commit to user 14
ialah ambilan bentuk krama. Bentuknya sangat menyerupai padanan krama. Leksikon kata-kata madya ini agak menarik perhatian, sebab hampur kesemuanya adalah kata
yang boleh dinamakan dengan kata tugas kata bantu verba. Pokoknya, semua kata madya berfrekuensi sangat tinggi dan dari yang sekian itu boleh dikata tak ada yang
merupakan kata penuh content word, kata benda, kata kerja atau sifat 1979: 28-29. Madya juga biasa disebut dengan krama ndesa. Pada masa sekarang madya tidak
dianggap berdiri sendiri namun merupakan varian dari bentuk ngoko dan krama. Suwito berpendapat bahwa variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan
pada tingkat-tingkat kelas atas status sosial interlekutornya dikenal dengan istilah undha-usuk. Suwito juga memberikan gambaran mengenai pihak yang mempunyai
kelas atau status sosial yang lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi krama sedangkan yang berstatus sosial lebih tinggi menggunakan bahasa
yang lebih rendah ngoko 1983: 29. Dari ilustrasi yang diberikan oleh Suwito maka sejalan dengan pendapat Sry Satriya Tjantur W. S, memaparkan mengenai bentuk
unggah-ungguh bahasa Jawa yang dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Jika terdapat bentuk unggah-ungguh yang lain dapat
dipastikan bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko atau krama 2007: 102.
Penelitian ini menggunaan gambaran pembagian tingkat tutur yang dikemukakan oleh Soepomo Poedjosoedarmo dan Suwito. Dapat disimpulkan bahwa
tingkat tutur atau undha-usuk bahasa Jawa dibagi menjadi dua yaitu ngoko dan krama.
E. Kode
Sebelum lebih jauh mengenal alih kode dan campur kode terlebih dahulu harus diketahui mengenai kode. Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur
yang penerapan unsurnya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur,
commit to user 15
relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi yang ada Kunjana Rahardi, 2001: 21- 22. Secara jelas diilustrasikan bahwa ada semacam hierarki kebahasaan yang dimulai
dari “bahasa” sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri dari varian-varian dan ragam-ragam, serta gaya dan register sebagai sub-sub kodenya. Alat
komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah kode Suwito, 1983: 68, 67. Dapat disimpulkan bahwa kode merupakan suatu sistem tutur yang
berada pada hierarki kebahasaan. Kode merupakan bagian dari bahasa yang memiliki maksud sesuai dengan latar belakang penutur, kedekatan penutur dengan mitra tutur
dan fungsi penggunaan bahasa tersebut.
F. Alih Kode
Menurut Suwito, alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Apabila alih kode itu terjadi antar behasa-bahasa daerah dalam satu
bahasa naisonal, atau antara dialek-dialek dalam saatu bahasa daerah atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu
disebut bersifat intern. Apabila yang terjadi adalah antar bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern 1983: 68-69.
Terkait dengan alih kode, Abdul Chaer dan Leonie Agustina berpendapat banyak ragam pendapat mengenai beda alih kode dengan campur kode. Namun yang
jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja
dengan sebab-sebab tertentu. Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan otonominya berupa serpihan-
serpihan pieces saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode 2004: 114.
commit to user 16
Senada dengan pendapat para peneliti sebelumnya mengenai alih kode maka Harimurti Kridalaksana mengungkapkan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi
bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain
2008: 9. Terkait dengan alih kode, Sarwiji Suwandi juga mengemukakan bahwa alih
kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa di dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Alih kode adalah suatu peralihan pemakain
suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau dari satu variasi bahasa ke variasi bahasa lain 2008: 86.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Dengan catatan
bahwa alih kode memiliki dua bahasa yang berbeda sistem gramatikalnya, kemudian dua bahasa itu masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks, dan
fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Alih kode intern terjadi dalam satu bahasa nasional dan alih kode
ekstern terjadi dari bahasa nasional ke dalam bahasa asing. 1.
Bentuk Alih Kode Suwito mengungkapkan bahwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih
ragam, alih gaya atau alih register. Ciri-ciri alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh a masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-
fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, b fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Dapat dikatakan
bahwa alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara
commit to user 17
fungsi kontekstual dan situasi relevansial di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih 1983: 68-69.
Terkait dengan bentuk alih kode, Thomson menyebutkan bahwa …, code
switching-intersentential swithing, which is switching from one language to another at a sentence boundary-and code mixing or intrasentential, in which the switch comes
within a single sentence, “…, alih kode-peralihan antarkalimat, yang beralih dari satu
bahasa ke dalam bahasa lain pada batas kalimat dan campur kode atau intrakalimat, peralihan yang terjadi dalam kalimat tunggal” dalam Suhardi, 2009: 44.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register. Alih kode secara bahasa dapat dilihat dari alih bahasa dan
alih ragam dalam dua konteks yang berbeda. Jadi alih kode ditandai dengan satu bahasa dialihkan ke dalam bahasa lain, pada konteks situasi yang berbeda.
2. Faktor yang Melatarbelakangi Alih Kode
Suwito menjelaskan alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosio-situasional.
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode sebagai berikut. a.
Penutur 01 Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode
terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha tersebut dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu dari dituasi resmi ke situasi tak resmi.
b. Lawan tutur 02
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya.
commit to user 18
c. Hadirnya penutur ketiga 03
Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir
orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang pertama beralih ke dalam bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
d. Pokok pembicaraan topik
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode.
e. Untuk membangkitkan rasa humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pimpinan rapat atau pelawak untuk membangkitkan rasa humur. Bagi pimpinan rapat bangkitnya rasa humor
diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan mulai lesu. f.
Untuk sekedar bergengsi Sebagian penutur yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal itu terjadi
apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode 1983: 72-74.
Penelitian ini dekat dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi alih kode yang diungkapkan oleh Suwito, namun ada sedikit perbedaan yaitu faktor yang
melatarbelakangi untuk membangkitkan rasa humor dan untuk sekedar bergengsi masuk pada fungsi bukan masuk pada faktor yang melatarbelakangi alih kode secara
sosio-situasional. Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode juga disampaikan oleh
Soepomo Poedjosoedarmo, dalam masyarakat Jawa faktor-faktor tersebut adalah 1 situasi bicara, 2 drajad keakraban antara si pembicara dengan lawan bicara, 3
kemantapan hubungan antara si pembicara dengan lawan bicara, 4 masalah yang
commit to user 19
dibicarakan, 5 penguasaan atas kode yang dipakai, 6 tingkat kesadaran pembicara 1979: 44.
Dapat disimpulkan bahwa faktor yang melatarbelakangi alih kode adalah 1 situasi bicara, 2 hadirnya O2, 3 hadirnya O3, dan 4 topik yang dibicarakan.
Faktor yang melatarbelakangi alih kode dari beberapa pendapat tersebut ternyata juga ditemukan dalam tuturan pada rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon, namun perlu
pemahaman lebih lanjut mengingat bahwa sosok ibu tidak dapat lepas dari setiap individu dan berperan penting di dalam maupun di luar organisasi. Faktor yang
melatarbelakangi alih kode dalam penelitian ini lebih mengarah pada faktor sosio- situasional.
3. Fungsi Alih Kode
Fungsi adalah beban makna suatu satuan bahasa; penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu Harimurti Kridalaksana, 2008: 67. Suwito mencantumkan bahwa alih
kode masing-masing bahasa mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relefan dengan
peralihan kodenya. Dengan demikian alih kode menunjukkan suatu gejala saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan fungsi relefansial di dalam pemakaian
suatu bahasa atau lebih 1983: 69. Secara lebih rinci Grosjean memberikan gambaran aneka macam tujuan atau
fungsi alih kode, kepentingan para penutur asli yaitu: 1 memenuhi kebutuhan yang bersifat linguistik yakni memilih kata, frasa, kalimat atau wacana yang tepat, 2
menyambung pembicaraan sesuai dengan bahasa yang digunakan terakhir trigerring, 3 mengutip kalimat orang lain, 4 menyebutkan orang yang dimaksudkan dalam
pembicaraan, 5 mempertegas pesan pembicaraan: menyangatkan atau menekankan
commit to user 20
argumen topper, 6 mempertegas keterlibatan pembicaraan mempersonifikasikan pesan, 7 menandai dan menegaskan identitas kelompok solidaritas, 8
menyampaikan hal-hal rahasia, kemarahan atau kejengkelan, 9 membuat orang lain yang tak-dikehendaki tidak bisa memahami pembicaraan, 10 mengubah peran
pembicaraan, menaikkan status, menegaskan otoritas, memperlihatkan kepandaian dalam Herudjati Purwoko, 2008: 51.
Penelitian ini menganalisis mengenai fungsi alih kode, fungsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penggunaan alih kode bahasa Jawa untuk
tujuan tertentu. Fungsi atau tujuan penggunaan alih kode dalam penelitian ini lebih secara kebahasaan dan tidak terlepas dari faktor yang melatarbelakangi terjadinya
sebagai suatu hasil dari proses sosio-situasional. Jadi fungsi alih kode adalah 1 lebih persuasif mengajak atau menyuruh, 2 lebih argumentatif, 3 lebih komunikatif, 4
lebih prestis.
G. Campur Kode