4. Kanban adalah salah satu bentuk sinyal yang sederhana. Jika ada kanban yang dikirimkan, itu berarti bahwa kanban dan part yang tercatat dalam kanban
tersebut harus dikirimkan kelokasi berikutnya.
2.3 Langkah – Langkah Lean Manufacturing
Dalam lean manufacturing terdapat langkah – langkah pengerjaan guna mendapatkan hasil penelitian yang optimal, yaitu dengan membuat : Hines, P.
D. Taylor, 2000 1.
Big Picture Mapping Big picture mapping
adalah pemetaan proses pada level tinggi yang melingkupi proses secara luas namun dengan tingkat kedetailan yang masih rendah. Peta
gambar besar atau Big Picture Mapping merupakan sebuah alat yang diadopsi dari sistem produksi Toyota. Alat ini sangat membantu dalam mengidentifikasi
terjadinya pemborosan waste. Pemborosan dapat diketahui dengan mengetahui aliran fisik dan aliran informasi dari perusahaan dan
menggambarkannya dalam satu kesatuan. Selain itu peta gambar besar atau Big Picture Mapping
sangat berguna untuk dilakukan sebelum membuat detailed mapping
dari proses manapun. Dengan membuat Big Picture Mapping maka dapat membantu untuk menggambarkan aliran yang ada, membantu
menemukan lokasi waste, menyatukan penerapan dari kelima prinsip Lean, membantu untuk memutuskan siapa yang menjadi anggota tim untuk
implementasi, memperlihatkan hubungan antara sistem informasi dengan aliran fisik.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Ada lima langkah yang perlu dilakuakan untuk membentuk Big Picture Mapping
yaitu : a. Fase pertama, mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan.
Beberapa perlu dijawab pada fase ini. Misalnya, seberapa banyak pelanggan membutuhkan barang tertentu tiap tahun, bagaimana pola pemesanannya,
berapa ukuran pesanan biasanya, berapa banyak pelanggan biasanya menyimpan persediaan, berapa sering pengiriman dilakukan, serta hal-hal lain
yang relevan. b. Fase kedua, Information flows
Pada fase ini, ditambahkan aliran informasi yang melintasi proses yang ditinjau. Untuk melengkapi fase ini perlu dicari tahu apakah informasi yang
diberikan pelanggan ke perusahaan ramalan, call-off, dan sebagainya, kebagian mana informasi-informasi tersebut disampaikan, berapa lama
menunggu sebelum informasi tersebut diproses, pihak mana saja atau siapa saja yang dilewati sampai informasi tersebut mengalir ke bagian hulu
perusahaan supplier, serta informasi-informasi apa yang perusahaan berikan ke supplier.
c. Fase ketiga adalah menambahkan aliran fisik pada peta tersebut. Aliran fisik yang berasal dari luar dan ke luar perusahaan maupun yang ada di
dalam perusahaan harus sama-sama ditambahkan. Informasi seperti pola pengiriman dari supplier, ukuran pengiriman, rata-rata waktu tunggu sebelum
pesanan dikirim,. Selanjutnya, untuk aliran internal perlu diidentifikasikan langkah-langkah kunci yang terlibat, di mana saja persediaan biasanya
disimpan, dimana saja biasanya terjadi inspeksi kualitas, berapa lama masing-
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
masing kegiatan tersebut dilakukan, titik mana merupakan bottleneck, dan sebagainya.
d. Fase keempat adalah hubungkan aliran fisik dan aliran informasi. Di sini diperlukan informasi di mana informasi seperti rencana material atau
rencana produksi turun menjadi pemicu adanya aliran fisik dan sebaliknya. Sebagai contoh, rencana produksi diuraikan menjadi jadwal produksi harian
sehingga dapat menjadi pedoman untuk memindahkan material dari gudang ke lantai produksi dan menjadi instruksi kerja operator di lantai produksi
untuk mengerjakan suatu produk. Sebaliknya, ada aliran dari bagian bawah ke bagia atas dari peta yang dibuat. Misalnya, hasil kegiatan inspeksi material
akan memberikan informasi tentang reject rate. Informasi ini akan masuk ke bagian perencanaan material sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk
memperbaiki atau membuat rencana baru. e. Fase kelima adalah melengkapi peta di atas dengan informasi lead time dan
value adding time dari keseluruhan proses. Informasi ini ditempatkan di
bagian bawah dari peta. Berikut ini adalah simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture
Mapping BPM :
Sumber : Hines, P. D. Taylor, 2000. ”Going Lean”.
Gambar 2.2 Icon Big Picture Mapping
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Untuk menggambarkan Peta gambar besar atau Big Picture Mapping terlebih dahulu tentukan lambang dari tiap komponen yang ada antara lain :
pemasokkonsumen suppliercustomer, kotak informasi information box, kotak waktu timing box, kotak pengerjaan ulang rework box, titik persediaan
inventory point, titik inspeksi quality check point, stasiun kerja dengan waktu work station with timing, aliran informasi information flow, aliran fisik
physical flow, kotak proses stasiun kerja work station process box, aliran fisik antar perusahaan inter company physical flow.
2. Kuisioner atau Formulir Kuisioner atau formulir digunakan untuk mendapatkan ranking dan rata – rata
pemborosan waste yang paling berurutan. a. Kuisioner
Tabel 2.2 Kuisioner
Sumber : Budi Utomo Rachman, 2010 Keterangan : Tipe pemborosan waste yang digunakan telah menjadi
ketetapan, sedangkan skor 0 – 5, kemudian dirangking mana waste yang terbesar pada perusahaan yang diteliti.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
b. Formulir Tabel 2.3 Formulir
Sumber : Danang Prasetyo,2010 dalam Vincent Gasperz, 2007
Keterangan: - Skor yang digunakan 0 – 4. - Untuk kolom tipe waste 1 - 9 ditulis berdasarkan tipe
pemborosan 9 waste dan skor ditulis berdasarkan pengamatan di perusahaan yang diteliti.
- Untuk kolom rangking ditulis bobot rangking, stasiun kerja yang memiliki waste terbesar diberi rangking 1, kemudian stasiun kerja
yang memiliki waste terbesar kedua diberi rangking 2, begitu seterusnya hingga rangking ke 9 rangking terakhir.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3. Value Stream Analysis Tools VALSAT Value Stream Mapping Tools
VALSAT adalah alat yamg berfungsi untuk memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan
sebagai pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan waste. Value stream analysis tools
merupakan tools yang tepat untuk memetakan secara detail waste
pada aliran nilai yang fokus pada value adding process dan non-value adding process.
VALSAT merupakan tool yang dikembangkan oleh Hines dan Rich 1997 untuk mempermudah pemahaman terhadap value stream yang
ada dan mempermudah untuk membuat perbaikan berkenaan dengan waste yang terdapat dalam value stream. VALSAT merupakan pembobotan waste-
waste , kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool
dengan menggunakan matrik. Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state
yang diusulkan. Alasan yang mendasari pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para peneliti atau
para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual value stream
dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Berikut ini adalah tools yang digunakan pada value stream mapping yang akan
ditunjukkan pada tabel 2.4 . Moses L. Singgih dan Ucok James MP
Marpaung, 2008
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Tabel 2.4 Value Stream Analysis Tools
Moses L. Singgih dan Ucok James MP Marpaung, 2008 Notes : H
: high correlation and usefulness M
: medium correlation and usefulness L
: low correlation and usefulness Keterangan : H high correlation
: faktor pengali = 9 M medium correlation
: faktor pengali = 3 L low correlation
: faktor pengali = 1 Selanjutnya akan dilakukan pemilihan pemetaan yang tepat dalam value
stream dengan menggunakan VALSAT Value Stream Analysis Tools. Cara
perhitungannya adalah hasil dari rata-rata waste dikalikan dengan besar pembobotan yang terdapat pada tabel VALSAT . Dari ketujuh tool tersebut akan
digunakan untuk memahami kondisi yang terjadi di lantai produksi, penggunaan tool
tersebut dilakukan dengan melakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Untuk langkah penting dalam pemilihan tool yang sesuai dengan kondisi
yang bersangkutan antar lain melakukan pembobotan terhadap waste. Pembobotan
process activity
mapping supply
chain response
matrix production
variety funnel
quality filter
mapping demand
amplification mapping
decision point
analysis phisical
structure Jenis
pemborosan Produksi
berlebih L
M L
M M
Menunggu H
H L
M M
Transportasi H
L Proses tidak
sesuai H
M L
L Persediaan
tidak perlu M
H M
H M
L Gerakan tidak
perlu H
L H
Kecacatan L
Jenis pemborosan
lainnya L
L M
L H
M H
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
ini merupakan hal yang sangat penting sekali karena dengan pembobotan waste yang sempurna maka tool yang akan datang juga tepat sehingga mudah dalam
melakukan usulan perbaikan. Untuk lebih jelasnya berikut detail dari ketujuh tools yang dikemukakan
oleh Hines dan Rich 1997 dalam VALSAT : a.
Process Activity Mapping PAM
Tool ini digunakan untuk membuat detailed mapping dalam order fulfillment process
. Secara lebih luas kita menggunakannya untuk mengidentifikasi lead time
baik dari aliran fisik produk maupun aliran informasi, tidak hanya di area pabrik tetapi juga pada area lainnya dalam supply chain, mengeliminasi
pemborosan pada tempat kerja dan menyediakan goods dengan kualitas tinggi serta pelayanan yang mudah, cepat dan tidak mahal. Dasar pendekatan ini
adalah mencoba untuk mengeliminasi aktivitas yang tidak perlu, menyederhanakan, mengkombinasi serta mencari perubahan rangkaian yang
akan mengurangi pemborosan. Empat tahap pendekatan Process Activity Mapping secara umum adalah :
v Memahami aliran proses kemudian mengidentifikasi pemborosan
v Mempertimbangkan apakah proses dapat di arrange ulang pada rangkaian
yang lebih efisien. v
Mempertimbangkan aliran yang lebih baik, melibatkan aliran layout dan rute transportasi yang berbeda.
v Mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang telah dilakukan pada tiap-
tiap stage benar-benar perlu dan apa yang akan terjadi jika hal-hal yang berlebihan tersebut dihilangkan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Dalam tool ini aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori, seperti : operation operasi, transport transportasi, inspection pemeriksaan,
storage penyimpanan dan delay menunggu. Untuk membuat Process
Activity Mapping , dilakukan dengan cara membuat analisa persiapan
proses kemudian dilakukan pencatatan secara detail dari permintaan barang pada tiap proses. Hasilnya adalah peta proses, dimana tiap-tiap
langkah telah dikategorikan dalam berbagai macam tipe aktivitas. b.
Supply Chain Response Matrix Tool
ini merupakan sebuah diagram sederhana yang berusaha menggambarkan the critical lead time constraint untuk setiap bagian
proses dalam supply chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik suppliernya dan downstream retailernya. Diagram
ini terdapat 2 axis dimana untuk vertical axis menggambarkan rata-rata jumlah inventory hari dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan
untuk horizontal axis menunjukan comulative lead timenya. c.
Production Variety Funnel Pendekatan ini sama dengan metode analisa IVAT yang melihat operasi
internal perusahaan sebagai aktivitas yang disesuaikan ke I, V, A, atau T
merupakan pemetaan visual yang mencoba memetakan jumlah variasi produk tiap tahapan proses manufaktur. Tools ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi titik dimana sebuah produk generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik. Tool ini dapat digunakan untuk membantu
menentukan target perbaikan, pengurangan inventory dan membuat perubahan untuk proses dari produk.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
d. Quality Filter Mapping
Pendekatan Quality Filter Mapping merupakan tool baru yang digunakan untuk mengidentifikasi dimana keberadaan masalah kualitas pada rantai
persediaan. Peta ini memperlihatkan tiga tipe cacat kualitas yang berbeda yang terdapat pada value stream yaitu :
v Product defect : cacat pada fisik produk yang lolos dari proses inspeksi
dan sampai ke tangan konsumen. v
Scrap defect : cacat yang ditemukan pada proses inspeksi
v Service defect
: permasalahan dari konsumen yang tidak secara langsung berhubungan dengan produk, tetapi dengan tingkat pelayanan
dari perusahaan. Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara letitudinal sepanjang
supply chain. Pendekatan ini dirancang untuk membangun tingkat kualitas
baik internal maupun eksternal semaksimal mungkin seperti yang di inginkan oleh konsumen customer needs.
e. Demand Amplification Mapping
Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demand berubah- ubah sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi
yang dihasilakn dari diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan menguranginya, membuat keputusan berkaitan dengan value
stream configuration. Dalam diagram ini vertical axis menggambarkan
interval waktu, grafik di dapatkan untuk setiap chain dari supply chain
configuration yang ada.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
f. Decision Point Analysis
Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana aktual demand
dilakukan dengan sistem pull sebagai dasar untuk membuat forecast
pada sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik batas dimana produk dibuat berdasarkan demand aktual selanjutnya
produk harus dibuat dengan melakukan forecast. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan dari proses upstream dan downstream berdasarkan
titik tersebut, sehingga dapat ditentukan filosofi pull tarik atau push tekan yang sesuai.
g. Phisical Structure
Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi bagian-bagian
dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi
dan dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk level yang lebih kecil tool ini dapat menggambarkan inbound
supply chain di lantai produksi.
4. Fish Bone Chart Diagram Tulang Ikan Fish Bone Chart
adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara karakteristik mutu dan faktor penyebab kecacatanpemborosan. Diagram ini
berbentuk tulang ikan karena itu disebut juga diagram tulang ikan. Fish Bone Chart
merupakan alat formal yang digunakan untuk menunjukkan penyebab potensial dari kecacatanpemborosan. Ruas utama sebelah kanan menunjukkan
masalah yang terjadi. Cabang utama dikaitkan pada penyebab utama dan setiap cabang utama memiliki daftar penyebab yang lebih detail. Penyebab
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
masalah utama yang potensial harus segera dicari tahu dan dianalisa saat masalah diidentifikasi. Metode tukar pikiran digunakan untuk menentukan
penyebab dari akibat yang dihasilkan dalam mendesain sebuah diagram sebab akibat. Sutalaksana. 1979.
Gambar 2.3 Fish Bone Chart Di dalam Fish Bone Chart terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab pemborosan waste,yaitu : Sutalaksana. 1979 a.
Machines mesin
Pada faktor machines mesin yang menjadi akar penyebab pemborosan waste
adalah operation machines operasi mesin dan setting mesin dan kondisi komponen pada mesin.
b. Man
manusia Pada faktor man manusia yang menjadi akar penyebab pemborosan waste
adalah health kesehatan, food makanan yang dikonsumsi, networking jaringan kerja, rest waktu istirahat.
c. Environment
lingkungan kerja Pada faktor environment lingkungan kerja yang menjadi akar penyebab
pemborosan waste adalah temperature suhu dan sounds kebisingan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
d. Methods
metode kerja Pada faktor methods metode kerja yang menjadi akar penyebab pemborosan
waste adalah work pengimplementasian metode kerja dan setting
ketepatan susunan metode kerja. e.
Materials bahan baku
Pada faktor Materials bahan baku yang menjadi akar penyebab pemborosan waste
adalah Hardness tingkat kekerasan material dan colours warna material.
Dari faktor – faktor tersebut dapat dilihat akibatnya, seperti : defect waste.
Sehingga akan diketahui secara rinci akar penyebab dari waste pada suatu perusahaan yang diteliti.
5. Failure Mode Effect and Analysis FMEA FMEA digunakan sebagai teknik evaluasi tingkat kehandalan untuk
menentukan efek dari kegagalan sistem. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampaknya pada kesuksesan suatu misi dan keselamatan anggota atau
peralatan. Konsep FMEA ini berubah ketika diterapkan pada kondisi manufaktur modern yang memproduksi produk-produk konsumsi. Pada
produsen dari produk-produk konsumsi tersebut kemudian menetapkan beberapa prioritas baru, termasuk kepuasan dan keselamatan konsumen.
Haviland, 1998. Secara umum Failure Mode Effect and Analysis didefinisikan sebagai sebuah
teknik yang mengidentifikasi tiga hal, yaitu 1 Penyebab kegagalan yang potensial dari proses atau produk selama siklus hidupnya. 2 Efek dari
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
kegagalan tersebut. 3 Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi produk atau proses. Haviland, 1998.
FMEA merupakan tool dalam menganalisis kehandalan reliability dan penyebab kegagalan untuk mencapai persyaratan kehandalan dan keamanan
produk dengan memberikan informasi dasar mengenahi prediksi kehandalan, desain produk, dan desain proses. Dalam FMEA terdapat beberapa hal yang
berpengaruh, antara lain : a. Rating keparahan severity adalah rating yang berhubungan dengan
tingkat keparahan efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan. Efek dirating pada skala satu sampai sepuluh, dengan sepuluh sebagai tingkat
yang paling parah. Sumber fundamental dari kegagalan menyangkut berbagai aspek dari desain, pemilihan material, kekurangan atau
kelemahan material, fabrikasi dan pemrosesan, pengerjaan ulang, perakitan, inspeksi, uji coba atau testing, pengendalian kualitas quality
control , penyimpanan, pengiriman, kondisi kerja, pemeliharaan, dan
penyimpanan yang tidak terduga akibat kelebihan beban atau kerusakan mekanis atau kimia dalam kerja. Terkadang pula, lebih dari satu sumber
tersebut memberikan kontribusi kegagalan. Ford Motor Company, 1992. b. Rating kejadian occurrence adalah rating yang berhubungan dengan
estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada elemen dengan jumlah yang ditentukan yang diproduksi
dengan metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating kejadian ini diestimasikan dengan jumlah kegagalan kumulatif yang
muncul pada setiap 1000 komponen atau CNF Cumulative Number of
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Failure 1000. CNF1000 dapat diestimasikan dari sejarah tingkat
kegagalan proses manufaktur dan komponen yang mirip atau yang dapat mewakili jika estimasi dari kegagalan dari komponen yang dimaksud tidak
dapat ditentukan. c. Rating deteksi detection tergantung pada metode pengendalian yang
digunakan pada saat ini. Rating deteksi adalah ukuran kemampuan metode tipe 2 untuk mendeteksi penyebab atau mekanisme kegagalan atau
kemampuan pengendalian metode tipe 3 untuk mendeteksi kegagalan. Satu nilai deteksi diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat
ini yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Metode pengendalian dapat dikelompokkan dan dipandang
sebagai sebuah sistem jika beroperasi secara independen. Tahapan FMEA diantaranya adalah sebagai berikut : Stam, 1998
a. Identifikasi sistem dan elemen system b. Mengidentifikasi kegagalan dan efeknya. Failure adalah keadaan dimana
suatu sistem tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Effect of Failure
merupakan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kegagalan. c. Menentukan tingkat keparahan dari suatu kegagalan severity. Tim FMEA
dapat menentukan kriteria severity sendiri atau menggunakan kriteria. d. Menentukan occurrence. Occurrence menyatakan frekuensi atau jumlah
kegagalan yang terjadi karena suatu penyebab. Tingkat occurrence dimulai dari angka 1 tingkat kejadian rendah hingga 10 tingkat kejadian sering.
Rating occurrence dapat ditentukan menurut Ford, 1992
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
e. Menentukan tingkat deteksi detection. Tingkat deteksi menyatakan tingkat ketelitian suatu metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan.
Tingkat deteksi mulai dari angka 1 sampai 10. Semakin kecil tingkat deteksi, maka semakin tinggi kemampuan metode deteksi untuk
mendeteksi kegagalan. Apabila metode deteksi lebih dari satu, maka diberikan nilai deteksi terendah. Apabila nilai deteksi tidak dapat
ditentukan, maka nilai deteksi yang digunakan adalah 10. f. Menghitung Risk Priority Number RPN. RPN menyatakan tingkat resiko
dari suatu kegagalan. Angka RPN berkisar antara 1-1000, semakin tinggi angka RPN, maka semakin tinggi resiko suatu potensi kegagalan terhadap
sistem, desain, proses maupun pelayanan. RPN = Severity x Occurrence x Detection
. g. Memberikan rekomendasi tindakan untuk mengurangi tingkat resiko
kegagalan dan selanjutnya dianalisa.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Tabel 2.5 Failure Mode Effect and Analysis FMEA
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Sumber : Danang Prasetyo, 2010
2.5 Sampel Non Probabilitas