Kepemimpinan mudir Pondok Pesantren al-Ittfaaqiah indralaya ogan ilir Sumatera Selatan

(1)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh: EKO ARISANDI

104018200654

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM - MANAJEMEN PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan" yang disusun oleh Eko Arisandi

dengan nomor induk mahasiswa 104018200654 Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah serta berhak diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

J akarla, 5 September 201 |

Yang Mengesahkan:

Pembimbing

/A"

Dra. Yefneltv Z. M.Pd.


(3)

nomor induk mahasiswa 104018200654 telah dinyatakan lulus oleh dewan penguji dalam ujian munaqasah pada tanggal 16 September 2Q11. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu S1 (S.Pd.) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 1 September 201 I Panitia Uj ian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program

Studi)

Tanggal Tanda Tangan

Drs. Rusydy Zakaria" M.Ed.. M.Phil NIP: 19560530 198503 I 002

Sekretari s (Sekretaris JurusanlProgram Studi)

Fauzan, MA

NIP: 19761107 200701

I

013

Penguji I

J

Prof. Dr. Abudin Nata. MA NIP: 196540802 198503 L002

Penguji II

Akbar Zainuddin. MM

ry/et

r

t2/

r

/E/?at

Mengetahui


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

NIM

Program Studi Jurusan

Fakultas

Judul Skripsi

Eko Arisandi

10401 82006s4

Manajemen Pendidikan

Kependidikan Islam

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Efektivitas Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah

Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan

dengan

ini

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

J akarta, 5 September 201 1 Penulis

t;

Iv\ETERAI Nnz


(5)

iii

KEPEMIMPINAN MUDIR PONDOK PESANTREN AL-ITTIFAQIAH INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

Dewasa ini pondok pesantren telah mengalami transformasi kelembagaan secara signifikan. Trasformasi kelembagaan pondok pesantren mengindikasikan terjadinya kesinambungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren dengan tidak menggeser ciri khas dan kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia (indigenous). Pergeseran fungsi di atas berpengaruh pula pada sistem manajerial pesantren menjadi organisasi impersonal yang dikelola menurut tata aturan manajemen modern. Dalam pelembagaan semacam ini pembagian wewenang dalam tatalaksana kepengurusan diatur secara fungsional.

Kepemimpinan yang umumnya diterapkan di pesantren, sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren. Sudah menjadi common sense bahwa pesantren sangat identik dengan figur kyai pimpinan atau pengasuh pesantren. Kyai merupakan faktor inti dan figur sentral di pesantren karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya.Kepemimpinan individual-karismatik dalam pesantren untuk kepentingan tertentu sangat dibutuhkan, namun sekaligus juga dapat menjadi kelemahan pesantren. Sehingga dalam banyak kasus, pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya kyai pendiri pesantren. Hal ini pula bersinggungan langsung dengan tuntutan dunia pendidikan terhadap penerapan profesionalisme pendidikan yang pada gilirannya akan menggeser dominasi kepemimpinan kyai di lingkungan pesantren. Dengan demikian, kepemimpinan tunggal kyai dipandang tidak memadai lagi dan status pesantren sebagai milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan milik pribadi.

Pondok Pesantren al-Ittifaqiah yang terletak di jantung kota Indralaya Ibukota Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen. Kyai pimpinan pesantren (Mudir) sebagai top leader dipilih dan dikukuhkan oleh yayasan untuk memimpin pesantren. Kondisi ini memungkinkan bagi kyai untuk membagi dan mendistribusikan wewenangnya kepada pengurus pesantren sesuai jabatan masing-masing. di samping itu mudir juga berkonsultasi dengan penasehat pesantren serta pihak-pihak lain yang berkompeten dan berkepentingan (stake holder).

Selanjutnya bagaimana penerapan kepemimpinan mudir pesantren dan pengaruhnya terhadap efektivitas pengelolaan pesantren, menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sehingga penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif yang penulis lakukan terhadap kepemimpinan mudri pesantren ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyeluruh dan utuh mengenai Kepemimpinan Mudri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan. Dan dari penelitian tersebut diketahui bahwa Pondok Pesantren al-Ittifaqiah telah melakukan transformasi kepemimpinan dengan menerapkan tradisi kepemimpinan kyai pesantren yang dipadukan dengan mekanisme manajemen dalam pengelolaan pesantren.


(6)

iv

Sepenuh tulus penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT Sang Maha Sempurna, Penguasa alam semesta, Pengijabah segala doa dan cita. Berkat keberkahan dan keridhoan-Nya penelitian ini dapat penulis selesaikan hingga dapat dipertahankan dihadapan dewan penguji dalam sidang munaqasah. Semoga Allah SWT meruahkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sang pembawa risalah, penuntun umat dengan uswah dan qudwah, penebar rahmat untuk mencapai hasanah dunia dan akhirat.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis dalam rangka mencapai gelar Sarjana Islam (S.Pd.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat keterlibatan banyak pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih atas perhatian, dorongan, dan bantuan semua pihak yang telah menjadi motivasi bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir dan bisa merampungkan perkuliahan. Dengan penuh ketulusan penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menempuh pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya.

2. Drs, Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam dan Drs. Muarif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan yang telah memberikan nasehat, arahan dan kemudahan akademik kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan skripsi.

3. Drs. H. Nurochim, M.M, Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi, bimbingan, dan bantuan selama menjalani pendidikan sampai akhir perkuliahan.


(7)

v

5. Drs. KH. Mudrik Qori, MA., Mudri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah yang telah memberikan segala kemudahan selama proses penelitian di pesantren ini. Terimakasih juga kepada para guru dan kyai, mudah-mudah prose yang dilewati di pondok menjadi bekal keberkahan di masa depan.

6. Penuh cinta dan sayang untuk Ayahanda Mil Kondi dan Ibunda Raira Wati,

do’a dan perjuangan yang penuh ikhlas diberikan kepada ananda telah menjadi kekuatan bagi ananda dalam menjalani proses kehidupan. Untuk saudariku

tercinta Fitra Aryansi dan suaminya Indra Gunawan serta “pelita keluarga”

Firza Adindya Sujjada, mudah-mudah dengan keridhoan Ayah-Bunda keluarga kita senantiasa dihiasai kebahagian dan keberkahan.

7. Skripsi ini juga penulis persembahkan dengan penuh ta’zim atas perhatian kakak-kakak yang menjadi inspirasi dan motivasi dalam proses perkaderan yang saya lewati.

8. Keluarga besar IKAPPI Jakarta, PPI, dan seluruh pengurus, aktivis dan kader HMI se-Cabang Ciputat, perjalanan kita masih panjang, yakusa!!!

9. Teman-teman kelas KIMP B 04, Alumni PPI 2000, 2003, semoga kebersamaan kita selama ini menjadi pengikat silaturrahim ketika kita terpisah cita-cita dan jalan hidup masing-masing.

10.Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FITK, dan Perpustkaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menyediakan sumber referensi selema penulisan skripsi.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pijakan bagi perkembangan akademik penulis untuk melangkah pada tahap selanjutnya.

Ciputat, 23 September 2011


(8)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...…………. i

HALAMAN PENGESAHAN………. ii

ABSTRAK ...……… iii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI ………... vi

DAFTAR TABEL ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. viii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah……….…….. 1. Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………...…....……... 2. Identifikasi Masalah……….…………... 3. Pembatasan Masalah………..…...…….. 4. Perumusan Masalah……….……... B. Manfaat Penelitian………...…….……… 1 7 8 8 8 9 BAB II KAJIAN TEORITIS………..... 10

A. Konsep Dasar Kepemimpinan………. 1. Pengertian Kepemimpinan………... 2. Karakteristik Dasar Kepemimpinan………..… B. Kepemimpinan Pesantren………...….

1. Pengertian dan Tipologi Pesantren………....

a. Pengertian Pesantren……….

b. Tipologi Pesantren………

2. Kepemimpinan dalam Tradisi Pesantran……… 3. Transformasi Kepemimpinan Pesantren………

4. Efektifitas Kepemimpinan Pesantren……….…

10 10 13 16 16 16 20 27 27 36


(9)

v

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 43 A. Tujuan Penelitian………. B. Tempat dan Waktu Penelitian………...

C. Metode Penelitian.………

D. Populasi dan Sampel………

E. Instrumen Penelitian……… F. Teknik Pengumpulan Data……….. G. Teknik Pengolahan Data……….. H. Teknik Analisis Data………...

43 43 43 44 49 50 51 51

BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 56 A. Deskripsi Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir

Sumatera Selatan………...

1. Gambaran Pesantren di Ogan Ilir Sumatera Selatan…… 2. Sejarah Pondok Pesantren al-Ittifaqiah……… a. Pengajian Tradisional (1918-1922)……… b. Madrasah Ibtidaiyah Sisayasiyah Alamiyah

(1922-1942)……….

c. Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga

(1949-1962)…... d. Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga

(1962-1967)... e. Madrasah Menengah Atas (MMA) al-Ittifaqiah

Indralaya (1967-1976)………. f. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya

(1976-sekarang)………..

3. Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah………...

a. Tipe dan Ciri Khas………...

b. Visi dan Misi………

c. Program Pendidikan………. 56 56 58 58

60

62

63

64

66 71 72 73 74


(10)

vi

d. Pengurus, Guru, dan Karyawan...…………

e. Keadaan Santri…...………...

4. Gambaran Kepemimpinan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah

B. Uji Kualitas Data……….………..

1. Karakteristik Responden………...

2. Uji Validitas dan Ralibilitas Data………..

a. Uji Validitas………..

b. Realibitas data………...

C. Deskripsi Data………..………

D. Analisis dan Interpretasi Data……….

75 78 79 75 75 80 80 83 85 102

BAB III PENUTUP……….. 105 A. Kesimpulan...

B. Saran...

105 106

DAFTAR PUSTAKA ………. 107 LAMPIRAN-LAMPIRAN……….. 111


(11)

1. Daftar Responden Pengisi Angket 3.1 44

2. Keterangan pengisian daftar responden 3.2 46

3. Jenis Kelamin Responden 3.3 47

4. Tingkat Usia Responden 3.4 47

5. Masa Bekerja Responde 3.5 48

6. Tingkat Pendidikan Responde 3.6 48

7. Kisi-kisi Instrumen Penelitian 3.7 49

8. Dafatar rekapitulasi uji validitas 3.8 52

9. Pengitungan Realibilitas 3.9 55

10. Daftar Pengurus, Guru, Karyawan dan Pengabdi PPI Tahun Pelajaran 2008-2009

4.1 75

11. Jumlah Pengurus dan Karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah

4.2 78

12. Jumlah Santri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah 4.3 79 13. Pertanyaan angket 1.

Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren.

4.4 85

14. Pertanyaan angket 2.

Keluarga atau keturunan Kyai Pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren.

4.5 86

15. Pertanyaan angket 3.

Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan menetapkan pimpinan pesantren.

4.6 87

16. Pertanyaan angket 4.

Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren

4.7 87

17. Pertanyaan angket 5.

Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren

4.8 88

18. Pertanyaan angket 6.

Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren.


(12)

20. Pertanyaan angket 8.

Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren.

4.11 90

21. Pertanyaan angket 9.

Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan

karyawan.

4.12 91

22. Pertanyaan angket 10.

Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren.

4.13 91

23. Pertanyaan angket 11.

Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren.

4.14 92

24. Pertanyaan angket 12.

Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren.

4.15 93

25. Pertanyaan angket 13.

Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan.

4.16 93

26. Pertanyaan angket 14.

Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren.

4.17 94

27. Pertanyaan angket 15.

Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren.

4.18 95

28. Pertanyaan angket 16.

Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.

4.19 95

29. Pertanyaan angket 17

Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan.


(13)

31. Pertanyaan angket 19.

Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren

4.22 97

32. Pertanyaan angket 20.

Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.

4.23 98

33. Pertanyaan angket 21.

Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan.

4.24 99

34. Pertanyaan angket 22.

Diterapkan aturan dan mekanisme dalam

menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan.

4.25 99

35. Pertanyaan angket 23.

Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren.

4.26 100

36. Pertanyaan angket 24.

Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren

4.27 101

37. Pertanyaan angket 25.

Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan.

4.28 101

38. Penerapan Transformasi Kepemimpinan 4.29 102

39. Penetapan arah organisasi 4.30 103

40. Pengembangan sumber daya manusia 4.31 103


(14)

viii 3. Surat Izin Penelitian

4. Surat Keterangan Melakukan Penelitian 5. Angket Penelitian

6. Hasil Wawancara


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mendiskusikan kepemimpinan pondok pesantren sangat erat kaitannya dengan proses modernisasi pesantren sebagai implementasi strategi akomodatif-transformatif terhadap pola kehidupan masyarakat yang dilakukan pesantren. Trasformasi kelembagaan pondok pesantren mengindikasikan terjadinya kesinambungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren dengan tidak menggeser ciri khas dan kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia (indigenous)1.

Pesantren umumnya dipandang sebagai basis pendidikan Islam tradisional yang mempunyai identitas tersendiri sebagai “subkultur”2 yang di dalamnya tumbuh dan berkembang suatu “tradisi” yang unik dan berbeda dengan kenyataan di luar pesantren. Namun dihadapkan pada keharusan menghadapi gelombang modernisasi pendidikan Islam serta mempertahankan eksistensinya –dengan tetap mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy)– pesantren menerima modernisasi.3 Pesantren berkompromi dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern,

1

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 3

2

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 1

3

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,


(16)

khususnya dalam kandungan kurikulum, tehnik dan metode pengajaran, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinnya bisa tetap survive dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Dewasa ini pondok pesantren telah mengalami transformasi kelembagaan secara signifikan. Sebagian pesantren tidak lagi dikelola secara tradisional melainkan sudah mengembangkan manajemen organisasi yang relatif modern dan memiliki status badan hukum yang jelas dalam bentuk yayasan.4 Dengan demikian, asumsi bahwa pesantren elergi terhadap perubahan jelas tidak beralasan, sebab dinamika pesantren terbukti telah banyak yang jauh melampaui “definisi” awal dan fungsi tradisionalnya.5 Dewasa ini, pesantren berkembang tidak hanya sebagai lembaga keagamaan yang berfungsi sekedar untuk tafaqquh fi ad-din (menguasai ilmu pengetahuan agama)6 dalam makna sempitnya, dan tidak pula dipahami sekedar berfungsi: mentrasmisikan ilmu-ilmu keislaman, memeilihara tradisi Islam, dan mereproduksi ulama.7 Meskipun harus diakui tidak sedikit pula pesantren yang tetap bersikukuh dengan pola tradisonalnya yaitu pesantren yang diarahkan semata-mata sebagai lembaga pencetak ulama.8

Sejak mengadopsi pendidikan berkelas (madrasah dan sekolah) mulai bermunculan jenis pesantren baru produk alam modern; pesantren yang tumbuh berkembang di perkotaan, pesantren yang tidak sekedar mengkaji kitab kuning (literatur Islam klasik) tetapi juga literatur modern.9 Di beberapa tempat bahkan, telah muncul pesantren pertanian, pesantren peternakan, dan sejenisnya. Gambaran perkembangan pesantren ini menunjukkan bahwa dewasa ini pesantren tidak lagi bisa dilihat semata-mata sebagai lembaga

4

Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 96

5

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h. 57-58

6

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), h. 157

7

Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), h. 89

8

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999),

9E. Shobrin Nadj, “Persfektif Kepemimpinan dan Manajemen Pesantren” dalam M. Dawam

Rahardjo (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 116


(17)

pendidikan agama, melainkan juga sebagai agen pemberdayaan pendidikan ekonomi masyarakat dan lembaga sosial.

Pergeseran fungsi di atas berpengaruh pula pada sistem manajerial pesantren10 menjadi organisasi impersonal yang dikelola menurut tata aturan manajemen modern. Pembaruan kelembagaan ini didorong pula kebijakan pemerintah yang mengintrodusir bentuk yayasan sebagai badan hukum pesantren.11 Dalam pelembagaan semacam ini pembagian wewenang dalam tatalaksana kepengurusan diatur secara fungsional.

