40
BAB III PROSES PELAKSANAAN EKSTRADISI MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
A. Jenis-Jenis Kejahatan yang dapat Diekstradisi
Pada proses pelaksanaan ekstradisi, negara-peminta memerlukan sebuah alasan dalam permohonan penyerahan ekstradisi seseorang yakni berupa kejahatan
yang telah dilakukan oleh orang tersebut, agar orang tersebut dapat diserahkan kepada negara-peminta. Setiap negara umumnya memiliki ketentuan tersendiri
mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi. Dalam prosesnya, daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi dalam tiap-tiap perjanjian ekstradisi
tidak sama. Hal ini bergantung kepada materi perjanjian secara bilateral antara tiap- tiap negara.
Penentuan jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi oleh setiap negara dapat digunakan melalui beberapa sistem, yakni:
1. Sistem Enumeratif atau Sistem Daftar List System Suatu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan
nama satu persatu kejahatan mana yang dapat diserahkan. Misalnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Malaysia yang dalam lampirannya menentukan 27 jenis
kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan pelaku kejahatan. Selain itu juga sistem ini digunakan dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Thailand.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sistem enumeratif, ditentukan secara tegas jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi kepada
negara-diminta, dimana hal ini dicantumkan dalam salah satu pasal atau pada sebuah daftar yang dilampirkan pada perjanjian ekstradisi bersangkutan yang menyebutkan
secara jelas satu persatu jenis kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan atas pelakunya.
Oleh karena adanya salah satu pasal atau daftar yang dilampirkan dalam perjanjian ekstradisi yang membuat jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan
sebagai dasar untuk mengajukan ekstradisi, maka hal ini berarti bahwa kejahatan- kejahatan lain meskipun sudah memenuhi asas double criminality atau kejahatan
ganda jika tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi, maka kejahatan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengajukan permintaan ekstradisi atau dengan
kata lain bahwa apabila ada suatu kejahatan yang dijadikan dasar dalam mengajukan permintaan ekstradisi yang mana kejahatan tersebut tidak dicantumkan dalam
perjanjian ekstradisi yang dibuat, maka dalam kasus seperti ini negara-diminta dapat menolak permintaan ekstradisi yang dapat diajukan kepadanya.
Hal ini lah yang menjadi kelebihan dari sistem enumeratif ini dimana dengan dicantumkannya secara tegas jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar
untuk mengajukan ekstradisi antara negara-negara peserta suatu perjanjian ekstradisi, dapat menjamin adanya kepastian hukum bagi semua pihak, baik bagi negara-diminta
maupun negara-peminta daan juga bagi individu pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan demikian, apabila ada suatu negara yang mengajukan permintaan ekstradisi atas diri
Universitas Sumatera Utara
seseorang atau beberapa orang pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah negara lain, dalam hal antar negara yang bersangkutan memang sudah terikat suatu
perjanjian ekstradisi yang menganut sistem daftar, maka negara-diminta dalam menghadapi persoalan ini dapat dengan mudah melihatnya dalam daftar perjanjian
ekstradisi itu apakah kejahatan yang dimintakan penyerahan itu ada terdapat didalam daftar atau tidak. Apabila tidak ada disebutkan didalam daftar maka dalam hal ini
negara-diminta dapat menolak ekstradisi yang diajukan oleh negara-peminta. Namun sistem ini juga memiliki kekurangan yakni, sistem ini tidak dapat
mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks. Hal ini dikarenakan dengan dicantumkannya secara tegas didalam perjanjian ekstradisi jenis-
jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi, berarti jika dikemudian hari muncul kejahatan-kejahatan baru yang cukup
berbahaya bagi kesejahteraan dan ketentraman umat manusia khusunya bagi negara- diminta dan negara-peminta, kejahatan baru itu tetap tidak dapat dijadikan dasar
untuk meminta penyerahan penjahat itu karena kejahatannya diluar dari apa yang telah di perjanjian ekstradisi tersebut
Apabila sistem enumeratif yang dianut ini dihubungkan dengan asas double criminality.dengan perundang-undangan nasional Republik Indonesia yang
menyangkut ekstradisi yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 yang pada pasal 4 menentukan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang disebut didalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang
ini 2. Ekstradisi dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta
terhadap kejahatan lain yang tidak disebutkan dalam daftar kejahatan. 3. Dengan peraturan pemerintah, pada daftar yang dimaksud dalam ayat 1
dapat ditambahkan jenis perbuatan lain yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai kejahatan.
Adapun kejahatan yang dimaksud dalam ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 diatas dapat dilihat pada daftar yang terlampir di Undang-Undang
tersebut yaitu antara lain : 1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan. 3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang,
penganiayaan yang direnccanakan dan penganiayaan berat. 4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.
5. Persetubuhan dengan seorang wanita diluar perkawinan atau perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa orang tersebut pingsan atau tidak
berdaya atau orang tersebut berumur 15 tahun atau belum dikawinkan. 6. Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang cukup umur dengan orang
lain sama kelamin yang belum cukup umur.
Universitas Sumatera Utara
7. Memberikan atau mempergunakan obat-obat atau alat-alat buykan maksud menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang wanita.
8. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat dengan sengaja melarikan seorang wanita yang belum cukup umur.
9. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur. 10. Penculikan dan penahanan melawan hukum.
11. Perbudakan. 12. Pemerasan dan pengancaman.
13. Menipu atau memalsukan uang kertas bank atau mengedarkan mata uang kertas yang ditiru atau dipalsukan.
14. Menyimpan atau memasukkan uang ke Indonesia yang telah ditiru atau dipalsukan.
15. Pemalsuan dari kejahatan yang bersangkutan dengan pemalsuan. 16. Sumpah palsu.
17. Penipuan. 18. Tindak pidana yang berhubungan dengan kebangkrutan.
19. Penggelapan. 20. Pencurian, perampokan.
21. Pembakaran dengan sengaja. 22. Pengerusakan barangbangunan dengan sengaja.
23. Penyelundupan.
Universitas Sumatera Utara
24. Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta api, kapal laut, atau kapal terbang dengan penumpang-
penumpangnya. 25. Menenggelamkan atau merusak kapal dilaut.
26. Penganiayaan diatas kapal ditengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau luka berat.
27. Pemberontakan atau pemufakatan untuk memberontak oleh 2 dua orang atau lebih diatas kapal ditengah laut menentang kuasa nakhoda, penghasutan untuk
memberontak. 28. Pembajakan laut.
29. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan.
30. Tindak pidana korupsi. 31. Tindak pidana narkotika.
32. Perbuatan-perbuatan yang melanggar Undang-Undang senjata api, bahan- bahan peledak dan bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
Demikianlah jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar permintaan dalam mengajukan permintaan ekstradisi di dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1979. Perumusan jenis-jenis kejahatan ini dilakukan melalui kesepakatan antara kedua belah pihak, dengan demikian dapat dilihat didalam
Undang-Undang tersebut sistem yang dianut dalam menentukan jenis-jenis kejahatan
Universitas Sumatera Utara
apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi adalah menganut sistem daftar enumerative system.
Namun demikian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 kejahatan- kejahatan lain yang tidak tercantum dalam Undang-Undang tersebut sebagai jenis
kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi tetap dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi dengan
kebijaksanaan dari negara yang diminta. Selain itu, jenis-jenis kejahatan yang telah diperinci dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1979 tersebut diatas dapat ditambah dengan sebuah peraturan pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat 2 dan 3 berbunyi:
Pasal 4 1. Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan
terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 2. Ekstradisi dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta.
3. Dengan Peraturan Pemerintah, pada daftar kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1 dapat ditambahkan jenis perbuatan lain yang oleh Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai kejahatan. Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 sehingga dengan sistem daftar
enumerative system ini perkembangan masyarakat tetap dapat diikuti. 2. Sistem Eliminatif
Sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran kejahatan apakah kejahatan itu merupakan kejahatan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisikan.
3. Sistem Campuran Sistem campuran merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem
eliminatif yaitu dengan mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau maksimum hukuman yang dapat diserahkan.
39
Selain melalui 3 tiga sistem pengelompokan kejahatan tersebut, dalam The United Nations Model Treaty on Extradition telah dirumuskan secara lebih rinci
tentang kejahatan yang dapat dijadikan alasan pengekstradisian Pasal 2 dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya di
dunia ini. Pada pasal 2 ayat 1 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dalam extraditable offences adalah kejahatan-kejahatan yang pelakunya dapat dipidana berdasarkan
hukum pidana kedua belah pihak negara-peminta dan negara-diminta dengan hukuman pidana kurungan atau pengurangan kebebasannya untuk suatu jangka waktu
maksimum tertentu atau dengan hukuman yang lebih berat. Masih dalam pasal 2 ayat 1, ditegaskan pula tentang si pelaku kejahatan atau orang yang diminta yang berstatus
sebagai terhukum. Jika orang yang diminta berstatus sebagai terhukum, pengekstradisian hanya bisa dilakukan apabila sisa hukuman yang masih akan
dijalani adalah minimum sekian bulantahun dari masa hukumannya.
