Jenis-Jenis Fungi Yang Berasosiasi Pada Proses Dekomposisi Serasah Daun Avicennia. Marina (Forsk) Vierh Setelah Aplikasi Fungi aspergillus sp., curvularia sp., Penicillium SP. Pada Beberapa Tingkat Salinitas Di Desa Sicanang Belaw

(1)

JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina (Forsk) vierh SETELAH APLIKASI

FUNGI Aspergillus sp., Curvullaria sp., Penicillium sp. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS

DI DESA SICANANG BELAWAN

SKRIPSI

AFRIDA YANTI DAMANIK

060805014

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina (Forsk) vierh SETELAH APLIKASI

FUNGI Aspergillus sp., Curvullaria sp., Penicillium sp. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS

DI DESA SICANANG BELAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

AFRIDA YANTI DAMANIK

060805014

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI

PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN AVICENNIA. MARINA (FORSK) VIERH SETELAH APLIKASI FUNGI ASPERGILLUS SP., CURVULARIA SP., PENICILLIUM SP. PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS DI DESA SICANANG BELAWAN

Kategori : SKRIPSI

Nama : AFRIDA YANTI DAMANIK

Nomor Induk Mahasiswa : 060805014

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGERAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, 27 Desember 2010 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc Dr. Ir. Yunasfi., M.Si

NIP. 19640409 199403 1 003 NIP. 19671119 200012 1

001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc NIP. 19640409 199403 1 003


(4)

PERNYATAAN

JENIS-JENIS FUNGI YANG BERASOSIASI PADA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH DAUN AVICENNIA. MARINA (FORSK) VIERH SETELAH

APLIKASI FUNGI ASPERGILLUS SP., CURVULARIA SP.,

PENICILLIUM SP. PADA BEBERAPA TINGKAT

SALINITAS DI DESA SICANANG BELAWAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, 27 Desember 2010

AFRIDA YANTI DAMANIK 060805014


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi., M.Si selaku pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc, selaku pembimbing kedua yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan masukan-masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir., M.Sc, selaku penguji pertama dan Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus., M.Sc, selaku penguji kedua yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ketua Departemen, Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc, Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, semua dosen serta pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda tercinta M. Damanik dan ibunda tercinta Rasmilya S.Pd, serta kedua adinda tersayang Maya Amelia Damanik, dan Rizky Septian Damanik, yang tak henti-hentinya mendoakan, mendukung dan memotivasi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Kepada teman seperjuangan Ika Wahyuni, Vera Akbar Syahputri, dan Widya Kurniawan Putra Lubis yang bersama-sama melakukan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat terhebat yang pernah penulis miliki, Utari Eka Windani, Syarifah Liya Hafizhah, Reni Seprianti, Yesvita Ritonga, Amelia Astari, Lestari Sri Wulandari, Arridha Hutami Putri, Ilmi Fadila, Santy Darwinanti, serta teman-teman lain yang tak kalah hebatnya. Kepada teman-teman seangkatan stambuk 2006, senior dan junior yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas apa yang telah diberikan.


(6)

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi

Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas

telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, Departeman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dari bulan Desember 2009 sampai bulan juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi yang terdiri atas 8 genus, yaitu Aspergillus (6 jenis),

Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5).

Keanekaragaman jenis fungi yang paling banyak ditemukan pada salinitas 0-10 ppt, dan yang paling sedikit pada salinitas 20-30 ppt.


(7)

ABSTRACT

The research that knowing the species of fungi in decomposition Avicennia marina’s litter after application of Aspergillus sp., Curvularia sp., and Penicillium sp. in the various salinity level has been done at Microbiology Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Scientic, North Sumatera University from December 2009 until June 2010. The results of research indicated that fiveteen species of fungi were isolated from A. marina litter during decomposition including 8 genus, such as

Aspergillus (6 jenis), Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1

jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), and 1 fungi unidentified (sp. 5). The highest diversity of species fungi at 0-10 ppt and the lowest at 20-30 ppt.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak i

Abstract ii

Daftar Isi iii

Daftar Tabel v

Daftar Gambar vii

Daftar Lampiran viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Hutan Mangrove 5

2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove 6

2.1.2 Jenis dan Penyebaran Hutan Mangrove 7

2.1.3 Adaptasi Hutan Mangrove 8

2.2 Fungsi Hutan Mangrove 9

2.3 Serasah Mangrove 10

2.3.1 Dekomposisi Serasah 11

2.4 Peranan Fungi sebagai Saproba 12

2. 5 Salinitas 13

BAB 3 METODE PENELITIAN 15

3.1 Waktu dan Tempat 15

3.2 Alat dan Bahan 15

3.3 Tahapan Penelitian 16

3.3.1 Penentuan Lokasi berdasarkan Tingkat Salinitas 16

3.3.2 Pembuatan Suspensi Jamur 16

3.3.3 Penyiapan Serasah 16

3.3.4 Penempatan Serasah 17

3.3.5 Pengambilan Serasah 17

3.3.6 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) 17

3.3.7 Isolasi Fungi dari Serasah 17

3.3.8 Identifikasi Fungi 18

3.3.8.1 Identifikasi secara Makroskopis 18 3.3.8.2 Identifikasi secara Mikroskopis 18

3.4 Variabel yang Diamati 18


(9)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

4.1. Jenis-Jenis Fungi 20

4.2. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 0-10 ppt 23 4.3. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 10-20 ppt 27 4.4. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 20-30 ppt 31 4.5. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Jenis Fungi 38 4.6. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Rata-Rata

Fungi 41

4.7 Perbandingan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi setelah

Aplikasi Funhgi pada Berbagai Tingkat Salinitas 43

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 46

5.1 Kesimpulan 46

5.2 Saran 47


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Kehadiran Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A.marina pada Kontrol dan setelah Aplikasi Fungi pada Beberapa

Tingkat Salinitas 21

2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 0-10 ppt 24

3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 0-10 ppt 25

4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 0-10 ppt 26

5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 10-20 ppt 28

6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 10-20 ppt 29

7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 10-20 ppt 30

8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Deomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 20-30 ppt 32

9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada


(11)

10.Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada

Salinitas 20-30 ppt 34

11.Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang pada Kontrol dan setelah


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi setelah Aplikasi Fungi pada

Beberapa Tingkat Salinitas 39

2. Perbandingan Jumlah Rata-Rata Fungi setelah Aplikasi Fungi


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun

A. marina pada Kontrol dengan Salinitas 0-10 ppt. 53

2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun

A. marina pada Kontrol dengan Salinitas 10-20 ppt. 54

3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x (102 cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya Tiap 15 Hari pada Dekomposisi Serasah Daun

A. marina yang pada Kontrol dengan Salinitas 20-30 ppt. 55

4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 15 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 56 5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 30 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 57 6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang setelah Aplikasi

Fungi selama 45 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 58 7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 60 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 59 8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 75 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 60 9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 90 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 61 10.Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) pada

Dekomposisi Serasah Daun A. marina setelah Aplikasi Fungi

selama 105 Hari pada Beberapa Tingkat Salinitas. 62 11.Struktur dan Ciri Makroskopis dan Mikroskopis Fungi pada

Dekomposisi Serasah A. marina setelah Aplikasi Fungi pada


(14)

12.Pembuatan Suspensi Fungi (Aspergillus sp., Curvularia sp.,

dan Penicillium sp.) 78

13.Penyiapan Serasah Avicennia marina 79

14.Penempatan dan Pengambilan Serasah Avicennia marina 80 15.Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) sebagai Media

Tumbuh Fungi Hasil Isolasi 81

16.Isolasi Fungi dari Serasah Avicennia marina 82 17.Identifikasi secara Makroskopis Fungi Hasil Isolasi 83 18.Identifikasi secara Mikroskopis Fungi Hasil Isolasi 84


(15)

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi

Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas

telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, Departeman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dari bulan Desember 2009 sampai bulan juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi yang terdiri atas 8 genus, yaitu Aspergillus (6 jenis),

Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5).

Keanekaragaman jenis fungi yang paling banyak ditemukan pada salinitas 0-10 ppt, dan yang paling sedikit pada salinitas 20-30 ppt.


(16)

ABSTRACT

The research that knowing the species of fungi in decomposition Avicennia marina’s litter after application of Aspergillus sp., Curvularia sp., and Penicillium sp. in the various salinity level has been done at Microbiology Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Scientic, North Sumatera University from December 2009 until June 2010. The results of research indicated that fiveteen species of fungi were isolated from A. marina litter during decomposition including 8 genus, such as

Aspergillus (6 jenis), Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1

jenis), Mucor (1 jenis), Penicillium (3 jenis), Saccharomyces (1 jenis), and 1 fungi unidentified (sp. 5). The highest diversity of species fungi at 0-10 ppt and the lowest at 20-30 ppt.


