Standar Baku Permohonan Grasi

grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini menjadi permasalahan, antara lain megenai penundaan eksekusi karena permohonan grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk menghindarkan diri dari eksekusi. Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya paling rendah 2 dua tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya permohonan grasi yang harus diproses.

1. Standar Baku Permohonan Grasi

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi UUD. Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi. Menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif, Universitas Sumatera Utara mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan. Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik. Menurut Pompe 38 1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada penafsiran yang lebih luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari Hoge Raad ; , terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, yaitu: 2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim; 3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut; 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan; 38 Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984. hlm. 287-288 Universitas Sumatera Utara 5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis. Sedangkan menurut Van Hattum 39 Undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana , alasan pemberian grasi antara lain: “Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya: “Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.” Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. 39 Ibid, hlm 288-289 Universitas Sumatera Utara criminal justice system. Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan grasi terhadap seorang terpidana. UU No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung. Uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945, bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus dilaksanakan. Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan. Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden dalam memutuskan penolakan atau pengabulan permohonan grasi terpidana mati Universitas Sumatera Utara disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan, juga harus memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat bagi masyarakat banyak. Uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Secara garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan; 2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik. 3. Hanya ada keadaanfaktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima 5 keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundangundangan, ada hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan, terpidana dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah menjalankan suatu masa percobaan, adanya hari besarbersejarah sebagai cara Universitas Sumatera Utara untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk nasionalismebela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi. 4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut: 5. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 6. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana; 7. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 dua tahun; 8. Grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal: a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, Universitas Sumatera Utara b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 dua tahun sejak tanggal keputusan grasi diterima. Adapun beberapa prosedur Permohonan Grasi yang telah ditetapkan Pengadilan Negri 40 1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan Grasi kepada Presiden secara tertulis oleh : antara lain: a. Terpidana dan atau kuasa hukumnya. b. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. c. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah pidana mati. 2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah : Pidana Mati, Pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 2 dua tahun. 3. Permohonan Grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. 4. Permohonan Grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung 5. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala LP, untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dan paling lama 7 hari sejak diterimanya permohonan dans alinannya, berkas terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung. 40 http:pn_raha.co.id-surat permohonan grasi diakses pada tanggal 14 desember 2012 pukul 15.00 WIB Universitas Sumatera Utara 6. Panitera wajib membuat Akta Penerimaan salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta permohonan Grasi dikirim ke Mahkamah Agung. Apabila Permohonan Grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan permohonan Grasi. 7. Dalam jangka waktu 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung. 8. Berkas perkara yang diajukan ke Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat sebagai berikut : a. Surat Pengantar. b. Daftar isi berkas perkara. c. Akta Berkekuatan hukum tetap. d. Permohonan Grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi. e. Salinan Permohonan Grasi dari dari terpidana dan Akta Penerimaan salinan permohonan Grasi. f. Surat Kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk keluarga dari terpidana jika ada. g. Foto copy Berita acara Sidang. h. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat pertama. i. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Banding. j. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Kasasi. k. Foto copy Surat Dakwaan. l. Eksepsi dan Putusan sela jika ada. m. Foto copy Surat Tuntutan, Pembelaan, Replik, Duplik jika ada. n. Foto copy Penetapan Penujukan MH. Universitas Sumatera Utara o. Foto copy Penetapan hari siding. p. BAP dari Penyidik. q. Dan surat-surat lain. 9. Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan PK atau jangka waktu antgara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan PK dikirim terlebih dahulu. 10. Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 satu kali kecuali dalam hal : Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 dua tahun sejak penolakan grasinya. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat 2 dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba