Sosiolinguistik Hakikat Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia

commit to user 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Kajian pustaka dalam penelitian ini meliputi sosiolinguistik, hakikat kedwibahasaan, bilingual dan diglosia, ragam bahasa, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa undha-usuk, kode, alih kode, campur kode, komponen tutur, situasi sosiologis di Kelurahan Kepatihan Kulon, dan PKK sebagai organisasi kemasyarakatan. Kerangka pikir digunakan untuk memberikan gambaran permasalahan, proses dan hasil penelitian.

A. Sosiolinguistik

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Sosiolingusitik mengkaji mengenai bahasa yang dihubungkan dengan masyarakat penuturnya. Seperti yang diungkapkan oleh Suwito, sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari suatu masyarakat tertentu 1983: 2. Sumarsono dan Paina Partana menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan dipelajari oleh ilmu- ilmu sosial khususnya sosiologi 2004: 1. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 2. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa sosiolingustik commit to user 10 merupakan kajian yang menggabungkan antara dua bidang ilmu antardisiplin, dan mempelajari penggunaan bahasa dalam masyarakat penuturnya.

B. Hakikat Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia

Suwito berpendapat bahwa baik kedwibahasaan maupun diglosia pada hakikatnya adalah peristiwa menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu masyarakat, maka antara kedua peristiwa itu nampak adanya hubungan timbal-balik yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya 1983: 47. Pendapat mengenai pengertian kedwibahasaan atau yang disebut dengan bilingualisme, diperkuat oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustine, secara harfiah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa 1995: 111-112. Terkait dengan hakikat kedwibahasaan, bilingualisme, dan diglosia, Nababan mengutarakan bahwa kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu memakai dua bahasa, disebut bilingualitas dari bahasa Inggris bilinguality. Jadi orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan menggunakan dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian itu dengan “kedwibahasaan” untuk kebiasaan dan kedwibahasawanan untuk kemampuan 1990: 27. Pengertian diglosia diperinci oleh Harimurti Kridalaksana, diglosia adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan 2008: 50. Kemudian Aslinda dan Leni Syafyahya juga berpendapat mengenai hakikat diglosia, kedwibahasaan, dan bilingualisme. Pengertian diglosia boleh dikatakan sama commit to user 11 dengan kedwibahasaan, tetapi istilah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Disisi lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakai bahasa itu 2010: 27. Dapat disimpulkan bahwa hakikat kedwibahasaan, bilingual dan diglosia adalah pemakaian dua bahasa dalam kelompok masyarakat. Jadi ibu-ibu PKK di Kelurahan Kepatihan Kulon yang menggunakan dua bahasa disebut dengan bilingual atau dwibahasawan.

C. Ragam Bahasa