Sudah menjadi common sense bahwa pesantren sangat identik dengan figur kyai pimpinan atau pengasuh pesantren. Kyai merupakan faktor inti dan figur sentral di pesantren karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya.12 Sering kali kyai juga merupakan pendiri pesantren,13 sehingga perluasan dan penentuan corak pesantren sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian kyainya. Kyai juga sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetahuan, dan misi pesantren yang cenderung tidak mengikuti suatu pola tertentu.14 Keadaan inilah yang membangun pola kepemimpinan sentralistik kyai dalam mengasuh dan mengelola pesantren.

Kedudukan kyai yang sangat kuat dan menentukan ini diidentifikasi sebagai kepemimpinan individual kyai,15 otoriter-paternalistik,16 dan feodal karismatik,17 yang menerapkan manajemen alami yang serba “tidak formal”,18

10

Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaruan; Arah dan Implikasi”, dalam Abudin Nata (ed.),

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,

(Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2001), h. 158

11E. Shobrin Nadj, “Persfektif Kepemimpinan dan Manajemen…, h. 116

12

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 255

13

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 55

14

Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), h. 97

15

Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h.40

16

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam..., h. 114

17

Amin Haedari, Transformasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), h. 12

18Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen Pedidikan Pesantren”, dalam Ismail SM., Nurul

Huda, dan Abdul Kholiq (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar),h. 107


(18)

akibatnya belum ada bentuk yang tetap dan teratur dalam kepemimpinan pesantren.19 Dengan demikian, wajar bila muncul anggapan, pesantren

diibaratkan sebagai “kerajaan kecil” di mana kyai merupakan sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan di dalamnya.20 Sebagai pemilik kerajaan kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren.

Kepemimpinan yang individual dalam pesantren untuk kepentingan tertentu sangat dibutuhkan, namun sekaligus juga dapat menjadi kelemahan pesantren. Sifat mutlak dan pribadi kepemimpinan karismatik21 kyai sebagai pimpinan pesantren ini diperlukan pada tahap pertama perkembangan pesantren. Kesetian yang bersifat pribadi sukar diterjemahkan menjadi kesetian pada suatu lembaga; ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya kyai pendiri pesantren.22 Hal ini disebabkan karena pengganti kyai yang menjadi penerus kepemimpinan pesantren tidak memiliki karisma dan ketokohan yang sama dengan kyai sebelumnya baik dalam pengetahuan Islam maupun dalam kepemimpinan organisasi.23

Mencermati keadaan di atas, kepemimpinan yang umumnya diterapkan di pesantren, sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren. Hal ini pula bersinggungan langsung dengan tuntutan dunia pendidikan terhadap penerapan profesionalisme pendidikan yang pada gilirannya akan menggeser dominasi kepemimpinan kyai di lingkungan pesantren.24 Dengan demikian, kepemimpinan tunggal kyai dipandang tidak memadai lagi25 dan status pesantren sebagai milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan milik pribadi.26

Dengan gejala baru ini, tanpa mengurangi peran kyai sebagai pimpinan tertinggi sebuah pesantren, maka sistem manajerialnya harus mengarah

19

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 179

20

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 56

21

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 180

22

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 16

23

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 33

24

Amin Haedari, Transformasi Pesantren…, h. 12

25

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi…, h. 104

26


(19)

kepada pola kepemimpinan kolektif sesuai hirarki kepemimpinan atau sistem kepemimpinan multi-leaders.27 Langkah kepemimpinan seperti ini menuntut adanya pembagian tugas sesuai kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin yang ditunjuk sekaligus berfungsi menjaga pergantian kepemimpinan. Dengan kata lain, kelangsungan eksistensi pesantren kemudian tidak lagi bergantung kepada seorang kyai sebagai pemimpin tertinggi secara manunggal.

Kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi pada aspek kepemimpinan dan manajerial, sehingga pada perkembangan saat ini banyak pesantren yang mengembangkan kepemimpinan kolektif. Keadaan seperti ini tak terelakkan juga menyentuh Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan.

Pondok Pesantren al-Ittifaqiah didirikan pada 10 Juli 1967 oleh almarhum KH. Ahmad Qori Nuri (1911-1996) bersama masyarakat Indralaya. Pesantren ini memiliki sejarah panjang sebagai ahli waris perguruan Islam yang didirikan oleh ulama karismatik KH. Ishak Bahsin sejak tahun 1981.28 KH. Ahmad Qori Nuri dikenal sebagai sosok ulama yang mempunyai integritas tinggi dan konsisten, tetapi juga berpikirna modern dan berwawasan luas, dalam diri beliau berpadu antara konsistensi terhadap tradisi salaf dan khalaf sekaligus. Salah satu alasan lembaga pendidikan ini mengambil bentuk pondok pesantren adalah penolakan beliau terhadap tawaran pemerintah untuk menjadikan lembaga pendidikan ini berbentuk murni madrasah 29

Pondok Pesantren al-Ittifaqiah merupakan salah satu pesantren terkenal di Sumatera Selatan. Dari 20 pesantren yang berada di kabupaten Ogan Ilir menurut data Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan (FORPESS) pada 2007,30 Pondok Pesantren al-Ittifaqiah termasuk pesantren besar yang memiliki jaringan internasional.31

27Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen

..., h. 117

28

Tim Penyusun Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia 2008-2009,(Indralaya: PPI, 2008), h. 1-2

29

Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya…, h. 4

30

Hedra Zainuddin, (eds), Sewindu FORPESS; Geliat Pesantren di Sumatera Selatan,

(Palembang: FORPESS, 2007), h. 96

31


(20)

Pesantren yang terletak di jantung kota Indralaya Ibukota Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan ini memiliki pendidikan formal Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an. Pesantren al-Ittifaqiah tetap mempertahankan pembelajaran kitab kuning yang sejak awal pendirian merupakan salah satu sumber belajar, sehingga kurikulum yang digunakan adalah kurikulum integrasi yang merupakan perpaduan antara kurikulum lokal dan kurikulum nasional. Pesantren Ittifaqiah menjadikan pendidikan

al-Qur’an sebagai program unggulan disamping penguasaan bahasa Arab dan

Inggris sebagai program mahkota (crown program) yang dibingkai dalam kegiatan ko kurikuler, serta kegiatan ekstra kurikuler seperti muhadharah, nagham al-Qur’an, organisasi, olahraga, seni, dan keterampilan lainnya.32

Penelitian terakhir tentang pesantren al-Ittifaqiah yang dilakukan Muhyidin dalam tesisnya di Sekolah Pascasarjana UIN Sarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008, berjudul Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan; menyebutkan bahwa pesantren al-Ittifaqiah menerapkan manajemen terbuka. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen. Kyai pimpinan pesantren (dikenal dengan istilah mudir al-ma’had atau direktur) sebagai top leader dipilih dan dikukuhkan oleh yayasan untuk memimpin pesantren.33 Kondisi ini memungkinkan bagi kyai untuk membagi dan mendistribusikan wewenangnya kepada pengurus pesantren sesuai jabatan masing-masing. di samping itu mudir juga berkonsultasi dengan penasehat pesantren serta pihak-pihak lain yang berkompeten dan berkepentingan (stake holder).34

32

Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya…, h. 11-12

33

Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 89-90

34


(21)

Pola kepemimpinan pesantren yang tumbuh mengikuti kultur pesantren yang mandiri dan independen, sehingga menjadikan pesantren lebih bebas dan tidak terikat sehingga secara otonom dapat menentukan bentuk pengelolaan pesantren sesuai kebutuhan dan keadaan pesantren itu sendiri. Berbeda dengan pesantren yang umumya menerapkan kepemimpinan individual-karismatik dan sangat identik dengan ketokohan figur kyai pendiri atau pimpinan pesantren, pesantren al-Ittifaqiah mengambil corak kepemimpinan kolektif-partisifatif yang memungkinkan terbukanya keterlibatan seluruh elemen pesantren dalam menentukan kebijakan dan penyelesaian permasalahan pesantren. Kepemimpinan seperti ini menggeser dominasi kepemimpimpinan kyai di pesantren dan menuntut adanya mekanisme manajerial yang modern, profesional dan demokratis dalam pengelolaan pesantren.

