9
menetralisasikan ancamannya, dan 3 menghindari atau memperbaiki kelemahannya.
2.1.2. Pengertian Kualitas
David Hoyle mendefinisikan kualitas sebagai berikut:
“The word quality has many meanings, : e.g A degree of excellence, Conformance with requirements, The totality of
characteristics of an entity that bear on its ability to satisfy stated or implied needs, Fitness for use, Fitness for
purpose, Freedom
from defects,
imperfections or
contamination, and Delighting customers .”
Bisa diartikan bahwa :
“Kata kualitas memiliki banyak makna, : misalnya tingkat keunggulan, kesesuaian dengan persyaratan, totalitas
karakteristik sebuah
entitas yang
menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang
dinyatakan atau tersirat, kesesuaian untuk digunakan, kesesuaian untuk mencapai tujuan, bebas dari cacat,
ketidaksempurnaan atau kontaminasi, dan memuaskan pe
langgan”.
Jika diringkas kualitas menurut Hoyle berkaitan dengan
keunggulan dalam
beberapa hal
yang dipersyaratkan yang pada akhirnya dapat memuaskan
pelanggan. Sedangkan Goetsch dan Davis dalam Tjiptono
2003:4 menjelaskan bahwa kualitas merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, sumber daya manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Selain itu, ahli
yang menjelaskan makna dari kualitas seperti Philip B. Crosby Suardi, 2003 mengemukakan bahwa kualitas
merupakan kesesuaian terhadap persyaratan. Dalam
10
buku yang sama Edwards Deming menjelaskan bahwa kualitas
merupakan pemecahan
masalah untuk
mencapai penyempurnaan terus-menerus. Menurut beberapa ahli diatas kualitas memiliki
beberapa hal yang sama, antara lain kondisi yang memenuhi atau melebihi harapan, yang akhirnya
memuaskan pelanggan. Bahkan menurut Deming kualitas perlu untuk disempurnakan terus-menerus,
hal ini berkaitan dengan semakin tingginya tuntutan terhadap suatu produk barang maupun jasa yang
kompetitif.
2.1.3. Mengembangkan Budaya Kualitas
Agar kualitas dapat senantiasa dijaga dan ditingkatkan terus-menerus, diperlukan suasana yang
kondusif serta penciptaan budaya kualitas. Dan agar tercipta budaya kualitas, diperlukan komitmen dari
seluruh anggota
organisasi, dan
dalam dunia
pendidikan ialah warga sekolah. Menurut Tjiptono 2006:90
ada beberapa
faktor yang
dapat memperlancar dan sekaligus dapat menghambat
pengembangan jasa yang berkualitas, yaitu : 1. Manusia, 2. Organisasistruktur, 3. Pengukuran, 4
Pendukung sistem, 5 Pelayanan, 6. Program, 7. Komunikasi internal, dan 8. Komunikasi eksternal.
Sekolah pada dasarnya adalah lembaga dimana para guru memberikan jasanya untuk mendidik anak, dan
ke delapan faktor tersebut juga terdapat di dunia pendidikan.
11
Dikemukakan lebih
lanjut oleh
Tjiptono 2006:91 bahwa ada delapan program pokok yang
saling terkait guna membentuk budaya kualitas, yaitu : 1.
Pengembangan individual,
2. Pelatihan
manajemen, 3. Perencanaan Sumber Daya Manusia, 4. Standar kinerja, 5. Pengembangan karier, 6.
Survey opini, 7. Perlakuan yang adil, 8. Profit sharing. Meskipun budaya kualitas yang dimasud oleh
Tjiptono adalah dalam hal penyediaan jasa yang terkait dengan ekonomi, tetapi bisa diaplikasikan dalam
pendidikan, dengan menyesuaikan beberapa hal, misalnya pelatihan manajemen diartikan sebagai
pelatihan kompetensi. Dalam hal profit sharing, untuk lembaga pendidikan negeri lebih ke arah eksistensi
sekolah di mata masyarakat, sedangkan untuk lembaga pendidikan swasta adalah profit untuk yayasan
pengelola pendidikan. Mengacu pada pendapat Tjiptono di atas
pengembangan kualitas kompetensi profesional guru dapat dilakukan dengan perencanaan dan pelaksanaan
program pengembangan
SDM, misalnya
dengan pelatihan-pelatihan. Selain itu dengan mengikuti
standar kinerja yang telah ditentukan, misalnya dengan aktif
membuat dan
mengembangkan materi
pembelajaran. Pengembangan karier selain dilakukan dengan megikuti pelatihan dapat dilakukan dengan
menempuh pendidikan yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kegiatan seperti seminar dan in house training
yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi profesional guru.
12
2.2. Kompetensi Profesional Guru