Geohistori Sejarah Indonesia Kuno sampai Kontemporer
32
tersebut juga terdapat bekas bangunan biara agama Budha N. Daldjoeni, 1984: 59-61. Berbagai kajian goehistoris juga nantinya membantu merekonstruksi
sejarah pada masa kedatangan dan perkembangan Islam di Nusantara. Geohistori juga dapat membantu dan menganalisa terkait sejarah
kontemporer. Contohnya terkait masalah kajian perpindahan ibukota negara Indonesia, Jakarta. Bencana banjir yang kerap melanda Ibukota Jakarta,
termasuk banjir saat ini, memunculkan kembali wacana pemindahan Ibukota. Tidak hanya banjir, namun macet dan kesemrawutan saat ini, dinilai berbagai
pihak sudah selayaknya ibukota negara dipindah. Secara teori, Jika kita melihat pemindahan ibukota suatu negara di beberapa negara, terdapat tiga alasan
yaitu: pertimbangan politik dan sosiologis,pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan lingkungan fisik.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mengajukan tiga skenario perpindahan Ibu Kota . Skenario pertama adalah
mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Hal tersebut dengan berkonsekuensi pada
pembenahan total atas soal macet, banjir, transportasi, permukiman, dan tata ruang wilayah. Skenario kedua yakni membangun Ibu Kota yang benar-benar
baru atau totally new capital. Sedangkan skenario ketiga, Ibu Kota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.
Jika kita menelusuri kesejarahan, maka lokasi perkembangan peradaban bangsa dalam hal ini negara dalam konteks tradisional kerajaan-kerajaan, tak
lepas dari seleksi alam. Ketika pengaruh Hindu-Budha dari India masuk ke Nusantara, maka terbentuk kerajaan pertama berada di Kalimantan yaitu
Kerajaan Kutai. Ketika Kutai runtuh, maka siklus kerajaan Hindu-Budha di Kalimantan akhirnya selesai. Tidak ada lagi kerajaan yang muncul, hal ini
disebabkan daya dukung terbentuknya sebuah Negara, kurang tersedia. Utamanya faktor alam dalam arti secara luas. Demikian juga dengan Sumatera,
di mana Kerajaan Sriwijaya setelah runtuh juga tidak ada penerusnya. Tampaknya, ketidakberlanjutan kerajaan Hindu-Budha di Sumatera, hampir
sama dengan apa yang dialami Kutai. Ketika pengaruh Hindu-Budha sampai ke Jawa, maka segera muncul
kerajaan-kerajaan besar, dan muncul siklus kesinambungan. Di mulai dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, maka selanjutnya kerajaan-kerajaan lain
33
selalu muncul dan menggantikan seperti Kerajaan Mataram,dengan peninggalan fenomenal Prambanan dan Borobudur. Selanjutnya,muncul negara-negara
tradisional lainnya di sekitarnya seperti Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan tersebut melahirkan siklus peradaban. Jika kita
amati, kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa tetap eksis, jika dilihat dalam kronologi sejarah.
Ketika pengaruh Islam masuk, kerajaan pertama yang muncul berada di Sumatera, yaitu Samudera Pasai, di daerah Aceh. Selanjutnya, penerus kerajaan
Islam di Sumatera, dalam arti kerajaan besar, tidak sebanyak di Jawa. Kerajaan Demak sebagai negara baru yang bercorak Islam di Jawa, ketika hancur ,
muncul negara tradisional peng ganti “estafet”, yakni Kerajaan Pajang, dan
diteruskan Kerajaan Mataram Islam, yang nanti menjadi cikal bakal Yogyakarta dan Solo. Di bagian wilayah barat Jawa tumbuh Kerajaan Banten dan Cirebon.
