Sistematika Penulisan Sejarah Ekstradisi

a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan dasar, dan yurisprudensi tentang ekstradisi. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, jurnal-jurnal, majalah dan surat kabar serta media internet yang memuat artikel tentang ekstradisi Alberto Fujimori. c. Bahan Huku m Tertier Yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Pembahasan skripsi ini, secara garis besar akan dibagi dalam 5 lima bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah yang menjadi objek penelitian dan saling berhubungan secara sistematis antara satu Universitas Sumatera Utara bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. Maka akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi ini, yakni: BAB I : Bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Menguraikan tentang sejarah ekstradisi, asas-asas ekstradisi, dan pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi. BAB III : Menjelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi, syarat-syarat pelaksanaan ekstradisi, dan pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional. BAB IV : Membahas tentang latar belakang kasus Alberto Fujimori, penolakan ekstradisi Alberto Fujimori oleh Jepang ditinjau dari hukum internasional, dan penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori ditinjau dari hukum internasional. Bab V : Berisi kesimpulan dari uraian jawaban rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini dan berisi saran dari penulis terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Universitas Sumatera Utara 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI

A. Sejarah Ekstradisi

Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa pada awalnya ekstradisi bermula dari sebuah perjanjian tertua yang isinya juga mengenai masalah penyerahan penjahat pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahu 1729 S.M. Kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau diketemukan di dalam wilayah pihak lain. 24 Namun pada prakteknya, negara-negara dalam menyerahkan penjahat pelarian tidak hanya bergantung kepada perjanjian tersebut semata. Kemungkinan besar jauh sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian walaupun kedua belah pihak belum mengadakan perjanjian. Meskipun bukti-bukti Tetapi perjanjian seperti ini tentulah bukan merupakan perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri seperti halnya yang kita kenal pada saat ini. Melainkan soal ekstradisi ini hanyalah merupakan salah satu bagian kecil saja dari keseluruhan materi perjanjian. Biasanya perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian untuk menjalin hubungan bersahabat antara pihak-pihak atau perjanjian perdamaian untuk mengakhiri peperangan. 24 Arthur Nussbaum, “A Concise History of the Law of Nations”, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya: Sejarah Hukum internasional, Jilid I, Cetakan I, Binacipta, Bandung, 1969, Hal. 3. Universitas Sumatera Utara untuk memperkuat dugaan ini belum bisa ditunjukkan. Persahabatan dan hubungan baik antara dua negara, akan lebih dapat mempermudah serta mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Namun hal yang sebaliknya dapat terjadi apabila terjadi permusuhan antara dua negara, maka akan amat sulit bagi kedua belah pihak untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan kedua belah pihak tersebut akan membiarkan wilayah negaranya dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan bagi penjahat–penjahat dari negara musuhnya tersebut. Oleh karena itu, kesediaan menyerahkan para penjahat pelarian tidaklah berdasar kepada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dnn dihukum. Hal ini juga berlaku pada pemberian perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan dikarenakan dorongan kesadaran bahwa orang tersebut layak untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat namun kemudian berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian, dapat berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum berdasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat pada masa selama tiga abad belakangan ini. Pada abad ke 17, 18, 19 hingga abad ke 20 dimana kehidupan bernegara sudah tampak lebih maju terbukti dengan tumbuhnya negara-negara nasional, hubungan dan pergaulan internasional pun mulai mencari dan menemukan bentuk yang baru. Universitas Sumatera Utara Dimana negara-negara dalam melakukan perjanjian, sudah mulai mengkhususkan bidang-bidang tertentu. Hal ini juga berlaku pada bidang ekstradisi yang telah lama dikenal dalam praktek, turut pula mencari bentuknya sendiri yakni bentuk perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri. Jadi ekstradisi tidak lagi memiliki kaitan ataupun menjadi bagian dari masalah-masalah lainnya yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan, kemanusiaan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberikan warna tersendiri pada ekstradisi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun di sisi lain menimbulkan berbagai efek negatif misalnya, timbulnya kejahatan baru yang memiliki akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat- akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat di sekitarnya saja, namun kini sering melibatkan negara-negara bahkan terkadang menjadi persoalan umat manusia. Oleh karena itu, demi mencegah dan memberantasnya, maka diperlukan kerja sama antar negara. Misalnya, dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan yang melarikan diri kemudian menyerahkannya kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan tersebut, disinilah fungsi ekstradisi sebagai sarana ampuh untuk memberantas kejahatan tampak jelas. Pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ketatanegaraan, politik serta kemanusiaan, mendorong pengakuan dan kukuhnya kedudukan individu sebagai Universitas Sumatera Utara subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Negara-negara dalam membuat dan merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan aspek- aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dimana individu-individu pelaku kejahatan tetap diberikandiakui hak-hak dan kewajibannya. Pada akhirnya, isi dan bentuk perjanjian ekstradisi pada dewasa ini, memberikan jaminan keseimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan perlindunganpenghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan hak-hak asasi untuk menganut keyakinan politik atau hak politik sesorang, untuk pertama kalinya dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia pada tahun 1824. Juga prinsip non bis in idem dan prinsip kewarganegaraan erat pertaliannya dengan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Abad ke 19 dan 20 adalah merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi ini, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya terdapat perjanjian ekstradisi dan perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi dengan asas-asas yang sama. 25 25 I Wayan Parthiana, Op. Cit. Hal. 3. Universitas Sumatera Utara

B. Asas-asas Ekstradisi