ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE DI PT. WOWIN PURNOMO TRENGGALEK.

(1)

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI

DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE

DI PT. WOWIN PURNOMO TRENGGALEK

SKRIPSI

Oleh :

DANANG PRASETYO NPM : 0732010113

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR SURABAYA


(2)

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI

DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE

DI PT. WOWIN PURNOMO - TRENGGALEK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam memperoleh gelar Sarjana Teknik

Jurusan Teknik Industri

Oleh :

DANANG PRASETYO NPM : 0732010113

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR SURABAYA


(3)

SKRIPSI

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE DI PT. WOWIN PURNOMO – TRENGGALEK

Oleh :

DANANG PRASETYO NPM : 0732010113

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal, 26 Nopember 2010

Tim Penguji 1.

Ir. Sumiati, MT. . NIP. 19601213 199103 2 001 2.

Drs. Sartin M.Pd. . NIP. 19580427 199003 1 001 3.

Ir. Joumil Aidil SZS, MT . NIP. 19620318 199303 1 001

Dosen Pembimbing 1.

Ir. Joumil Aidil SZS, MT . NIP. 19620318 199303 1 001 2.

Ir. Rr. Rochmoeljati, MMT . NIP. 19611029 199103 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur

Ir. Sutiyono MT. NIP. 19600713 198703 1 001


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI DENGAN

METODE LEAN MANUFACTURE

DI PT. WOWIN PURNOMO - TRENGGALEK

Oleh :

DANANG PRASETYO

NPM : 0732010113

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Negara Lisan Gelombang II Tahun Ajaran 2010 / 2011

Dosen Pembimbing I

Ir. Joumil Aidil SZS, MT . NIP. 19620318 199303 1 001

Dosen Pembimbing II

Ir. Rr. Rochmoeljati, MMT . NIP. 19611029 199103 2 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Teknik Industri UPN “Veteran” Jawa Timur

Ir. H. Moch. Tutuk Safirin, MT NIP. 19630406 198903 1 001


(5)

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PANITIA UJIAN SKRIPSI / KOMPREHENSIP

KETERANGAN REVISI

Mahasiswa dengan Nama dan NPM nya tercantum dibawah ini :

Nama : Danang Prasetyo NPM : 0732010113

Jurusan : Teknik Kimia / Teknik Industri / Teknologi Pangan / Teknik Informatika.

Telah mengerjakan revisi / tidak ada revisi *) PRA RENCANA (DESIGN) / SKRIPSI TUGAS AKHIR Ujian Lisan Gelombang II . TA. 2010 / 2011.

Dengan Judul :

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE DI PT. WOWIN PURNOMO – TRENGGALEK.

Surabaya, 26 Nopember 2010

Dosen Penguji yang memerintahkan revisi :

1. Ir. Sumiati, MT. ( )

2. Drs. Sartin M.Pd. ( )

3. Ir. Joumil Aidil SZS, MT. ( )

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Ir. Joumil Aidil SZS, MT . NIP. 19620318 199303 1 001 Catatan : *( Coret yang tidak perlu


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat rahmat Tuhan YME yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Laporan Penelitian Tugas Akhir (Skripsi) dengan judul “Analisis Pemborosan Pada Lantai Produksi Dengan Metode Lean Manufacture di PT. Wowin Purnomo - Trenggalek” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan skripsi ini dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan Program Sarjana Strata - 1 (S-1) di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Terselesaikannya Laporan Tugas Akhir (Skripsi) ini tentunya tak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT karena atas ijin-NYA lah laporan Tugas Akhir (Skripsi) ini bisa terselesaikan tepat pada waktunya.

2. Orang Tua saya yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada saya. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto,MP. Selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Bapak Ir. Sutiyono, MT. Selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Bapak Ir. MT. Safirin, MT. Selaku ketua jurusan Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

6. Bapak Ir. Joumil Aidil SZS MT. Selaku Dosen Pembimbing I 7. Ibu Ir. Rr. Rochmoeljati MMT. Selaku Dosen Pembimbing II 8. Dosen penguji Seminar 1 & 2 maupun Dosen Penguji Skripsi saya. 9. Bapak Harto Mulyono Purnomo selaku pimpinan perusahaan PT. Wowin

Purnomo – Trenggalek.

10.Bapak Manto selaku Manajer Produksi sekaligus pembimbing lapangan di PT. Wowin Purnomo Trenggalek dan Seluruh karyawan PT. Wowin Purnomo yang telah meluangkan waktunya terhadap penelitian saya. 11.Pak Dhe dan Bu Dhe dan anak-anaknya yang berada di surabaya yang telah

menampung saya dan yang telah memfasilitasi komputer kepada saya.


(7)

iv

12.Keluarga yang ada di Besuki – Situbondo yang telah membantu membiayai kuliah saya.

13.Keluarga yang ada di Trenggalek semua

14.Sofyan santoso yang telah meminjamkan modem gratisnya dan Afit Alvian yang telah memberi semangat buat ngerjakan skripsi saya.

15.Seluruh Assisten Laboratorium Optimasi dan Statistik Teknik Industri. 16.Teman-teman seangkatan khususnya Paralel C dan Semua pihak yang telah

membantu penyelesaian Skripsi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dalam penulisan Laporan Tugas Akhir (Skripsi) ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan, namun hal itulah yang mendorong kami untuk berbuat lebih baik. Kami mohon maaf jika penulisan Laporan Tugas Akhir (Skripsi) ini terdapat kesalahan, Akhirnya semoga Laporan Tugas Akhir (Skripsi) ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Surabaya, 30 Nopember 2010

Hormat kami


(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ...……….. i

KATA PENGANTAR .……… iii

DAFTAR ISI ………..………..… v

DAFTAR TABEL ……….……….. viii

DAFTAR GAMBAR ……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….……….. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ………….. ……….. 3

1.3 Batasan Masalah ……….………. 3

1.4 Asumsi ……….……….... 3

1.5 Tujuan ……….. 4

1.6 Manfaat Penelitian ………... 4

1.7 Sitematika Penulisan ……… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Lean ………... 7

2.1.1 Definisi Lean ……… 7

2.1.2 Prinsip Dasat Lean ………... 9

2.2 Lean Manufakturing ……… 10

2.2.1 Definisi Lean Manufacturing ………... 10

2.2.2 Prinsip-Prinsip Lean Manufacturing ………... 14

2.3 Pemborosan (Waste) ……… 15

2.4 Type-Type Pemborosan ……….. 16

2.4.1 Type Tujuh Pemborosan (seven waste) …….., 16

2.4.2 Type Delapan Pemborosan (eight waste) …… 18

2.4.3 Type Sembilan Pemborosan (nine waste) …… 23

2.4.4 Type Sepuluh Pemborosan (ten waste) ……… 24

2.5 Tools Yang Digunakan ……… 25

2.5.1 Big Picture Mapping ……… 25


(9)

2.5.2 Value Stream Analysis Tools (VALSAT) …... 28

2.5.3 Fish Bone Chart (Diagram Tulang Ikan) ……. 34

2.5.4 Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) …. 34 2.6 Teknik-Teknik Pengembangan Lean Manufacturing .. 38

2.7 Bahan Baku Kecap 41 2.8 Peneliti Terdahulu 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………. 45

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ……... 45

3.2.1 Variabel Bebas ……….... 45

3.2.2 Variabel Terikat ………..…. 47

3.3 Metode Pengumpulan Data ……….. 47

3.4 Metode Pengolahan Data ………. 48

3.4.1 Pengolahan Data Dengan Big Picture Mapping ………. 48

3.4.2 Pengolahan Data Dengan Value Stream Analysis Tools ………. 51

3.4.3 Pengolahan Data Dengan Fish Bone Chart …. 51 3.4.4 Pengolahan Data Dengan Failure Mode Effect and Analysis ……… 52

3.5 Langkah-Langkah Penelitian dan Pemecahan Masalah 55 3.6 Penjelasan langkah-langkah peneiltian dan pemecahan masalah 56 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data ………... 59

4.1.1 Data Hasil Wawancara dan Pengamatan Sembilan Waste……….. 59

4.1.2 Data Aliran Bahan ………... 64

4.1.3 Data Waktu Produksi ………. 69

4.2 Pengolahan Data ………. 70

4.2.1 Big Picture Mapping ……… 70

4.2.2 Identifikasi Waste ……… 75


(10)

vii

4.2.3 Pemilihan Tools Dengan VALSAT …………. 78 4.2.4 Process Activity Mapping ……… 81 4.3 Analisa Dan Pembahasan ……… 85

4.3.1 Analisa Identifikasi Value Stream Dengan Big

Picture Mapping ……….. 85

4.3.2 Identifikasi Waste ……… 85 4.3.3 Analisa Pemilihan Tools Dengan VALSAT … 86 4.3.4 Process Activity Mapping ……… 87 4.3.5 Analisa Waste Dengan Fish Bone Chart ……. 90 4.3.6 Rekomendasi Perbaikan Waste Dengan Failure

Mode Effect And Analysis ………….. 101

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ………..… 104 6.2 Saran ………...……….… 105 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan dalam industri manufaktur 2.2 Value Stream Analysis Tools

2.3 Tabel 5S dalam 2 bahasa

4.1 Jumlah karyawan pada setiap stasiun kerja 4.2 Bahan baku kecap

4.3 Bahan pendukung 4.4 Mesin dan peralatan

4.5 Komposisi pembuatan kecap/hari

4.6 Jumlah output produksi kecap Januari – Agustus 2010 4.7 Jumlah kecacatan produk kecap Januari – Agustus 2010 4.8 Jumlah Penjualan produk kecap Januari – Agustus 2010 4.9 Waktu proses pembuatan kecap PT. Wowin Purnomo (2 ton) 4.10 Rata-rata tipe pemborosan (waste)

4.11 Perhitungan VALSAT 4.12 Penentuan Tools VALSAT 4.13 Persentase jumlah aktivitas 4.14 Persentase waktu aktivitas 4.15 Value stream activity 4.16 Value stream activity 4.17 Process activity mapping

