Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan fitoplankton di suatu perairan lentik adalah kecepatan arus air. Selain itu kekeruhan air juga sangat
mempengaruhi keberadaan fitoplankton. Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau
serta dari kelompok ganggang biru. Pada perairan yang tercemar, seperti di sungai Daplim George, Amerika Serikat, fitoplankton yang dominan adalah fitoflagellata
dan ganggang biru, selanjutnya pada daerah hilir banyak di temukan ganggang biru dan diatom Marshall, 1985.
Kepadatan fitoplankton dapat dipengaruhi oleh musim, terjadi fluktuasi kepadatan fitoplankton yang bervariasi antara musim panas dan musim dingin.
Kelompok zooplankton yang terdapat pada ekosistem perairan adalah dari jenis CrustaceaeCopepoda dan Cladocera, serta Rotifera. Kepadatan zooplankton di
suatu daerah lentik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik
berupa fitoplankton maupun detritus. Berhubung karena bentuk dan ukuran tubuh yang bervariasi maka terdapat berbagai tipe makanan zooplankton dalam
memanfaatkan materi.
2.4. Plankton Sebagai Bioindikator
Kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik
perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama
Universitas Sumatera Utara
perubahan berbagai faktor lingkungan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi populasi plankton adalah ketersediaan nutrisi disuatu perairan.
Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fioplankton dan proses ini akan
menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan Fahrul et al, 2002.
Yang perlu diperhatikan dalam memilih indikator biologi adalah tiap spesies mempunyai respon terhadap pencemaran yang spesifik. Alga hijau biru
Mycroytis sp meningkat bila perairan suburpencemaran pupuk nitrogen, pencemaran pupuk fosfat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran alga hijau
biru.
2.5. Parameter Fisika-Kimia
Menurut Nybakken 1992, sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik,
perlu juga dilakukan pengamatan faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor abiotik akan
diperoleh gambaran tentang kualitas perairan. Faktor fisika-kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:
1. Suhu
Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air, termasuk plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan organisme akan oksigen. Perubahan suhu dalam perairan akan mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas
biologis di dalam ekosistem akuatik.
Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10 Ԩ hanya pada
kisaran suhu yang masih ditolerir, akan meningkatkan aktivitas fisiologi misalnya: respirasi dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Suhu ekosistem akuatik
secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor
kanopi penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Disamping itu pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogen
yaitu faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya pelindung
sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung. Hutapea 1990 dalam Azwar 2001, menyatakan bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan
dipengaruhi faktor yaitu: 1 variasi jumlah panas yang diserap 2 pengaruh konduksi panas 3 pertukaran tempat masa air secara lateral oleh arus 4
pertukaran air secara vertikal.
Universitas Sumatera Utara
Soetjipta 1993 dalam Azwar 2001, menyatakan bahwa suhu yang dapat
ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 20-30 Ԩ. Isnansetyo
Kurniastuti 1995, menyatakan suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar
antara 25-30 Ԩ, sedangkan yang sesuai untuk pertumbuhan zooplankton berkisar
antara 15-30 Ԩ.
Suhu di suatu ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan, fluktuasi terutama mengikuti pola suhu antara lingkungan sekitarnya. Selain itu
terlihat bahwa suhu air juga dipengaruhi faktor ketinggian dan letak geografis, selanjutnya suhu sungai juga akan berfluktuasi mengikuti aliran air mulai dari
hulu sampai kearah hilir. 2.
Penetrasi cahaya Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman
berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosisten perairan. Besar
Universitas Sumatera Utara
nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Penetrasi cahaya sangat
mempengaruhi keberadaaan plankton disuatu badan perairan. Sebab penetrasi cahaya sangat menentukan proses fotosintesis.
Menurut Nybakken 1992, kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung
pada bekerjanya faktor antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjangnya gelombang cahaya, kecerahan air, pantulan cahaya oleh permukaan air, lintang
geografik dan musim. Menurut Barus 2004, kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intesitas
cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi
intesitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton disuatu perairan. Menurut Haerlina 1987, penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas
bagi organisme fotosintetik fitoplankton dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.
3. Arus
Arus air adalah faktor yang mempunyai perananan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan
penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terlarut dalam air. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen. Selain itu dikenal arus laminar.
Arus terutama berfungsi sebagai pengangkut energi panas dan substansi yang terdapat di dalam air. Arus juga mempengaruhi penyebaran organisme. Arus
vertikal mempengaruhi distribusi plankton
Universitas Sumatera Utara
Adanya arus pada ekosistem akuatik membawa plankton khususnya fitoplankton yang menumpuk pada tempat tertentu. Jika tempat baru itu kaya
akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik yang mendukung bagi pertumbuhan kehidupan plankton Basmi, 1992. Pengaruh
arus bagi organisme air yang paling penting adalah ancaman bagi organisme tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras.
4. Dissolved Oxygen DO
Oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas,
dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsetrasi sebanyak 21 volum, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1 volum
saja. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mgl O
2.
Kosentrasi menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Peningkatan suhu menyebabkan konsetrasi oksigen menurun dan sebaliknya
suhu yang semakin rendah meningkatkan konsetrasi oksigen terlarut Barus, 2004.
Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah
penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan
Universitas Sumatera Utara
dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air Barus, 2004.
Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga
dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mgl. Sanusi
2004, menyatakan bahwa DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mgl cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Semakin rendah nilai DO suatu perairan,
maka semakin tinggi pencemaran suatu ekosistem. Disamping pengukuran konsetrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen
dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak.
5. Biochemical Oxygen Demand BOD
5
Nilai BOD
5
menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C
Forstner, 1990 dalam Barus, 2004. Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara
sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses
pengukuran ini, sementara dalam hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari senyawa organik diuraikan sudah mencapai
Universitas Sumatera Utara
kurang lebih 70, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD
5
adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob
yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut, dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu.
Pengukuran BOD
5
didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah
diuraikan secara biologi seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Menurut Brower et al, 1990, nilai konsetrasi BOD
5
menunjukkan kualitas suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi O
2
selama periode 5 hari berkisar 5 mgl O
2,
maka perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi O
2
berkisar 10 mgl-20 mgl O
2
akan menunjukkan tingkat pencemaraan oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD
5
umumnya lebih besar dari 100 mgl. 6.
Chemical Oxygen Demand COD Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses
oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mgl O
2
. Untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan
tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme, oleh karena itu disamping mengukur nilai BOD perlu dilakukan pengukuran terhadap COD. Dengan mengukur nilai
COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang
Universitas Sumatera Utara
mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukartidak bisa diuraikan secara biologis.
7. Derajat Keasaman pH
Organisme air dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. Nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat pada 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat
rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi nilai pH perairan tentunya akan
mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang sengat tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amoniak dalam air akan
terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme
Derajat keasaman perairan air tawar berkisar antara 5-10 Laporan Pelaksanaan Kursus Analisa Limbah Industri Angkatan II Staf Akademik PTN
Indonesia Bagian Timur 7-17 Juli 1994. Setiap organisme mempunyai nilai pH yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga Cyanophiceae akan sangat
jarang dalam perairan apabila nilai pH di bawah 5 Shubert, 1984. 8.
Salinitas Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut
dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil
00
.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Venice System to Classification of water According to Salinity, air diklassifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya sebagai berikut :
Tabel 2.2. Klafikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya Schlieper 1958 No. Jenis
Air Salinitas 000
1 Limnin Air Tawar
0,5 000 2
Mixohalin Payau 0,5 – 30 000
3 Enhalin Air Laut
30 – 40 000 4
Hyperhalin 40 000
Dalam keseluruhan biosfer terbentuk batas yang jelas antara habitat perairan tawar dengan habitat perairan laut yang di batasi air payau estuaria. Hanya 1
dari keseluruhan organisme air yang dapat hidup pada kedua habitat yang berbeda tersebut. Sisanya sebagian akan hidup pada habitat air tawar saja dan sebagian lagi
hidup hanya habitat air laut saja. Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila
populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang
menyebabkan kadar garam air meningkat. 9. Nitrat dan Nitrit
Mikroorganisme akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi
ammonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis bakteri Nitrosomonas. Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri Nitrobacter akan dirombak menjadi nitrat, yang
merupakan produk akhir dari proses penguraian senyawa protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya jika dibandingkan ammoniumamoniak
atau nitrit. Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kadar nitrat yang optimal untuk pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
fitoplankton adalah 3,9 mgl-15,5 mgl Basmi, 1992. Sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.
10. Ammonium dan Amoniak Limbah domestik dari hasil peruraian bahan organik seperti lemak dan
protein dapat menimbulkan masalah dalam perairan yaitu zat amoniak NH
3
dan ammonium NH
4 +
. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesetimbangan antara ammonium dan amoniak di dalam air dapat dipengaruhi oleh nilai pH air Baur,
1987; Borneff, 1982 dalam Barus, 2004. Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak semakin bergeser
ke arah amoniak, artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air.
11. Fosfor Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya
eutrofikasi di suatu ekosistem air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi
yang utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang dapat
menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air. Kadar fosfor yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mgl Wardhana, 1994.
Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukandekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara
aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut didalam air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin
sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulakan
Universitas Sumatera Utara
kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut proses penguraian akan berjalan secara
anaerob yang menghasilkan berbagai jenis senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau busuk seperti amoniak Barus, 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB III BAHAN DAN METODA
3.1 Tempat, Waktu, dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di muara Sungai Asahan, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, dan sebelum dilakukan penelitian
terlebih dahulu dilakukan survei. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada rona lingkungan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling dan
ditentukan 3 lokasi atau stasiun pengamatan atau tempat pengambilan sampel, dimana diharapkan ketiga lokasi ini dapat mewakili karakteristik seluruh wilayah
perairan muara Sungai Asahan.
3.2 Deskripsi Area
Lokasi penelitian adalah perairan muara Sungai Asahan. Dengan berpedoman dari hasil survey lapangan dan berdasarkan rona lingkungan
ditetapkan 3 stasiun atau lokasi tempat pengambilan sampel yaitu: Stasiun 1 : Mewakili kawasan hutan mangrove bakau
Stasiun 2 : Mewakili kawasan pemukiman dan pelabuhan Stasiun 3 : Mewakili mulut muara
3.2.1 Stasiun 1
Lokasi ini berada pada bagian tepi dari muara Sungai Asahan, berbatasan atau kontak langsung dengan hutan mangrove. Pada bagian hulu lokasi ini banyak
Universitas Sumatera Utara