Indeks Similaritas Faktor Abiotik Perairan

intensitas cahaya, TDS, DO, suhu, dan salinitas berkorelasi searah Tabel 4.7. Sedangkan rata-rata keseragaman antar stasiun yaitu stasiun 1 = 0,84, stasiun 2 = 0,82, stasiun 3 = 0,78 dan antar kedalaman yaitu kedalaman 0 meter permukaan = 0,84, kedalaman batas penetrasi cahaya = 0,56, kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya = 0,79 Tabel 4.4, artinya mendekati nilai 1. Dalam hal ini faktor fisika-kimia antar stasiun dan antar kedalaman hampir sama, akibatnya kondisi perairan menjadi hampir sama dan plankton yang hidup di dalam juga menjadi hampir sama, dalam arti keseragaman tinggi.

4.4. Indeks Similaritas

Nilai indeks similaritas indeks kesamaan antar stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Penelitian Stasiun 1 2 3 1 - 74,285 59,793 2 - - 60,952 Keterangan: Stasiun 1: Daerah Mangrove Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Mulut Muara Dari Tabel 4.5 diketahui bahwa indeks similaritas yang diperoleh pada Stasiun 1 dan 2, Stasiun 1 dan 3 , Stasiun 2 dan 3, tergolong pada stasiun yang Universitas Sumatera Utara dapat dikatakan sama, berarti komunitas ini dianggap satu atau sama. Berdasarkan aturan 50 oleh Kendeigh 1980, menyatakan bila indeks kesamaan dari 2 komunitas yang dibandingkan lebih besar dari 50, maka kedua komunitas yang dibandingkan tersebut dapat dianggap 1 komunitas bukan menjadi 2 komunitas yang berbeda, atau dengan kata lain 2 komunitas dikatakan berbeda nyata bila indeks kesamaannya lebih kecil dari 50 atau indeks keanekaragamannya lebih besar dari 50. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor fisik-kimia perairan antara stasiun-stasiun tersebut hampir sama dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda, dicantumkan pada Tabel 4.6.

4.5. Faktor Abiotik Perairan

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Sifat fisika- kimia perairan atau yang disebut faktor abiotik, secara langsung maupun tidak langsung menentukan kehidupan biotik. Faktor abiotik yang diukur pada saat penelitian dilakukan meliputi faktor fisika-kimia lingkungan antara lain suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, TDS, TSS, pH, salinitas, DO, BOD 5 , COD, nitrat dan fosfor. Adapun hasil pengukuran faktor fisika-kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian dan kedalaman dicantumkan pada Tabel 4.6 berikut ini: Universitas Sumatera Utara Tabel 4.6. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian dan Kedalaman Stasiun 1 2 3 N o Parame ter Satua n Kedalaman m Rata- rata Kedalaman m Rata- rata Kedalaman m Rata- rata 0,5 0, 5 1,2

1, 2

1,5 1, 5 Fisik 1 Suhu Air °C 28 28 28 28 28 30, 5 30 29, 5 30, 5 30 29 29, 83 2 P. Cahaya cm 50 120 150 3 I. Cahaya Cand ela 248 384 343 4 TDS mgl 12752 21178 230 36 5 TSS mgl 84 68 62 Kimia 6 pH Air - 5,2 5,2 5,2 5,2 5,6 5,6 5,6 5,6 6,6 5,7 5,8 6,0 3 7 Salinitas 00 8,5 12 18 12, 83 22 26 24 24 26, 5 26,6 27, 3 26, 8 8 DO mgl 5,8 5,5 5,4 5.5 6 5,2 4,8 5,6 5,2 6 6 6 6 9 BOD 5 mgl 0,4 1,2 0,9 0,8 3 1,2 2,6 1,6 1,8 0,8 0,5 1 0,7 6 1 COD mgl 42,4 54,4 25,6 1 1 Nitrat mgl 0,1 45 0,1 24 0,1 10 0,1 23 0,1 08 0,1 04 0,1 08 0,1 06 0,0 90 0,08 2 0,0 84 0,0 85 1 2 Fosfat mgl 0,0 96 0,0 93 0,1 03 0,0 97 0,1 06 0,1 09 0,1 14 0,1 09 0,1 29 0,14 3 0,1 46 0,1 39 Keterangan: Stasiun 1: Daerah Mangrove Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Mulut Muara Permukaan p: 0 Meter Batas Penetrasi Cahaya b.p.c: St. 1: 0,5 Meter, St. 2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter Dibawah Batas Penetrasi Cahaya d.b.p.c: St.1: 0,5 Meter, St.2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter Universitas Sumatera Utara

1. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian, maka diperoleh rata-rata suhu tertinggi terdapat pada Stasiun 3 dengan nilai 29,83 Ԩ, tingginya suhu pada Stasiun 3 disebabkan oleh tingginya intensitas cahaya dan adanya percampuran air laut asin dengan air tawar dimana garam dapat menyimpan panas. Hal inilah salah satu penyebab Stasiun 3 lebih panas dibandingkan dengan stasiun lainnya. Suhu yang terendah terdapat pada Stasiun 1 dengan nilai 28 Ԩ, hal ini disebabkan karena pada Stasiun 1 merupakan daerah hutan mangrove sehingga terlindung oleh kanopi pohon mangrove yang banyak tumbuh pada daerah tersebut. Suhu pada stasiun ini relatif konstan yakni 28 Ԩ pada kedalaman yang berbeda. Suhu yang konstan disebabkan karena adanya Universitas Sumatera Utara percampuran air yang merata sehingga perbedaan suhu dari kedalaman yang berbeda tidak ada. Menurut Barus 2004 bahwa fluktuasi suhu di perairan tropis yang umumnya sepanjang tahun mempunyai fluktuasi suhu udara yang tidak terlalu tinggi sehingga mengakibatkan fluktuasi suhu air tahunan juga tidak terlalu besar. Secara umum kisaran suhu tersebut merupakan kisaran normal bagi organisme air termasuk plankton. Suhu yang dimiliki perairan muara Sungai Asahan jika dihubungkan dengan kehidupan plankton masih termasuk dalam kisaran suhu yany relatif optimum. Menurut Isnansetio Kurniastuty 1995, kisaran suhu yang optimum bagi kehidupan plankton adalah 22-30 C. Suhu suatu perairan dapat mempengaruhi kelulushidupan organisme yang berada didalamnya termasuk plankton. Menurut Barus 2004 hal itu terjadi karena suhu suatu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen yang sangat diperlukan organisme akuatik untuk metabolismenya. Semakin tinggi suhu perairan, kelarutan oksigennya semakin menurun.

2. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya berkaitan dengan padatan tersuspensi, warna air dan intensitas cahaya matahari. Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada ketiga stasiun berkisar antara 0,5-1,5 meter. Terendah pada Stasiun 1 daerah mangrove sebesar 0,5 meter dan yang terdalam pada Stasiun 3 sebesar 1,5 meter. Keadaan ini sudah Universitas Sumatera Utara sangat mengganggu untuk kehidupan plankton. Menurut Nybakken 1982, untuk kepentingan plankton diperlukan penetrasi cahaya sekitar 3 meter Keadaan ini bisa terjadi dilihat dari tipe substratnya bahwa pada daerah mangrove merupakan sedimen berlumpur. Menurut Agusnar 2007, padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis. Menurut Sastrawijaya 1991, padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan, dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan kecerahan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas.

3. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat di Stasiun 2 daerah pemukiman dan dermaga yaitu 384 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi disekitar daerah ini dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Intensitas cahaya terendah di Stasiun 1 daerah mangrove yaitu 248 Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini karena adanya vegetasi di sekitar daerah yaitu tumbuhan mangrove. Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka akan semakin tinggi penetrasi cahaya, Universitas Sumatera Utara demikian sebaliknya, semakin tinggi penetrasi cahaya semakin maksimal intensitas cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman.

4. Total Dissolved Solid TDS

Jumlah padatan terlarut pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti akan semakin menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berhijau daun yang terdapat pada perairan misalnya hydrophita dan fitoplanktoan. Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut pada perairan muara Sungai Asahan berkisar 12752-23036, dimana padatan terlarut tertinggi berada di Stasiun 3, dan terendah di Stasiun 1. Tingginya padatan terlarut pada Stasiun 3 yaitu sebesar 23036, karena daerah ini merupakan mulut muara, berbatasan langsung dengan laut bebas dan volume air lebih besar untuk melarutkan material yang masuk kedalam badan perairan. Pada Stasiun 1 padatan terlarut lebih rendah yaitu sebesar 12752, sebab daerah ini volume air sebagai pelarut semakin sedikit sehingga material yang masuk kedalam badan perairan semakin berkurang yang dapat dilarutkan.

5. Total Suspended Solid TSS

Universitas Sumatera Utara Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan tersuspensi pada perairan muara Sungai Asahan berkisar 62-84, dimana padatan tersuspensi tertinggi berada di Stasiun 1 yaitu sebesar 84, dan terendah di Stasiun 3 yaitu sebesar 62. Tingginya padatan tersuspensi pada Stasiun 1 karena daerah ini banyak menerima marerial yang terbawa oleh arus sungai antara lain erosi DAS dan abrasi oleh hempasan atau gelontoran ombak. Rendahnya padatan tersuspensi pada Stasiun 3 karena daerah ini tidak lagi menerima langsung material yang terbawa oleh arus sungai sebab daerah ini berbatasan langsung dengan laut bebas. Menurut Kristanto 2002, padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

6. pH Air

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat bahwa rata-rata nilai pH tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yaitu 6,03. Hal ini disebabkan karena daerah ini jauh dari pemukiman dan pelabuhan, sehingga senyawa organik sebagai sumber asam organik yang dapat menurunkan nilai pH perairan tidak banyak dijumpai. Penyebaran nilai pH mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Hal ini terjadi karena percampuran air yang tidak merata, dan akibat aktifitas transportasi. Rata-rata nilai pH terendah terdapat pada Stasiun 1 yaitu 5,2. Rendahnya nilai pH pada stasiun ini disebabklan karena stasiun ini merupakan Universitas Sumatera Utara daerah mangrove yang mana terdapat banyak seresah atau bahan organik dari mangrove, yang apabila mengalami peruraian menghasilkan asam organik, yang dapat mengakibatkan turunnya nilai pH perairan menjadi asam. Secara keseluruhan nilai pH pada stasiun penelitian ini sangat rendah. Hal ini akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme, sebab nilai pH yang rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksit. Menurut Barus 2004, organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basah lemah 6,20-8,50.

7. Salinitas

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai salinitas pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yakni 26,8 00 . Hal ini karena berbatasan langsung dengan air laut asin, kadar garam tinggi, jadi pengaruh air asin lebih dominan, penyebaran nilai salinitas mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-rata nilai salinitas terendah terdapat pada Stasiun 1 yakni 12.83 00 . Hal ini karena lebih banyak dipengaruhi oleh air tawar atau air sungai dimana kadar garamnya rendah. Menurut Nybakken 1982, gambaran dominan lingkungan estuari ialah berfluktuasinya salinitas. Secara definitif, suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi, Universitas Sumatera Utara bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah air tawar. Tetapi ada juga faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas, pasang surut merupakan salah satu faktornya, dimana saat pasang salinitas akan naik karena pengaruh air laut asin, sedangkan saat surut salinitas akan menurun karena pengaruh masuknya air sungai air tawar.

