1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, tentu membuat modus kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Bentuk-bentuk
kejahatan mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Banyak jenis kejahatan yang semula sukar untuk dilakukan, dengan
kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang mudah dilakukan oleh siapa saja. Pada saat ini para pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan dan pelarian dari
suatu negara menuju ke negara lainnya dengan sangat mudah. Kondisi yang mengkhawatirkan sebagai dampak dari perkembangan
teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Kejahatan yang
menjangkau lingkup internasional inilah yang disebut dengan kejahatan transnasional. Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada
dasarnya amat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional memerlukan kerjasama antar negara yang terlibat
dalam kasus kejahatan transnasional yang bersangkutan. Kerjasama antar negara tersebut dapat berupa perjanjian. Kerjasama antar
negara dalam bentuk perjanjian disebut perjanjian internasional. Dalam hal ini perjanjian internasional yang dipergunakan dalam proses penegakan hukum
Universitas Sumatera Utara
kejahatan transnasional antara lain adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi merupakan dasar dari permintaan dan penyerahan seorang tersangka kejahatan
transnasional oleh negara yang mengajukan permohonan ekstradisi. Ekstradisi sendiri adalah penyerahan seorang tertuduh atau seorang terhukum oleh suatu negara di
wilayah mana ia suatu waktu berada kepada negara tempat ia disangka melakukan atau telah dihukum karena berbuat kejahatan.
1
Selain itu ekstradisi bertujuan untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan karena seringkali
suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan
oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau
diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya aut punier aut dedere. Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan
adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan
terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran.
2
1
Fika Habbina, Urgensi Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN Sebagai Upaya Preventif dan Represif Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 2012, Hal. 4.
2
J. G. Starke, An Introduction to International Law, London,Butterwordhs Co Publisher, 4
th
Edition 1958, Hal. 261.
Pada umumnya, ekstradisi sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi
Universitas Sumatera Utara
dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana negara pemohon ekstradisi tersebut dapat diterapkan terhadap para penjahat yang
melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.
3
Secara umum terdapat dua alasan bagi suatu negara untuk melakukan ekstradisi, pertama goodwill dan keprihatinan internasional. Suatu perjanjian
ekstradisi yang terjadi antara negara yang tidak mempunyai perjanjian hanya terjadi karena komitmen internasional, kedua, komitmen dimungkinkan karena adanya
perjanjian antar negara.
4
Dalam ekstradisi, penyerahan seorang tersangka kejahatan transnasional hanya dapat terjadi apabila telah ada pengajuan permohonan untuk
menyerahkan oleh negara pemohon kepada negara yang dimohonkan. Penyerahan dan permohonan itu haruslah berdasarkan pada perjanjian ekstradisi antara masing-
masing pihak, karena menurut hukum internasional jika tidak ada perjanjian,maka negara tidak mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi pelaku kejahatan
5
3
Rakmad Saddam, Lembaga Ekstradisi sebagai Suatu Sarana dalam Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Korupsi Ditinjau dari Hukum internasional, Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 9.
4
Shaufy Rahmi, Tinjauan Yuridis terhadap Persetujuan antara Republik Indonesia dan Hongkong Special Administrative Region di Bidang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana ,Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, Hal. 22.
5
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Pidana Internasional Ekstradisi, PT TataNusa, Jakarta, 2010, Hal. 4.
. Penyerahan ini merupakan intervensi yang cukup besar terhadap kebebasan dari
orang yang bersangkutan tapi merupakan satu hal yang dibenarkan atas dasar
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum setiap negara dalam memerangi kejahatan dan menghapuskan perlindungan terhadap buronan.
6
“Sifat dari ekstradisi merupakan proses hukum yang dilakukan oleh dan antara dua atau lebih negara berdasarkan hukum internasional, dan hukum nasional
dari setiap negara yang terlibat. Hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses politik antar pemerintah. Implikasi dari konsepsi itu adalah bahwa individu hanya
merupakan objek dan bukan subjek dari proses hukum. Sebagai konsekuensi dari konsepsi ini, individu yang menjadi subjek dari proses tersebut tidak akan memiliki
hak untuk mengklaim terhadap negara masing-masing negara-peminta dan negara yang diminta kecuali masing-masing negara yang bersangkutan akan mengakui
pandangan modern, bagaimanapun juga, bahwa individu adalah subjek hukum yang berhak untuk mengklaim dan menegaskan hak-hak yang diberlakukan untuk
keuntungan mereka dari hukum internasional, perjanjian yang berlaku, termasuk perjanjian ekstradisi, dan huku m nasional termasuk hak konstitusional.
Selain itu, Menurut Cherif Bassiouni,
7
Oleh karena itu dapat diakui bahwa ekstradisi adalah merupakan suatu lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas suatu tindak kejahatan.
Hal ini hanya dapat diwujudkan jika adanya hubungan yang baik antara negara- negara di dunia, sehingga dapat lebih memudahkan di dalam pelaksanaan kerjasama
antar negara dan dapat mempercepat penyerahan penjahat pelarian dari suatu negara ke negara lain. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya,
dimana antara negara si pelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga akan sangat sulit untuk melakukan suatu perjanjian dan
penyerahan penjahat yang melarikan diri ke negara tersebut.
8
6
Robert Cryer, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge University Press, New York, 2007. Hal. 79.
7
M.Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Volume II: Procedure, Transnational Publisher, New York, 1986. Hal 406.
8
Rakhmad Saddam, Op. Cit. Hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian ekstradisi sendiri tidak hanya dikenal dalam bentuk hubungan bilateral antara dua negara saja. Ada juga perjanjian ekstradisi yang bersifat regional
meliputi suatu kawasan yang terdiri dari beberapa negara atau sering juga disebut multi-regional. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan konvensi ekstradisi
untuk kawasannya. European Union telah menerapkan European Convention on Extradition, 1957. Amerika juga menerapkan melalui Inter-American Convention on
Extradition, 1981.