Mengenai jangka waktu yang pasti, baik mengenai jangka waktu minimum masa hukuman yang dapat
dijadikan alasan untuk meminta pengekstradisian dalam hal orang yang diminta berstatus
39
Rakhmad Saddam, Op. Cit., Hal. 72-79.
Universitas Sumatera Utara
sebagai tersangka, tertuduh ataupun terdakwa, maupun batas minimum sisa hukuman dalam halo rang yang diminta berstatus sebagai terhukum, sepenuhnya tergantung pada kesepakatan
para pihak ketika merumuskan perjanjian ekstradisinya.
Selanjutnya pada ayat 2 ditegaskan tentang kejahatan yang dapat dipidana menurut hukum pidana dari kedua
pihak, bahwa tidaklah perlu harus sama terminologinya, demikian juga unsur- unsurnya tidak perlu harus sama menurut hukum pidana kedua pihak, yang penting,
secara keseluruhan dari perbuatan atau kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta pengekstradisiannya, haruslah dapat dipandang sebagai kejahatan.
Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 3 diatur tentang kejahatan pajak, bea cukai, pengawasan nilai tukar mata uang ataupun masalah-masalah turunannya,
pengekstradisian tidak dapat ditolak berdasarkan alasan, bahwa hukum nasional negara-diminta tidak menentukan jenis pajak yang sama ataupun bea cukai ataupun
jenis yang sama, sebagaimana hukum nasional negara-peminta. Ketentuan semacam ini sebenarnya tidak tepat dicantumkan dalam pasal mengenai extraditable offence
tetapi lebih tepat ditaruh di dalam alasan-alasan fakultatif untuk menolak pengekstradisian. Dengan kata lain, dicantumkannya ketentuan semacam ini didalam
pasal tentang extraditable offence merupakan kesalahan dalam penempatannya. Akhirnya, ayat 4 dari pasal 2 ini menegaskan tentang permintaan untuk
pengekstradisian dari negara-peminta kepadaa negara-diminta atas beberapa jenis kejahatan yang dapat dipidana menurut hukum pidana kedua pihak, tetapi beberapa
diantaranya tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam ayat 1. Dalam hal ini, negara-diminta dapat menjamin pengekstradisian kepada negara-
Universitas Sumatera Utara
peminta atas orang yang diminta, atas dasar kejahatan-kejahatan yang tidak memenuhi syarat tersebut dengan ketentuan, bahwa orang yang diminta itu
diekstradisikan hanya untuk salah satu dari kejahatan-kejahatan tersebut. Ketentuan semacam ini memang tampak agak aneh dan kurang masuk akal
sebab secara konvensional sudah umum berlaku, bahwa jika ada lebih dari satu kejahatan yang dijadikan untuk meminta pengekstradisian oleh negara-peminta dan
ternyata ada diantaranya yang tidak memenuhi kualifikasi, maka pengekstradisian hanya akan dijamin oleh negara-diminta berdasarkan atas kejahatan yang memenuhi
persyaratan saja. Sedangkan atas kejahatan yang tidak memenuhi persyaratan, permintaan negara-peminta itu harus ditolak. Negara-pemintapun tidak boleh
mengadili orang yang diminta atau yang sudah diserahkan kepadanya atas kejahatan lain yang tidak memenuhi persyaratan.tersebut, kecuali negara-peminta kemudian
meminta persetujuan kepada negara-diminta untuk mengadili orang yang bersangkutan atas kejahatan lain tersebut.
Oleh karena itu, ketentuan seperti pasal 2 ayat 4 inipun tidak sepantasnya ditaruh di dalam pasal mengenai extraditable crimesextraditable offences tetapi lebih
tepat dalam pasal sendiri, yakni pasal tentang asas kekhususan rule of speciality. Seperti telah diketahui umum, bahwa asas kekhususan ini sudah merupakan salah
satu asas dari ekstradisi yang sudah umum dicantumkan di dalam perjanjian- perjanjian ekstradisi.
40
40
I Wayan Pharthiana2, Op. Cit., Hal. 468-470.
Universitas Sumatera Utara
B. Syarat-Syarat Pelaksanaan Ekstradisi