8. Oksigen Terlarut

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada masing- masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yaitu sebesar 6 mgl. Tingginya nilai oksigen terlarut pada Stasiun 3 berkaitan erat dengan lebih banyaknya jenis fitoplankton yang hidup pada daerah ini dan adanya gerak turbulensi air, penyebaran nilai oksigen terlarut mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya sama. Rata-rata nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada Stasiun 2 yaitu 5,2 mgl. Rendahnya nilai oksigen terlarut pada Stasiun 2, karena lokasi ini merupakan daerah pemukiman dan pelabuhan sehingga banyak menerima pencemaran limbah domestik dan limbah buangan dari kapal berupa limbah organik yang jika terurai akan menghasilkan asam organik yang dapat menghambat kelarutan oksigen pada perairan dan oksigen juga banyak digunakan untuk menguraikan materi organik oleh mikroorganisme. Menurut Effendi 2003, kadar oksigen terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung Universitas Sumatera Utara pada percampuran, dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Menurut Barus 2004, sumber oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mgl. Menurut Nybakken 1992, masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuaria, bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya, dan pencampuran oleh angin, akan mengakibatkan percampuran air, biasanya berarti cukupnya persediaan oksigen didalam air. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada perairan muara Sungai Asahan tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme, sebab menurut Sastrawijaya 1991, kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik apabila kandungan oksigen terlaru minimal 5 mgl.

9. Biologi Chemical Oxygen Demand BOD

5 Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai BOD 5 pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai BOD 5 tertinggi terdapat pada Stasiun 2 yakni 1,8 mgl. Hal ini mengindikasikan bahwa kadungan bahan organik di Stasiun 2 lebih tingggi jika dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 3. Bahan organik ini berasal dari limbah domestik dan limbah dari kapal, karena daerah ini merupakan daerah pemukiman dan pelabuhan. Penyebaran nilai BOD 5 mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata- Universitas Sumatera Utara rata nilai BOD 5 terendah terdapat pada Stasiun 3 yakni 0,76 mgl, hal ini mengindikasikan bahwa kandungan bahan organik di stasiun ini rendah, karena lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk dan berbatasan langsung dengan laut bebas, sehingga pengaruh limbah domestik berkurang dan volume air untuk melarutkan limbah lebih besar yang mengakibatkan konsentrasi bahan organik menjadi berkurang. Menurut Effendi 2003, BOD 5 merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD 5 hanya menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, glukosa dan sebagainya. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Nilai BOD 5 di muara Sungai Asahan relatif kecil yaitu sebesar 0,76 - 1,8 mgl jika dibandngkan dengan nilai kelarutan oksigen yaitu sebesar 5,2 - 6,0 mgl. Hal ini menunjukkan bahwa muara Sungai Asahan belum terjadi pencemaran limbah organik yang berat. Menurut Barus 2001, nilai BOD 5 merupakan parameter indikator pencemaran bahan organik, dimana semakin tinggi angka nilai BOD 5 semakin tinggi tingkat pencemaran oleh bahan organik demikian sebaliknya.

10. Chemical Oxygen Demand COD

Universitas Sumatera Utara Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 54,4 mgl dan terendah pada Stasiun 3 yaitu 25,6 mgl. Tingginya nilai COD pada Stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair yang berasal dari pemukiman dan dermaga mengandung banyak senyawa organik dan anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya secara biologis saja. Sedangkan pada Stasiun 3 lebih rendah karena daerah ini jauh dari pemukiman dan pelabuhan. Nilai COD menunjukkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi yang berlangsung secara kimiawi. Pada umumnya nilai COD selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai BOD 5 , karena BOD 5 terbatas hanya terhadap bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis saja, sementara nilai COD menggambarkan kebutuhan oksigen untuk total oksidasi baik terhadap senyawa yang dapat diuraikan secara biologis maupun terhadap senyawa yang tidak dapat diuraikan secara biologis. Menurut Kristanto 2002, untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan, misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis secara cepat berdasarkan pengujian BOD 5 , tetapi senyawa organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Ratio antara BOD 5 dengan COD untuk limbah domestik umumnya mempnyai nilai 1 berbanding 4. Dari ratio antara BOD 5 dengan COD yang diperoleh pada stasiun penelitian, yaitu nilai BOD 5 sebesar 0,76-1,8 mgl Universitas Sumatera Utara sedangkan nilai COD sebesar 25,6-54,4 mgl, terlihat bahwa kandungan kimiawi yang terdapat di dalam air pada lokasi penelitian banyak mengandung bahan yang sukar atau tidak dapat diuraikan secara biologis atau perairan ini banyak tercemar oleh limbah anorganik.