9
Mutual Legal Assistance atau Perjanjian Saling Bantuan Hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi
dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer custody, dan
memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara sesuai dengan perjanjian rincian untuk
politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak Namun apabila penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang bersangkutan
tidak dapat dilakukan oleh karena tidak adanya perjanjian ekstradisi yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses penyerahan tersebut maka proses
penyerahan tersebut dapat didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati. Asas timbal balik yang telah disepakati tersebut disebut Mutual Legal Assistance.
9
Fika Habbina, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.
10
Mutual Legal Assistance pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan Mutual Legal Assistance
dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan sistem hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan timbulnya
kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam
penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain sehingga penahanan kejahatan menjadi lambat dan berbelit-belit.
11
Objek Mutual Legal Assistance antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi
keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil aset hasil kejahatan, serta
mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara-peminta Mutual Legal Assistance. Terdapat tiga
alasan bagi suatu negara untuk melaksanakan Mutual Legal Assistance yaitu dua diantaranya sama dengan ekstradisi, dan yang ketiga adalah adanya persetujuan
10
Mekar Sinurat, “Perbandingan Ekstradisi dan MLA”, http:mekar-sinurat.blogspot.com 200910perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html , diakses pada 18 April 2014
11
Elisatris Gultom, “Mutual Legal Assistance dalam Kejahatan Transnasional Terorganisasi”, sebagaimana dimuat dalam http:elisatris.wordpress.commutual-legal-assistance-dalam-kejahatan-
transnasional-terorganisasi , diakses pada 18 April 2014
Universitas Sumatera Utara
internasional dengan interpol yang dilakukan oleh pihak kepolisian suatu negara.
12
Dalam prakteknya, pelaksanaan Mutual Legal Assistance di antara negara-negara didasari pada beberapa prinsip penting, antara lain: prinsip kerjasama, prinsip
reciprocity timbal balik atas dasar hubungan baik, instrumen hukum Mutual Legal Assistance.
13
Mutual Legal Assistance muncul sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas transnasional.
Hal ini sangat wajar terjadi, mengingat terhadap kejahatan yang dimensinya nasional,
dalam pengertian dampak dari kejahatan tersebut sifatnya nasional, dan pelaku kejahatan hanya warga negara setempat, cukup ditangani secara nasional tanpa perlu
melibatkan negara lain.
14
Mutual Legal Assistance ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan konvensi PBB misalnya, dalam United Nation
Convention Against Corruption UNCAC. Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk Mutual Legal Assistance
guna memberantas korupsi.
15
Mutual Legal Assistance pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral, Mutual Legal Assistance bilateral ini didasarkan pada perjanjian Mutual
12
Mekar Sinurat, Loc. Cit.
13
Nathania Dea Myrilla, “Penggunaan Mutual Legal Assistance dalam Upaya Ekstradisi”, sebagaimana dimuat dalam http:www.academia.edu4327841Perjanjian_Ekstradisi_UAS_?login=e
mail_was_taken=truelogin=email_was_taken=true, diakses pada 22 April 2014
14
Shaufy Rahmi, Op. Cit. Hal. 23.
15
Yunus Husein, “Mutual Legal Assistance : Suatu Keharusan dalam Penegakan Hukum”, sebagaimana dimuat dalam http:yunushusein.files.wordpress.com, diakses pada 18 April 2014,
Hal 1.
Universitas Sumatera Utara
Legal Assistance atau dasar hubungan timbal balik dua negara.
16
Frasa timbal balik mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa
akan adanya timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu meskipun tidak selalu timbal balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. Supaya bantuan
hukum timbal balik itu berjalan efektif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan, konfiskasi dan pengembalian aset seyogyanya hal tersebut didasarkan konvensi atau
perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik. Untuk maksud ini, dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian
danatau melakukan perjanjian regional atau bilateral.
17
“ States Parties shall afford one another the widest measure of Mutual Legal Assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation
to the offences covered by this Convention. Mutual Legal Assistance shall be afforded to the fullest extent possible under relevant laws, treaties,
agreements and arrangements of the requested State Party with respect to Instrumen hukum terkait dengan bantuan timbal balik yang akan dielaborasi
lebih lanjut adalah sebagai berikut : 1. United Nation Convention Against Transnational Organized crime TOC
2. United Nation Convention Against Corruption 2003 3. Article 46
16
Yunus Husein, Loc. Cit.
17
Nina N. Utami, “Tahukah Anda Perbedaan antara Perjanjian Ekstradisi dan MLA”, sebagaimana dimuat dalam http:ninanurutami.blogspot.com201212taukah-anda-perbedaan-pebedaan-antara.html
, diakses pada 22 April 2014
Universitas Sumatera Utara
investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences for which a legal person maybe held liable in accordance with article
26 of this Convention in therequesting State Party.” 4. Treaty on Mutual Legal Assistance
5. International Convention for The Suppression of The Financing of The Terrorism.
Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan
transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang money laundering, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas
kejahatan ganda
18
double criminality saja yang memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance. Mutual Legal Assistance memiliki cakupanruang lingkup
yang sangat luas mulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan
putusan, sehingga hal ini akan memudahkan dalam pengungkapan berbagai bentuk kejahatan
.
19
18
Asas kejahatan ganda double criminality adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan ekstradisi adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem
hukum kedua pihak negara yang meminta dan negara yang diminta, sebagaimana dimuat dalam I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 1990, Hal. 29.
19
Elisatris Gultom, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral central authority dapat meminta pejabat yang berwenang untuk
melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri
Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau
berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA
dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur
diplomatik, seperti Malaysia.
B. Rumusan Masalah