Pengertian Jaminan Kepastian Hukum
                                                                                bersifat  umum  membuat  individu  mengetahui  perbuatan  apa  yang boleh  atau  tidak  boleh  dilakukan  dan  dua,  berupa  keamanan  hukum
bagi  individu  dari  kesewenangan  pemerintah  karena  dengan  adanya aturan  yang  bersifat  umum  itu  individu  dapat  mengetahui  apa  saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian  hukum  bukan  hanya  berupa  pasal  dalam  undang  –  undang,
melainkan  juga  adanya  konsistensi  dalam  putusan  hakim  antara putusan  hakim  yang  satu  dengan  putusan  hakim  yang  lainnya  untuk
kasus  serupa  yang  telah  diputuskan.  Peter  Mahmud  Marzuki,  2008: 157-158
Kepastian  hukum  secara  normatif  adalah  ketika  suatu  peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragua-raguan multi tafsir dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma  yang  ditimbulkan  dari  ketidakpastian  aturan  dapat  berbentuk
kontestasinorma, reduksi norma, atau distorsi norma. Dalam  menjaga  kepastian  hukum,  peran  pemerintah  dan
pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan  yang  tidak  diatur  oleh  undang-undang  atau  bertentangan
dengan  undang-undang.  Apabila  hal  itu  terjadi,  pengadilan  harus menyatakan  bahwa  peraturan  demikian  batal  demi  hukum,  artinya
dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan  itu  harus  dipulihkan  seperti  sediakala.  Akan  tetapi,  apabila
pemerintah  tetap  tidak  mau  mencabut  aturan  yang  telah  dinyatakan batal  itu,  hal  itu  akan  berubah  menjadi  masalah  politik  antara
pemerintah  dan  pembentuk  undang-undang.  Yang  lebih  parah  lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang
tidak  mempersoalkan  keengganan  pemerintah  mencabut  aturan  yang dinyatakan  batal  oleh  pengadilan  tersebut.  Sudah  barang  tentu  hal
semacam itu tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum
tidak mempunyai daya prediktibilitas.  Peter Mahmud Marzuki, 2008: 159-160
Dalam  literatur-literatur  klasik  dikemukakan  antinomi  antara kepastian  hukum  dan  keadilan.  Menurut  literatur-literatur  tersebut,
kedua  hal  itu  tidak  dapat  diwujudkan  sekaligus  dalam  situasi  yang bersamaan. Oleh karena itulah dalam hal ini menurut literatur-literatur
itu  hukum  bersifat  kompromi,  yaitu  dengan  mengorbankan  keadilan untuk  mencapai  kepastian  hukum.  Peter  Mahmud  Marzuki,  2008  :
161 Dalam menghadapi antinomi tersebut peran penerap hukum sangat
diperlukan.  Peranan  tersebut  akan  terlihat  pada  saat  penerap  hukum dihadapkan kepada persoalan-persoalan  yang konkret. Disitu, penerap
hukum  harus  mampu  untuk  melakukan  pilihan  mana  yang  harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Yang menjadi acuan
dalam  hal  ini  adalah  moral.  Apabila  kepastian  hukum  yang dikedepankan,  penerap  hukum  harus  pandai-pandai  memberikan
intepretasi  terhadap  undang-undang  yang  ada.  Tanpa  memberikan intepretasi  yang  tepat,  akan  berlaku  Lex  Durra  Sed  Tamen  Scripta
yang terjemahannya “undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau  memang  demikian  bunyinya”.  Sebagaimana  telah  dikemukakan
bahwa  dalam  hal  melakukan  tindakan  kemanusiaan  dan  mempunyai kemaslahatan,  pemerintah  dapat  melakukannya  tanpa  perlu  adanya
aturan  atau  bahkan  mungkin  menyimpangi  prosedur  baku.  Dalam  hal demikian kepastian hukum dapat dikorbankan. Begitu pula pengadilan,
dengan berlandaskan moral ia dapat putusan yang berbeda untuk kasus serupa  yang  sudah  diputus  oleh  pengadilan  terdahulu  jika  pengadilan
itu  menimbang  bahwa  putusan  pengadilan  terdahulu  tersebut  secara moral perlu diperbaiki. Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 161-162