Kepemimpinan pesantren menjadi faktor penentu keberlangsungan eksistensi pesantren, dengan demikian upaya menerapkan model kepemimpinan kolektif dalam manajemen pesantren suatu ikhtiar pesantren terhadap permaslahan kepemimpinan pesantren sekaligus menjawab tuntutan profesionalisme pengelolaan pendidikan. Namun hal ini tentu dengan sendirinya akan bersentuhan atau bahkan bersinggungan dengan kekhasan dan keunikan tradisi yang selama ini berlaku di pesantren.

Membaca realitas perkembangan pesantren memerlukan pemahaman yang komprehensif dan interpretatif serta apresiasi mendalam terhadap tradisi pesantren. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah menurut penulis telah melakukan eksperimen dan perubahan fundamental dalam tradisi pesantren dengan konsep kepemimpinan yang diterapkannya, sehingga berbagai permasalahan yang berkenaan dengan penerapakan kepemimpinan di pesantren ini menurut penulis menarik untuk diteliti. Berusaha menggali cecara lebih mendalam permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul:

“Kepemimpinan Mudir Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan


(22)

B. Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukkan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang akan diteliti, yaitu:

a. Posisi kyai dalam tradisi pesantren yang sangat menentukan segala proses pengelolaan pesantren.

b. Pengaruh kepemimpinan mudir pesantren terhadap penerapan profesionalisme pengelolaan lembaga pendidikan.

c. Kelemahan kepemimpinan individual-karismatik dalam pengembangan pesantren.

d. Perkembangan budaya kepemimpinan yang berkembang di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.

e. Faktor yang mendukung dan menghambat proses penyelenggaraan kepemimpinan mudir di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.

f. Pengaruh kepemimpinan mudir terhadap tingkat efektivitas pengelolaan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.

g. Pengaruh kepemimpinan mudir terhadap tingkat efektivitas kinerja pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat masalah yang teridentifikasi dalam penelitian ini cukup luas, untuk memperjelas dan mempermudah pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah penelitian ini yaitu: a. Kepemimpinan mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan

Ilir Sematera Selatan.

b. Pengaruh kepemimpinan mudir pesantren terhadap efektivitas pengelolaan pesantren.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


(23)

a. Bagaimana kepemimpinan mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan?

b. Bagaimana pengaruh kepemimpinan mudir pesantren terhadap efektivitas pengelolaan pesantren?

C. Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis penelitian ini sebagai sarana memperluas wawasan tentang kepemimpinan pesantren, serta menambah pengetahuan tentang penerapan konsep dan metodologi penelitian.

b. Bagi para mahasiswa dan peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bahan informasi tentang kepemimpinan pesantren dan salah satu pesantren di Sumatera Selatan.

c. Bagi pimpinan dan pengurus pesantren, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan positif dalam meningkatkan efektivitas kepemimpinan dan pengelolaan pesantren.


(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Dasar Kepemimpinan 1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Sangat banyak definisi kepemimpinan yang dikemukakan para pakar manajemen sesuai dengan sudut pandang dan titik fokus mereka yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana dikutip Mulyadi, secara khusus Gary Yukl menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan secara bersama. Sebagaimana penjelasan berikut:

Leadership is defined broadly as influence process affecting the interpretation of events for followers, the choice of objectives for group or organization, the organization of work activities to accomplish the objectives, the motivation of followers to achieves, the maintenance of cooperative relationships and team work, and enlistment of support and cooperation from people outside the group or organization. (Kepemimpinan didefinisikan secara luas sebagai proses-proses yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau orang, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas tersebut untuk mencari sasaran, pemeliharaan hubungan, kerjasama dan teamwork, serta


(25)

perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau orang.)1

Kepemimpinan didefinisikan secara luas sebagai proses-proses yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau orang, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas tersebut untuk mencari sasaran, pemeliharaan hubungan, kerjasama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau orang.

Definisi ini memberikan pejelasan bahwa kepemimpinan merupakan proses-proses mempengaruhi, memotivasi, pengorganisasian aktivitas tersebut untuk mencapai tujuan sasaran. Motivasi untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dengan teamwork untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepemimpinan mencakup hubungan pemimpin dengan anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.

Dewasa ini, kepemimpinan tidak lagi dipahami secara organik tetapi merupakan dimensi organisasi yang mempunyai konstribusi untuk membangun budaya organisasi yang sehat. Hal ini misalnya sebagaimana dikemukakan Mulyadi dengan mengutip Owens, bahwa:

Leadership is function of group, not individual. We speak of course of individual as being leadership occurs of two of more people interacting. An interacting process one person is able to induce others to think and behave in certain desires ways that being up the second key point which in influence leadership involves intentionally exercising influence organization behavior of the people. (Fungsi kepemimpinan itu mencakup kepentingan kelompok, bukan perseorangan. Kita membicarakan tentang rangkaian individu sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan sendiri melibatkan dua orang atau lebih dalam berinteraksi. Proses interaksi perseorangan itu dapat mempengaruhi individu-individu yang lain dalam berfikir dan bersikap sesuai dengan caranya masing-masing yang akan menjadi poin kunci kedua dalam

1

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya Mutu (Studi

Multi Kasus di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, MAN Malang I dan MA Hidayatul Mubtadi’in


(26)

mempengaruhi kepemimpinan. Pengaruh tersebut akan menyangkut perilaku orang lain dalam sebuah organisasi yang diperoleh dari penanaman pengaruh yang terus dilakukan)2

Fungsi kepemimpinan itu mencakup kepentingan kelompok, bukan perseorangan. Kita membicarakan tentang rangkaian individu sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan sendiri melibatkan dua orang atau lebih dalam berinteraksi. Proses interaksi perseorangan itu dapat mempengaruhi individu-individu yang lain dalam berpikir dan bersikap sesuai dengan caranya masing-masing yang akan menjadi poin kunci kedua dalam mempengaruhi kepemimpinan. Pengaruh tersebut akan menyangkut perilaku orang lain dalam sebuah organisasi yang diperoleh dari penanaman pengaruh yang terus dilakukan.

Kutipan di atas menerangkan bahwa kepemimpinan merupakan dimensi hubungan sosial dalam organisasi dalam rangka memberikan pengaruh antara individu atau kelompok melalui interaksi sosial. Pemimpin hendaknya berupaya untuk membangun tradisi kelompok melalui hubungan kerja dengan anggota organisasi.

Para ahli manajemen berpendapat bahwa kepemimpinan sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan strategis, karena kempemimpinan merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh karena itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi.3

Riset-riset tentang pendidikan, misalnya yang dilakukan Borko, Wolf, Simone, dan Uchiyama, menunjukkan bahwa kepemimpinan memegang peranan penting atau menjadi fokus utama yang mendorong kesukesan upaya-upaya reformasi sekolah. Pada gilirannya, menurut Hill,

2

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 17-18

3

Fieldler Fred E., Martin M. Chamers, Leadership and Effective Management, by Scott, Foresman and Company, Glenview, 1974, dalam Wahjosumidjo, KepemimpinanKepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010), h. 4


(27)

Leithwood dan Riehl, kepemimpinan juga menentukan pencapaian prestasi sekolah secara keseluruhan.4 Dengan demikian, kepemimpinan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan sekolah termasuk pesantren secara keseluruhan. Di era perubahan ini, kepemimpinan sangat penting dalam memandu peningkatan prestasi dan pengembangan pesantren.