Eksistensi kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut, bagian dari seleksi alam dalam dimensi historis. Artinya, Pulau Jawa memang mempunyai potensi
multidimensional untuk menjadi pusat pemerintahan. Hal ini diperkuat di masa Hindia Belanda, pada awalnya pusat perdagangan VOC berada di Ambon meski
berada di jantung penghasil rempah-rempah, namun wilayah tersebut kurang strategis jika dilihat dari jalur utama perdagangan Asia. Pusat perdagangan VOC
akhirnya dipindah di Batavia atau Jakarta sekarang. Akhirnya Batavia juga menjadi landasan bagi pemerintahan Belanda di Indonesia.
Gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya bukan hal yang baru. Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pemindahan ibukota dari
Jakarta ke Bandung pada tahun 1906. Alasan utama saat itu disebabkan kondisi Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah sehingga akrab
dengan banjir dan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare. Bahkan Gubernur Jenderal Dirk van Cloon di abad 18 meninggal karena penyakit,
sebagai dampak dari lingkungan di Batavia yang kotor. Wacana pemindahan ibu kota pernah disampaikan Soekarno pada saat
peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Tampaknya, wacana sekarang yang menggulirkan lagi pemindahan
ibu kota ke Palangkaraya, masih berdasar pada emosi historis tentang sosok Soekarno, bukan pada dimensi ilmiah seperti geografis, tata ruang dan kota,
anggaran serta hambatan-hambatan lainnya.
34
Pemindahan ibukota memang sudah saatnya diadakan studi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah diperlukan
untuk menentukan pilihan terbaik dari ketiga skenario yang ada. Jika kita perhatikan beberapa kasus pemindahan ibukota negara, sering kali
pertimbangan utama memperhatikan aspek keterpusatan centrality. Secara geografis, ibukota idealnya berada di tengah-tengah wilayah negara, sehingga
mudah terjangkau bagian lain dari wilayah suatu negara, dan Pulau Jawa bagian dari centrality. Demikian juga faktor historis tentang seleksi alam di atas
tampaknya ibukota negara tetap di Jawa Namun, jika Jakarta memang sudah tidak layak lagi sebagai pusat
negara, maka yang dilakukan dan realistis, adalah pergeseran wilayah ibukota. Kita bisa mempelajari negeri jiran Malaysia yang menggeser ibukota barunya
tidak jauh dari ibukota lamanya, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya yang jaraknya tidak begitu jauh. Hal ini disebabkan , pergesaran lokasi menghemat biaya
pembangunan ibukota baru. Namun, pergeseran seperti yang dialami Malaysia , tidak semudah di
Jakarta. Kondisi daerah satelit Jakarta juga hampir sama permasalahannya dengan kota yang dulu bernama Jayakarta. Terobosan yang memungkinkan
adalah pergeseran wilayah yang relatif jauh. Wilayah yang ideal dibanding lainnya adalah daerah Cirebon, yang juga pernah diwacanakan sebagai ibukota
provinsi Jawa Barat, menggantikan Bandung. Hal ini tampaknya realistis, untuk memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah Cirebon, dengan daerah
penyangga seperti Brebes, Tegal Jawa Tengah, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka Jawa Barat.
Secara geo-historis, wilayah Cirebon relatif aman, karena jauh dari ancaman alam, seperti saat Kerajaan Mataram Kuno, yang pindah dari wilayah
Jawa Tengah -Yogya menuju wilayah Jawa Timur disebabkan adanya hambatan alam, yaitu bencana gunung meletus dan gempa bumi. Sementara itu, secara
eko-historis, sejak jaman dahulu, Cirebon sebagai pelabuhan perdagangan penting di Jawa selain Batavia. Cirebon mempunyai letak yang strategis dalam
kancah perdagangan di Nusantara, bahkan Asia. Secara geografis, wilayah tersebut bukan wilayah rawan gempa dan tsunami, jauh dari lempengan gempa
di pantai selatan Jawa. Pergeseran pusat pemerintahan dari Jakarta ke Cirebon secara transportasi darat , tidak mengalami kesulitan. Cirebon sejajar dengan
35
Jakarta jika ditarik garis lurus dari pantai utara Jawa. Dalam transportasi udara juga menguntungkan , karena bukan wilayah pegunungan.