4.18 Rekomendasi perbaikan dengan FMEA


(12)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Sepuluh areas waste dalam industri manufaktur

2.2 Icon Big Picture Mapping 2.3 Fish Bone Chart

4.1 Aliran bahan pembuatan kecap

4.2 Big Picture Mapping Proses Produksi Kecap 4.3 Persentase Jumlah Aktivitas

4.4 Persentase Waktu Aktivitas 4.5 Value stream activity

4.6 Process activity mapping

4.7 Produksi berlebih (overproduction) 4.8 Menunggu(waiting)

4.9 Perpindahan(transportation)

4.10 Gerakan yang tidak perlu(unnecessary motion) 4.11 Persediaan yang tidak perlu(unnecessary inventory)

4.12 Pekerja yang kurang professional (not utilizing employees knowledge, skills,

and abilities)

4.13 Lingkungan, Kesehatan, Keselamatann (environment, health, safety) 4.14 Kecacatan (defect)

4.15 Proses yang tidak sesuai (inappriate process)


(13)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Gambaran Umum Perusahaan Lampiran B Struktur Organisasi Perusahaan Lampiran C Operation Process Chart (OPC) Lampiran D Flow Process Chart (FPC) Lampiran E Formulir Identifikasi waste Lampiran F Perhitungan waste

Lampiran G Perhitungan VALSAT

Lampiran H Rekapitulasi Jumlah Aktivitas Lampiran I Rekapitulasi Waktu Aktivitas Lampiran J Proses Activity Mapping Lampiran K Value Stream Activity

Lampiran L Failure Mode Effect and Analysis

Lampiran M Gambar Mesin/alat, aktivitas dan produk

Lampiran N Rekomendasi Perbaikan Process Activity Mapping Lampiran O Rekomendasi Perbaikan Big Picture Mapping


(14)

ANALISIS PEMBOROSAN PADA LANTAI PRODUKSI DENGAN METODE LEAN MANUFACTURE DI PT. WOWIN PURNOMO TRENGGALEK

ABSTRAK

PT. Wowin Purnomo adalah perusahaan kecap satu-satunya yang berada di Trenggalek, peluang pasar yang masih besar membuat perusahaan ini selalu meningkatkan jumlah produksinya dari waktu kewaktu, akan tetapi banyaknya faktor kendala yang dihadapi oleh perusahaan tersebut membuat jalannya produksi kurang begitu maksimal. Sebagai misal waste yang terdapat pada lantai produksi sehingga mengakibatkan kerugian pada perusahaan.

Selama ini PT. Wowin Purnomo belum pernah melakukan penyelesaian untuk mengurangi waste yang terjadi dilantai produksi, sehingga dalam hasil identifikasi ditemukan banyak waste yang diantaranya adalah produksi berlebih, menunggu, perpindahan, gerakan yang tidak perlu, persediaan yang tidak perlu, pekerja yang kurang professioanal, lingkungan, kesehatan, keselamatan, kecacatan dan proses yang tidak sesuai. Oleh sebab itu peran Lean Manufaktur sangat diperlukan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di PT. Wowin Purnomo Trenggalek.

Tujuan dilakukan penelitian di PT. Wowin Purnomo adalah untuk mengetahui aktivitas secara keseluruhan menggunakan Big Picture Mapping, mengidentifikasi waste yang terjadi dan menganalisa penyebab waste yang ada selama proses produksi dan memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi

waste yang ada pada lantai produksi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui besarnya value added activity sebesar 71.31%, non value added activity sebesar 11.31% dan necessary but non value added activity sebesar 17.38%. Sedangkan dalam VALSAT tools yang terpilih adalah process activity mapping karena tools ini mempunyai nilai bobot yang tebesar diantara tools VALSAT lannya yaitu sebesar 61.56. Dalam Fish Bone Chart diketahui bahwa pemborosan yang paling besar adalah produksi berlebih, menunggu dan perpindahan. Sehingga dengan mengetahui akar penyebab dari pemborosan yang terjadi bisa dilakukan rekomendasi perbaikan dengan FMEA. Dari FMEA diketahui nilai RPN tiap-tiap waste yang diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan adalah produksi berlebih sebesar 392, menunggu sebesar 336, Gerakan yang tidak perlu sebesar 294, persediaan yang tidak perlu sebesar 280, perpindahan sebesar 252 dan lingkungan, kesehatan dan keselamatan sebesar 210. Sehingga untuk mengurangi pemborosan tersebut disarankan agar koordinasi antara bagian pemasaran dan produksi ditingkatkan, standar produksi harus jelas, pembenahan fasilitas atau layout kerja , pembenahan metode kerja, penambahan/pengurangan tenaga kerja pada setasiun kerja tertentu, pengawasan ditingkatkan dan penerapan 5S.

Kata kunci : Lean manufacture,Waste, BPM, VALSAT, Fish bone chart, FMEA


(15)

ii

ANALYSIS WASTE ON PRODUCTION FLOOR WITH LEAN MANUFACTURE METHOD

IN PT. WOWIN PURNOMO TRENGGALEK ABSTRACT

PT. Wowin Purnomo is the only one company of ketchup in Trenggalek, big market opportunity makes this company always improve the capacity of its production time after time, however many constraints that faced by the company and make production less maximal. For example, waste that found on floor production can make loss in company.

On The Time before PT. Wowin Purnomo have never found solution to reduce waste that happened on production floor, so that in result identify to be found by many waste which among others is overproduction, waiting, transportation, unnecessary motion, unnecessary inventory, not utilizing employes knowledge, skills and abilities, environment, health, safety, defect and inappropriate process. That’s way of Lean Manufaktur very needed help to finish problems in PT. Wowin Purnomo Trenggalek.

This research held in PT. Wowin Purnomo Trenggalek and has purpose to knows all the activity of Big Picture Mapping, identifying waste that happened and analyse the reason of waste during production process and give repair to reduce waste in production floor.

Based on the result of research known the level of value added actvities is 71.31%, non value added activites is 11.31% and necessary but non value added activities is 17.38%. But in VALSAT tools that choosed is process activities mapping, because this tools has biggest value from the other tools of VALSAT, it is 61.56. In Fish Bone Chart known the biggest waste is overproduction, waiting and transportation. So, with know the root cause of waste that happened, it can give recommend repair with FMEA. Of FMEA known value of RPN every waste given high priority to repair is overproduction 392, waiting 336, Unecessary motion 294, unnecessary inventory 280, transportation 252 and environment, safety and health 210. So, to reduce that waste, it suggested coordination between part of production and marketing improved, standard of production must be clear, correction in facility or layout activity, correction in activity method, addition / reduction of employee in work station, improved of controling and applying 5S.

Keywords : Lean Manufacture, Waste, BPM, VALSAT, Fish Bone chart, FMEA


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era voice of customers, banyak cara yang digunakan oleh suatu perusahaan agar hasil dari usahanya tetap diminati oleh konsumen. Keinginan konsumen atau yang biasa disebut customer needs yang sangat kompleks membuat perusahaan harus mengutamakan konsumen diatas segala-galanya, hal ini bertujuan agar konsumen tetap setia terhadap produk yang dibuat oleh perusahaan tersebut. Hal ini menuntut perusahaan harus mampu memberikan suatu jaminan kepada konsumen untuk meyakinkan bahwa produk yang dihasilkannya adalah produk yang benar-benar berkualitas dengan harga yang bersaing dengan produk lain yang sejenis. Untuk itu perlu diciptakan pengawasan terhadap produk yang mutlak sebagai jaminan pada konsumen bahwa produk yang dilemparkan kepasaran memiliki mutu atau kualitas yang baik.

Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penjualan produk, identik dengan jalannya sistem produksi yang ada pada perusahaan tersebut, yang diantaranya adalah waste atau pemborosan. Lean Manufacturing adalah metode yang cocok digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi tingkat pemborosan atau waste sehingga bisa menekan atau bahkan bisa mengurangi kegiatan atau aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value added activity).

Lean Manufacturing merupakan sistem produksi yang senantiasa mengupayakan

penekanan pemborosan dengan melibatkan karyawan di dalam perusahaan. Pemborosan atau waste secara umum yang kita kenal diantaranya adalah


(17)

pemborosan terhadap kelebihan produksi (overproduction), proses yang tidak perlu (inappropriate process), menunggu (waiting), persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory), transportasi (transportation), gerakan yang tidak perlu (unnecesary motion) dan kecacatan (defect ).

PT. Wowin Purnomo adalah perusahaan kecap satu-satunya yang berada di Trenggalek, peluang pasar yang masih besar membuat perusahaan ini selalu meningkatkan jumlah produksinya dari waktu kewaktu, akan tetapi banyaknya faktor kendala yang dihadapi oleh perusahaan tersebut membuat jalannya produksi kurang begitu maksimal. Sebagai misal waste yang diakibatkan karena

overproduction pada stasiun kerja bagian pengisian kecap ke botol dengan stasiun

kerja bagian penutupan kecap botol yang terlalu lama jarak penyelesaiannya / pengerjaannya dan proses waiting yang terlalu lama selama proses produksi berlangsung, sehingga perusahaan memiliki waktu yang terbuang cukup besar dan mengakibatkan kerugian pada perusahaan.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh PT. Wowin Purnomo maka penelitian ini menggunakan metode Lean Manufacture yang dilakukan dengan memahami gambaran umum perusahaan melalui aliran informasi dan material di lantai produksi yang terdapat di PT. Wowin Purnomo yang meliputi aktivitas yang mempunyai nilai tambah, aktivitas yang tidak mempunyai nilai tambah, dan aktivitas yang tidak menambah nilai tapi diperlukan untuk menghasilkan produk, sehingga dengan mengetahui gambaran umum tersebut suatu permasalahan bisa diketahui dan dicari solusinya dengan cara memberikan rekomendasi perbaikan, sehingga tujuan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen (customer needs) akan tercapai.


(18)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut :

“ Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan waste dan bagaimana cara mengidentifikasi waste dan melakukan improve guna meminimalkan waste pada produksi kecap, sehingga tingkat waste bisa diminimalkan?”.

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini batasan masalah yang digunakan adalah :

1. Penelitian ini hanya sebatas pengidentifikasian waste pada produksi kecap. 2. Improve sebagai rencana kegiatan dilakukan sebatas usulan.

3. Masalah biaya tidak dibahas dalam penelitian ini.

1.4 Asumsi

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Proses produksi berjalan normal ketika penelitian dilakukan.

2. Aliran poses produksi tidak berubah selama penelitian berlangsung. 3. Situasi lingkungan internal bersifat tetap.

4. Kondisi perusahaan berjalan normal dan stabil

5. Tidak ada penambahan atau pengurangan karyawan pada lantai produksi selama dilakukan penelitian.


(19)

1.5 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi waste yang terjadi sepanjang value stream pada proses produksi pembuatan kecap dengan Big Picture Mapping.

2. Mengetahui process activity mapping sepanjang value stream pada produksi kecap yang meliputi value added activity, non value added

activity dan necessary but non value added activity.

3. Memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi pemborosan (waste) yang ada pada lantai produksi dengan FMEA.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian tugas akhir ini baik bagi peneliti, perguruan tinggi maupun bagi perusahaan antara lain meliputi :

1. Bagi Peneliti :

Peneliti diharapkan mengerti penggunaan teori-teori dan penerapan Lean

Manufacturing yang telah diperoleh selama kuliah dan dengan melihat

secara langsung aktivitas nyata pada dunia industri, maka diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan serta wawasan bagi peneliti dan dapat melatih peneliti supaya cepat tanggap dalam menagani masalah di dalam dunia kerja, sehingga berguna bagi kedepannya.

2. Bagi Perguruan Tinggi

Sebagai literatur acuan yang berguna bagi pendidikan dan penelitian selanjutnya terhadap permasalahan tentang waste di PT. Wowin Purnomo


(20)

Trenggalek dan hasil analisa ini dapat digunakan sebagai perbendaharaan perpustakaan, agar dapat berguna bagi mahasiswa dalam menambah ilmu pengetahuannya.

3. Bagi Perusahaan :

Hasil analisa ini diharapkan bisa membantu perusahaan dalam mengetahui

waste yang selama ini tidak terdeteksi, membantu perusahaan untuk

mengetahui penyebab terjadinya waste dilantai produksi dan jenis pemborosan (waste) dan mempermudah perusahaan dalam mengetahui

root cause dari waste yang ditemukan sehingga mempermudah perusahaan

dalam melakukan kontrol.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang serta permasalahan yang akan diteliti dan dibahas. Juga diuraikan tentang perumusan masalah, batasan masalah, asumsi, tujuan, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam membuat laporan skripsi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi teori – teori dasar yang berkaitan Lean Manufacturing yang dijadikan acuan atau pedoman dalam melakukan langkah – langkah penelitian sehingga permasalahan yang ada dapat terpecahkan.


(21)

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi urutan langkah – langkah pemecahan masalah secara sistematis mulai dari perumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai, studi pustaka, pengumpulan data dan metode analisis data. BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan uraian tentang langkah-langkah pengumpulan data, pengolahan data, dan penganalisa data yang telah dikumpulkan dan hasilnya diharapkan menjadikan sebagai bahan pertimbangan akan kemungkinan penerapan metode tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisikan uraian tentang kesimpulan dan saran penelitian lanjutan yang bisa dilakukan

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lean 2.1.1 Definisi Lean

Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan

(waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk barang/jasa agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer value). (Vincent Gaspersz, 2007). Tujuan lean adalah meningkatkan terus-menerus customer value melalui peningkatan terus menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the value to

waste ratio ).

APICS Dictionary (2005) mendefinisikan lean sebagai suatu filosofi bisnis yang berlandaskan pada minimalisasi penggunaan sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktivitas perusahaan. Lean berfokus pada identifikasi dan eliminasi aktivitas tidak bernilai tambah (non value adding activities) dalam desain, produksi (untuk bidang manufaktur) atau operasi (untuk bidang jasa),

supply chain management, yang berkaitan langsung kepada pelanggan.

Lean dapat didefinisikan sebagai pendekatan sistemik dan sistematis untuk

mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas yang tidak bernilai tambah melalui peningkatan terus-menerus secara radikal (radical

continuous improvement) dengan cara mengalirkan produk (material, work in process, output) dan informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari

pelanggan internal dan external untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan.


(23)

Enterprise. Apabila Lean diterapkan pada manufacturing, hal itu disebut sebagai Lean Manufacturing, jika dalam bidang jasa disebut Lean Service. Demikian pula

apabila Lean diterapkan dalam fungsi : design/development, order entry,

accounting, finance, engineering, sales/marketing, production, administration, office, maka akan disebut sebagai : Lean Design/Development, Lean Order Entry, Lean Accounting, Lean Finance, Lean Engineering, Lean Sales/Marketing, Lean Production, Lean Administration, Lean Office. Demikian pula Lean yang

diterapkan dalam bank akan disebut sebagai Lean Banking, Lean dalam bidang retail disebut sebagai Lean Retailing, Lean dalam pemerintahan disebut sebagai

Lean Government, dll. (Vincent Gaspersz, 2007).

Pendekatan Lean adalah berfokus pada peningkatan terus-menerus

customer value melalui identifikasi dan eliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai

tambah yang merupakan pemborosan (waste). Waste dapat didefinisikan sebagai aktivitas kerja (work activity) yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream. Berdasarkan perspektif

Lean semua jenis pemborosan yang terdapat sepanjang proses value stream, yang

mentransformasikan input menjadi output harus dihilangkan agar meningkatkan nilai produk (barang/jasa) guna peningkatan customer value.

Pada dasarnya dikenal dua kategori utama pemborosan, yaitu type one

waste dan type two waste. Type one waste adalah aktivitas kerja yang tidak

menciptakan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena berbagai alasan. Misalnya aktivitas inspeksi dan penyortiran dari perspektif Lean merupakan aktivitas tidak bernilai tambah sehingga


(24)

merupakan waste. Namun pada saat sekarang ini kita masih membutuhkan inspeksi dan penyortiran karena mesin dan peralatan yang digunakan sudah berusia lama sehingga tingkat kendalanya menjadi berkurang. Type one waste ini sering disebut sebagai incidental activity atau incidental work yang termasuk kedalam aktivitas tidak bernilai tambah (non value adding work activity). Type

two waste merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat

dihilangkan dengan segera. Misalnya menghasilkan produk cacat (defects) atau melakukan kesalahan (errors) yang harus dapat dihilangkan dengan segera. Type

two waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena benar-benar merupakan

pemborosan yang harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera. (Vincent Gaspersz, 2007).

2.1.2 Prinsip Dasar Lean

Terdapat lima prinsip dasar konsep Lean yaitu :

1. Mengidentifikasi nilai produk (barang/jasa) berdasarkan perpektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk (barang/jasa) berkualitas superior dengan harga yang kompetitif pada penyerahan yang tepat waktu.( ingat prinsip Q = Quality, C = Cost dan D = Delivery ). 2. Mengidentifikasi value stream process mapping (pemetaan proses pada

value stream) untuk setiap produk (barang/jasa). Catatan : Kebanyakan

manajemen perusahaan industri di indonesia hanya melakukan pemetaan proses bisnis atau proses kerja, bukan melakukan pemetaan pada proses produk. Hal ini berbeda dengan pendekatan Lean.


(25)

3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas sepanjang proses value stream.

4. Mengorganisasikan agar material, informasi dan produk itu mengalir secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan sistem tarik (pull system).

5. Mencari terus-menerus berbagai teknik dan alat-alat peningkatan (improvements tools and techniques) untuk mencari keunggulan (excellence) dan peningkatan terus-menerus (continuous improvement).

2.2 Lean Manufacturing

2.2.1 Definisi Lean Manufacturing

Pengertian Lean manufacturing adalah suatu pendekatan sistemik untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan melalui improvement atau perbaikan dan pengembangan yang terus-menerus dan berkelanjutan, berusaha membuat aliran industri dalam perusahaan menjadi lancar untuk berusaha menarik konsumen dalam upaya mencapai kesempurnaan. Lean Manufacturing adalah sebuah filosofi, didasarkan pada TPS (Toyota Production System) yang bertujuan untuk mengurangi waste melalui continuous improvement.

James womack dan daniel jones (1996) mendefiniskan Lean

Manufacturing sebagai suatu proses yang terdiri dari lima langkah diantaranya

adalah : mendefinisikan nilai bagi pelanggan, menetapkan value stream, membuatnya ”mengalir”, ”ditarik” oleh pelanggan, dan berusaha keras untuk mencapai yang terbaik. Untuk menjadi sebuah proses manufaktur yang Lean diperlukan suatu pola pikir yang terfokus pada membuat produk mengalir melalui


(26)

proses penambahan nilai tanpa interupsi (one piece flow), suatu sistem ”tarik” yang berawal dari permintaan pelanggan, dengan hanya menggantikan apa yang diambil oleh proses berikutnya dalam interval yang singkat dan suatu budaya dimana semua orang berusaha keras melakukan peningkatan secara terus-menerus. ( Jeffery K. Liker, 2006).

Istilah ”Lean” yang dikenal luas dalam dalam dunia manufacturing dewasa ini dikenal dalam berbagai istilah yang berbeda, seperti : Lean Production,

Lean Manufacturing, Toyota Production System, dan lain-lain. Namun Lean

dipercaya oleh sebagaian orang dikembangkan di Negara Jepang, khususnya Toyota sebagai pelopor system Lean Manufacturing. Perusahaan dikatakan Lean jika perusahaan tersebut telah menerapkan TPS (Toyota Production System) ke dalam semua bagian proses produksinya karena yang pertama menerapkan sistem

Lean ini adalah perusahaan Toyota Motor Company. Ketika suatu perusahaan

sudah menerapkan sistem TPS (Toyota Production System) ini, langkah awal yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah memeriksa proses manufaktur dari sudut pelanggan. Dari sini dapat diamati suatu proses dan memisahkan langkah-langkah yang menambah nilai dan yang tidak menambah nilai. Dari waste yang berhasil diminimalisasi ini diharapkan kepada pihak perusahaan untuk dapat menjadikannya sebagai suatu standararisasi kerja. (Jeffery K. Liker, 2006).