2. Karakteristik Dasar Kepemimpinan

Kajian-kajian karakteristik kepemimpinan berkembang seiring dengan perkembangan dinamika organisasi. Kepemimpinan efektif harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang tepat. Sehingga tujuan akhir dari tugas kepemimpinan mengoptimalkan semua potensi organisasi agar tercipta kinerja organisasi yang sehat sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efisien.5 Efektif berhubungan dengan pencapaian tujuan kerjasama yang bersifat sosial dan nonpersonal. Sedangkan efisiensi berhubungan dengan kepuasan motif-motif individual dan bersifat personal.6

Kepemimpinan menekankan pada hubungan perilaku pemimpin dengan lingkungan organisasi untuk memberikan kontribusi penting bagi efektivitas kepemimpinan. Faktor-faktor yang umumnya sangat dominan mempengaruhi perilaku seorang pemimpin menurut Ngalim Purwanto, yaitu: (1) keahlian dan pengetahuan yang dimiliki pemimpin, (2) jenis pekerjaan atau lembaga tempat pemimpin melaksanakan tugas, (3) sifat kepribadian pemimpin, (4) sifat kepribadian pengikut atau kelompok yang dipimpin, dan (5) kekuatan yang dimiliki pemimpin.7

Dalam kepemimpinan pesantren, menurut Abdullah Syukri, kriteria pemimpin merupakan satu kesatuan uswah hasanah yang tidak

4

Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 1

5

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 22

6

M. Ngalim Purwanto, Adminsitrasi dan Supervisi Kepemimpinan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 28

7


(28)

hanya mengandalkan kekuatan moral, tetapi juga etos kerja, keilmuan, dan produktifitas. Sehingga dalam kepemimpinan pesantren, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kualifikasi antara lain:

(1) ikhlas, (2) sungguh-sungguh, (3) memiliki wawasan pengalaman yang banyak dan matang, wawasan pemikiran, dan wawasan keilmuan, (4) memiliki nyali yang besar dan keberanian yang tinggi, (5) mampu bertindak tegas yang sesuai dengan sunnah dan disiplin pondok, (6) memiliki idealism yang tinggi, bukan hanya pragmatis, (7) memiliki pandangan yang jauh ke depan atau visioner, (8) selalu banyak mengambil inisiatif, (9) mampu membuat dan memanfaatkan jaringan kerja, (10) bisa dipercaya karena bisa berbuat, dan (11) jujur serta transparan.8

Berkenaan dengan karakteristik kepemimpinan menurut Guther dan Reed, sebagaimana dikutip Mulyadi, yaitu: visioner, inspiratif, orientasi strategis, integritas (pribadi profesional), sofistikasi organisasi (setting tujuan, insentif, unjuk kerja, seleksi personil, alokasi sumber daya, evaluasi dan nurturing).9 Lebih lanjut Mc. Gregor mengemukakan empat aspek yang mempengaruhi kepemimpinan, yaitu: karakteristik kepribadian pemimpin, sikap kebutuhan dan karakteristik pribadi pengikut, karakteritik organisasi: tujuan, struktur, sifat tugas yang harus dilaksanakan, keadaan lingkungan sosial, ekomonis, dan politis.10

Dengan demikian, kriteria personal seorang pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan faktor penentu produktifitas dan efektivitas, serta keberhasilan lembaga tersebut secara keseluruhan. Pandangan ini juga berlaku di dunia pesantren, karakteristik seorang kyai akan manjadi tolok ukur kepemimpinan organisasi secara kolektif dan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja pesantren secara keseluruhan.

8

Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor,

(Ponorogo: Trimurti Press, 2005), h. 199

9

Guther J.W. & Need R.J., Administration and Policy; Effective Leadhership for American Education (Boston: Allyn Bacon, 1991), p. 91; Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 25

10

Mc. Gregor, The Human Side of Interprises (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1960), p. 20; dalam Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya


(29)

Kepemimpinan juga merupakan upaya mengartikulasikan nilai, keyakinan, visi organisasi agar menjadi perilaku organisasi yang termanifestasi dalam budaya organisasi yang kuat. Sedangkan proses kepemimpinan berperan untuk bagaimana pemimpin menetapkan misi, mangertikulasikan tujuan-tujuan organisasi, merespon perubahan dan memantapkan komitmen antara anggota organsasi.11 Sehingga kepemimpinan akan menjadi strategis untuk menyikapi atau mengambil keputusan tentang perubahan internal dan eksternal organisasi yang sedang berlangsung. Karena itu, pemimpin dituntut responsif terhadap perubahan yang berlangsung cepat.

Inovasi yang dilakukan pimpinan pesantren dalam merespon

perubahan, sejalan dengan prinsip yang dianut pesantren, “al-muhafazatu

‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhzu bi al-jadid ashlah” (memelihara peninggalan lama yang baik, dan mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dengan kata lain, pimpinan pesantren selain mempertahankan sistem yang berlaku selama ini, juga perlu mentransfer sesuatu yang baru dalam sistem tersebut.12

Menurut Mc. Gregor, kepemimpinan mencakup kemampuan mengelola semua dimensi hubungan antara anggota organisasi yang kadang tidak menemukan batas-batas rasional meski dimensi birokratis selalu berlangsung sebagai upaya memecahkan masalah-masalah rutinitas organisasi.13 Sehingga dalam organisasi membutuhkan kepemimpinan yang mampu menangkap dan memahami secara mendalam dimensi-dimensi individual dan kelompok dalam organisasi.

Dalam konsep model kepemimpinan transformasional, Raihani mengungkapkan dimensi-dimensi kepemimpinan, yang meliputi:

(1) Menetapkan arah; mencakup membangun visi bersama, menciptakan konsensus tentang tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas, serta membangun ekspektasi performa yang tinggi. (2) Mengembangkan sumber daya manusia, mencakup

11

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 25

12

Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren…, h. 201

13


(30)

menyediakan dukungan individual, menawarkan stimulus intelektual, dan memberikan contoh nilai-nilai dan praktik-praktik yang penting. (3) Mendesain ulang organisasi; meliputi membangun suatu kultur kolaboratif, menciptakan dan memelihara struktur-struktur dan proses-proses pengambilan keputusan bersama, serta membangun hubungan dengan para orang tua dan komunikasi yang lebih besar.14

Dari keterangan tersebut menggabarkan bahwa dimensi kepemimpinan antara lain mencakup karakteristik kejelasan visi dan arah strategi, kondisi yang mendukung untuk mengembangkan profesionalisme, dan keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputusan, serta dibangunnya kerjasama dan kemitraan yang lebih luas.

B. Kepemimpinan Pesantren

1. Pengertian dan Tipologi Pesantren a. Pengertian Pesantren

Pesantren sebagai “kampung peradaban” dengan segala

kesederhanaan dan kekurangannya menyimpan potensi besar yang telah terbukti dapat melakukan transformasi peradaban Islam yang lebih kosmopolit.15 Seperti diungkapkan Husni Rahim, pendirian pesantren umumnya sangat sederhana, berawal dari kegiatan pembelajaran yang diikuti oleh beberapa orang santri yang datang kepada seorang kyai untuk belajar mengaji. Kegiatan pembelajaran ini biasanya dilaksanakan di rumah kyai sendiri atau di masjid dan langgar (mushalla). Kemudian pengajian ini berkembang seiring pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga pendidikan.16

Dalam pemakaian sehari-hari, istilah “pesantren” bisa disebut

dengan “pondok” saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi

14

Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif…, h. 33

15 Djohan Effendi, “Pesantren Kampung Peradaban”

, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan

Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie Bidang Pendidikan Islam,

(Jakarta: Paramadani, 2003), h. xviii

16

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 158


(31)

“pondok pesantren”. Melacak asal-usul istilah pondok atau pesantren antara lain dikemukakan Zamakhsyari Dhofier dan Manfred Ziemek dan dimaknai sebagai tempat tinggal. Menurut Dhofier, pesantren

berasal dari kata “santri” dengan penambahan awal “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri.17

Sementara menurut Ziemek berasal dari istilah pesantrianberarti “tempat santri”.18

Melacak akar kata “santri” seperti dikutip Dhofier, Prof. Jhons berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Tamil yang berarti

“guru mengaji”. Dan menurut C.C. Berg istilah tersebut berasal dari kata “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana atau ahli agama Hindu.

Selanjutnya menurut Chatuverdi dan Tiwari, kata “shastri” berasal

dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19

Sementara Nurcholish Madjid mengemukakan, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk meneliti asal-usul kata

“santri.” Pertama, santri berasal dari bahasa Sansekerta “sastri

artinya “melek huruf”, karena kaum santri dengan kitab-kitab yang mereka pelajari adalah kelas literary bagi orang Jawa. Kedua, kata

santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seorang mengabdi kepada seorang guru. Cantrik selalu mengikuti ke mana guru menetap dengan tujuan dapat belajar mengenai suatu keahlian.

Pola hubungan “guru-cantrik” ini terus berlanjut dan berubah menjadi

guru-santri” yang kemudian menjadi “kyai-santri” dalam dunia pesantren.20

17

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 18

18

Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), h. 16

19

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 18

20

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 19-20


(32)

Haedar Putra Daulay mengungkapkan, istilah “santri” sudah

akrab di kalangan masyarakat sebelum Islam datang ke Indonesia sebagai tempat pendidikan agama seperti mandala dan asrama pada masa Hindu-Budha. Sehingga adanya kaitan pemaknaan istilah

“santri” yang digunakan sebelum kedatangan Islam dengan sesudah

masuknya Islam ke Indonesia bisa saja terjadi.21 Nurcholish Madjid menyimpulkan, bahwa secara historis pesantren sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha dan Islam tinggal meneruskan dan mengislamkannya. Sehingga lembaga ini tidak saja identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).22

Dengan demikian, dari beberapa penegrtian di atas, secara kebahasaan akar kata pesantren memiliki kedekatan makna dan mengandung beberapa pengertian antara lain: a) tempat pemondokan atau asrama para santri, b) pengajaran kitab suci atau buku agama (kitab kuning), c) kaum terpelajar, dan d) hubungan antara guru-murid.

Memotret lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan sistem pengajaran yang diistilahkan Martin van Bruinessen dengan great tradition23 ini; Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisonal Islam untuk mempelajari, memahami, medalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-sehari.24 Sehingga sejak awal pesantren didirikan dan motivasi para santri belajar ke pesantren untuk mendalami dan menguasai ilmu pengatahuan agama Islam (tafaquh fi al-din) agar menjadi muslim

21

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.62

22

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren…, h. 3

23

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat… h. 17

24

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesanten; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) h.55


(33)

yang baik (kaffah) dengan harapan menjadi ulama atau kyai, pemimpin agama di masyarakat atau mendirikan dan mengasuh pesantren.25

Zamakhsyari Dhofier mengidentifikasi unsur pokok yang menjadi ciri khas yang menunjang eksistensi sebuah pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning), dan, kyai.26 Sementara itu Mastuhu membagi unsur-unsur pokok pesantren tersebut, menjadi: a) aktor atau pelaku: kyai, ustadz, santri, dan pengurus; b) sarana perangkat keras: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, dan sebagainya; dan c) sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, keterampilan, dan saran non-fisik lainya.27

K.H. Imam Zarkasyi memberikan perluasan unsur pokok dengan mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.28 Lebih lanjut Abdullah Syukri Zarkasyi memperjelas definisi ini bahwa (1) pesantren harus berbentuk asrama (full residential Islamic boarding school), (2) fungsi kyai sebagai central figure (uswah hasanah) yang berperan sebagai guru (mu’alilim), pendidik (murabbî), dan pembimbing (mursyid), (3) masjid sebagai pusat kegiatan, dan (4) materi yang diajarkan tidak terbatas kepada kitab kuning saja.29

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan, keilmuan, dan kemandirian

25

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam…, h. 147

26

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 44

27

Mastuhu, DinamikaSistem Pendidikan Pesanten…, h. 25

28

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), h. 4

29


(34)

bagi para santri dengan sistem asrama, metode, dan tradisi pendidikan yang khas pesantren. Terpenuhinya unsur-unsur dalam pesantren mencirikan besar atau kecilnya pesantren tersebut. Meski terdapat pesantren yang sangat maju dan modern, tidak sedikit pula pesantren yang hanya memiliki saran fisik yang sangat sederhana.

b. Tipologi Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan lainya, pendidikan yang dilangsungkan di pesantren memiliki karakteristik yang khas dengan orientasi utama melestarikan dan mendalami ajaran Islam serta mendorong para santri untuk menyampaikannya kembali kepada masyarakat.30

Mencermati perkembangan orientasi keilmuan dan kelembagaan pesantren saat ini, tidak mudah membuat kategorisasi mengenai tipologi pesantren.31 Kategori pesantren bisa diteropong dari berbagai persfektif; dari segi kurikulum, tingkat kemajuan dan kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya. Dari berbagai kategori tersebut pesantren dapat dibedakan antara lain:

1) Aspek kurikulum

Dari segi kurikulum, Martin Van Bruinessen mengelompokkan pesantren menjadi pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh al-Qur’an, pesantren sedang yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bagasa Arab (nahwu, sharaf), terkadang amalan sufi, dan pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tasawuf yang lebih

30

Munzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku

Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), h. 56

31

Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren di Sulawesi Selatan (1928-2005)¸ Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), h. 192


(35)

mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.32 sebagaimana dikemukakan M. Arifin, pesantren dapat dikelompokkan menjadi pesantren modern, pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu tafsir/hadits, ilmu

tasawuf/thariqat, qira’at al-Qur’an), dan pesantren campuran.33 2) Keterbukaan terhadap perubahan

Melihat dari persfektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, Zamakhsayari Dofier Dhofier mengklaisifikasikan pesantren menjadi pesantren salafiyah dan pesantren khalafiyah.34 Pesantren salafiyah tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenal pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren salafiyah telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren.

Pesantren Salafiyah adalah pesantren yang penyelenggaraanya pembelajarannya dengan pendekatan tradisional. Secara singkat pesantren salafiyah dapat pula diidentifikasi sebagai pesantren yang tidak memiliki madrasah.35 Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individu atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab. Pembelajaran tidak didasarkan pada suatu waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari.36 Karakteristik

32

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), h. 21

33

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 251-252

34

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 41

35Fuad Jabali, “Membangun Pesantren di Ranah Sunda; Belajar dari Darul Arqam”, dalam

Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PPIM UIN Jakarta, 2006), h. 272

36


(36)

yang menandai pesantren salafiyah, yaitu: pertama, menggunakan kitab kuning sebagai inti pendidikannya tanpa mengajarkan pengetahuan umum; kedua, kurikulumnya terdiri dari materi khusus pengajaran agama, ketiga, sistem pengajarannya terdiri dari sistem pengajaran tradisonal.37

Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren salafiyah disebut kitab kuning. Yaitu karya ulama Islam pada zaman pertengahan (abad ke-13 H) sehingga dapat dikategorikan sebagai kitab klasik, ditulis dalam bahasa Arab yang biasanya tidak dilengkapi syakl atau harakat yang disebut kalangan pesantren dengan arab gundul.38 Kitab-kitab tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam delapan bidang ilmu, yaitu: nahwu dan sharaf, fiqih, ushul fiqih, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan akhlak, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.39 Di beberapa pesantren kitab-kitab diartikan dengan bahasa derah seperti bahasa Jawa dan Sunda, namun secara umum dalam mengartikan kitab-kitab biasanya digunakan tulisan huruf Arab Melayu.

Dari sekian banyak metode pembelajaran tradisonal di pesantren, metode pembelajaran yang paling banyak digunakan dan diterapkan di pesantren, terdiri dari:

a) Metode bandongan dan wetonan, kyai menjealaskan dan membacakan kitab, sementara santri mendengarka dan memaknai atau mengartikan kitab yang dipelajari.

b) Metode sorogan, santri menyodorkan dan membaca kitab yang akan dibahas, kyai mendengarkan, mengomentari, menjelaskan, dan membetulkan apabila santri melakukan kesalahan bacaan/mengartikan.

c) Metode tahfidz (hafalan), metode ini menjadi penting pad asistem kelimuan yang lebih mengutamakan argumen naqli dan periwayatan.

37

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 41

38

Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 81; Munzier Suparta, Perubahan Orientasi

Pondok Pesantren…, h. 62

39


(37)

d) Metode musyawarah/hiwar (diskusi), para santri di bawah bimbingan kyai berdiskusi tentang suatu permasalahan yang bahasan dalam suatu kitab.

e) Metode bahtsul masa’il (mudzakarah), merupakan pertemuan ilmiah yang dilakukan para kyai atau para santri tingkat tinggi.40

Sedangkan pesantren khalifyah adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Model pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren, karena cenderung mengadopsi seluruh sistem klasikal dalam bentuk madrasah maupun sekolah dan meninggalkan sistem belajar tradisional.41

Bila pesantren salafiyah lebih mengutamakan pengajaran kitab-kitab klasik Islam (kitab kuning), pesantren khalaf cenderung mengajarkan kitab-kitab kontemporer, dan kitab-kitab kuning lebih dipandang sebagai komplemen.42 Meski demikian, di pesantren khalafiyah pengajaran kitab kuning tetap dipertahankan, meskipun biasanya metode tradional diganti dengan metode klasikal dengan materi yang dikemas dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis sesuai dengan jenjang pendidikan santri.43 Dengan

demikian pengkategorian pesantren ke dalam “salafiyah -khalafiyah” lebih kepada perbedaan sistem pendidikan dan pengelolaan pesantren, jadi penggunaan istilah pesantren

“tradisonal-modern” bukan pada wilayah kontradiktif antara keduanya.

40

Abdul Mukti Bisri, dkk., Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Wajar Pendidikan Dasar Pondok Pesantren Salafiyah, 2002), h. 38-64; Maksum, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren, 2003), h. 74-114.

41

M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2002), h. 15

42

Depag RI, Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Direktorat Jendaral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2003), h. 8

43


(38)

Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi dari luar Munzier Suparta mengklasifiksikan pesantren menjadi pesantren pesantren konvensional (tradisional) dan pesantren kontemporer (modern).44 Perbedaan dua model pesantren ini dapat diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren tradisional kebanyakan dikelola secara alami dan cenderung menganut pola “serba mono” mono-manajemen dan mono-administrasi. Sedangkan pesantren moderen telah beradabtasi terhadap tuntutan perubahan dan pengembangan pendidikan dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang dikelola secara rapi dan sistematis.45

3) Berdasarkan jumlah santri

Zamakhsayari Dhofier juga mengklasifikasikan pesantren berdasarkan jumlah santri, dari aspek ini pesantren dikelompokkan menjadi pesantren kecil, sedang dan besar. Pesantren kecil jumlah santrinya kurang dari seribu orang dan berasal dasari satu kebupaten; pesantren sedang jumlah santrinya antara seribu sampai dua irbu orang dan berasal dari beberapa kabupaten; dan pesantren besar jumlah santrinya lebih dari dua ribu orang dan berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi.46

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan santri yang tidka menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong bisanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalu sering pergi pulang. Sedangkan santri mukim ialah siswa yang menetap di dalam pondok pesantren dan bisanya

44

Munzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren…, h. 86

45

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Semarang: Penerbit Airlangga, 2010), h. 58

46


(39)

berasal dari daerah jauh.47 Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri, karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup, dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.48

4) Sistem pendidikan yang dikembangkan

Dilihat dari sistem pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: pertama, pesantren yang memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung kyai, dan pengajaran secara individual. Kelompok kedua, pesantren yang memiliki madrasah, kurikulum tertntu, pengajaran bersifat aplikasi, kyai memberikan pelajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mempelelajari pengetahuan agama dan umum. Dan kelompok ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai sebagai pengawas dan Pembina mental.49

Mencermati perkembangan pesantren dewasa ini, A. Qodri Azizi mengkategorikan pesantren menjadi beberapa model yaitu: (1) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dan menerapkan kurikulum nasional, (2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, (3) pesantren yang menyelenggarakan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, (4) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian, dan (5) pesantren untuk

47

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren…, h. 69 lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 51-52

48

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 54

49

Muzammil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 17


(40)

asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.50 Sedangkan Syamsuddin Arief membagi tipologi pesantren menjadi (1) pesantren tradisional (salafiyah), (2) pesantren khalafiyah (modern), (3) pondok pesantren kombinasi, (4) pesantren tipe lain: madrasah pesantren, SMU pesantren, Virtual pesantren; dan (5) pesantren spesifikasi keilmuan kyai.51

Dari beberapa tipologi pesantren di atas, klasifikasi lainnya misalnya yang dikemukakan Husni Rahim yaitu: (1) pesantren dengan pendidikan formal yaitu jalur sekolah, luar sekolah dan pra sekolah. berdasarkan pendidikan formal jalur sekolah dan jalur pra-sekolah; (2) pesantren yang berafiliasi atau tidak dengan organisasi

Islam seperti Rabithah Ma’ahad al-Islami (RMI), Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasiliyah dan lain-lain; (3) pesantren yang menampung santri mukim dan santri kalong; dan (4) pondok pesantren pedesaan dan perkotaan.52

Pembagian kategorial pesantren menurut Muzamil Qomar, mengandung kelemahan, karena ciri masing-masing kategori belum mampu mewakili karakter pesantren yang ada secara keseluruhan. Ciri-ciri tersebut makin tidak mampu menjadi jarak pemisah yang tegas lantaran menghadapi keberadaan aspek lain atau perubahan-perubahan yang makin komplek di kalangan pesantren.53

Dari beberapa klasifiaksi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keragaman dalam mengkategorikan tipologi pesantren, di samping mencerminkan kekhasan dan kekhususan pesantren, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan ini terus mengalami perkembangan yang semakin dinamis dan tidak tunggal.

50

Qodri A. Azizi, Memberdayakan Pesantren dan Madrasah, dalam Ismail SM, Nurul Huda, dan Abdul Khaliq, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), h. viii

51

Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 192-199

52

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam…, h. 159

53


(41)

2. Kepemimpinan dalam Tradisi Pesantren

Dari kelima unsur pesantren pokok pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning), dan, kyai; kyai merupakan figur sentral karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya.

Dalam teradisi pesantren, sulit untuk dibantah bahwa pesantren sangat identik dengan karisma dan ketokohan kyai pengasuhnya. Selain umumnya kyai merupakan pendiri pesantren, perluasan pengajian dan penentuan corak pengetahuan yang diberikan di pesantren sangat bergantung pada keadaan, kecakapan, dan keahlian kyainya.54 Kyai juga adalah sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetauan, dan misi pesantren.55

Pemakaian istilah kyai sepertinya merujuk pada kebiasaan daerah, seperti juga pemakaian istilah pesantren di Jawa, surau di Minangkabau, rangkah, meunasah, dan dayah di Aceh, dan pondok di Pasundan.56 Selain sebutan kyai yang digunakan untuk sebutan pimpinan pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal juga istilah ajengan (Jawa Barat), abuya, inyik, atau syekh (Sumatera Barat), tengku (Aceh), bendera atau ra (Madura), tuan guru (Nusa Tenggara), dan gurutta atau anrengurutta/anrong guru (Sulawesi).57 Sementara di Sumatera Selatan pimpinan pesantren lebih populer dengan istilah mudir, meskipun tetap dipanggil kyai atau ustadz.

Kyai juga disebut orang alim yaitu tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat karena mempunyai kemampuan dan keunggulan pengetahuan agama Islam yang dalam.58 Predikat kyai diberikan kepada seseorang karena pengakuan masyarakat terhadap kealiman, kesalehan, pengorbanan dan perjuangannya mendirikan, mengasuh dan

54

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 97

55

Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan…, h. 255

56

M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 2; Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat…, h. 17

57

Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 83

58


(42)

mengembangkan pesantren.59 Pengakuan ini diberikan sebagai penghormatan kepada kyai setelah masyarakat menyaksikan peranan dan merasakan jasanya, sehingga tidak mengherankan apabila santri dan masyarakat menaruh kepercayaan, menerima tuntunan dan kepemimpinannya, serta menjadikannya sesepuh atau rujukan tempat bertanya bahkan segala hal.