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mangrove merupakan hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, hal ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan, baik yang terdapat di darat maupun di laut (Martosubroto, 1978). Rantai makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove ini tidak terputus. Bunga, ranting dan daun mangrove yang jatuh ke perairan akan tenggelam atau terapung dan terbawa oleh arus laut ke daerah lain. Hasil penelitian di Florida, Amerika Serikat menunjukkan serasah (bunga, ranting, dan daun) yang dihasilkan oleh pohon-pohon mangrove merupakan bahan penting bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah pantai. Zat organik yang berasal dari penguraian serasah hutan mangrove ikut menentukan kehidupan ikan dan invertebrata di areal tersebut (Soeroyo, 1987).

Aliran energi pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik seperti sungai-sungai, pasang surut, gelombang laut dan faktor-faktor biologi seperti produksi serasah dari tumbuhan yang jatuh dan mengalami dekomposisi, serta semua mekanisme yang mengatur kecepatan pemasukan, pengeluaran dan penyimpanan material organik dan anorganik. Faktor fisik ini membawa unsur hara ke lingkungan mangrove yang secara aktif diabsorbsi oleh akar-akar permukaan substrat, mikroflora dan mikrofauna. Mangrove seperti tumbuhan lainnya membutuhkan unsur hara untuk pertumbuhan. Secara umum arti dari pergerakan dan perpindahan materi dan energi dalam ekosistem mangrove yaitu mangrove menggunakan material anorganik yang masuk ke lingkungan mangrove dan mengeluarkan material organik dalam bentuk


(18)

serasah tumbuhan yang dapat menyokong rantai makanan dekat pantai (Soeroyo, 1987).

Menurut Moore-Landecker (1996), seperti saproba lainnya, fungi saprofit merupakan organisme penyebab kerusakan yang memperoleh nutrisi dari material organik yang telah mati. Substrat atau sumber nutrisi dapat berupa jasad tumbuhan atau hewan yakni bagian dari tanaman atau hewan seperti daun, ranting, sampah organik, beberapa komponen sintetis, dan beberapa produk lain yang dapat terlarut. Komponen dari makhluk hidup tersebut digunakan sebagi nutrisi. Dengan degradasi atau dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah menjadi molekul-molekul organik.

Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme pengurai seperti fungi dalam ekosistem setempat jelas tidak dapat diabaikan (Efendi, 1999). Fungi terdapat hampir di seluruh ekosistem yang terdapat di bumi yang berperan dalam mendegradasi dan mendaur ulang unsur-unsur esensial seperti karbon, nitrogen, dan fosfor (Alongi, 1994). Serasah yang jatuh ke dalam sungai dan daerah pantai mengalami dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi. Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika ada mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, dengan penambahan fungi pada serasah Avicennia marina diharapkan proses dekomposisi akan lebih cepat. Kecepatan proses dekomposisi serasah tidak hanya dipengaruhi oleh mikroorganisme pengurai tetapi juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya, suhu udara di sekitar kawasan mangrove dan kondisi lingkungan tempat tumbuh organisme seperti suhu air, pH, salinitas air, kandungan oksigen terlarut dalam air, kandungan hara organik dalam air dan lain-lain. Dalam proses dekomposisi, semua faktor baik faktor fisik, kimia, maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain ( Anderson dan Swift, 1979 ).

Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan organisme. Salinitas air juga berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan


(19)

dengan satuan promil (0/00). Kandungan utama dari air laut dibentuk oleh ion Na+ dan

Cl-, ditambah berbagai jenis unsur lain yang jumlahnya relatif sedikit (Barus, 2004).

Hutan mangrove di kawasan desa Sicanang, Belawan merupakan salah satu kawasan yang banyak didominasi oleh jenis vegatasi Avicennia marina . Penelitian tentang jenis-jenis fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah A. Marina setelah aplikasi fungi pada beberapa tingkat salinitas masih sangat terbatas. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh aplikasi fungi yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yaitu Aspergillus sp., Curvularia sp.,

Penicillium sp., terhadap keanekaragaman jenis fungi yang berasosiasi pada serasah

daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada beberapa tingkat salinitas pada kawasan desa Sicanang.

1.2 Permasalahan

Serasah daun A. marina di kawasan mangrove desa Sicanang memberikan sumbangan unsur hara dan bahan organik bagi organisme dan perairan sekitarnya. Serasah merupakan bahan utama untuk tempat berkumpulnya mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Fungi sangat berperan dalam proses dekomposisi. Informasi yang mengungkap fungi dalam dekomposisi serasah daun A. marina setelah aplikasi fungi

Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., pada beberapa tingkat salinitas di

lingkungan mangrove secara khusus masih sangat terbatas, terutama di kawasan mangrove desa Sicanang, Belawan. Maka dari itu, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Apakah fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., menunjukkan keanekaragaman fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah daun A.

marina.

2. Apakah tingkat salinitas menunjukkan keanekaragaman fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah daun A. marina.


(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi

Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas.

1.4 Hipotesis

Aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. dan tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.

1.5 Manfaat

1. Mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang berperan dalam proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp.

2. Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat umumnya ataupun instansi yang terkait.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Santoso, 2000).

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa jenis pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,

Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,

2000).

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Agar lebih jelas, (Macnae, 1968) menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau


(22)

nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove, yaitu Rhizophora mucronata.

2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh di daerah payau (Santoso, 2000). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1982), ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut: tidak dipengaruhi iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai stratum tajuk dan tinggi mencapai 30 meter.

Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Setiap ekosistem mempunyai fungsi masing-masing.

Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, unsur hara dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan unsur hara yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Disamping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi


(23)

tempat migrasi organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

2.1.2 Jenis dan Penyebaran Hutan Mangrove

Secara umum, hutan mangrove mempunyai keanekaragaman jenis yang rendah. Chapman (1975) melaporkan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia. Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi (63 jenis) dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian Barat (43 jenis). Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.

Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis mangrove (Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor seperti, cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Avicennia sp., Rhizophora sp.,

Soneratia sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Bruguiera sp., dan tumbuh-tumbuhan

bawah yang hidup diantaranya Acrostichum aureum, Achantus iliciflius, dan

Archanthus ebracteatus. Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah di

daerah pesisir, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mangandung pasir dan lumpur serta umumnya pada pantai landai yang terhindar dari ombak besar. Vegetasi mangrove mempunyai zonasi yang khas, dicirikan oleh adanya perbedaan jenis yang tersusun menurut urutan tertentu walaupun dengan batas yang kurang jelas (Sagala, 1994).


(24)

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia: (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasanya berasosiasi dengan

Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur yang kaya bahan organik. (2)

Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. (3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Beberapa spesies mangrove memperlihatkan sifat viviparitas (biji sudah berkecambah selagi buah masih menempel pada ranting). Semua anggota dari suku Rhizophoraceae, Avicennia sp, (Verbenaceae), dan Aegiceros corniculatum (Myrsinaceae) memperlihatkan viviparitas (Kusmana, 1996).

2.1.3 Adaptasi Hutan Mangrove

Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:

a. Adaptasi terhadap kadar-kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avicennia sp., dan Sonneratia sp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizophora sp.).

b. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi: (1) Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. (2) Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. (3) Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan


(25)

horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Menurut Chapman (1975), terdapat tujuh bentuk perakaran utama mangrove, yaitu: (1) Bentuk perakaran sederhana yang timbul tenggelam di dalam tanah, misal

Lumnitzera sp. (2) Bentuk akar lutut, misal Bruguiera sp. (3) Akar dorsal yang

tumbuh ke atas yang bertumpu pada akar horizontal, misal Camptostemon sp. (4) Bentuk perakaran horizontal yang berupa banir, misal Xylocarpus sp. (5) Akar pasak, misal Avicennia sp. (6) Akar pasak yang memproduksi pneumathoda terminal, misal

Laguncularia sp. (7) Akar tunjang, misal Rhizophora sp.

2.2 Fungsi Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi penting terhadap produktivitas ekosistem pesisir (Harger, 1982). Ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis (Santoso dan Arifin, 1998). Menurut Anwar et al (1984), hutan mangrove bagi kebanyakan pesisir pantai di Sumatera Utara merupakan suatu daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak dan perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi yang secara garis besarnya dapat dibagi tiga aspek:

(1) aspek fisik,

(2) aspek biologi, dan (3) aspek ekonomis.

Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu diterapkan serta digalakkan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it (manfaatkan). Semua itu tentu memerlukan koordinasi antara stakeholders dan masyarakat di sekitar kawasan tersebut maupun para pecinta lingkungan, terutama kalangan akademis. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari, yaitu teknologi, diversifikasi pemanfaatan upaya sustainable, dan pengelolaan terpadu (Arief, 2003).


(26)

2.3 Serasah Mangrove

Menurut hasil penelitian Cracc (1964) yang dilakukan di Florida, Amerika Serikat, serasah di perairan sekitar hutan mangrove umumnya berasal dari pohon-pohon mangrove. Sebagian besar dari serasah ini akan larut dalam air sebagai material halus, sehingga sekitar 35%-60% dari unsur hara yang terlarut di perairan dekat pantai diperkirakan berasal dari pohon mangrove. Hal ini memang belum dapat dibuktikan secara pasti. Walaupun luas perairan pantai hanya sekitar 10% dari luas lautan, namun para ahli berpendapat bahwa 90% dari produktivitas laut terdapat di perairan pantai. Sedangkan setengah dari luas lautan hanya memiliki produktivitas sebesar 0,1%. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dalam suatu hutan mangrove di Florida menunjukkan pentingnya serasah yang dihasilkan oleh pohon-pohon mangrove sebagai landasan bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah pantai (Soeroyo, 1987).

Menurut Lear dan Turner (1977), bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahan-bahan tersebut mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari hewan-hewan laut. Bagian partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.

Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama. Menurut Cracc (1964), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove adalah sebagai berikut: (1) Iklim, (2) Ketinggian tempat, (3) Kesuburan tanah, (4) Kelembaban tanah, (5) Kerapatan pohon dan bidang dasar, (6) Pengaruh waktu (musim), (7) Variasi tahunan, dan (8) Umur tegakan.


(27)

2.3.1 Dekomposisi Serasah

Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat terdekomposisi daripada serasah yang mengandung sedikit unsur hara. Residu tumbuhan yang mempunyai kandungan dinding sel yang tinggi memiliki konsentrasi unsur hara yang rendah. Keefektifan bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari cepat atau lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Air dan CO2 merupakan senyawa sederhana yang mudah dihasilkan melalui dekomposisi

bahan organik. Proses dekomposisi serasah mangrove menghasilkan unsur hara yang diserap kembali oleh tumbuhan dan sebagian larut terbawa oleh air surut ke perairan sekitarnya. Proses akhir dari dekomposisi serasah mangrove serta pelepasan unsur hara dalam bentuk mineral melengkapi siklus transformasi unsur kimia essensial yang berguna untuk menunjang kehidupan di alam (Sunarto, 2003)

Penguraian serasah mangrove dalam perairan pantai menghasilkan unsur hara seperti nitrogen organik dan senyawa fosfat. Di Victoria, Australia materi yang berasal dari mangrove api-api (A. marina) ternyata sangat kaya unsur hara tersebut, terutama senyawa fosfat. Peranan mangrove begitu aktif dan penting dalam proses daur unsur hara. Hal ini telah ditunjukkan pada penelitian di Western Port Bay yang dilakukan oleh Goulter and Allaway (1979), daun dan akar yang jatuh selama satu tahun mempunyai kadar nitrogen sebanyak empat kali lipat dan fosfat setengah dari kadar nitrat dan fosfat dalam perairan di pantai itu sendiri. Penguraian serasah mangrove menurut Swift et al (1979) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Alam dan komunitas pengurai (binatang dan mikroorganisme). b. Kualitas sumber (jenis serasah).

c. Faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban tanah.

2.4 Peranan Fungi dalam Dekomposisi Serasah

Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme dalam ekosistem setempat tidak dapat diabaikan. Aktivitas penguraian bahan organik dan anorganik yang sampai ke tempat ini tidak akan pernah terjadi tanpa bantuan mikroba saprofit (pengurai,


(28)

pemakan sampah). Bahan yang telah terurai ini selanjutnya diserap oleh makhluk ototrof sebagai produsen primer yang sebagian diantaranya berupa mikroba. Selanjutnya organisme ototrof dikonsumsi oleh kelompok hewan heterotrof seperti ikan, udang, moluska dan hewan air lainnya (Efendi, 1999). Menurut Sikong (1978), massa bakteri dan fungi bersama hasil penguraian menjadi makanan bagi organisme pemakan detritus yang kebanyakan terdiri atas hewan-hewan invertebrata. Organisme pemakan detritus ini pada gilirannya dimakan oleh ikan-ikan dan crustaceae lainnya.

Seperti saproba lainnya, fungi saprofit merupakan organisme penyebab kerusakan yang memperoleh unsur hara dari material organik yang telah mati. Substrat atau sumber nutrisi dapat berupa jasad tumbuhan atau hewan yakni bagian dari tanaman atau hewan seperti daun, ranting, rambut, sampah organik, beberapa komponen sintetis, dan beberapa produk lain yang dapat terlarut. Komponen dari makhluk hidup tersebut digunakan sebagai nutrisi. Dengan degradasi atau dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah menjadi molekul-molekul organik. Molekul-molekul ini antara lain seperti polisakarida, asam organik, lignin, senyawa aromatik dan hidrokarbon alifatik, gula, alkohol, purin, asam amino, lipid protein dan asam nukleat yang merupakan ciri dari kehidupan (Moore-Landecker, 1996).

Serasah dari dedaunan tumbuh-tumbuhan tersebut menyumbang unsur hara ke perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme setempat. Mengingat lingkungan mangrove pada waktu pasang digenangi air laut, maka mikroorganisme yang hidup di daerah tersebut harus memiliki ketahanan terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Selain serasah dari pepohonan mangrove, sungai-sungai yang bermuara ke daerah tersebut juga membawa bahan organik dari daratan ( Gandjar et al, 2006).

Bagi mikroorganisme, proses degradasi dalam arti sederhana hanya untuk memperoleh nutrisi dengan mencernanya. Bakteri dan fungi mengeluarkan cairan berupa enzim ke lingkungan yang memecah molekul spesifik menjadi lebih sederhana sehingga dapat larut. Menurut Deacon (1984), fungi saprofit diperoleh pada semua lingkungan baik alami maupun buatan, saproba memproduksi beberapa enzim pemecah selulosa dan lignin serta berperan dalam siklus karbon dan mineral. Fungi


(29)

juga menghasilkan beberapa polimer yang kompleks dan bersifat resisten dari hasil aktivitas saprofitnya. Komponen yang dihasilkan dapat berupa bahan utama pembentuk humus yakni humic acid yang dapat menyuburkan tanah.

Menurut Lear dan Turner (1977), bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok untuk tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Bakteri dan fungi yang terdapat pada serasah tersebut diperkirakan memiliki peranan penting dalam proses dekomposisi serasah. Menurut Ayunasari (2009), beberapa fungi yang memiliki kontribusi terbesar dalam proses dekomposisi serasah A. marina adalah Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. Menurut Gandjar et al (2006), para peneliti Jepang telah mengisolasi fungi dari lumpur hutan mangrove yang terdapat di pulau Okinawa, dan menemukan Penicillium purpurogenum, Aspergillus terreus, Trichoderma

harzianum, Penicillium cristosum, Acremonium alabamense, Talaromyces flavus var. flavus, dan Phialophora fastigiata. Mereka melanjutkan penelitian dengan

mengisolasi fungi dari rhizosfer tumbuhan mangrove Salicornia europaea L. (tumbuhan halofit) dan menemukan: Acremonium strictum, Alternaria alternate,

Cladosporium cladosporoides, Penicillium citrinum, Phoma sp., Trichoderma sp., Pestalotiopsis sp., Cylindrocarpon destructans, dan Coelomycetes sp.

2.5 Salinitas

Salinitas air juga berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (0/00). Kandungan utama

dari air laut dibentuk oleh ion Na+ dan Cl-, ditambah berbagai jenis unsur lain yang jumlahnya relatif sedikit. Umumnya garam terlarut pada ekosistem laut terutama terdiri atas NaCl, sedangkan pada perairan tawar terutama terdiri atas kalsium karbonat. Berdasarkan venice system to classification of water according to salinity, jenis air payau (mixohalin) memiliki tingkat salinitas 0,5-30 0/00 (Barus, 2004).

Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila populasi fitoplankton, tumbuhan air, dan fungi yang hidup di air menurun. Hal ini


(30)

dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari organisme air akan meningkatkan proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton, tumbuhan air, dan fungi yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Proses penguraian bahan organik dalam air, yang berasal dari pembuangan limbah cair misalnya, melalui proses biodegradasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis alga dan fitoplankton lain. Hal ini akan menyebabkan kadar garam terlarut dalam air akan mengalami fluktuasi sesuai dengan fluktuasi dari populasi fitoplankton, tumbuhan air, fungi dan fluktuasi dari jumlah bahan organik yang ada dalam air (Barus, 2004).

Semakin tinggi tingkat salinitas maka semakin sedikit mikroorganisme yang mampu beradaptasi dan dapat bertahan hidup. Menurut Muslimin (1996), mikroorganisme yang terdapat pada perairan dipengaruhi oleh faktor fisik maupun kimia seperti tekanan hidrostatik, sinar, pH, salinitas dan suhu. Salah satu respons mikroorganisme terhadap salinitas adalah tidak dapat bertoleransi dan akan mati pada kondisi salinitas tinggi.


(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Juni 2010 bertempat di Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat-alat yang digunakan adalah kantong nilon dengan pori-pori 2 mm (40 cm x 30 cm), tali rafia, hand refractometer, benang nilon, jarum, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, jarum ose, bunsen, sprayer, aluminium foil, gelas ukur, corong, spatula, batang pengaduk, hockey stick, mancis, labu erlenmeyer, gelas beaker, mortal dan alu, pipet serologi, propipet, kertas saring, hot plate, vorteks,

magnetic stirer, autoklaf, oven, inkubator fungi, mikroskop cahaya, kaca objek,

kulkas, timbangan analitik, timbangan elektrik. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah A. marina, media PDA (Potato Dextrose Agar), antibiotik chloramfenicol, air laut dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, alkohol 70%, desinfektan, kapas.


(32)

3.3 Tahapan Penelitian

3.3.1 Penentuan Lokasi berdasarkan Tingkat Salinitas

Penentuan zona salinintas dilakukan setelah melakukan survey lokasi penelitian terlebih dahulu. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian diukur berdasarkan tingkat salinitas. Pengukuran tingkat salinitas dilakukan pada titik tertentu dari darat ke laut dengan menggunakan alat hand refractometer yang terdiri atas 3 zona, yaitu:

a. Lokasi I dengan tingkat salinitas 0-10 ppt b. Lokasi II dengan tingkat salinitas 10-20 ppt c. Lokasi III dengan tingkat salinitas 20-30 ppt

3.3.2 Pembuatan Suspensi Fungi

Masing-masing fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. dipotong berukuran 1x1 cm dan diinokulasikan ke dalam 10 ml air laut yang telah disterilkan secara aseptis sehingga terbentuk suspensi fungi. Suspensi fungi dihomogenkan dengan menggunakan vorteks. Suspensi fungi ini digunakan untuk 1 kantong serasah.

3.3.3 Penyiapan Serasah

Daun A. marina di kawasan hutan mangrove desa Sicanang yang sudah menguning dan gugur dikumpulkan sebanyak 9.450 gram. Sebanyak 50 gram serasah dimasukkan kedalam kantong serasah yang terbuat dari jaring nilon dengan pori-pori 1 mm (40 cm x 30 cm). Kemudian suspensi fungi disemprotkan pada serasah daun A. marina. Jumlah kantong serasah yang diperlukan sebanyak 189 buah (7 pengambilan x 3 salinitas x 3 ulangan x 3 perlakuan).


(33)

3.3.4 Penempatan Serasah

Kantong yang berisi serasah daun A. marina diletakkan pada kawasan payau di sekitar tambak udang milik masyarakat setempat dengan perbedaan tingkat salinitas. Pengukuran salinitas dilakukan dengan alat hand refractormeter. Kantong tersebut kemudian diletakkan pada 3 lokasi dengan perbedaan tingkat salinitas. Salinitas 1 (0-10 ppt), salinitas 2 ((0-10-20 ppt), salinitas 3 (20-30 ppt). Jumlah kantong serasah yang diperlukan pada setiap salinitas sebanyak 63 buah (7 pengambilan x 3 ulangan x 3 perlakuan).

3.3.5 Pengambilan Serasah

Serasah yang telah diletakkan pada tiap salinitas, diambil setiap 15 hari sekali sebanyak 9 kantong dengan perlakuan fungi yang berbeda pada setiap salinitas. Pada setiap pengambilan dan ketiga salinitas sebanyak 27 kantong. Pengambilan serasah dilakukan sebanyak 7 kali (selama 105 hari). Serasah kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui keanekaragaman dan karakteristik fungi yang didapat.

3.3.6 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Media Potato Dextrose Agar (PDA) ditimbang sebanyak 3,9 gram. Kemudian dilarutkan dengan 100 ml air laut dari masing-masing salinitas serta ditambahkan

Chloramfenicol. Media tersebut dipanaskan diatas hotplate, dan disterilisasi dengan

menggunakan autoklaf.

3.3.7 Isolasi Fungi dari Serasah

Sebanyak 10 gram sampel serasah A. marina dihaluskan dengan mortal dan alu secara aseptis. Serasah yang telah halus dicampurkan dengan 100 ml air laut pada masing-masing salinitas yang sudah disterilkan sehingga terbentuk suspensi. Suspensi tersebut


(34)

diencerkan sampai mencapai tingkat 10-2. Lalu 1 ml dari pengenceran 10-2 ditanam kedalam cawan petri yang sudah berisi media PDA dengan menggunakan metode cawan sebar. Kemudian hasil isolasi diinkubasi selama 5-8 hari. Fungi yang tumbuh pada media dihitung jumlah koloni masing-masing jenis dan dikultur tunggal untuk diidentifikasi.

3.3.8 Identifikasi Fungi

3.3.8.1 Identifikasi secara Makroskopis

Masing-masing jenis fungi yang telah diperoleh, dikultur tunggal pada media PDA dan diidentifikasi secara makroskopis. Identifikasi makroskopis dilakukan setiap hari selama 7 hari dengan mengamati warna spora, permukaan atas dan permukaan bawah, serta diameter koloni.

3.3.8.2 Identifikasi secara Mikroskopis

Identifikasi dilakukan dengan metode Block square. Pengamatan hifa, konidia, bentuk spora, dan warna spora dilakukan di bawah mikroskop cahaya. Data hasil pengamatan diidentifikasi dan dicocokkan dengan menggunakan buku Fungi and Food Spoilage.

3.4 Variabel yang Diamati

Variabel fungi yang diamati dalam penelitian ini adalah: a. Jumlah jenis fungi

b. Populasi fungi

c. Frekuensi kolonisasi jenis fungi d. Keanekaragaman jenis fungi


(35)

3.5 Analisis Data

Metode yang dipakai untuk mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang diisolasi dari serasah A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada beberapa tingkat salinitas dilakukan dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner dalam Odum (1971); Barnes et al (1997) dengan rumus:

H’= -Σ(Ni/N) ln (Ni/N) dengan:

Ni= nilai kuantitatif suatu jenis

N= jumlah nilai kuantitatif semua jenis dalam komunitas

Kisaran dari Indeks Keanekaragaman (H’) (Magurran, 1988): 0<H’<1,5 = Keanekaragaman rendah

1,5<H’<3,5 = Keanekaragaman sedang H’>3,5 = Keanekaragaman tinggi


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi

Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. pada beberapa tingkat salinitas di

kawasan mangrove Desa Sicanang, Belawan menunjukkan keanekaragaman jenis fungi, seperti dijelaskan berikut:

4.1. Jenis-Jenis Fungi

Jenis-jenis fungi pada serasah daun A. marina yang dijadikan kontrol (tanpa aplikasi fungi) dan setelah aplikasi fungi yang mengalami dekomposisi menunjukkan jumlah jenis fungi yang berbeda. Jumlah jenis fungi yang diperoleh pada serasah daun A.

marina yang mengalami proses dekomposisi tanpa aplikasi fungi yaitu 4 jenis,

sedangkan jumlah jenis fungi yang diperoleh pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada salinitas 0-10 ppt yaitu 15 jenis, 14 jenis pada salinitas 10-20 ppt, dan 12 jenis pada salinitas 20-30 ppt (Tabel 1).


(37)

Tabel 1. Kehadiran Fungi pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina pada Kontrol dan setelah Aplikasi Fungi pada Beberapa Tingkat Salinitas

No Jenis fungi Kehadiran

Kontrol 0-10 ppt 10-20 ppt 20-30 ppt

1. Aspergillus flavus - √ √ √

2. Mucor sp. - √ √ √

3. Aspergillus sp 5. - √ √ √

4. Aspergillus tereus - √ √ √

5. Sp 5 - √ √ √

6. Penicillium sp 6. - √ - -

7. Aspergillus sp 6. - √ √ √

8. Aspergillus niger √ √ √ √

9. Aspergillus sp 7. - √ √ √

10. Penicillium sp 7. - √ √ √

11. Arthrinium phaeospermum - √ √ √

12. Basipetospora halophila - √ √ √

13. Curvularia sp. √ √ √ -

14. Penicillium sp 3. √ √ √ -

15. Saccharomyces sp. √ √ √ √

Keterangan: √ = hadir - = tidak hadir

Menurut Affandi (2000), hasil karakterisasi dan identifikasi fungi dari serasah daun tumbuhan di Kawasan Gunung Lawu, Surakarta, JawaTengah, didapatkan 30 strain jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah, terdiri dari 7 genus masing-masing Aspergillus (10 jenis), Penicillium (4 jenis), Paecilomyces (2 jenis),

Trichoderma (10 jenis), Ghocladiurn (2 jenis), Gonatobotryum (1 jenis), dan Syncephalastrum (1 jenis). Dari hasil isolasi serasah daun A. marina ditemukan

beberapa genus berbeda yaitu genus Aspergillus (6 jenis), Penicillium (3 jenis),

Arthirinium (1 jenis), Basipetospora (1 jenis), Curvularia (1 jenis), Mucor (1 jenis), Saccharomyces (1 jenis), dan 1 fungi tak teridentifikasi (sp.5) diduga karena

dikhususkan pada serasah daun A. marina sedangkan hasil isolasi dari serasah daun tumbuhan secara umum ditemukan sebanyak 7 genus.

Menurut Gandjar et al (1999), Arthirinium phaeospermum kosmopolit dan terdapat terutama pada tumbuhan Graminae. Jenis ini telah diisolasi dari tanah hutan, tanah pertanian, kompos kebun, tanah yang terpolusi sampah, dan kayu yang busuk.

Basipetospora halophila juga telah banyak diisolasi dari tanah di daerah tropis

maupun subtropis. Curvularia sp. banyak sekali ditemukan di daerah tropis, dan mudah diisolasi dari tanah, serasah, lumpur hutan bakau. Curvularia sp. mampu


(38)

tumbuh dengan baik pada permukaan berbahan selulosa. Jenis ini sering ditemukan tumbuh di tanah, serasah tumbuhan (seperti daun dan bagian tanaman lainnya) sering ditemukan dari isolasi tanah ataupun jenis makanan, dan biji-bijian. Diduga serasah A. marina yang diisolasi mengandung lumpur, atau tanah yang menempel.

Aplikasi fungi pada serasah daun A. marina diharapkan berperan sebagai dekomposer awal yang berguna untuk merombak senyawa organik yang terdapat pada serasah tersebut. Menurut Effendi (1999), di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme pengurai seperti fungi dalam ekosistem tidak dapat diabaikan. Menurut Affandi (2000), keberadaan fungi ini diantaranya adalah sebagai organisme dekomposer dalam proses dekomposisi serasah yang merupakan proses penting dalam ekosistem dan memainkan peran penting dalam regulasi unsur hara dan siklus karbon. Menurut Alexander (1977), Genus Aspergillus, Penicillium, Curvularia dan beberapa genus lainnya seperti Trichoderma, Pseudomonas, Phanerochaeta, Cellulomonas, dan

Thermospora merupakan fungi perombak bahan organik yang mengurai sisa-sisa

tanaman khususnya yang mengandung hemiselulosa, selulosa, dan lignin.

Fungi-fungi yang diisolasi dari lingkungan mangrove juga mempunyai prospek pengembangan dalam bidang industri maupun dalam bidang pembuangan limbah karena mempunyai kemampuan dalam mendegradasi senyawa liyrnoselulosa serta berpotensi memproduksi enzim, khususnya enzim pemecah lignin. Menurut Eriksson

et al. (1989), fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi yang berperan dalam

mengubah bahan organik kompleks menjadi senyawa organik sederhana. Senyawa organik sederhana berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman.

Faktor salinitas menunjukkan keanekaragaman dan bertambahnya jumlah jenis fungi yang diperoleh. Serasah daun A. marina dengan aplikasi 3 fungi pada salinitas 0-10 ppt didapatkan jumlah jenis paling banyak yaitu 15 jenis dan paling sedikit pada serasah daun A. marina dengan aplikasi 3 fungi pada salinitas 20-30 ppt yaitu 12 jenis. Semakin tinggi tingkat salinitas, semakin sedikit jenis fungi yang didapat. Menurut Mallin et al (2000), dan Langenheders (2005) bahwa bertambahnya salinitas akan


(39)

memberikan efek negatif terhadap kelimpahan dan keanekaragaman jenis fungi. Tingginya tingkat salinitas merupakam faktor pembatas yang mengontrol jumlah jenis fungi dan menyebabkan rendahnya tingkat aktivitas fungi akibat terjadinya shock

osmotic atau toksik yang mengakibatkan menurunnya jumlah jenis yang diperoleh

pada salinitas 20-30 ppt.

Saccharomyces sp. selalu muncul pada setiap salinitas yaitu pada serasah daun A. marina pada salinitas 0-10 ppt , 10-20 ppt dan 20-30 ppt dan setiap aplikasi 3 jenis

fungi. Menurut Moore-landecker (1996), yeast berkembang cepat dengan membelah diri dengan cara fission dan budding. Jenis yeast yang diisolasi dari dekomposisi serasah ini diperkirakan halofil (tahan pada salinitas tinggi) sehingga dapat menyesuaikan diri pada setiap salinitas.

4.2. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 0-10 ppt

Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. (Tabel. 2) dan aplikasi Curvularia sp. (Tabel. 3) pada salinitas 0-10 ppt, sedangkan serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. (Tabel. 4). Pada aplikasi

Penicillium sp., diperoleh jumlah jenis fungi terbanyak yaitu 14 jenis fungi, sedangkan

pada aplikasi Aspergillus sp. dan Curvularia sp. diperoleh jumlah jenis fungi paling sedikit yaitu 12 jenis fungi.


(40)

Tabel 2. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10 ppt

No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah penga- matan (kali) Jumlah kemun- culan koloni (kali) Frekuensi kemun- culan (%)a

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 2 1 0 0 1.66 3.66 1.66 9.98 1.43 7 5 71.42

2. Aspergillus tereus 9.66 21.66 1.66 1 5 9 8 55.98 8 7 7 100

3. sp. 5 0.33 0 0 0 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

4. Penicillium sp. 6 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

5. Aspergillus niger 0.33 0 0 0 0.33 0 0 0.66 0.09 7 2 28.57

6. Aspergillus sp. 7 0 0 3.66 0.66 1.33 0 1 6.65 0.95 7 4 57.14

7. Penicillium sp. 7 0.33 0 1.66 1 1.66 0 0.66 5.31 0.76 7 5 71.42

8. Arthrinium phaeospermum 9.33 0 2 2.33 0 0 0.33 13.99 2 7 4 57.14

9. Basipetospora halophila 0 0.33 0 0.66 0 0.66 0 1.65 0.24 7 3 42.85

10. Curvularia sp. 0 0.66 1 1 1.66 0 0.66 4.98 0.71 7 5 71.42

11. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

12. Saccharomyces sp. 0 0 1 0 66 5 41 113 16.14 7 4 57.14

Total 213.19 30.46


(41)

Tabel 3. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10

No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah penga- matan (kali) Jumlah kemun- culan koloni (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0.33 1 0.66 0 0 5.66 1 8.65 1.24 7 5 71.42

2. Aspergillus tereus 0 4 1.66 0 5.66 2 3 16.32 2.33 7 5 71.42

3. sp. 5 0 0 0 0 0 0 0.66 0.66 0.09 7 1 14.28

4. Aspergillus sp. 6 0 0 0 0.66 0 0 0 0.66 0.09 7 1 14.28

5. Aspergillus niger 0 0 0 0 0 0.66 0 0.66 0.09 7 1 14.28

6. Aspergillus sp. 7 0.66 2 0.33 2.66 3.66 2.66 0.66 12.63 1.8 7 7 100

7. Penicillium sp. 7 0.33 0.33 0.66 0 14 0 0.33 15.65 2.24 7 5 71.42

8. Arthrinium phaeospermum 23.33 2.66 4.33 2.66 2 10.33 0.66 45.97 6.57 7 7 100

9. Basipetospora halophila 0 0.66 0 2.66 0 1 0 4.32 0.62 7 3 42.85

10. Curvularia sp. 1.66 0.33 0.66 0 14 0 0.33 16.98 2.43 7 5 71.42

11. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 3.66 0 0 3.66 0.52 7 1 14.28

12. Saccharomyces sp. 0.66 0 0 0 0 0.66 0 1.32 0.19 7 2 28.57

Total 127.48 18.21


(42)

Tabel 4. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 0-10 ppt

No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah penga- matan (kali) Jumlah kemun- culan koloni (kali Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0.33 0 0.66 0 1 0 0.66 2.65 0.38 7 4 57.14

2. Mucor sp. 0 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0.05 7 1 14.28

3. Aspergillus sp.5 0 0.33 0 0 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

4. Aspergillus tereus 0 0.33 0.66 0.33 8.66 1.66 5.33 16.97 2.42 7 6 85.71

5. Penicillium sp.6 0 0 0 0 18.66 0 0 18.66 2.67 7 1 14.28

6. Aspergillus sp.6 0 0 0.66 0 0 0 0.33 0.99 0.14 7 2 28.57

7. Aspergillus niger 0.33 1 0.66 0 0 0 1.33 3.32 0.47 7 4 57.14

8. Aspergillus sp.7 0 0 0 0.33 0 1 0.33 1.66 0.24 7 3 42.85

9. Penicillium sp.7 1 0.66 1 1 0 0 0.33 3.99 0.57 7 5 71.42

10. Arthrinium phaeospermum 2 7.33 1.66 5.33 0 0.33 0.33 16.98 2.43 7 6 85.71

11. Basipetospora halophila 0 0 0.66 1.66 0 1 0 3.32 0.47 7 3 42.85

12. Curvularia sp. 0 0 1.33 1 0 0 0.33 2.66 0.38 7 3 42.85

13. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 12.66 0 0 12.66 1.81 7 1 14.28

14. Saccharomyces sp. 0.66 0 0 0.33 36.66 0.33 95 132.98 19 7 5 71.42

Total 217.5 31.07


(43)

Serasah daun A. marina dengan aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 0-10 ppt diperoleh 12 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah A.

tereus yaitu sebesar 8 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 7 kali dengan frekuensi kehadiran 100%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah sp 5.,

Penicillium sp. 6., dan Penicillium sp. 3 yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Ketiga jenis ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina dengan aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 0-10 ppt diperoleh 12 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah

Arthrinium phaeospermum yaitu sebesar 6,57 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 7 kali dengan frekuensi kehadiran 100%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah sp. 5., Aspergillus sp. 6., dan A. niger yaitu sebesar 0,09 x 102 cfu/ml. Ketiga jenis ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina dengan aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 0-10 ppt diperoleh 14 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah

Saccharomyces sp. yaitu sebesar 19 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 5 kali dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah Mucor sp.. dan Aspergillus sp. 5. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Kedua jenis ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

4.3. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 10-20 ppt

Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 10-20 ppt (Tabel. 5). Serasah daun A. marina setelah aplikasi

Curvularia sp. (Tabel. 6). Sedangkan serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. (Tabel. 7). Pada aplikasi Curvularia sp., diperoleh jumlah jenis fungi

terbanyak yaitu 15 jenis fungi, sedangkan pada aplikasi Aspergillus sp. diperoleh jumlah jenis fungi paling sedikit yaitu 10 jenis fungi.


(44)

Tabel 5. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt

No Jenis fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah penga- matan (kali) Jumlah kemun- culan koloni (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergilus flavus 1 2.66 0 0.66 5.33 0 0.66 10.31 1.47 7 5 71.42

2. Aspergillus tereus 1.66 6.33 9.33 7 2.33 5.33 10.33 42.31 6.04 7 7 100

3. Aspergillus sp.6 0 0 0 0 0 0 4 4 0.57 7 1 14.28

4. Aspergillus niger 0 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0.05 7 1 14.28

5. Aspergillus sp. 7 0 0 0.33 1.33 0 0 1.33 2.99 0.43 7 3 42.85

6. Penicillium sp.7 2 8 0 0.66 2 0 1.33 13.99 2 7 5 71.42

7. Arthrinium phaeospermum 36.66 4.33 2.33 6.66 0 0 2.33 52.31 7.47 7 5 71.42

8. Basipetospora halophila 0 0 0 0 1 0 0 1 0.14 7 1 14.28

9. Curvularia sp. 1 8 1.33 0.33 2 0 1.33 13.99 2 7 6 85.71

10. Saccharomyces sp. 0 2 0 1 5.66 154.66 60 223.32 31.9 7 5 71.42

Total 364.55 52.08


(45)

Tabel 6. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt

No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah kemun-culan koloni (kali) Jumlah penga-matan (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 1.33 0 0 0 1.66 5 4.33 12.32 1.76 7 4 57.14

2. Aspergillus sp. 5 0 0 0.33 0 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

3. Aspergillus tereus 0.66 0.33 9.33 0.66 1.33 3.33 6.33 21.97 3.14 7 7 100

4. sp. 5 0 0 0 0.33 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

5. Aspergillus sp. 6 0 0 0 1 0 0 0 1 0.14 7 1 14.28

6. Aspergillus niger 0 0 0.33 0.33 0 2 2 4.66 0.67 7 4 57.14

7. Aspergillus sp. 7 0 0.66 0.33 0 0 0 5.33 6.32 0.9 7 3 42.85

8. Penicillium sp. 7 1.33 0.66 1.66 0.33 0 0 10 13.98 2 7 5 71.42

9. Athrinium phaeospermum 17.33 0.66 2 0 0 0 3 22.99 3.28 7 4 57.14

10. Basipetospora halophila 0 0.66 0.66 0 0 0.66 0 1.98 0.28 7 3 42.85

11. Curvularia sp. 1.33 0.66 1.66 0.33 0 0 10 13.98 2 7 5 71.42

12. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

13. Saccharomyces sp. 0 0.33 4 0.66 232 0 0 236.99 33.86 7 4 57.14

Total 337.18 48.17


(46)

Tabel 7. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 10-20 ppt

a: Jumlah kemunculan koloni (kali)/Jumlah pengamatan x 100%

No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah kemun- culan koloni (kali) Jumlah penga- matan (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0.33 1.66 0 0.33 1 1 4.66 8.98 1.28 7 6 85.71

2. Mucor sp. 0 0 0 0 0 0 1 1 0.14 7 1 14.28

3. Aspergillus tereus 0 7.33 7 1.66 2.33 14.33 13.33 45.98 6.57 7 6 85.71

4. sp. 5 0.33 0 0 0.33 0 0 0 0.66 0,09 7 2 28.57

5. Aspergillus niger 0 0 0 0 0 0.66 0 0.66 0.09 7 1 14.28

6. Aspergillus sp. 7 1.66 0 0 0 5.66 0 0 7.32 1.05 7 2 28.57

7. Penicillium sp.7 1 0 1.33 0.33 0 0 1.66 4.32 0.62 7 4 57.14

8. Arhtrinium phaeospermum 54 4.66 9.33 0 1.66 0 1.33 70.98 10.14 7 5 71.42

9. Basipetospora halophila 0 0.33 0 4.33 0 0 0 4.66 0.67 7 2 28.57

10. Curvularia sp. 2 0 0 0.66 0 0 1.66 4.32 0.62 7 3 42.85

11. Penicillium sp.3 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

12. Saccharomyces sp. 0 0 1.66 0 69.66 21 27.66 119.98 17.14 7 4 57.14


(47)

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 10-20 ppt diperoleh 10 jenis fungi. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 31,9 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 5 kali dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah A. niger. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 10-20 ppt diperoleh 13 jenis. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah

Saccharomyces sp. yaitu sebesar 33,86 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 5 kali dengan frekuensi kehadiran 71,42%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah Penicillium sp. 3 dan sp. 5, yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 10-20 ppt diperoleh 12 jenis. Jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah

Saccharomyces sp., yaitu sebesar 17,14 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 4 kali dengan frekuensi kehadiran 57,14%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah Penicillium sp. 3. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

4.4. Jenis dan Jumlah Fungi pada Salinitas 20-30 ppt

Dari hasil pengamatan serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 20-30 ppt (Tabel. 8). Serasah daun A. marina setelah aplikasi

Curvularia sp. (Tabel. 9). Sedangkan serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. (Tabel. 10). Pada aplikasi Penicillium sp. didapatkan jumlah jenis

fungi terbanyak yaitu 11 jenis fungi dan yang paling sedikit diperoleh setelah aplikasi


(48)

Tabel 8. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Aspergillus sp. selama 15-105 pada Salinitas 20-30 ppt

No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah kemun- culan koloni (kali) Jumlah penga- matan (kali) Frekuensi kemuncu- lan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0 0 0 0 0 0.33 0 0.3 0.05 7 1 14.28

2. Aspergillus tereus 1.33 0 1.66 0 7 5.33 1.33 16.65 2.38 7 5 71.42

3. Aspergillus niger 0 0 0 0 1.33 2.33 0 3.66 0.52 7 2 28.57

4. Aspergillus sp.7 0 0 0 0 8.33 0 0 8.33 1.19 7 1 14.28

5. Penicillium sp. 7 0 0.33 1.66 0 0 0.33 0 2.32 0.33 7 3 42.85

6. Arthrinium phaeospermum 21.33 0 7 0 0 0 21.33 49.66 7.09 7 3 42.85

7. Basipetospora halophila 0 0.33 0 0 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

8. Saccharomyces sp. 7.33 0 1.33 0 21 0 10.66 40.32 5.76 7 4 57.14

Total 121.6 17.37


(49)

Tabel 9. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Curvularia sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 20-30

No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-reata Jumlah kemun- culan koloni (kali) Jumlah penga- matan (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0 0 5.33 0 0 2 0 7.33 1.05 7 2 28.57

2. Aspergillus tereus 0 1 2.66 0 5 5 0 13.66 1.95 7 4 57.14

3. sp. 5 1 0 0 0 0 0 1 2 0.29 7 2 28.57

4. Aspergillus niger 0 0 0 0 0 0.33 0 0.33 0.05 7 1 14.28

5. Aspergillus sp. 7 0 0 0 0 0 0.66 0 0.66 0.09 7 1 14.28

6. Penicillium sp. 7 4 2.33 3 0 5 0.33 4 18.66 2.67 7 6 85.71

7. Arthrinium phaeospermum 7.66 0 0.33 0 0 8 7.66 23.65 3.38 7 4 57.14

8. Basipetospora halophila 0 10 0.33 1.66 0 0 0 11.99 1.71 7 3 42.85

9. Saccharomyces sp. 0.66 0 1 34.33 35 4.33 14.66 89.98 12.85 7 6 85.71

Total 168.26 24.04


(50)

Tabel 10. Jumlah Koloni Rata-rata Fungi x 102 (cfu/ml) dan Frekuensi Kolonisasinya pada Dekomposisi Serasah Daun A. marina yang diaplikasikan Penicillium sp. selama 15-105 Hari pada Salinitas 20-30

No Jenis Fungi Lama masa dekomposisi (hari) Jumlah

total koloni Jumlah koloni rata-rata Jumlah kemun- culan koloni (kali) Jumlah penga- matan (kali) Frekuensi kemun- culan (%)

15 30 45 60 75 90 105

1. Aspergillus flavus 0 0 1 0.33 3 0 0 4.33 0.62 7 3 42.85

2. Mucor sp. 0 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0.05 7 1 14.28

3. Aspergillus sp. 5 0 0 0.33 0 0 0 0 0.33 0.05 7 1 14.28

4. Aspergillus tereus 0 0.33 6.33 0 2.66 0 3.66 12.98 1.85 7 4 57.14

5. Aspergillus sp.6 0 0 0 0 0 0 1 1 0.14 7 1 14.28

6. Aspergillus niger 0 0.33 0 0 2 0 2.33 4.66 0.67 7 2 28.57

7. Aspergillus sp.7 0 0 4 0 0 0 3 7 1 7 2 28.57

8. Penicillium sp.7 1.33 0.66 1.66 0 0 0.33 0.33 4.31 0.62 7 5 71.42

9. Arthrinium phaeospermum 12.33 0 2.33 0 10.66 0 0 25.32 3.62 7 3 42.85

10. Basipetospora halophila 0 3 0 17.33 0 0.33 0 20.66 2.95 7 3 42.85

11. Saccharomyces sp. 2.33 0 0 0 8.33 0 4.33 14.99 2.14 7 3 42.85

Total 95.91 13.7


(51)

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Aspergillus sp. pada salinitas 20-30 ppt diperoleh 8 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah Arthrinium phaeospermum yaitu sebesar 7,09 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 3 kali dengan frekuensi kehadiran 42,85%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah A. flavus dan Basipetospora halophila. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Curvularia sp. pada salinitas 20-30 ppt diperoleh 9 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 12,85 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 6 kali dengan frekuensi kehadiran 85,71%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah A. niger. yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Serasah daun A. marina setelah aplikasi Penicillium sp. pada salinitas 20-30 ppt diperoleh 11 jenis fungi, dimana jumlah koloni rata-rata yang paling banyak muncul adalah Saccharomyces sp. yaitu sebesar 3,62 x 102 cfu/ml. Jenis ini muncul sebanyak 3 kali dengan frekuensi kehadiran 42,85%. Jumlah koloni rata-rata yang paling sedikit muncul adalah Mucor sp., dan Aspergillus sp.5 yaitu sebesar 0,05 x 102 cfu/ml. Jenis fungi ini muncul sebanyak 1 kali dengan frekuensi kehadiran 14,28%.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa aplikasi Curvularia sp. dan Penicillium sp. menunjukkan jumlah jenis paling besar yaitu pada salinitas 0-10 ppt dan salinitas 20-30 ppt. Jumlah jenis paling sedikit pada setiap salinitas adalah setelah aplikasi

Aspergillus sp. Aplikasi Penicillium yang biasanya menghasilkan antibiotik berupa

penisilin merupakan antibakteri, jadi penambahan Penicillium tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan fungi yang berperan dalam proses dekomposisi serasah A.

marina. Menurut Greenwood et al (1992), beberapa contoh senyawa yang mempunyai

aktivitas sebagai antibakteri adalah penicillin, cephalosporin, glycopeptide, tetracycline, chloramphenicol, aminoglycoside, sulfonamide, sedangkan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antifungal adalah amphotericin, flucytocin, griseofulin, imidazole dan nystatin.


(52)

Aplikasi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. memiliki arti penting dalam proses dekomposisi serasah A. marina. Menurut Affandi et al (2001), jenis-jenis jamur yang bersifat asosiatif dalam proses degradasi serasah mangrove adalah Aspergillus, Trichoderma, Penicillium, Paecilomyces, Gliocladium, Gonatobotryum dan Syncephalastrum. Dengan ditambahkan Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. diduga terlibat langsung dalam proses

dekomposisi awal serasah A. marina dan kehadiran jenis fungi yang lain umumnya bersifat saprofit dan berperan sebagai pengurai bahan organik. Fungi tersebut berperan besar dalam menjaga kelangsungan daur unsur hara khususnya daur karbon, nitrogen, dan fosfor (Hobbie et al., 2003). Menurut (Gandjar et al., 1999), fungi genus

Aspergillus, Curvularia dan Penicillium yang secara alami banyak ditemukan pada

serasah dan berperan besar dalam proses dekomposisi awal serasah daun.

Aspergillus dan Penicillium merupakan jenis fungi yang paling banyak

ditemukan dari hasil isolasi serasah daun A. marina dengan penambahan Aspergillus sp. selama 105 hari pada salinitas 0-10 ppt. kelompok fungi ini mendominasi baik dari segi jenis maupun jumlah yang diduga karena kelompok fungi ini merupakan fungi Ascomycetes yang sering hidup di tanah sebagai mikroorganisme saprofit. Menurut (Kohlmeyer et al, 1995), bahwa habitat mangrove bagi kelompok jenis fungi yang disebut Manglicolous Fungi. Kelompok organisme ini berperan dalam siklus unsur hara pada habitat mangrove. Menurut Atlas & Bartha (1981), persaingan dalam memperoleh nutrisi dari material organik menyebabkan peningkatan atau penurunan populasi fungi. Persaingan ini juga dapat dilihat sebagai daya adaptasi fungi terhadap proses dekomposisi. Beberapa fungi mungkin terlihat seperti dorman, tetapi masih memiliki kemampuan untuk mendekomposisi substrat.

Selain itu, Arthirinium phaeospermum, Basipetospora halophila, Curvularia sp., Mucor sp., dan Saccharomyces sp. juga hasil isolasi dari daun A. marina. Menurut Gandjar et al (1999), Arthirinium phaeospermum kosmopolit dan terdapat terutama pada tumbuhan Graminae. Spesies ini telah diisolasi dari tanah hutan, tanah pertanian, kompos kebun, tanah yang terpolusi sampah, kayu yang busuk, dll. Basipetospora

halophila juga telah banyak diisolasi dari tanah di daerah tropis maupun subtropis. Curvularia sp. banyak sekali ditemukan di daerah tropis, dan mudah diisolasi dari


(53)

tanah, serasah, lumpur hutan bakau. Curvularia sp. mampu tumbuh dengan baik pada permukaan berbahan selulosa. Jenis ini sering ditemukan tumbuh di tanah, serasah tumbuhan (seperti daun dan bagian tanaman lainnya) tanah ataupun jenis makanan, dan biji-bijian. Diduga serasah A. marina yang diisolasi mengandung lumpur, atau tanah yang menempel. Maka spesies ini muncul walaupun dalam jumlah yang sedikit.

Saccharomyces sp. selalu muncul pada setiap salinitas yaitu pada salinitas 0-10

ppt, 10-20 ppt dan 20-30 ppt dan setelah aplikasi fungi. Menurut Moore-landecker (1996), yeast berkembang cepat dengan membelah diri dengan cara fission dan budding. Jenis yeast yang diisolasi dari dekomposisi serasah ini diperkirakan halofil (tahan pada salinitas tinggi) sehingga dapat menyesuaikan diri pada setiap salinitas. Menurut Yale & Bohnert (2001), ketahanan Saccharomyces terhadap salinitas tinggi dipengaruhi oleh mekanisme biokimia khusus yang berkaitan dengan transkripsi DNA, tanggapan detoksifikasi, transport membran khusus, metabolisme energy cadangan, komponen lain dalam sel (nitrogen, belerang dan lipid), serta biosintesis asam lemak/isoprenoid.

Saccharomyces sp. juga selalu ditemukan saat populasi fungi yang lain mulai

menurun sejalan dengan bertambahnya lamanya waktu dekomposisi. Pada salinitas 20-30 ppt disaat spesies tertentu mulai menurun dan sama sekali tidak muncul,

Saccharomyces sp. masih bisa bertahan. Saccharomyces sp. memiliki ketahanan

terhadap salinitas yang lebih tinggi. Menurut Jennings (1990), beberapa jenis

Saccharomyces bahkan mampu hidup pada lingkungan atau dengan konsentrasi NaCl

sebesar 855 mM. dalam kondisi stress, mikroorganisme ini memproduksi substansi (compatible solute) seperti gliserol. Pada banyak penelitian, substansi ini dipakai sebagai efek untuk menghilangkan pengaruh garam, seperti NaCl. Mekanisme ini disebut haloprotection. Yeast seperti Saccharomyces memiliki konsentrasi gliserol pada selnya sebesar 1,21 M.

Dalam penelitian Fery Kurniawan (2010), bahwa jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol)


(54)

dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis fungi dengan 6 genus fungi yaitu Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, Arthrinium,

Curvularia, dan Mucor. Pada penelitian Winda Ayunasari (2009) bahwa jumlah jenis

fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 13 jenis fungi dengan 4 genus yaitu Aspergillus, Penicillium, Curvularia, dan

Saccharomyces. Genus Aspergillus dan Penicillium memiliki jumlah jenis yang paling

banyak ditemukan baik pada kontrol maupun pada berbagai tingkat salinitas.

4.5. Hubungan Tingkat Salinitas dengan Jumlah Jenis Fungi

Banyak faktor lingkungan yang dapat mempercepat proses dekomposisi, salah satunya adalah faktor salinitas. Peranan mikroorganisme seperti fungi juga sangat penting. Hubungan antara tingkat salinitas dengan jumlah jenis fungi yang telah mengalami proses dekomposisi pada kontrol dan setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp. dan Penicillium sp. pada beberapa tingkat salinitas dapat dilihat pada (Gambar 1.) di bawah ini.


(55)

(56)

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi Setelah Aplikasi Fungi pada

Beberapa Tingkat Salinitas

Jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A.marina yang mengalami proses dekomposisi setelah aplikasi fungi pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, dan 20-30 ppt lebih banyak dibandingkan pada kontrol. Serasah daun A. marina pada salinitas 0-10 ppt setelah aplikasi Penicillium sp. diperoleh jumlah jenis fungi terbanyak yaitu 14 jenis dan paling sedikit pada kontrol sebanyak 9 jenis.

Serasah daun A. marina pada salinitas 10-20 ppt setelah aplikasi Curvularia sp. diperoleh jumlah jenis fungi terbanyak yaitu 12 jenis dan paling sedikit pada kontrol sebanyak 10 jenis. Sedangkan serasah daun A. marina pada salinitas 20-30 ppt setelah aplikasi Penicillium sp. diperoleh jumlah jenis fungi terbanyak yaitu 11 jenis dan paling sedikit pada aplikasi Aspergillus sp. sebanyak 8 jenis.

Tingginya jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas ini mungkin disebabkan karena salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt pada kawasan pesisir mangrove mirip dengan kondisi air tawar (perairan payau). Tingginya jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas


(57)

0-10 ppt dan 10-20 ppt menunjukkan bahwa setiap mikroorganisme memiliki kisaran toleransi terhadap salinitas. Penurunan jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas 20-30 ppt karena hanya sebagian kecil yang mampu bertahan hidup pada salinitas tinggi (halofil).

Menurut Rasmussen & Stangehellini (1998), penambahan tingkat salinitas secara bertahap menunjukkan penurunan yang nyata terhadap pertumbuhan miselium beberapa jenis fungi dan menurut Atlas & Bartha (1981), tekanan osmotik yang terlalu besar dan konsentrasi garam yang tinggi cenderung merusak struktur protein terutama yang berperan terhadap aktivitas enzimatis.

Menurut Austin and Vitousek (2000) bahwa keberadaan salinitas yang tinggi merupakan salah satu karakteristik dari hutan mangrove. Hidup pada lingkungan dengan salinitas yang tinggi mengharuskan mikroorganisme harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hanya jenis-jenis fungi tertentu saja yang mampu mengembangkan mekanisme fisiologis dan adaptasi morfologi dalam menghadapi kondisi salinitas yang tinggi untuk dapat bertahan hidup. Jenis-jenis fungi yang mampu bertahan hidup pada kadar salinitas tinggi tersebut umumnya tergolong kedalam fungi halofilik.

Hasil isolasi fungi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi berdasarkan lama dekomposisi (15 hari pertama) ditemukan genus Aspergillus,

Penicillium, Curvularia, Arhtrinium, dan Saccharomyces. Beberapa dari genus ini

diduga merupakan dekomposer awal. Sedangkan pada 105 hari menunjukkan bertambahnya jumlah jenis fungi yang berasosiasi pada serasah daun A. Marina tersebut yang terdiri atas genus Aspergillus, Penicillium, Curvularia, Mucor,

Arthirinium, Basipetospora, 1 genus tak teridentifikasi.

Peran fungi Aspergillus sp., Curvularia sp. dan Penicillium sp. yang ditambahkan pada serasah daun A. marina juga diduga merupakan dekomposer awal. Meningkatnya jumlah jenis fungi setelah aplikasi fungi ini disebabkan oleh kayanya nutrisi yang terdapat pada serasah sehingga mendukung pertumbuhan fungi yang lain. Menurut Alexander (1977), mikroba perombak bahan organik terdiri atas genus


(1)

Lampiran 13. Penyiapan Serasah A. marina

Daun A. marina

dikumpulkan

dimasukkan kedalam kantong serasah sebanyak 50 gram

disemprotkan suspensi setiap jamur pada serasah sebanyak 3 kali ulangan

diulangi pada setiap salinitas dengan jumlah kantong serasah keseluruhan sebanyak 189 buah

Hasil


(2)

Hasil

Lampiran 14. Penempatan dan Pengambilan Serasah A.marina

Serasah

diletakkan pada kawasan payau di sekitar tambak udang diletakkan sedemikian rupa agar terendam saat air pasang dan terlihat saat air surut

diambil 9 kantong serasah pada setiap perlakuan fungi dan setiap salinitas

diperoleh 27 kantong serasah setiap 15 hari sekali diambil sebanyak 7 kali

dianalisis di laboratorium


(3)

Hasil

Lampiran 15. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA) Sebagai Media Tumbuh Fungi Hasil Isolasi

PDA

ditimbang sebanyak 3,9 gram

dilarutkan dengan 100 ml air laut dari masing-masing salinitas

ditambahkan Chloramfenicol dipanaskan diatas hotplate

disterilisasi dengan menggunakan autoklaf


(4)

Lampiran 16. Isolasi Fungi dari Serasah A.marina

Serasah A.marina

ditimbang sebanyak 10 gram

dihaluskan dengan mortal dan alu secara aseptis dicampurkan dengan 100 ml air laut steril masing-masing salinitas

dilakukan pengenceran 10-3

dimasukkan 1 ml kedalam cawan petri yang berisi media PDA dengan metode cawan sebar diinkubasi selama 5-8 hari

dihitung jumlah koloni fungi yang tumbuh dicatat ciri-cirinya

dikultur tunggal untuk diidentifikasi.

Hasil


(5)

Lampiran 17. Identifikasi secara Makroskopis Fungi Hasil Isolasi

Fungi

dikultur tunggal pada media PDA diamati warna spora

diamati permukaan atas dan permukaan bawah diamati diameter koloni

Hasil


(6)

Hasil

Lampiran 18. Identifikasi secara Mikroskopis Fungi Hasil Isolasi

Fungi

dilakukan identifikasi dengan metode Block square dinkubasi selama 1-2 hari

diamati di bawah mikroskop cahaya

diamati struktur mikroskopis fungi seperti hifa, konidia, bentuk spora, dan warna spora

diambil gambar dari struktur fungi

dicocokkan dengan buku identifikasi fungi