah bersifat tidak statis sehingga konsentrasinya akan mudah menurun. 4.3 Produksi serasah Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress oleh faktor mekanik misalnya angin, ataupun kombinasi dari keduanya, kematian, serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim hujan dan angin Brown, 1984 in Soenardjo, 1999. Produksi serasah selama 6 minggu disajikan pada Tabel 6 dan data mentahnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 6. Hasil produksi serasah daun, ranting, dan buahbunga mangrove Avicennia marina gm 2 minggu di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten Minggu ke- Stasiun Komponen 1 2 3 4 5 6 Daun 29,601 31,567 18,282 23,257 55,171 22,867 Ranting 1,928 1,005 3,270 2,052 7,980 0,876 I BuahBunga 1,614 0,510 0,657 1,216 1,766 0,956 Total 33,142 33,083 22,209 26.524 64,917 24,699 Daun 30,869 48,643 25,871 24,528 31,002 23,572 Ranting 2,087 2,441 2,190 1,811 7,269 2,088 II BuahBunga 0,390 1,297 0,322 1,786 0,650 0,352 Total 33,346 52,381 28,383 28,125 38,921 26,011 Daun 33,340 37,989 21,952 24,103 49,236 23,262 Ranting 1,638 2,570 2,059 1,637 4,744 1,408 III BuahBunga 0,040 0,000 0,000 0,087 0,000 0,076 Total 35,018 40,559 24,011 25,826 53,980 24,746 Total produksi serasah mangrove di stasiun I memiliki nilai terbesar pada minggu ke-5 yaitu 64,917 grm 2 minggu yang terdiri atas serasah daun sebesar 55,171 grm 2 minggu, serasah ranting sebesar 7,980 grm 2 minggu dan serasah buahbunga sebesar 1,766 grm 2 minggu. Produksi serasah pada minggu ke-5 tinggi, hal ini disebabkan oleh faktor cuaca. Saat pengambilan serasah minggu ke-5 yaitu pada tanggal 14 Mei 2007 terjadi hujan. Berdasarkan data dari BMG, pada tanggal tersebut nilai curah hujan sebesar 3 mm Lampiran 5. Hal ini sejalan dengan pendapat Khairijon, 1991 in Wibisana, 2004 menyatakan bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim hujan pada saat curah hujan mencapai tinggi. Pada stasiun II total produksi serasah mangrove memiliki nilai terbesar pada minggu ke-2 yaitu 52,381 grm 2 minggu. Total hasil produksi serasah mangrove terdiri dari serasah daun sebesar 48,643 grm 2 minggu, serasah ranting sebesar 2,441 grm 2 minggu dan serasah buahbunga sebesar 1,297 grm 2 minggu. Produksi serasah di minggu ke-2 tinggi disebabkan oleh faktor angin. Minggu ke- 2 adalah tanggal 17- 23 April 2007 dan berdasarkan data dari BMG Lampiran 6, pada tanggal tersebut kecepatan angin lebih besar dibandingkan dengan kecepatan angin pada minggu lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Cuevas dan Sajise, 1978 in Wibisana, 2004 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi yang dihasilkan tinggi pula. Total produksi serasah mangrove di stasiun III nilai terbesar pada minggu ke-5 yaitu 53,980 grm 2 minggu, terdiri atas serasah daun sebesar 49,236 grm 2 minggu dan serasah ranting sebesar 4,744 grm 2 minggu. Produksi serasah pada minggu ke-5 tinggi ini disebabkan oleh faktor cuaca, hal ini sama seperti pada stasiun I. 34.701 34.528 34.023 0.000 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000 I II III S tasiun P r o d u k si s era sa h g r a m m 2 h a r i Gambar 10. Perbandingan produksi serasah antar stasiun Produksi serasah terbanyak terdapat pada stasiun I dengan jumlah 34,701 gm 2 minggu sedangkan produksi serasah terendah terdapat pada stasiun III yaitu 34,023 gm 2 minggu. Perbedaan yang didapatkan untuk tiap stasiun diakibatkan adanya perbedaan kerapatan, umur dari tumbuhan, dan kesuburan yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung. Menurut Soenardjo 1999 semakin tua tumbuhan maka produksi serasahnya semakin menurun, begitu pula sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut morfologi daun juga mempengaruhi produksi serasah. Salinitas merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi serasah. Salinitas tertinggi didapat pada stasiun I dan II yaitu 30 ° oo. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa stasiun ini sering terkena genangan pasang air laut yang memberikan pengaruh sangat besar dengan produksi serasah 34,701 dan 34,528 gm 2 minggu. Salinitas terendah terdapat pada stasiun III sebesar 25° oo . Produksi serasah yang dihasilkan 34,023 gm 2 minggu. Selain itu, temperatur udara juga mempengaruhi produksi serasah dimana pada suhu rendah produksi serasah meningkat. Pada setiap stasiun temperatur udara 30 °C, maka produksi serasah yang dihasilkan tinggi. Gambar 11. Persentase serasah daun, ranting, dan bungabuah Setiap jenis mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan jatuhan serasah. Dilihat pada Gambar 11, jatuhan serasah yang paling banyak adalah daun. Stasiun I mempunyai jumlah serasah daun sebanyak 86,97 , stasiun II sebanyak 88,14 , dan pada stasiun III jumlah serasah daun sebanyak 92,56 . Nilai persentase serasah daun pada tiap stasiun tidak jauh berbeda. Serasah ranting dan buahbunga mempunyai nilai persentase lebih kecil dari nilai persentase serasah daun. Persentase serasah ranting terbesar terdapat pada stasiun II dengan nilai 8,55 dan nilai terendah pada stsiun III yaitu 6,85. Untuk serasah dari bunga buah, jumlah terbesar terdapat pada stasiun I dengan nilai 4,78 dan nilai terendah pada stasiun III sebesar 1,18 . Perbedaan yang sangat jauh antara serasah daun dengan serasah ranting maupun buahbunga. Diduga erat karena kondisi lingkungan serta ciri biologis. Kondisi lingkungan antara lain temperatur udara dan musim. Ciri biologis diantaranya ukuran dan jumlah masing-masing komponen yang dihasilkan, sifat perbungaan dan sifat fisik dari setiap komponen. Jenis Avicennia marina mempunyai ukuran daun yang kecil dan buah yang berbentuk bulat. Produksi serasah daun sebagian kecil terbawa arus dan sebagian besar tetap di daratan atau di hutan. Serasah daun yang tertinggal di daratan menjadi makanan binatang dan sebagian besar akan mengalami penguraian sebagian atau sepenuhnya yang dilakukan oleh jasad-jasad renik maupun bakteri. Semakin tinggi produksi serasah maka semakin tinggi pula produktivitas di hutan mangrove.

4.4 Laju dekomposisi