11. Nitrat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai nitrat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai nitrat tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 0,123 mgl, penyebaran nilai nitrat mulai dari permukaan sampai kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-rata nilai nitrat terendah terdapat pada Stasiun 3 yaitu 0,085 mgl. Menurut Barus 2004, nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi nitrat lebih tinggi pada Stasiun 1 jika dibandingkan dengan Stasiun 2 dan 3, karena kadar nitrat akan semakin bertambah jika semakin jauh dari titik pembuangan limbah protein, dimana Stasiun 1 jauh dari pemukiman dan pelabuhan, sementara Stasiun 2 dan 3 lebih dekat dengan pemukiman dan pelabuhan. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

12. Fosfat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai fosfat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai fosfat tertinggi terdapat pada Universitas Sumatera Utara Stasiun 3 yaitu 0,139 mgl, penyebaran nilai fosfat mulai dari permukaan sampai kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-rata nilai fosfat terendah terdapat pada Stasiun 1 yaitu 0,097 mgl. Barus 2004, menyatakan dalam ekosistem air fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme. Fosfor berasal terutama dari sedimen yang selanjutnya akan terinfiltrasi ke dalam air tanah dan akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka sungai dan danau. Kadar fosfat meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Raymond 1963 yang menyatakan bahwa di daerah lintang menengah dan tropis kadar fosfat akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kadar fosfat yang tinggi pada kedalaman tertentu dapat berasal dari peruraian senyawa-senyawa organic hewan, tumbuhan dsb, pengadukan dari lapisan-lapisan yang lebih dalam yang kaya akan fosfat, sedangkan pada lapisan dekat dasar dapat berasal dari peluruhan sedimen di dasar perairan. Di laut dalam sumber fosfat adalah batuan-batuan dan endapan-endapan atau sedimen yang terbentuk pada tahun-tahun geologi masa lalu, yang secara berangsur-angsur mengalami pengikisan dan melepaskan fosfat ke perairan. Dengan demikian sedimen berperan utama dalam menyediakan fosfor dibanyak perairan Connel at al 1995. Selain itu dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan masuk ke dalam sistem perairan. Hal inilah yang menyebabkan kadar fosfat lebih tinggi pada Stasiun 3. Menurut Nybakken 1992, ada tiga komponen fauna di estuaria; laut, air tawar dan air payau atau estuarine. Komponen fauna laut ini Universitas Sumatera Utara merupakan yang terbesar dalam jumlah spesies, dan banyak dijumpai pada Stasiun 3 karena berbatasan langsung dengan laut bebas. Hal ini juga akan meningkatkan kadar fosfat sehingga lebih tinggi pada Stasiun 3 jika dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 2, sebab di Stasiun 3 banyak dijumpai organisme terutama fauna laut dan estuaria, yang apabila mati akan mengalami peruraian yang dapat meninggalkan fosfat dalam sistem perairan. 4.6. KorelasiHubungan Antara Keanekaragaman dan Kelimpahan Plankton dengan Sifat Fisika-Kimia Perairan Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisika-kimia perairan yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan selanjutnya dikorelasikan dengan keanekaragaman dan kelimpahan plankton maka didapat nilai indeks korelasi seperti yang dicantumkan pada Tabel 4.7 Tabel 4.7. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Indes Keanekaragaman Plankton dengan Faktor Fisika-Kimia Perairan Parameter Suhu °C Penetrasi m Intensitas Cahaya TDS TSS pH H’ +0.847 +0,901 +0,516 +0,847 -0,894 +0,983 Parameter Salinitas DO mgl BOD 5 mgl COD Nitrat Fosfat H’ +0,798 +0,709 -0,264 -0,736 -0,989 +0,999 Keterangan: α = 0,05 = Korelasi Sangat Nyata Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan Dari Tabel 4.7 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara faktor fisik-kimia perairan dengan Indeks Keanekaragaman H’ berbeda Universitas Sumatera Utara tingkat korelasi dan arah korelasinya. Nilai + menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik-kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman H’, yaitu suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, dan fosfat, artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik-kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula. Peningkatan faktor fisiks-kimia tersebut sampai batas optimum dapat meningkatkan keanekaragaman plankton dalam perairan. Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, dan TDS mempengaruhi laju fotosintesis oleh organisme fotosintetik, sehingga mempengaruhi ketersediaan oksigen dan nutrisi dalam perairan, pH rendah dapat memobilisasi logam berat yang bersifat racun, salinitas dapat meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan plankton, oksigen terlarut dibutuhkan untuk proses respirasi dan fosfat merupakan nutrisi yang utama untuk pertumbuhan plankton. Nilai - menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu TSS, BOD 5, COD dan nitrat berkorelasi berlawanan dengan Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia perairan tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik-kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar. Peningkatan TSS, BOD 5, COD dan nitrat dapat menekan keanekaragaman dan kelimpahan plankton dalam perairan. TSS menghambat laju fotosintesis, BOD 5 , COD dan nitrat menghabiskan ketersediaan oksigen. Menurut Sokal James 1992 koefisien dapat berkisar dari +1 untuk hubungan positif sempurna sampai -1 untuk hubungan negatif sempurna dan Sarwono 2006, mengatakan bahwa koefisien korelasi ialah pengukuran statistik Universitas Sumatera Utara kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara -1 sd +1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan strength hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Menurut Sugiono 2005, koefisien korelasi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu: Tabel 4.8. Nilai Koefisien Korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199 Sangat Rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang 0,60 – 0,799 Kuat 0,80 – 1,00 Sangat Kuat Berdasarkan Tabel 4.8 di atas, dapat diketahui bahwa korelasi antara faktor fisik-kimia dengan Indeks Keanekaragaman H’ plankton di muara Sungai Asahan memiliki hubungan yang sedang, kuat dan sangat kuat. Hubungan yang sangat kuat dan memiliki korelasi yang positif searah terdiri dari, fosfat +0,999, pH +0,983, penetrasi cahaya +0,901, suhu +0.847, dan TDS +0,847. Menurut Sastrawijaya 1991, cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya intensittas cahaya matahari karena banyak faktor, antara lain adanya bahan yang Universitas Sumatera Utara tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor atau tidak jernih. Untuk tingkat hubungan yang kuat dan arah korelasi positif searah adalah, salinitas +0,798 dan DO +0,709, dan hubungan yang sedang dan arah korelasi positip searah adalah intensitas cahaya +0,516. Menurut Wardhana 1995, kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan dapat memberikan kehidupan bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang tercemar kandungan oksigennya menjadi rendah. Hal ini terjadi karena oksigen yang terlarut dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah atau mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap ditandai dengan bau busuk. Semakin banyak bahan buangan organik dalam air akan semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya. Hubungan yang kuat dengan arah korelasi negatif berlawanan adalah nitrat -0,989, TSS -0,894 dan COD -0,736, dan BOD 5 -0,264. Menurut Barus 2004, semakin tinggi nilai COD akan mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat disamping itu proses pembentukan oksigen dari hasil fotosintesis relatif tetap. Hal ini akan mengakibatkan kondisi perairan menjadi defisit oksigen sehingga seluruh organisme mengalami gangguan proses respirasi. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kematian bagi organisme tertentu yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap kebutuhan oksigen. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN