Sejarah Tanjidur FUNGSI TANJIDUR DI TANJUNG RAJA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN.
di lapangan terdapat perbedaan. Saat observasi penulis mengungkapkan bahwa pemain tanjidur di grup Marta berjumlah 14 orang pemain, sedangkan dalam
penelitian langsung di lapangan jumlah personil grup Marta berjumlah 10 orang pemain dan 2 orang pengusung, setelah dilakukan penelitian lebih lanjut hal itu
disebabkan oleh berkurangnya jumlah pemain, yang dikarenakan pemainnya telah meninggal dunia dan hingga saat ini diakui sulit untuk mendapatkan peran
pengganti karena kurangnya minat warga terutama kaum muda. Berkurangnya pemain tanjidur ini dikhawatirkan lama-kelamaan dapat mengancam keberadaan
tanjidur di Ogan Ilir yang disebabkan oleh tidak adanya penerus untuk generasi berikutnya. Tanjidur bisa hilang dan punah, hal ini sangat mengkhawatirkan
karena tanjidur merupakan satu-satunya musik tradisional yang lahir dari Kabupaten Ogan Ilir. Berikut merupakan nama para pemain dan perannya di
tanjidur dalam upacara khitanan. 1. Bpk. Hajat usia 62, sebagai pemain tanjidur dari Desa Muara Meranjat
2. Bpk. Mamat usia 72, sebagai pemain sax alto dari Desa Pamulutan Ilir 3. Bpk. Cikwa usia 65, sebagai pemain clarinet dari Desa Sentul
4. Bpk. Alamsyah usia 61, sebagai pemain terompet dari Desa Tanjung Raja
5. Bpk. Nasir usia 60, sebagai sax alto dari Desa Sribambang 6. Bpk. Zaini usia 60, sebagai sax tenor Desa Pamulutan
7. Bpk. Soleh usia 39, sebagai pemain bas Desa Tanjung Raja 8. Mang Net usia 50, sebagai pemain trombone dari Desa Pajar Bulan
Tanjung Baru
9. Bpk. Ruslan usia 40, sebagai pemain snare drum dari Desa Tanjung Raja
10. Bpk. Darwin Hayat usia 40, sebagai pemain terompet dari Kota Palembang
Sebelum tampil alat-alat tanjidur akan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu oleh para pemain dan melakukan sedikit pemanasan. Berikut merupakan
alat musik dan pelengkap yang sebelumnya disiapkan oleh pemain. 1. 2 buah terompet
2. 3 buah saxophone 3. Clarinet
4. Tambursnare drum 5. Bass
6. Trombone 7. Tanjidur
8. 2 orang pengusung tanjidur
Gambar 1.9 : Persiapan Alat-Alat Tanjidur Sebelum Tampil
Dokumentasi : Ghafiqa, April 2016
Gambar 2.0 : Pemain Tanjidur Melakukan Pemanasan Sebelum Tampil
Dokumentasi : Ghafiqa, April 2016
Kostum yang digunakan oleh para pemain saat tampil bukanlah kostum khusus. Kostum dan lagu yang dimainkan mengikuti tema acara saat itu. Di dalam
acara khitan, biasanya mereka hanya mengenakan baju koko yang warnanya telah disepakati bersama, sedangkan lagu yang dimainkan adalah lagu yang bernuansa
islami yang dikenal masyarakat dengan nama sarafal anam. Sarafal anam merupakan sebuah kesenian yang berbentuk permainan musik
dengan menggunakan beberapa alat musik sama seperti tanjidur, tetapi memiliki perbedaan pada jenis alat musik yang digunakan dan bentuk penyajiannya.
Sarafal anam menggunakan alat musik rebana dan di dalamnya terdapat sebuah lirik lagu, lirik tersebut merupakan doa-doa yang disampaikan lewat nyanyian,
penyajiannya pun dilakukan dengan gerakan-gerakan khusus. Seperti yang disampaikan oleh bapak Mamat dalam wawancaranya bahwa pada awalnya
sarafal anam dan tanjidur merupakan kesenian yang berbeda, sarafal anam hanya digunakan untuk acara yang bersifat islami, sedangkan tanjidur adalah kesenian
yang bisa digunakan untuk acara apapun termasuk acara yang bernuansa islami. Seiring berjalannya waktu kedua kesenian ini pernah digabungkan dalam satu
pertunjukan seperti pernikahan dengan bentuk penyajiannya masing-masing, tetapi saat ini sarafal anam sudah jarang digunakan oleh masyarakat di sana
sehingga perannya digantikan oleh tanjidur dan pertunjukannya tidak lagi digabungkan dengan kesenian lain. Kini sarafal anam dimainkan dengan
penyajian yang berbeda, sarafal anam pada tanjidur hanya dimainkan lewat permainan instrumen musik saja tanpa menggunakan nyanyian dan gerakan-
gerakan khusus seperti pertunjukan sarafal anam pada umumnya, tetapi tetap
memiliki makna yang sama yaitu pemujaan umat muslim kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW. Itulah mengapa masyarakat menyebut
musik yang dimainkan tersebut dengan sarafal anam. Sedikit informasi yang diperoleh dari bapak Mamat tentang makna musik tanjidur dalam acara khitan ini
yaitu menunjukkan bahwa Tuhan adalah zat Yang Maha Besar dengan segala kuasanya, maka dari itu bagi seluruh makhluk termasuk manusia dianjurkan untuk
menjadi sebaik-baiknya makhluk agar dapat selamat, lalu didoakanlah keselamatan baginya.
