uji pada pasien di rumah sakit. Oleh karena itu jamu jenis ini derajatnya sama dengan obat konvensional yang sering diresepkan dokter.
d. Infrastruktur
Kelengkapan infrastruktur pabrik dan laboratorium penelitian untuk peningkatan mutu produk merupakan infrastruktur yang harus dipunyai oleh perusahaan-perusahaan jamu. Selain kelengkapan pabrik
yang digunakan sebagai sarana proses produksi jamu, kelengkapan alat trasportasi juga diperlukan untuk sarana pemasaran produk jamu. Kondisi jalan yang baik, sarana komunikasi, tersedianya pasar juga akan
mendukung infrastruktur dalam pemasaran. 2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan merupakan faktor yang sepatutnya diperhitungkan dalam upaya peningkatan daya saing industri jamu di Indonesia.
a. Komposisi Permintaan Domestik
Segmen pasar industri jamu masih tergolong sempit, walaupun konsumen jamu berasal dari setiap tingkatan masyarakat. Hal tersebut karena kebanyakan konsumen industri jamu adalah golongan orang tua
yang masih mempunyai kepercayaan terhadap tradisi turun-temurun. Golongan remaja dan anak-anak yang sudah modern biasanya berpikiran praktis, jika sakit baru minum obat, tidak berupaya menjaga kesehatan
dengan meminum jamu seperti yang dilakukan oleh para orang tua mereka.
b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Sampai saat ini belum ada data baik dari Deperindag maupun BPS mengenai jumlah permintaan jamu secara nasional. Volume permintaan produk jamu tradisional per bulannya cenderung berfluktuasi. Biasanya
saat Lebaran dan hari-hari besar atau hari libur cenderung mengalami peningkatan dibandingkan hari-hari lainnya.
Tabel 5.1 Perbandingan Permintaan Antara Obat Modern dan Obat Alami
Obat Modern Obat Alami
Permintaan Tahun 2003 Rp 17.000.000.000.000
Rp 2.000.000.000.000 Market share Tahun 2003
89,5 10,5
Perkiraan Tahun 2010 Rp 37.000.000.000.000
Rp 7.200.000.000.000 Market share Tahun 2010
84 16
Sumber: LIPI, 2005 Dari data diatas kita dapat melihat bahwa permintaan produk jamu masih kalah dibandingkan
dengan obat sintetis dari industri farmasi nasional. Analisis sampai tahun 2010 yang dilakukan, hasilnya jumlah permintaan terhadap produk jamu masih lebih rendah yaitu pasar obat modern sebesar Rp 37,5
trilyun dan obat herbal hanya Rp 7,2 trilyun. Walaupun pangsa pasar industri jamu masih tetap rendah dibandingkan dengan industri farmasi tetapi pertumnuhan pangsa pasar industri jamu jauh lebih baik
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan industri farmasi yang malah mengalami penurunan. Pertumbuhan obat herbal lebih cepat dari obat modern karena ada beberapa penyebab produk herbal lebih
disukai oleh konsumen pada saat ini. Obat herbal mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat karena konsep back to nature yang ditawarkan dengan memberikan kesan aman dikonsumsi seluruh keluarga.
Apalagi jika obat-obatan itu didukung pengemasan yang baik, mudah didapat, dan harganya murah.
Menurut pengusaha jamu tradisional Nguter, hampir semua produk jamu yang dihasilkan habis terserap oleh pasar. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penawaran hampir sama dengan jumlah
permintaan atau setidaknya belum ada kelebihan pasokan. Apabila jumlah permintaan meningkat, pengusaha masih dapat meningkatkan kapasitas produksinya.
Untuk saat ini, kapasitas produksi pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter adalah sekitar 12 ton bahan baku yang menghasilkan 9,6 ton atau 9.600 kg serbuk jamu per bulan, dengan potensi
peningkatan produksi dari tahun ke tahun dapat mencapai 25 persen. Potensi peningkatan ini didukung pula oleh ketersediaan pasokan bahan baku yang memadai jenis konsumen atau kelompok pembelinya adalah
konsumen langsung rumah tangga, pedagang pengumpul, dan pengecer.
c. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Selain permintaan untuk pasar domestik, permintaan dari pasar mancanegara untuk produk jamu juga sudah mulai bermunculan. Hal tersebut dapat dikatakan industri jamu nasional sudah mengalami kemajuan
yang berarti saat ini. Tidak hanya dilihat dari serapan pasar domestik yang semakin meningkat, tapi juga mulai masuk ke pasaran mancanegara yang terus meluas. Sampai sejauh ini, jamu Indonesia banyak di
ekspor ke Malaysia, Timur Tengah dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya atau negara yang banyak dijumpai TKI.
Seperti jamu leo, yang kini megincar pasar ekspor di Belanda. Jamu leo tinggal menunggu ijin pemerintah umtuk bisa mengekspor minyak telon untuk konsumen di Belanda. Dengan merambah pasarnya
ke Belanda, keuntungan yang di dapat akan bertambah. Pertumbuhan rata-rata produk jamu leo berkisar 20- 30 persen tiap tahun.
Produsen jamu lainnya, seperti nyonya meneer yang merambah pasar di Korea Selatan, Filipina dan Taiwan Masuknya jamu Indonesia ke pasar-pasar potensial tersebut memang cukup menggembirakan,
karena meyakinkan sebuah negara untuk memberikan ijin masuk jamu tidaklah mudah, sebab citra negatif yang berkembang selama ini, jamu tradisional Indonesia memiliki kandungan zat kimia.
Selain itu jamu tradisional juga berpotensi untuk di ekspor ke negara tujuan ekspor, menurut data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia GP Jamu, yaitu Filipina, Hongkong, Arab
Saudi, Timur Tengah, Rusia dan Cile. Permintaan ekspor jamu Indonesia baru dapat dipenuhi oleh pengusaha jamu yang cukup besar. Nilai ekspor jamu Indonesia hanya sekitar 2 -16 persen dari total
produksi di dalam negeri, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah persentase ekspor jamu Indonesia di bawah ini:
Tabel 5.2 Persentase Nilai Ekspor Terhadap Nilai Produksi
Nilai Ekspor Nilai Produksi
Persentase Ekspor Tahun
42692452500 2,77426E+11 15,38878477
2000 32531537500 3,34938E+11
9,712700406 2001
38127095000 1,86407E+12 2,045369441
2002 50195222500 3,09205E+11
16,23363533 2003
81394052500 7,47017E+11 10,89587143
2004 Sumber: BPS,2004
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
a. Industri Terkait ♦ Industri Pemasok Bahan Baku