Persepsi Kaum Difabel Terhadap Kecacatannya Saat Berinteraksi Dengan

Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, SHG Solo sebuah organisasi yang menghimpun dan mengorganisir kaum difabel supaya terbina hidupnya. Di SHG Solo hubungan antara kaum difabel seperti saudara. SHG Solo merupakan tempat untuk bercerita dan berkeluh kesah bagi anggota yang mendapatkan masalah beban kehidupan. Kaum difabel meminta saran kepada anggota lain tentang beban masalah yang dihadapinya.

C. Persepsi Kaum Difabel Terhadap Kecacatannya Saat Berinteraksi Dengan

Masyarakat. Persepsi Kaum Difabel terhadap kecacatannya saat berinteraksi dengan masyarakat sangat beragam dan berbeda-beda. Mereka saat berinteraksi dengan masyarakat tidak merasa minder atau takut kalau dikucilkan. Bahkan kaum difabel seakan merasa dirinya tidak cacat seperti yang dialaminya. Ini menunjukan kalau kaum difabel memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi dalam masyarakat. Pak S ugi,” siapa bilang aku cacat mas...., aku gak pernah merasa cacat..., saya ini ya mas berkumpul dengan orang-orang difabel gak pernah merasa cacat,...apa lagi kumpul dengan orang-orang non-difabel aku merasa seperti mereka mas... Dan yang paling aku benci.... jika ditanyai, kamu normal tidak?. mandul tidak, itu saya benar - benar marah besar..., itu penghinaan bagi saya mas”. wawancara, 17-05-2010 10.11. Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, kaum difabel yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi tidak merasa sebagai penyandang cacat. Mereka berkumpul dengan kaum difabel tidak merasa sebagai kaum difabel, apalagi kalau berkumpul dengan kaum non-difabel merasa sejajar. Kaum difabel akan merasa tersinggung dan benci sekali, kalau ditanya orang lain tentang kenormalannya organ vital. Bagi kaum difabel pertanyaan tentang kenormalan alat kelaminnya merupakan suatu hal penghinaan. Pak M aman,”saya tidak cacat mas..., saya bisa melakukan seperti umumnya orang lakukan, sekolah.., menikah... Ya Cuma tubuh saya diciptakan begini.., ini sudah takdir mas kalo suruh milih ya inginnya seperti kamu mas., tapi terpenting pikiran saya tidak cacat aja”. wawancara, 10-05-2010 11.44. Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, kaum difabel mampu menjalani kehidupannya secara wajar layaknya kaum non-difabel. Kaum difabel bisa mengenyam pendidikan formal hingga keperguruan tinggi. Mereka bisa menikah dengan pasangan pilihanya demi melangsungkan keturunan. Sebenarnya kaum difabel kalau disuruh memilih, inginnya terlahir dengan sempurna tanpa cacat. Tapi mereka masih bisa bersyukur, dengan adanya kecacatan tidak membuat cacat berpikirnya. Bu Endang,” ya mas.. saya cacat, tapi fisik bukan pikiran saya,.. ..” wawancara, 17-05-2010 10.28. Pak K arno.” ya... begini ini mas saya, orang mau bilang apa ya tak trima yang penting aku tidak cacat jiwa,” wawancara, 11-5-2010 15:50. Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, kaum difabel iklas menerima kondisi kecacatan fisik yang disandangnya. Mereka masih bisa senang, karena kecacatan fisiknya tidak membuat cacat pola berpikirnya. Hal yang terpenting bagi kaum difabel adalah kecacatan fisik jangan sampai menyebabkan kecacatan berpikirnya. Kalau kaum difabel juga cacat berpikirnya akan dapat membuat stigma negatif masyarakat terhadap dirinya. Bu K arim,”. tidak mas, sebab saya bisa melakukan kegiatan sama orang yang normal tanpa alat bantu walaupun terbatas. .” wawancara, 10 -5- 2010 12:41. Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, kaum difabel mampu melakukan pekerjan seperti kaum non-difabel. Kaum difabel sangat yakin bahwa kecacatanya tidak akan mengganggu sepenuhnya dalam pekerjaan. Dengan keterbatasaan yang dimilikinya, kaum difabel ingin menunjukan kemampuan bekerjanya kepada masyarakat. Ternyata pandangan masyarakat terhadap kaum difabel itu salah, bahwa kalau kaum difabel itu bukan kaum yang lemah dan hilang potensinya. Bu Sumarsih,”iya mas.. tapi kulo mboten minder yen medal keluar bermasyarakat..”wawancara, 17 -05-2010 13.46. Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa, ketika kaum difabel berinteraksi dengan masyarakat tidak minder. Mereka bergaul dengan masyarakat secara umumnya tanpa rasa takut dan dikucilkan. Mereka merasa sebagai warga masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

D. Modal Sosial Kaum Difabel Dalam