Dalam acara khitan dilakukan prosesi arak-arakan, menurut sejarah yang diketahui
oleh masyarakat
arak-arakan ini
dilakukan tujuan
untuk mempublikasikan kepada masyarakat jika ada seorang anak laki-laki yang telah
beranjak dewasa serta bertujuan menjadikan anak yang sedang di khitan tersebut sebagai raja. Arak-arakan ini diiringi tanjidur dan diikuti oleh sanak saudara serta
warga desa agar suasana kebahagiaan yang dirasakan keluarga semakin meriah. Ketika diarak anak tersebut menaiki kereta kuda-kudaan yang dikenal dengan
Joli, kereta tersebut ditarik oleh beberapa orang, di dalamnya terdapat 3 orang putri dan 1 orang laki-laki, mereka dijadikan sebagai pendamping anak yang
sedang di khitan, biasanya yang menjadi pendamping tersebut merupakan saudara atau keluarga dari anak yang di khitan itu sendiri. Prosesi arak-arakan ini telah
ada di Sumatera Selatan sejak abad ke-16 jauh sebelum tanjidur lahir di daerah tersebut, Karena seperti yang telah diketahui sebelumnya budaya Barat masuk ke
wilayah Ogan Ilir pada abad ke-18. Tradisi ini kemudian menyebar disetiap daerahnya dengan istilahnya masing-masing. Saat penampilan berlangsung grup
tanjidur berada dibelakang kereta joli. Sedangkan warga lain yang ikut menyaksikan arak-arakan ini berada dipinggir jalan dan didepan rumah mereka
masing-masing.
Gambar 2.1 : Kereta Joli Saat Arak-Arakan Dalam Acara Khitan
Dokumentasi : Ghafiqa, April 2016
Gambar 2. 2 : Posisi Pemain Tanjidur Saat Sesi Arak-Arakan
Dokumentasi : Ghafiqa, April 2016
2. Penyajian tanjidur saat pernikahan Menurut hasil wawancara terhadap bapak Mamat penyajian tanjidur saat
pernikahan tidak jauh berbeda dengan penyajian saat acara khitan, seperti biasa para pemain menyiapkan alat musik dan pelengkap terlebih dahulu. Kemudian
melakukan sedikit pemanasan. Di dalam pernikahan adat arak-arakan tetap dilakukan. Arak-arakan dimulai dari rumah sang pengantin laki-laki diikuti oleh
keluarga pengantin menuju rumah pengantin perempuan yang juga menggunakan kereta joli, kemudian mereka menuju kepintu masuk panggung pelaminan dan
disambut oleh para penari. Biasanya pernikahan dilakukan di rumah pengantin wanita, tetapi jika pernikahan berlangsung di gedung pernikahan arak-arakan
dimulai dari depan gerbang menuju pintu masuk gedung pernikahan, kemudian kedua pengantin akan disambut oleh penari dan mengiringi mereka hingga naik
ke atas panggung, tetapi tanjidur akan berhenti bermain ketika mereka sudah sampai dipintu masuk gedung maupun pintu masuk panggung. Karena musik
akan digantikan dengan musik tari yang biasanya menggunakan kaset CD, tarian tersebut bernama Tari Sambut. Di sini tanjidur hanya berperan sebagai pengiring
kedua pengantin menuju pintu pelaminan bukan mengiringi tarian. Lagu yang mereka bawakan saat arak-arakan sama seperti khitan yaitu lagu yang bernuansa
islami yang dikenal dengan sarafal anam. Setelah acara khusus telah dilaksanakan biasanya dilanjutkan dengan acara hiburan, di sana tanjidur mulai
dimainkan lagi. Lagu yang mereka bawakan sesuai dengan permintaan para tamu undangan, tetapi tetap mengikuti batas kemampuan dari para pemain. Kostum
yang digunakan oleh para pemain biasanya menggunakan baju koko yang warnanya juga telah disepakati bersama.
3. Penyajian tanjidur saat acara pemerintahan Menurut hasil wawancara terhadap bapak Mamat dalam acara
pemerintahan seperti biasa mereka menyiapkan alat musik dan melakukan pemanasan terlebih dahulu. Berbeda dengan acara khitan dan pernikahan, di
dalam acara pemerintahan arak-arakan tidak dilakukan. Contoh hari kemerdekan Republik Indonesia, mereka akan di undang ke tempat di mana acara akan
dilaksanakan. Para pemain ditempatkan di tempat khusus sebagai pemain instrumen musik untuk menyambut para tamu-tamu besar seperti wali kota dan
orang-orang penting lainnya. Musik yang dimainkan hanya musik ritmis saja sebagai bentuk penghormatan dalam penyambutan. Saat acara dimulai lagu yang
dibawakan adalah lagu daerah dan lagu nasional yaitu lagu 17 Agustus 1945. Kostum yang digunakan oleh para pemain biasanya menggunakan pakaian rapi
yang warnanya juga telah disepakati bersama. Di dalam satu acara pernikahan dan khitanan, waktu yang dihabiskan oleh
grup tanjidur ini mencapai 3 hingga 4 jam, sedangkan dalam acara pemerintahan grup ini bermain musik bisa menghabiskan waktu dari pagi hingga sore. Tetapi
hal yang sangat menyedihkan adalah upah yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan terutama ketika mereka ditugaskan dalam acara
pemda atau pemerintahan, mereka hanya mendapat upah 50 ribu per-orang termasuk pemilik tanjidur tersebut, sedangkan di dalam acara warga seperti
khitanan dan pernikahan upah yang mereka dapatkan kisaran 150 ribu per-orang dan bapak Hayat selaku pemilik mendapatkan paling banyak 500 ribu. Seperti
yang dikatakan bapak Mamat pada wawancara tanggal 25 Maret 2016 bahwa: “nanggung badan ame disewa pemda, kite begerak dari pagi tengka sore
anye cuma dapat 50 hibu per-jeme hancur badan kalo disewa oleh pemda, kita kerja dari pagi hingga sore hanya mendapatkan 50 ribu per-
orang.” Di sini dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini tanjidur memang masih
digunakan oleh pemerintah setempat, tetapi mereka mengakui tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah itu sendiri, jangankan untuk
memajukan tanjidur ini, menghargai kesenian ini dari hasil kerja keras mereka pun tidak terlihat. Kelengkapan alat musik yang mereka miliki tidak pernah
mendapatkan bantuan dari pemerintah sebagai bentuk kepedulian bahwa pemerintah mendukung kelestarian tanjidur ini. Alat yang mereka miliki dibeli
sendiri oleh Ayah dari bapak Hayat. Jika terjadi sesuatu dengan alat musik Ayah bapak Hayat harus membawanya ke Palembang hingga ke luar kota melihat
sulitnya toko alat musik Barat ini ditemukan. Mereka mengakui sejujurnya tidak menjadi masalah jika memang mereka tidak dibayar sekalipun, tetapi tanjidur
merupakan alternatif lain bagi seluruh anggota untuk mendapatkan penghasilan sampingan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus untuk melestarikan
dan mengenalkan tanjidur ini kepada masyarakat luas. Setelah melakukan wawancara, penulis di antarkan oleh bapak Rian menuju
rumah sanak keluarga beliau yang ada di sana. Seperti sebelumnya penulis disambut dengan sangat baik oleh keluarga. Selama berada di sana penulis hanya
memperhatikan kehidupan masyarakat setempat, berjalan-jalan keliling desa
ditemani oleh keponakan dari bapak Rian. Saat tinggal di sana penulis dihidangkan pindang ikan patin khas dari desa ini, aromanya membuat perut
terasa lapar, dan rasanya begitu istimewa. Makan pindang memang bukanlah kali pertama bagi penulis, tetapi memakan pindang meranjat di desa tempat pindang
ini di buat pertama kalinya dan dihidangkan oleh tangan orang asli meranjat adalah pengalaman yang pertama. Pindang ini rasanya begitu berbeda dengan
pindang yang dijual di rumah-rumah makan.
Gambar 2.3 : Pindang Ikan Patin Khas Muara Meranjat
Dokumentasi : Ghafiqa, Maret 2016
Beberapa hari tinggal memang belum cukup untuk mengenal kehidupan sehari-hari masyarakat di sana dengan baik, tetapi beberapa hari itu tetap menjadi
pengalaman yang luar biasa. Penulis memang bukanlah warga desa tersebut tetapi masyarakat begitu baik sehingga penulis merasa berada di rumah sendiri.
Penelitian ini juga dapat berjalan dengan lancar berkat dukungan dan kerjasama dari semua masyarakat, terutama anggota tanjidur.