Apabila hal diatas disederhanakan, maka dapat dikatakan suatu aktifitas tergolong pemborosan secara umum apabila :

1. Melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat (tidak bernilai tambah) 2. Melebihi dari apa yang dibutuhkan


(27)

Dalam istilah Toyota Production System (TPS) juga dikenal dengan Muda,

Mura, dan Muri, yang berarti :

1. Muda (waste) : tidak menambah nilai. Ini adalah aktifitas yang tidak

berguna yang memperpanjang lead time, menimbulkan gerakan tambahan untuk memperoleh komponen atau peralatan, menciptakan kelebihan persediaan, atau berakibat pada penambahan jenis waktu tunggu.

2. Mura (inconsistency) : adanya variasi dalam pembebanan kerja atau

ketidakseimbangan. Di sistem produksi yang normal, kadang-kadang terdapat lebih banyak terdapat pekerjaan dibanding dengan yang dapat ditangani oleh orang atau mesin yang ada, dan pada saat lain hanya ada sedikit pekerjaan. Ketidakseimbangan diakibatkan oleh jadwal produksi yang tidak teratur atau volume produksi yang berfluktuasi karena masalah

internal, seperti kerusakan mesin, kekurangan komponen, dan produk

cacat. Muda berarti akibat dari Mura. Ketidakseimbangan tingkat produksi berarti perlu memiliki peralatan, material, dan orang-orang yang melakukan tingkat produksi yang tertinggi, bahkan bila permintaan rata-ratanya jauh lebih rendah dari itu.

3. Muri (irrationality) : pembebanan yang melebihi kapasitas atau memberi

beban berlebih kepada orang atau peralatan. Dari sudut pandang tertentu, hal ini merupakan ujung yang berseberangan dari spectrum Muda . Muri adalah memanfaatkan mesin atau orang dibatas kemampuannya, membebani orang secara berlebih akan menimbulkan masalah dalam keselamatan kerja dan kualitas. Membebani peralatan secara berlebih menyebabkan kerusakan dan produk cacat.


(28)

Implementasi Lean Manufacturing adalah menfokuskan diri mendapatkan hal yang tepat pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat dalam jumlah yang tepat untuk mencapai aliran kerja yang sempurna di saat yang sama meminimasi pemborosan dan menjadi fleksible (mudah berubah). Implementasi Lean

Manufacturing pertama kali diperkenalkan oleh Taiichi Ohno dari Toyota Motor Company, sebuah perusahaan raksasa dunia yang sangat agresif dalam improvement. Lean Manufacturing diharapkan produk atau komponen tersedia

tepat pada waktunya, dalam jumlah yang tepat dan pada tempat yang tepat pula. Dengan demikian persediaan dapat ditekan seminim mungkin dan proses produksi akan menjadi mengalir, tidak tersendat-sendat.

Lean Manufacturing menyaring intisari dari pendekatan Lean ke dalam

lima langkah utama (Hines & Taylor, 2000) yaitu :

1. Specify value (mendefinisikan nilai bagi pelanggan), yaitu

mengidentifikasi nilai (value) produk berdasarkan perspektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan penyerahan tepat waktu.

2. Identify whole value stream (menetapkan value stream), yaitu

mengidentifikasi semua langkah – langkah yang diperlukan untuk mendesain, memesan dan memproduksi barang atau produk ke dalam

whole value stream untuk mencari non value added activity (aktivitas yang

tidak memberikan nilai tambah).

3. Flow (mengalir), yaitu membuat value flow untuk semua aktifitas yang

memberikan nilai tambah disusun dalam suatu aliran yang tidak terputus (continuous).


(29)

4. Pulled (ditarik oleh pelanggan), yaitu mengorganisasikan agar material,

informasi dan produk mengalir lancar dan tepat sepanjang proses value

stream dengan pull system.

5. Perfection (pencapaian yang terbaik), yaitu mengejar keunggulan untuk

mencapai kesempurnaan (zero waste) melalui perbaikan yang dilakukan secara terus – menerus sehingga waste yang terjadi dapat dihilangkan secara total dari proses yang ada.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Lean Manufacturing

Prinsip Lean Manufacturing sejatinya telah digunakan oleh Henry Ford sejak awal tahun 1920, dan terbukti telah membuat Ford Motor Company menjadi perusahaan otomotif terbesar kedua di dunia. Henry Ford berkata “ salah satu pencapaian kami (Ford Group) mampu menjaga produk Ford menjadi tetap rendah, yaitu semakin lama sebuah produk dalam proses manufaktur , maka total biaya produksi juga akan semakin besar”. (Jeffery K. Liker, 2006).

Dalam penerapan metode Lean Manufacturing terdapat prinsip – prinsip yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Menyempurnakan mutu pertama kali, mencari nol cacat, pernyataan dan pemecahan permasalahan pada sumbernya

2. Meminimalkan barang sisa, penghapusan semua aktivitas yang tidak menambahkan nilai dan memaksimalkan penggunaan sumber daya (modal, orang – orang dan area)

3. Peningkatan yang berkelanjutan, mengurangi biaya – biaya, meningkatkan mutu, dan berbagi informasi


(30)

4. Proses penarikan yaitu produk ditarik dari pelanggan terakhir, yang tidak mendorong dari akhir produksi

5. Fleksibilitas, produksi produk yang berbeda (mixed production) atau

keanekaragaman produk yang lebih besar dengan cepat, tanpa mengorbankan efisiensi pada volume produksi lebih rendah

6. Bangunan dan pemeliharaan adalah suatu hubungan jangka panjang dengan para penyalur melalui berbagai resiko kolaboratif, biaya dan pengaturan informasi.

7. Autonomation, leveling and production flow and visual control.

2.3 Pemborosan (waste)

Pemborosan adalah segala aktivitas tidak bernilai tambah dalam proses dimana aktivitas-aktivitas itu hanya menggunakan sumber daya namun tidak memberikan nilai tambah kepada pelanggan. Pada saat melakukan eliminasi terhadap waste, sangatlah penting untuk mengetahui apakah waste itu dan dimana

waste berada, apakah di pabrik atau di gudang. Umumnya produk yang dihasilkan

berbeda pada masing-masing pabrik, tetapi jenis waste yang ditemukan di lingkungan manufaktur hampir sama.

Pada saat berpikir tentang pemborosan (waste), akan lebih mudah bila mendefinisikannya kedalam tiga jenis aktivitas yang berbeda yaitu :

1. Aktivitas Yang Bernilai Tambah (Value Adding Activity)

Segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang memberikan nilai tambah di mata konsumen. Contoh dari aktivitas tipe ini adalah mengubah plat baja menjadi tangki baja, dan lain sebagainya.


(31)

2. Aktivitas Yang Tidak Bernilai Tambah (Non Value Adding Activity)

Merupakan segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang tidak memberikan nilai tambah di mata konsumen. Aktivitas inilah yang disebut waste yang harus dijadikan target untuk segera dihilangkan. Contoh dari aktivitas ini adalah waktu menunggu, penumpukan bahan atau material, dan lain-lain.

3. Aktivitas Yang Tidak Bernilai Tambah Tetapi Dibutuhkan (Necessary Non

Value Adding Activity)

Merupakan segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang tidak memberikan nilai tambah di mata konsumen tetapi diperlukan kecuali apabila sudah ada perubahan pada proses yang ada. Aktivitas ini biasanya sulit untuk dihilangkan dalam waktu singkat. Contoh dari aktivitas ini adalah inspeksi setiap produk pada akhir proses karena menggunakan mesin lama yang tidak reliable. (Hines & Taylor, 2000).

2.4 Type-Type Pemborosan (waste)

2.4.1 Type Tujuh Pemborosan (seven waste)

Berikut ini adalah penjelasan dari seven waste yang diidentifikasikan oleh Dr. Shiego Singo kemudian ditulis kembali oleh Kilpatrick (2003) :

1. Produksi berlebihan (overproduction) adalah kegiatan menghasilkan barang melebihi permintaan/keinginan sehingga menambah alokasi sumber daya terhadap produk.

2. Menunggu (waiting) adalah proses menunggu kedatangan material, informasi, peralatan dan perlengkapan.


(32)

3. Transportasi (transportation) adalah memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke proses berikut yang dapat mengakibatkan waktu penaganan material bertambah..

4. Proses yang tidak tepat (inappropriate processing) adalah proses kerja dimana terdapat ketidaksempurnaan proses atau metode operasi produksi yang diakibatkan oleh penggunaan tool yang tidak sesuai dengan fungsinya ataupun kesalahan prosedur atau sistem operasi. Secara umum faktor penyebabnya adalah peralatan atau tool yang tidak sesuai,

maintenance peralatan yang jelek dan lain-lain.

5. Persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory) adalah penyimpanan (inventory) melebihi volume gudang yang ditentukan, material yang rusak karena terlalu lama disimpan atau terlalu cepat dikeluarkan dari tempat penyimpanan, material yang sudah kadaluarsa. Secara umum faktor penyebabnya adalah waktu change over yang lama, ketidakseimbangan lintasan, peramalan yang kurang akurat, atau ukuran batch yang besar. 6. Gerakan yang tidak perlu (unnecessary motion) adalah gerakan yang

melibatkan konsep ergonomis pada tempat kerja, dimana operator melakukan gerakan-gerakan yang seharusnya bisa dihindari, misalnya komponen dan kontrol yang terlalu jauh dari jangkauan double handling,

layout yang tidak standar, operator membungkuk. Secara umum faktor

penyebabnya adalah pengelolaan tempat kerja yang jelek, layout yang jelek, metode kerja yang tidak konsisten, desain mesin yang tidak ergonomis.


(33)

7. Kecacatan (defect) merupakan kesalahan yang terlalu sering dalam kertas kerja, kualitas produk yang buruk, atau performansi pengiriman yang buruk, ketidaksempurnaan produk, kurangnya tenaga kerja pada saat proses berjalan, adanya alokasi tenaga kerja untuk proses pengerjaan ulang (rework) dan tenaga kerja menangani pekerjaan claim dari pelanggan.

2.4.2 Type Delapan Pemborosan (eight waste)

Dalam kalangan praktisi Lean Manufacturing dikenal sebagai delapan pemborosan yang menurut Taiichi Ohno (salah satu pencipta Toyota Production

System) bertanggung jawab dalam sekitar 95% dari semua biaya yang ada dalam

produksi. Delapan pemborosan tersebut adalah : 1. Overproduction (produksi berlebih)

Produksi berlebih adalah memproduksi produk jauh lebih banyak dari permintaan konsumen atau melebihi jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan dalam Lean Manufacturing semua produk yang diproduksi diluar hal tersebut (Work in Progress, buffer, safety stock) merupakan pemborosan karena hal tersebut membuat organisasi menjadi tidak dapat melakukan hal lain yang dapat memenuhi keinginan konsumen. Produksi berlebih adalah pemborosan yang paling parah diantara jenis pemborosan lainnya. Kalau permintaan pasar sedang tinggi, pemborosan jenis ini mungkin terlalu penting, namun dikala permintaan pasar sedang menyusut, dampak dari produksi berlebih akan berlipat ganda. Bahkan seringkali perusahaan mendapatkan kesulitan karena menyimpan barang yang tidak terjual itu sebagai persediaan extra.


(34)

2. Waiting (menunggu)

Yang dimaksud dengan menuggu ialah menunggu kedatangan material, menunggu informasi, peralatan, perlengkapan dan semua hal yang membuat organisasi berhenti beraktivitas sehingga menimbulkan pemborosan. Pemborosan karena menunggu harus ini harus terungkap kebenaran situasinya terlebih dahulu sebelum tindakan perbaikan dilaksanakan. Suatu contoh yang salah menafsirkan situasi pemborosan karena karena waktu menunggu adalah membiarkan mesin dan operatornya menunggu pada saat pekerjaan yang diperlukan sudah selesai. Bila hal ini dianggap sebagai pemborosan dan kemudian diatasi maka dampaknya justru akan menimbulkan pemborosan karena produksi berlebih yang lebih gawat. Dalam hal ini kita harus lebih cermat dalam menilai situasi.

3. Transportation (transportasi yang tidak perlu)

Yang di maksud transportasi dalam Lean Manufacturing adalah bahwa transportasi suatu barang seharusnya dilaksanakan atau didatangkan langsung menuju tempat dimana barang tersebut dapat langsung digunakan sehingga tidak menimbulkan pemborosan lainnya yaitu transportasi yang tidak perlu. Pemborosan karena transportasi dan penanganan barang adalah pemborosan yang sering kita jumpai di dalam pabrik. Barang yang sama dapat saja ditangani berulang-ulang tanpa memberi nilai tambah. Perencanaan yang buruk akan menyebabkan kegiatan transportasi membengkak dan penanganan barang dilakukan berulang-ulang.


(35)

4. Non value added activities (aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah)

Metode dalam pengolahan produksi dapat menjadi sumber dari pemborosan yang seharusnya tidak perlu ada. Misalnya pengerjaan ulang (reworking) karena seharusnya proses tidak perlu diulang apabila dilakukan proses yang benar. Deburing (sisa produksi) karena produk seharusnya dapat diproduksi tanpa sisa produksi apabila dilakukan dengan desain yang tepat dan alat yang lengkap untuk pekerjaan tersebut dan

inspecting (pemeriksaan) karena produk seharusnya dapat diproduksi

dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) untuk menghilangkan atau meminimalkan jumlas inspeksi yang diperlukan dalam menjaga kualitas produk tersebut.

5. Excess inventory (persediaan berlebih)

Persediaan berlebih juga akan meningkatkan biaya produksi. Kelebihan persediaan memerlukan penanganan extra, tempat extra, extra bunga yang harus dibayar, extra karyawan, extra dokumen, dan lain-lain.

Berikut adalah beberapa prinsip untuk mengurangi persediaan berlebih : - Singkirkan barang-barang yang tidak diperlukan lagi

- Jangan memproduksi barang yang tidak diperlukan untuk proses berikutnya.

- Jangan membeli atau membawa barang dalam ukuran lot besar (meskipun penghematan dari diskon pembelian dalam jumlah besar, mungkin lebih besar dari biaya pemborosan karena persediaan)


(36)

- Usahakan untuk memproduksi dalam lot kecil (mengurangi waktu

set-up atau tingkatkan frekuensi peralihan jenis produksi)

6. Excess motion (gerakan yang berlebih/tidak diperlukan)

Seorang pekerja dapat kelihatan sibuk selama tiga jam untuk mondar-mandir mencari alat kerja ke semua sudut pabrik. Jelas ini merupakan kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah sama sekali, hal ini justru akan membebani biaya produksi dengan upahnya selama tiga jam yang sia-sia. Di samping itu, hasil produksi menjadi tertunda dikirim kepada pelanggan klarena lead time produksi bertambah. Contoh gerakan mengambil dan mengembalikan benda dapat dihilangkan bila kita meletakkan alat kerja berdekatan dengan penggunaannya. Berjalan mondar-mandir dengan jarak yang cukup jauh adalah gerakan yang sia-sia, khususnya bila operator diberi tanggung jawab untuk mengoperasikan mesin. Mesin harus diletakkan dengan benar, saling berdekatan dengan operator sehingga perjalanan kaki operator dapat dikurangi.

7. Defect waste (pemborosan karena cacat produksi)

Bila cacat produksi terjadi pada satu pos produksi kerja, maka pada umumnya operator pada pos kerja berikutnya akan menunggu. Waktu terbuang percuma dan menambah biaya produksi. Lebih parah lagi apabila barang-barang tersebut dikerjakan ulang (rework) atau bahkan produk yang cacat itu harus dimusnahkan. Apabila cacat produksi terjadi maka akan diperlukan untuk membongkar dan mereparasi produk itu, lagipula tambahan komponen juga akan diperlukan dalam penaganan komponen yang rusak. Otomatis jadwal produksi akan terganggu karena menunggu


(37)

proses penyelesaian tersebut. Memilah-milah komponen yang jelek juga menyerap tambahan tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah biaya, yang berarti pemborosan. Kasus yang lebih buruk lagi apabila pelanggan menemukan cacat produksi setelah produk berada ditangannya. Tidak hanya ongkos garansi dan ongkos kirim saja yang harus ditanggung, tetapi juga pengorbanan citra perusahaan, peluang bisnis pendatang baru dan pangsa pasar yang menyusut. Untuk menghindari masalah itu sebuah sistem harus dikembangkan untuk menemukan dan mengenali cacat produksi serta berbagai kondisi penyebab timbuknya cacat tersebut. Dengan demikian, operator bisa melakukan tindakan perbaikan langsung. 8. Underutilized people (pekerja yang kurang profesioanl)

Yang dimaksud underutilzed people adalah pekerja yang tidak mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya baik dari segi mental, kreativitas, serta skill dan kemampuan fisik dimana biasanya seorang pekerja harus dapat mengoptimalkan seluruh kemampuan yang dimiliknya demi kepentingan bersama. Beberapa penyebab pemborosan type ini adalah : proses kerja yang jelek dan kurang teratur, budaya kerja yang kurang positif atau tidak mendorong pekerjanya untuk berkembang, praktek perekrutan para pekerja yang kurang selektif, training pegawai yang kurang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali training pegawai, dan turnover pekerja yang terlalu tinggi sehingga tidak ada pekerja yang benar-benar mengerti pekerjaan serta segala detail dari perusahaan untuk berkembang.


(38)

2.4.3 Type Sembilan Pemborosan (nine waste)

Menurut Vincent Gaspersz (2007) terdapat sembilan pemborosn yang ada dalam bidang industri yang terkenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu :

1. E = Environmental, Health and Safety (EHS) adalah jenis pemborosan yang tejadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip EHS.

2. D = Defects adalah jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang/jasa).

3. O = Overproduction adalah jenis pemborosan yang terjadi karena produksi berlebih dari kuantitas yang dipesan oleh pelanggan,

4. W = Waiting adalah jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu. 5. N = Not utilizing employees knowladge skills and abilities adalah jenis

pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan secara optimal.

6. T = Transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream.

7. I = Inventories adalah jenis pemborosan yang terjadi karena inventories yang berlebihan.

8. M = Motion adalah jenis pemborosan yang terjadi karena banyaknya pergerakan dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.

9. E = Excess processing adalah jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses yang panjang dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.


(39)

2.4.4 Type Sepuluh Pemborosan (ten waste)

Dalam perspektif lain, kaufman consulting group (1999) telah merumuskan 10 jenis pemborosan dalam industri manufaktur, dimana ke-10 jenis pemborosan itu dikelompokkan kedalam empat kategori utama yaitu orang, kuantitas, kualitas dan informasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 dan pendekatan untuk mereduksi pemborosan tersebut ditunjukkan dalam tabel 2.1

(Sumber : Kaufman consulting group, 1999)

Gambar 2.1 Sepuluh areas waste dalam industri manufaktur

Tabel 2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan dalam industri manufaktur Kategori pemborosan Jenis pemborosan Pendekatan reduksi pemborosan Contoh metode peningkatan kinerja Fokus peningkatan

Orang (people) Processing, motion, waiting Manajemen tempat kerja (workplace manajement) Penetapan standar kerja, pengorgaisasian tempat kerja, kaizen, 5S

Tata letak (layout), pemasangan label (labeling), tools/part

arrangement, work instruction, efisiensi, takt time, skills

(kemampuan),

training, shift meeting, cell/areas team, visual displays


(40)

Kuantitas (quantity) Inventory, moving things, making too much

JIT (Just In

Time) Leveling, kanban, quick setup, preventive maintenance

Work balance, WIP (work in process), location/amount, kanban location, kanban types, lot sizes, changeover analyze, preventive maintenance analyze

Kualitas (quality)

Fixing defects Error (mistake), proofing, autonomation Detection, warning, prediction, prevention, jidoka Fixture modifications succesive checks, limit switches, check sheets, appropriated automated assistance, template Informasi (information) Planning, scheduling, execution Teknologi informasi berfokus proses (process focused information technology) Plan, schedule, track, anticipate, optimize Queue analyze, dynamic scheduling of order/job status by process element, timing/completion

( Sumber : Kaufman consulting group, 1999 )

2.5 Tools Yang Digunakan

Dalam mencari penyebab terjadinya waste ada beberapa tools yang digunakan, yaitu :

2.5.1 Big Picture Mapping

Big picture mapping adalah pemetaan proses pada level tinggi yang

melingkupi proses secara luas namun dengan tingkat kedetailan yang masih rendah. Peta gambar besar atau Big Picture Mapping merupakan sebuah alat yang diadopsi dari sistem produksi Toyota. Alat ini sangat membantu dalam mengidentifikasi terjadinya pemborosan (waste). Pemborosan dapat diketahui dengan mengetahui aliran fisik dan aliran informasi dari perusahaan dan


(41)

menggambarkannya dalam satu kesatuan. Selain itu peta gambar besar atau Big

Picture Mapping sangat berguna untuk dilakukan sebelum membuat detailed mapping dari proses manapun. Dengan membuat Big Picture Mapping maka

dapat membantu untuk menggambarkan aliran yang ada, membantu menemukan lokasi waste, menyatukan penerapan dari kelima prinsip Lean, membantu untuk memutuskan siapa yang menjadi anggota tim untuk implementasi, memperlihatkan hubungan antara sistem informasi dengan aliran fisik.

Ada lima langkah yang perlu dilakuakan untuk membentuk Big Picture

Mapping yaitu :

1. Fase pertama, mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan.

Beberapa perlu dijawab pada fase ini. Misalnya, seberapa banyak pelanggan membutuhkan barang tertentu tiap tahun, bagaimana pola pemesanannya, berapa ukuran pesanan biasanya, berapa banyak pelanggan biasanya menyimpan persediaan, berapa sering pengiriman dilakukan, serta hal-hal lain yang relevan.

2. Fase kedua, Information flows

Pada fase ini, ditambahkan aliran informasi yang melintasi proses yang ditinjau. Untuk melengkapi fase ini perlu dicari tahu apakah informasi yang diberikan pelanggan ke perusahaan (ramalan, call-off, dan sebagainya), kebagian mana informasi-informasi tersebut disampaikan, berapa lama menunggu sebelum informasi tersebut diproses, pihak mana saja atau siapa saja yang dilewati sampai informasi tersebut mengalir ke bagian hulu perusahaan (supplier), serta informasi-informasi apa yang perusahaan berikan ke supplier.


(42)

3. Fase ketiga adalah menambahkan aliran fisik pada peta tersebut.

Aliran fisik yang berasal dari luar dan ke luar perusahaan maupun yang ada di dalam perusahaan harus sama-sama ditambahkan. Informasi seperti pola pengiriman dari supplier, ukuran pengiriman, rata-rata waktu tunggu sebelum pesanan dikirim,. Selanjutnya, untuk aliran internal perlu diidentifikasikan langkah-langkah kunci yang terlibat, di mana saja persediaan biasanya disimpan, dimana saja biasanya terjadi inspeksi kualitas, berapa lama masing-masing kegiatan tersebut dilakukan, titik mana merupakan bottleneck, dan sebagainya.

4. Fase keempat adalah hubungkan aliran fisik dan aliran informasi.

Di sini diperlukan informasi di mana informasi seperti rencana material atau rencana produksi turun menjadi pemicu adanya aliran fisik dan sebaliknya. Sebagai contoh, rencana produksi diuraikan menjadi jadwal produksi harian sehingga dapat menjadi pedoman untuk memindahkan material dari gudang ke lantai produksi dan menjadi instruksi kerja operator di lantai produksi untuk mengerjakan suatu produk. Sebaliknya, ada aliran dari bagian bawah ke bagia atas dari peta yang dibuat. Misalnya, hasil kegiatan inspeksi material akan memberikan informasi tentang reject

rate. Informasi ini akan masuk ke bagian perencanaan material sehingga

bisa digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki atau membuat rencana baru.

5. Fase kelima adalah melengkapi peta di atas dengan informasi lead time dan value adding time dari keseluruhan proses. Informasi ini ditempatkan di bagian bawah dari peta.


(43)

Berikut ini adalah simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture

Mapping (BPM) :

Sumber : Hines, P. & D. Taylor, 2000. ”Going Lean”.

Gambar 2.2 Icon Big Picture Mapping

Untuk menggambarkan Peta gambar besar atau Big Picture Mapping terlebih dahulu tentukan lambang dari tiap komponen yang ada antara lain : pemasok/konsumen (supplier/customer), kotak informasi (information box), kotak waktu (timing box), kotak pengerjaan ulang (rework box), titik persediaan (inventory point), titik inspeksi (quality check point), stasiun kerja dengan waktu (work station with timing), aliran informasi (information flow), aliran fisik (physical flow), kotak proses stasiun kerja (work station process box), aliran fisik antar perusahaan (inter company physical flow).

2.5.2 Value Stream Analysis Tools (VALSAT)

Value Stream Mapping Tools (VALSAT) adalah alat yamg berfungsi

untuk memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan (waste). Value stream


(44)

pada aliran nilai yang fokus pada value adding process dan non-value adding

process. VALSAT merupakan tool yang dikembangkan oleh Hines dan Rich

(1997) untuk mempermudah pemahaman terhadap value stream yang ada dan mempermudah untuk membuat perbaikan berkenaan dengan waste yang terdapat dalam value stream. VALSAT merupakan pembobotan waste-waste, kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool dengan menggunakan matrik. Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state yang diusulkan. Alasan yang mendasari pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para peneliti atau para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual value stream dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Berikut ini adalah tools yang digunakan pada value stream mapping yang akan ditunjukkan pada tabel 2.2 .

Tabel 2.2 Value Stream Analysis Tools

process activity supply chain production variety quality filter demand amplification decision point phisical waste/structure mapping response

matrix funnel mapping mapping analysis structure over

production L M L M M

waiting H H L M M

transportation H L

unappropriate H M L L

processing

unnecessary M H M H M L

inventory

unnecessary H L H

motion

defects L

overall

structure L L M L H M H

Sumber : Hines dan Rich , “Value stream managemen”2000.

Notes : H : high correlation and usefulness M : medium correlation and usefulness L : low correlation and usefulness

Keterangan : H (high correlation) : faktor pengali = 9

M (medium correlation) : faktor pengali = 3 L (low correlation) : faktor pengali = 1


(45)

Selanjutnya akan dilakukan pemilihan pemetaan yang tepat dalam value

stream dengan menggunakan VALSAT (Value Stream Analysis Tools). Cara

perhitungannya adalah hasil dari rata-rata waste dikalikan dengan besar pembobotan yang terdapat pada tabel VALSAT . Dari ketujuh tool tersebut akan digunakan untuk memahami kondisi yang terjadi di lantai produksi, penggunaan

tool tersebut dilakukan dengan melakukan pemilihan dengan menggunakan

matrik. Untuk langkah penting dalam pemilihan tool yang sesuai dengan kondisi yang bersangkutan antar lain melakukan pembobotan terhadap waste. Pembobotan ini merupakan hal yang sangat penting sekali karena dengan prmbobotan waste yang sempurna maka tool yang akan datang juga tepat sehingga mudah dalam melakukan usulan perbaikan.

Untuk lebih jelasnya berikut detail dari ketujuh tools yang dikemukakan oleh Hines dan Rich (1997) dalam VALSAT :

a. Process Activity Mapping (PAM)

Tool ini digunakan untuk membuat detailed mapping dalam order

fulfillment process. Secara lebih luas kita menggunakannya untuk

mengidentifikasi lead time baik dari aliran fisik produk maupun aliran informasi, tidak hanya di area pabrik tetapi juga pada area lainnya dalam

supply chain, mengeliminasi pemborosan pada tempat kerja dan

menyediakan goods dengan kualitas tinggi serta pelayanan yang mudah, cepat dan tidak mahal. Dasar pendekatan ini adalah mencoba untuk mengeliminasi aktivitas yang tidak perlu, menyederhanakan, mengkombinasi serta mencari perubahan rangkaian yang akan mengurangi pemborosan.


(46)

Empat tahap pendekatan Process Activity Mapping secara umum adalah : 1. Memahami aliran proses kemudian mengidentifikasi pemborosan 2. Mempertimbangkan apakah proses dapat di arrange ulang pada

rangkaian yang lebih efisien.

3. Mempertimbangkan aliran yang lebih baik, melibatkan aliran

layout dan rute transportasi yang berbeda.

4. Mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang telah dilakukan pada tiap-tiap stage benar-benar perlu dan apa yang akan terjadi jika hal-hal yang berlebihan tersebut dihilangkan.

Dalam tool ini aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori, seperti : operation (operasi), transport (transportasi), inspection (pemeriksaan),

storage (penyimpanan) dan delay (menunggu). Untuk membuat Process Activity Mapping, dilakukan dengan cara membuat analisa persiapan

proses kemudian dilakukan pencatatan secara detail dari permintaan barang pada tiap proses. Hasilnya adalah peta proses, dimana tiap-tiap langkah telah dikategorikan dalam berbagai macam tipe aktivitas.

b. Supply Chain Response Matrix

Tool ini merupakan sebuah diagram sederhana yang berusaha

menggambarkan the critical lead time constraint untuk setiap bagian proses dalam supply chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik suppliernya dan downstream retailernya. Diagram ini terdapat 2 axis dimana untuk vertical axis menggambarkan rata-rata jumlah inventory (hari) dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan untuk horizontal axis menunjukan comulative lead timenya.


(47)

c. Production Variety Funnel

Pendekatan ini sama dengan metode analisa IVAT yang melihat operasi

internal perusahaan sebagai aktivitas yang disesuaikan ke I, V, A, atau T

merupakan pemetaan visual yang mencoba memetakan jumlah variasi produk tiap tahapan proses manufaktur. Tools ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik dimana sebuah produk generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik. Tool ini dapat digunakan untuk membantu menentukan target perbaikan, pengurangan inventory dan membuat perubahan untuk proses dari produk.

d. Quality Filter Mapping

Pendekatan Quality Filter Mapping merupakan tool baru yang digunakan untuk mengidentifikasi dimana keberadaan masalah kualitas pada rantai persediaan. Peta ini memperlihatkan tiga tipe cacat kualitas yang berbeda yang terdapat pada value stream yaitu :

1. Product defect : cacat pada fisik produk yang lolos dari proses

inspeksi dan sampai ke tangan konsumen.

2. Scrap defect : cacat yang ditemukan pada proses inspeksi

3. Service defect : permasalahan dari konsumen yang tidak secara

langsung berhubungan dengan produk, tetapi dengan tingkat pelayanan dari perusahaan.

Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara letitudinal sepanjang

supply chain. Pendekatan ini dirancang untuk membangun tingkat kualitas

baik internal maupun eksternal semaksimal mungkin seperti yang di inginkan oleh konsumen (customer needs).


(48)

e. Demand Amplification Mapping

Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demand berubah-ubah sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi yang dihasilakn dari diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan menguranginya, membuat keputusan berkaitan dengan value

stream configuration. Dalam diagram ini vertical axis menggambarkan interval waktu, grafik di dapatkan untuk setiap chain dari supply chain configuration yang ada.

f. Decision Point Analysis

Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana aktual

demand dilakukan dengan sistem pull sebagai dasar untuk membuat forecast pada sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik

batas dimana produk dibuat berdasarkan demand aktual selanjutnya produk harus dibuat dengan melakukan forecast. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan dari proses upstream dan downstream berdasarkan titik tersebut, sehingga dapat ditentukan filosofi pull (tarik) atau push (tekan) yang sesuai.

g. Phisical Structure

Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi bagian-bagian

dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi dan dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk level yang lebih kecil tool ini dapat menggambarkan inbound


(49)

2.5.3 Fish Bone Chart (Diagram Tulang Ikan)

Fish Bone Chart adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan

antara karakteristik mutu dan faktor penyebab kecacatan/pemborosan. Diagram ini berbentuk tulang ikan karena itu disebut juga diagram tulang ikan. Fish Bone

Chart merupakan alat formal yang digunakan untuk menunjukkan penyebab

potensial dari kecacatan/pemborosan. Ruas utama sebelah kanan menunjukkan masalah yang terjadi. Cabang utama dikaitkan pada penyebab utama dan setiap cabang utama memiliki daftar penyebab yang lebih detail. Penyebab masalah utama yang potensial harus segera dicari tahu dan dianalisa saat masalah diidentifikasi. Metode tukar pikiran digunakan untuk menentukan penyebab dari akibat yang dihasilkan dalam mendesain sebuah diagram sebab akibat. (Sutalaksana. 1979).

Gambar 2.3 Fish Bone Chart

2.5.4 Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)

FMEA digunakan sebagai teknik evaluasi tingkat kehandalan untuk menentukan efek dari kegagalan sistem. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampaknya pada kesuksesan suatu misi dan keselamatan anggota atau peralatan.


(50)

Konsep FMEA ini berubah ketika diterapkan pada kondisi manufaktur modern yang memproduksi produk-produk konsumsi. Pada produsen dari produk-produk konsumsi tersebut kemudian menetapkan beberapa prioritas baru, termasuk kepuasan dan keselamatan konsumen. (Haviland, 1998).

Secara umum Failure Mode Effect and Analysis didefinisikan sebagai sebuah teknik yang mengidentifikasi tiga hal, yaitu (1) Penyebab kegagalan yang potensial dari proses atau produk selama siklus hidupnya. (2) Efek dari kegagalan tersebut. (3) Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi produk atau proses. (Haviland, 1998).

FMEA merupakan tool dalam menganalisis kehandalan (reliability) dan penyebab kegagalan untuk mencapai persyaratan kehandalan dan keamanan produk dengan memberikan informasi dasar mengenahi prediksi kehandalan, desain produk, dan desain proses. Dalam FMEA terdapat beberapa hal yang berpengaruh, antara lain :

1. Rating keparahan (severity) adalah rating yang berhubungan dengan tingkat keparahan efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan. Efek dirating pada skala satu sampai sepuluh, dengan sepuluh sebagai tingkat yang paling parah. Sumber fundamental dari kegagalan menyangkut berbagai aspek dari desain, pemilihan material, kekurangan atau kelemahan material, fabrikasi dan pemrosesan, pengerjaan ulang, perakitan, inspeksi, uji coba atau testing, pengendalian kualitas (quality

control), penyimpanan, pengiriman, kondisi kerja, pemeliharaan, dan


(51)

mekanis atau kimia dalam kerja. Terkadang pula, lebih dari satu sumber tersebut memberikan kontribusi kegagalan. (Ford Motor Company, 1992). 2. Rating kejadian (occurrence) adalah rating yang berhubungan dengan

estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada elemen dengan jumlah yang ditentukan yang diproduksi dengan metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating kejadian ini diestimasikan dengan jumlah kegagalan kumulatif yang muncul pada setiap 1000 komponen atau CNF (Cumulative Number of

Failure)/1000. CNF/1000 dapat diestimasikan dari sejarah tingkat

kegagalan proses manufaktur dan komponen yang mirip atau yang dapat mewakili jika estimasi dari kegagalan dari komponen yang dimaksud tidak dapat ditentukan.

3. Rating deteksi (detection) tergantung pada metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating deteksi adalah ukuran kemampuan metode tipe (2) untuk mendeteksi penyebab atau mekanisme kegagalan atau kemampuan pengendalian metode tipe (3) untuk mendeteksi kegagalan. Satu nilai deteksi diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Metode pengendalian dapat dikelompokkan dan dipandang sebagai sebuah sistem jika beroperasi secara independen.

Tahapan FMEA diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi sistem dan elemen sistem

2. Mengidentifikasi kegagalan dan efeknya. Failure adalah keadaan dimana suatu sistem tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.


(52)

Effect of Failure merupakan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu

kegagalan.

3. Menentukan tingkat keparahan dari suatu kegagalan (severity). Tim FMEA dapat menentukan kriteria severity sendiri atau menggunakan kriteria menurut Stam,1998.

4. Menentukan occurrence. Occurrence menyatakan frekuensi atau jumlah kegagalan yang terjadi karena suatu penyebab. Tingkat

occurrence dimulai dari angka 1 (tingkat kejadian rendah) hingga 10

(tingkat kejadian sering). Rating occurrence dapat ditentukan menurut Ford, 1992

5. Menentukan tingkat deteksi (detection). Tingkat deteksi menyatakan tingkat ketelitian suatu metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Tingkat deteksi mulai dari angka 1 sampai 10. Semakin kecil tingkat deteksi, maka semakin tinggi kemampuan metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Apabila metode deteksi lebih dari satu, maka diberikan nilai deteksi terendah. Apabila nilai deteksi tidak dapat ditentukan, maka nilai deteksi yang digunakan adalah 10.

6. Menghitung Risk Priority Number (RPN). RPN menyatakan tingkat resiko dari suatu kegagalan. Angka RPN berkisar antara 1-1000, semakin tinggi angka RPN, maka semakin tinggi resiko suatu potensi kegagalan terhadap sistem, desain, proses maupun pelayanan. RPN =

Severity x Occurrence x Detection.

7. Memberikan rekomendasi tindakan untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan dan selanjutnya dianalisa.


(53)

2.6 Teknik-Teknik Pengembangan Lean Manufacturing

Dalam usaha untuk meminimalisasi atau menghilangkan pemborosan, para pemakai Lean Manufacturing System memakai berbagai macam alat yang disebut juga Lean Building. Yang patut dicatat adalah telah terbukti bahwa para pemakai

Lean Manufacturing System yang suskes menimplementasikan diperusahaan

menyadari bahwa meskipun program ini hanya dapat dijalankan sebagai program yang berdiri sendiri, hanya sedikit sekali yang yang mempunyai dampak positif yang signifikan bagi perusahaan ketika ia dijalankan sendiri. Sedangkan cara yang benar adalah implementasi Lean Manufacturing System harus mempunyai dampak ke seluruh aspek (overall) dan bahwa mengimplementasikan program ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, mungkin bisa menimbulkan efek yang negatif bagi perusahaan. (Suzaki, 1997).

Berikut ini merupakan daftar alat/tools yang telah bisa digunakan dalam program Lean Manufacturing System :

1. 5S atau WorkPlace Organizations (pengaturan tempat kerja). Tabel 2.3 Tabel 5S dalam 2 bahasa

Japanese ”S” American ”S”

Seiri (Organizations) Sort

Seiton (Tidiness) Set in Order

Seiso (Purity) Shine

Seiketso (CleanLiness) Standardize Shitsuke (Discipline) Sustain

Metode 5S atau WorkPlace Organizations (pengaturan tempat kerja) yaitu metode untuk mengorganisasi dan menstandarkan tempat kerja. Hal tersebut digunakan karena metode 5S merupakan salah satu metode yang paling mudah dan paling cepat dapat dioperasikan dalam mengimplementasikan Lean Manufacturing dan yang paling penting


(54)

adalah metode ini dapat diimplementasikan kedalam ke senmua bagian dalam perusahaan. Karena yang dilakukan 5S adalah mengatur tempat kerja agar lebih teratur sehingga proses kerja dapat berjalan dengan lebih mudah. Metode ini dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan seperti perlengkapan alat/tools yang diperlukan dalam proses kerja yang tidak lengkap dengan tujuan mengurangi pemborosan (waste) yang terjadi pada tempat kerja, posisi barang atau mesin lebih teratur, dan semua hal yang berhubungan dengan perbaikan lingkungan kerja secara menyeluruh. Berikut adalah kelima S tersebut (Seiri, Seiton, Seiso,

Seiketsu, dan Shitsuke) yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia

menjadi 5 R :

a. Ringkas (memilah) : pilahlah barang-barang dan simpan hanya yang diperlukan dan singkirkan yang tidak diperlukan.

b. Rapi (menata) : Setiap barang memiliki tempat dan setiap barang ada di tempatnya.

c. Resik (membersihkan) : proses pembersihan seringkali berbentuk pemeriksaan yang mengungkapkan abnormalitas dan kondisi sebelum terjadinya kesalahan yang dapat berdampak buruk terdapat kualitas atau menyebabkan kerusakan pada mesin.

d. Rawat (menciptakan aturan) : kembangkan sistem dan prosedur untuk mempertahankan dan memonitor ketiga R yang pertama. e. Rajin (mendisiplinkan diri) : menjaga tempat kerja agar tetap stabil

merupakan proses yang terus-menerus dari peningkatan berkesinambungan.


(1)

4.3.6 Rekomendasi Perbaikan Waste Dengan Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)

FMEA digunakan sebagai teknik evaluasi tingkat kehandalan untuk menentukan efek dari kegagalan sistem/jenis pemborosan. Dari lampiran L dapat dibuat prioritas dan diharapkan dengan melakukan tindakan perbaikan secara terus-menerus sesuai dengan prioritas yang telah diusulkan, maka pada masa yang akan datang pemborosan-pemborosan tersebut bisa dikurangi. Untuk perhitungan RPN diperoleh dari perkalian antara severity x occurrence x detection yang diperoleh dari pengolahan data pada lampiran L..

Produksi berlebih = S x O x D = 8 x 7 x 7 = 392 Menunggu = S x O x D = 7 x 8 x 6 = 336

Berdasarkan perhitungan tersebut maka dibuat prioritas perbaikan dari yang prioritas paling besar sampai yang paling kecil. Untuk lebih jelasnya akan djelaskan dalam tabel 4.18 dibawah ini.

Tabel 4.18 Rekomendasi perbaikan dengan FMEA Failure

(pemborosan)

Prioritas

ke - S O D RPN Usulan perbaikan

Produksi

berlebih 1 8 7 7 392

- Koordinasi antara bagian pemasaran dan produksi ditingkatkan

- Standar produksi harus jelas - Pengiriman produk sebaiknya

dilakukan berdasarkan metode JIT (Just In Time)

- Pembenahan metode kerja

- Penambahan/pengurangan tenaga kerja pada setasiun kerja tertentu

Menunggu 2 7 8 6 336

- Penambahan/pengurangan tenaga kerja pada setasiun kerja tertentu - Penambahan jam kerja/lembur - Penambahan sift kerja

- Pengaturan ulang tata letak stasiun kerja atau tataletak pabrik


(2)

Gerakan yang

tidak perlu 3 6 7 7 294

- Pembenahan fasilitas dan layout kerja - Penambahan/pengurangan tenaga

kerja

- Pembenahan metode kerja

Persediaan yang tidak perlu

4 8 7 5 280

- Perbaikan jadwal pemesanan bahan baku

- Menambah jam kerja/ sift kerja - Rencana produksi sebaiknya

disesuaikan dengan permintaan dari pelanggan

- Pembaruan metode kerja

Perpindahan 5 7 6 6 252

- Pembenahan tataletak pabrik

- Pembaharuan alat transportasi untuk memindahkan barang

Lingkungan, Kesehatan, Keselamatan

6 6 5 7 210

- Pengawasan ditingkatkan

- Pemberitahuan terhadap tenaga kerja tentang pentingnya K3

- Penerapan 5S ditingkatkan

Proses yang

tidak sesuai 7 4 6 5 120

- Mengadakan pelatihan pada tenaga kerja

- Maintenance alat/mesin harus ditingkatkan

- Peneguran kepada tenaga kerja yang tidak mematuhi peraturan tentang K3 - Pemberian visual control

Pekerja yang kurang profesional

8 4 6 5 120

- Perekrutan tenaga kerja harus disesuaikan antara skill dan bidang kerjanya

- Tingkat kesejahteraan karyawan perlu diperhatikan

Kecacatan 9 4 6 5 120

- Memilih tenaga kerja yang

mempunyai skill bagus sesuai bidang pekerjaanya

- Pembaruan alat/mesin dalam proses produksi

- Peningkatan faktor kontrol - Pemberian visual control (Sumber : Hasil pengolahan data pada lampiran L)

Berdasarkan tabel 4.18 diketahui bahwa prioritas pemborosan yang terbesar adalah produksi berlebih (overproduction) yaitu dengan nilai RPN 392. Berdasarkan kondisi aktual penyebab dari pemborosan produksi berlebih ini adalah koordinasi antara bagian produksi dan pemasaran kurang, banyaknya stock barang, standar jumlah produksi tidak ada dan rentang waktu antar stasiun kerja


(3)

berbeda jauh. Sedangkan untuk prioritas perbaikan ke dua adalah menunggu (waiting) dengan nilai RPN 336. Untuk prioritas perbaikan ketiga adalah gerakan yang tidak perlu dengan nilai RPN 294, selanjutnya prioritas keempat adalah persediaan yang tidak perlu dengan nilai RPN 280, kemudian prioritas perbaikan selanjutnya adalah perpindahan dengan nilai RPN 252, kemudian prioritas selanjutnya adalah lingkungan, kesehatan dan keselamatan dengan nilai RPN 210, setelah itu proses yang tidak sesuai dengan nilai RPN 120, kemudian pekerja yang kurang profesional dengan nilai RPN sebesar 120 dan yang terakhir adalah kecacatan dengan nilai RPN 120. Berdasarkan kondisi yang sebenarnya, penyebab terjadinya pemborosan ini adalah jarak perpindahan yang jauh, terjadinya overproduction di beberapa stasiun kerja, jam kerja yang kurang, layout kerja yang kurang nyaman, perbaikan jadwal pemesanan bahan baku, alat transportasi yang sudah usang, kebersihan kurang dan pengawasan yang minim. Sehingga berdasarkan tabel tersebut diatas dapat dijadikan acuan perusahaan untuk perbaikan pemborosan.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Waste yang teridentifikasi berdasarkan Big Picture Mapping adalah produksi berlebih, menunggu, perpindahan, gerakan yang tidak perlu, persediaan yang tidak perlu, pekerja yang kurang professioanal, lingkungan, kesehatan, keselamatan, kecacatan, proses yang tidak sesuai. 2. Berdasarkan process activity mapping sepanjang value stream pada proses

produksi pembuatan kecap diketahui bahwa value added activity sebesar 71.31% atau 110432 detik , non value added activity sebesar 11.31% atau 17521 detik dan necessary but non value added activity sebesar 17.38% atau 26903 detik.

3. Berdasarkan prioritas rekomendasi perbaikan pada FMEA didapat nilai prioritas tertinggi yaitu waste produksi berlebih dengan nilai RPN 392, waste menunggu dengan nilai RPN 336, waste gerakan yang tidak perlu dengan nilai RPN 294, waste persediaan yang tidak perlu dengan nilai RPN 280, waste perpindahan dengan nilai RPN 252 dan waste lingkungan, kesehatan dan keselamatan dengan nilai RPN 210. Sehingga untuk mengurangi pemborosan tersebut disarankan agar koordinasi antara bagian pemasaran dan produksi ditingkatkan, standar produksi harus jelas, pembenahan fasilitas atau layout kerja , pembenahan metode kerja, penambahan/pengurangan tenaga kerja pada setasiun kerja tertentu, pengawasan ditingkatkan dan penerapan 5S.


(5)

5.2 Saran

1. Guna memperlancar proses produksi diperusahaan sebaiknya koordinasi antara bagian-bagian dalam perusahaan ditingkatkan.

2. Rencana produksi sebaiknya disesuaikan dengan permintaan pelanggan, sedangkan untuk mengantisipasi permintaan yang mendadak sebaiknya stock produksi tidak terlalu banyak.

3. Pengawasan/kontrol terhadap tenaga kerja, peralatan/mesin maupun produk supaya ditingkatkan

4. Perekrutan karyawan sebaiknya disesuaikan dengan bidang keahlian agar dalam proses produksi bisa berjalan optimal.

5. Pembenahan fasilitas atau layout kerja sehingga bisa meminimalkan pemborosan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ford Motor Company, 1992, World Wide Potential Failure Mode and Effect Analysis, System – Design – Process Hand Book.

Gaspersz, Vincent, 2006, Continuous Cost Reduction Through Lean Sigma Approach, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gaspersz, Vincent, 2006, Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gaspersz, Vincent, 2007, Ge Way and Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gaspersz, Vincent, 2007, Organizational Excellence, Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Gaspersz, Vincent, 2007, The Executive Guide to Implementing Lean Six Sigma, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gaspersz, Vincent, 2007, Top Oriented Problem Solving, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hidayat, Ninik, 2009, “Analisis Pemborosan Perusahaan Mebel Dengan Pendekatan Lean Manufacturing” Jurnal Lean Manufacturing, Vol IV, No 2. Hines, P. and N. Rich., 1997. The Seven Value Stream Mapping Tools.

International Journal of Operation & Production Management, Vol.1, Iss.1. Hines, P. & D. Taylor, 2000. ”Going Lean”. Lean Enterprise Research Center

Cardiff, Bussines School, USA.

Liker, Jefery K, 2006, The Toyota Way, Penerbit Erlangga, Jakarta. Osada, Takashi, 2002, Sikap Kerja 5S, Penerbit PPM, Jakarta.

Sutalaksana, I.Z., Anggawisastra, R., dan Tjakraadmaja, J.H., 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Jurusan Teknik Industri, ITB, Bandung.

Suzaki, Kiyoshi, 1997, Tantangan Industri Manufaktur, Penerbit PT. Subur Jaringan Cetak Terpadu, Jakarta.

The Haviland Consulting Group, 1998, Failure Mode & Effectiveness Analysis Methodology, http://www.Fmeca.com.