Dinamika Psikologis LANDASAN TEORI

Bagi sebagian pasangan, permasalahan hubungan antara menantu dengan mertua seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini mengingat bahwa sebagai anggota dari suatu keluarga besar, maka menantu dan mertua pasti akan sering bertemu dan saling berinteraksi. Terkadang dalam menyikapi masalah menantu dengan mertua ada yang cuek, masa bodoh dan bersikap tidak peduli. Awalnya sikap-sikap tersebut mungkin bisa berhasil atau mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi jika tidak segera disadari dan diambil tindakan nyata, maka cepat atau lambat permasalah ini tentu akan memiliki dampak yang tidak menyenangkan, baik bagi mertua dan menantu maupun bagi seluruh anggota keluarga besar. Agar penyesuaian diri istri menantu terhadap mertua berjalan dengan baik diharapkan istri mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungan tersebut tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Dengan kata lain berhasil atau tidaknya istri menantu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya mertua sangat tergantung dari kemampuan interaksi sosialnya terhadap mertua.

2.4 Dinamika Psikologis

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Walgito, 2004: 11. Seseorang yang memutuskan untuk menikah tentunya akan menghadapi kehidupan baru, lingkungan baru dan keluarga baru, begitu menikah kedua pasangan itu harus belajar menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan tanggung jawab. Perkawinan bukan hanya melibatkan dua individu saja yaitu antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi di dalamnya juga melibatkan adanya penyatuan dua keluarga yaitu keluarga dari masing-masing pihak baik dari suami maupun istri. Setelah menikah pasangan pengantin baru bebas menentukan dimana mereka tinggal, sementara pada saat ini tak jarang pengantin baru memutuskan untuk tinggal dengan mertua karena alasan belum mempunyai rumah sendiri. Alasan lain yang mendorong pasangan baru tersebut tinggal dengan mertua ialah kurang persiapan secara psikologis dan keinginan orang tua agar anak dan menantunya tinggal bersama dengan mereka. Kehidupan berumah tangga tidak terlepas dari permasalahan. Ada beberapa hubungan yang terjadi antara menantu dan mertua, yaitu hubungan penuh konflik, hubungan acuh tak acuh, ataupun harmonis seperti disebutkan Aryani dan Setiawan, 2007:77. Savitri 2005 dalam Aryani dan Setiawan 2007:77 menyatakan pola pikir dan psikologis perempuan lebih sensitif daripada laki-laki, dan bagi seorang perempuan fase kehidupan yang paling berharga adalah keluarga. Perbedaan tersebut dapat menjelaskan fenomena bahwa masalah mertua dan menantu kebanyakan terjadi di kaum perempuan. Dalam kehidupan perkawinan tidak hanya dibutuhkan adanya penyesuaian antara suami dan istri melainkan juga penyesuaian dengan keluarga pasangan. Dalam suatu upaya penyesuain diri selalu ada peluang terjadinya konflik, tetapi untuk terciptanya relasi yang harmonis, data penelitian yang dilakukan Aryani dan Setiawan 2007:88, menunjukkan bahwa penghargaan tanpa syarat unconditional positive regard, kongruensi congruence, pemahaman empatik empathic understanding, dan saling pemenuhan kebutuhan merupakan faktor- faktor penting terciptanya suatu relasi yang harmonis. Menurut Clinneball Clinneball 2005 dalam Cinde dan Suryanto 2006:200 menyatakan periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang perkawinan. Pasangan suami istri harus belajar banyak tentan pasangan masing-masing dan diri sendiri yang mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Menurut Cinde dan Suyanto 2006:204, salah satu faktor yang menghambat penyesuaian perkawinan adalah adanya campur tangan keluarga yang sangat kuat dalam perkawinan. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh keluarga ini bisa menimbulkan masalah karena ikatan keluarga besar setiap orangtua yang masih mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Mertua ataupun orangtua merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi perebutan perhatian antara mertua dan menantu. Persaingan ini bias meruncing dan bias menimbulkan percekcokan Gunarsa dalam Dariyo, 2003: 159. Hurlock 1980: 290 terdapat empat hal penting masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi pasangan suami istri, antara lain penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. Purnomo dalam Yuliyana, 2007:7 menjelaskan hubungan menantu dan mertua dalam beberapa kemungkinan yaitu mertua turut campur dalam urusan anak atau menantu, mertua tidak mau berurusan dengan anak atau menantu, mertua tunduk pada menantu, mertua menguasai menantu dan mertua yang dekat dengan menantu. Secara khusus penyesuaian diri selama tinggal dengan mertua memiliki aspek-aspek yang terdiri dari sikap empati dan menghargai mertua, memperlakukan perasaan terhadap mertua, penerimaan yang baik dari mertua, adanya kebahagiaan, bersikap optimis, berkata jujur, bertanggung jawab dan adanya adaptasi yang baik. Bagan 2.1 Hubungan Interaksi Sosial Dengan Penyesuaian Diri Istri Terhadap Mertua Pada Pasangan Muda Pada bagan diatas digambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas untuk melakukan interaksi dengan individu lain. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain, dibutuhkan adanya keselarasan diantara manusia itu sendiri. Agar hubungan interaksi berjalan baik diharapkan manusia mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungan tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Interaksi Sosial Penyesuaian Diri Istri Mertua Penyesuaian Baik Penyesuaian Buruk Sebagai seorang istri yang tinggal bersama mertua mau tidak mau setiap hari kita akan selalu berinteraksi. Agar hubungan interaksi antara menantu dan mertua berjalan dengan baik diharapkan istri mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungn tersebut tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Dengan kata lain berhasil atau tidaknya menantu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya mertua sangat tergantung dari kemampuan interaksi sosialnya terhadap mertua. Interaksi dalam hal ini bisa berkecenderungan positif maupun negatif. Positif, berarti ada kecocokan antara kebutuhan dorongan, berikut cara pemenuhannya dengan tuntutan lingkungan berupa: aturan, adat atau norma masyarakat. Keadaan demikian ini menunjukkan adanya penyesuaian diri yang baik well-adjusted. Negatif, bermakna tidak adanya kecocokan atau munculnya konflik antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan. Gejala tersebut memunculkan penyesuaian diri yang salah mal-adjusted. Penyesuaian diri yang sehat dapat diartikan pula sebagai adanya konformitas, yakni adanya kecocokan antara norma pribadi dengan norma sosial. Proses penyesuaian diri tidaklah mudah, hal ini dikarenakan dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan baru. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai interaksi yang kontinyu antara diri individu sendiri, dengan keluarga dan dengan dunia luar. Kehidupan berumah tangga tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan di dalam kehidupan berumah tangga dapat terjadi antara pasangan suami istri, suami istri dengan orang tua masing-masing, suami dengan mertua dan istri dengan mertua. Tak jarang pada pasangan muda yang mengalami banyak kekecewaan dan frustasi terhadap orang tuanya sebab mereka ikut campur dalam urusan rumah tangganya dalam Aryani dan Setiawan, 2007:77.

2.5 Hipotesis