Seperti diungkapkan Mujamil Qomar, kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai adalah pemimpin formal sekaligus pemimpin spiritual yang sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat, petuah-petuahnya selalu didengar dan sangat dihormati oleh masyarakat, bahkan tak jarang melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat.60

Posisi kyai yang serba menentukan dalam masyarakat ini akhirnya justru cenderung menyumbangkan terbangunnya otoritas mutlak dalam pesantren yang diasuhnya. Kyai adalah figur sentral, yang memegang wewenang, menguasai dan mengendalikan seluruh sektor penyelenggaraan pesantren.61 Otoritas kyai yang begitu besar, dapat dipahami dan dimaklumni mengingat lembaga ini berdiri atas prakarsa kyai sendiri, atau sekarang muncul kyai pimpinan pesantren karena mewarisi leluhurnya yang tercatat sebagai perintis. Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan yang meliputi format kelembagaan, spesialisasi pendidikan dan pengembangan pesantren sangat kental diwarnai oleh karakter, kapasitas keilmuan, dan keahlian kyai pendiri atau pengasuh pesantren.62

59 M. Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo, (ed.),

Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 92

60

Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi…, h. 29

61

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),

h. 255

62

Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial…, h. 97; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi

Pesantren…, h. 21-22; dan Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia,


(1)

108

Abdullah, Irwan, Hasse J., Muhammad Zain, (eds), Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, (Yogyakarta: SPs UGM dan Pustaka Pelajar, 2008)

Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)

Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PPIM UIN Jakarta, 2006)

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999)

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Sumedi, Muhyidin Ahmad, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya Mutu (Studi Multi Kasus di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, MAN Malang I dan MA Hidayatul Mubtadi’in Kota Malang), (Jakarta: Badang Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010)

Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)

Najib, Mohammad, (eds.), Sejarah Ogan Ilir; Tradisi Masyarakat dan Pemerintahan, (Indralaya: Pemkab OI, 2006)

Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner; Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009)

_____,Abudin, (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2001)


(2)

109

Penyusun, Buku Panduan Pengurus, Karyawan, dan Guru Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia, (Indralaya: PPI, 2008)

Purwanto M. Ngalim, Adminsitrasi dan Supervisi Kepemimpinan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009)

Qomar, Mujamil, Manajemen; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Semarang: Penerbit Airlangga, 2010)

______, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007)

Rahardjo, M. Dawam, (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985)

Rahim, Husni Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)

______, Sistem Otoritas dan Adimistrasi Islam; Studi Tentang Pejabat Agama Masa Selutanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, 1998)

Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2010)

SM., Ismail, Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar)

Soleh, Anwar, Efektivitas Kepemimpinan dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Pegawai di Sekolah Dasar Islam Terpadu al-Ihsan, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, (Jakarta: Perpustakaan UNJ, 2009)

Suparta, Munzier, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009)

Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia 2008-2009,(Indrayala: PPI, 2008)

Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001)

______, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999)

Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010)


(3)

110

Yukl, Gary, Leadership in Organization, Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia), Penerjemah Udaya, (Jakarta: Prentice-Hall, Inc., 1999)

Zainuddin, Hedra, (eds), Sewindu FORPESS; Geliat Pesantren di Sumatera Selatan, (Palembang: FORPESS, 2007)

_______, Aufklarung Manajemen dan Kurikulum Pondok Pesantren, (Palembang: PORFESS, 2007)

Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren,

(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005)

_______, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor,

(Ponorogo: Trimurti Press, 2005)

Manfred, Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986)


(4)

ANGKET PENELITIAN

Pedoman Pengisian Angket

a. Keterangan Angket

 Angket ini merupakan instrument pengumpulan data dalam penelitian yang kami lakukan

tentang “Efektivitas Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir

Sumatera Selatan”.

 Penyebaran angkat ini hanya untuk kebutuhan penelitian dan telah mendapat izian dari Pimpinan Pesantren.

b. Petunjuk Pengisian Angket

 Harap dibaca terlebih dahulu poin-poin pernyataan berikut ini sebelum diisi.  Berilah tanda contreng ( √ ) pada kolom yang tersedia dengan ketentuan:

STS : Sangat Tidak Setuju TS : Tidak Setuju

R : Ragu-Ragu SS : Sangat Setuju STS : Sangat Tidak Setuju

 Jawab yang diberikan hendaknya sesuai dengan keadaan sebenarnya.

c. Biodata Responden

Nama Lengkap : ……….

Tempat, Tanggal Lahir : ……….

Pendidikan Terakhir : ……….

Jabatan : ……….

No. Pertayaan STS TS R SS STS 1. Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme

pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren.

2. Keluarga atau keturunan Kiai pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren.

3. Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan penetapkan pimpinan pesantren.

4. Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren.

5. Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren.

6. Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren.

7. Seluruh pegurus, guru, mengetahui pedoman, aturan dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren.

8. Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren.

9. Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan.


(5)

10. Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren.

11. Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren.

12. Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren.

13. Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan.

14. Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren.

15. Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren.

16. Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.

17. Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan.

18. Penanganan permasalahan kerja dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.

19. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren.

20. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.

21. Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan.

22. Diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan

reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan.

23. Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren.

24. Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren.

25. Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan.


(6)

Y,AYASAN ISLAM AL ITTIFAQIAH

PONDOK PESANTREN AL ITTIFAQIAI.T

AL ITTIFAQIAH :SLAMIC BOARDING SCHOOL

LrMr!)6=--%;i)\rfr

SURAT KETFRANGAN

Nomor : 3663lPPUB.03/07r2009

Bismillahinahmaninahim,

Dengan mengharap rahmat dan ridho Allah swt. Mudir Pondok Pesantren al lttifaqiah lndralaya Ogan llir Sumatera Selatan, menerangkan bahwa :

Nama NIM

$emester

Jurusan/Fakultas

:

EKO ARISANDI

:

104018200654

:

X (sepuluh)

:

Kependidikan lslam - Manajemen Pendidikan/llmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

adalah memang benar telah mengadakan penelitian di Pondok Pesantren al lttifaqiah lndralaya Ogan llir Sumatera Selatan, sejak tanggal 20 Mei 2009 sampai dengan tanggal 29 Juli 2009 dalam rangka

penulisan skripsi dengan judul "EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN

Dl

PONDOK PESANTREN

AL ITTIFAQIAH INDRALAYA OGAI{ lLtR SUMATERA SELATAN".

Demikian Surat Keterangan ini dibuat dengan sebenamya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya,

Billahinasta'in,

Mudir,

frJ'"

Drs. K.H. Mudrik Qori, M.A.

lndralaya Ogan llirSurnatera Selatan lndonesia 30662 Telp.0711-580017 Fax.0711-581366

E-mail . info@ittifaqiah.com www.ittifaqiah.com

,.-<--

-

lndralaya,Q9Syg'ban'!139,H


Dokumen yang terkait

PENGARUH KEPEMIMPINAN KARISMATIK TERHADAP KINERJA KARYAWAN PONDOK PESANTREN Pengaruh Kepemimpinan Karismatik Terhadap Kinerja Karyawan Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta.

0 2 15

PENGARUH KEPEMIMPINAN KARISMATIK TERHADAP KINERJA KARYAWAN PONDOK PESANTREN Pengaruh Kepemimpinan Karismatik Terhadap Kinerja Karyawan Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta.

0 2 11

FUNGSI TANJIDUR DI TANJUNG RAJA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN.

0 4 87

PEMBENTUKAN KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR, KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN, DAN KABUPATEN OGAN ILIR DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

0 0 31

JENIS JENIS IKAN GABUS (Genus Channa) DI PERAIRAN RAWA BANJIRAN SUNGAI KELEKAR INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

2 6 8

View of Regulasi Diri Remaja Penghafal al-Qur’an di Pondok Pesantren al-Qur’an Jami’atul Qurro’ Sumatera Selatan

0 1 16

GAYA KEPEMIMPINAN MUDÎR DALAM PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN TAHFIZHUL QUR’AN (STUDI KASUS PADA PONDOK PESANTREN DI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN - ANALISIS RELEVANSI KOLEKSI PERPUSTAKAAN DENGAN KEBUTUHAN INFORMASI PENGGUNA PADA PERPUSTAKAAN MTs. PONDOK PESANTREN RAUDHATUL ULUM SAKATIGA INDRALAYA OGAN ILIR (Skripsi) - eprint UIN Raden Fatah Palembang

0 1 101

STUDI AGRIBISNIS TANAMAN PEPAYA KALIFORNIA (Carica papaya L) DI DESA PULAU SEMAMBU KECAMATAN INDRALAYA UTARA KABUPATEN OGAN ILIR SUMATERA SELATAN -

0 3 84

PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. FINANSIA MULTI FINANCE CABANG INDRALAYA KABUPATEN OGAN ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN -

1 4 92