Pewarna dye yang pada umumnya digunakan dalam metode pewarnaan protein secara kuantitatif adalah CBB G-250, tetapi pada penelitian ini digunakan
pewarna dye CBB R-250 yang pada umumnya digunakan untuk analisis protein secara kualitatif.
Menurut Otlets 2005, saat rantai samping protein ini berikatan dengan grup asam sulfonat pewarna maka akan terjadi reduksi warna dari pewarna.
Menurut Kruger 1994 pada kondisi netral, Coomasie Brillliant Blue dominan dalam bentuk anion bermuatan negatif yang akan mengadakan interaksi dengan
struktur protein. Menurut Anonim 2010, coomasie akan berubah dari warna merah kecoklatan absorbansi maksimum 465 nm menuju warna biru absorbansi
maksimum 610 nm. Warna biru yang terjadi setelah reaksi dapat dideteksi pada panjang gelombang antara 575 nm sampai 615 nm. Dan panjang gelombang
maksimumnya adalah 595. Pembacaan kadar protein dengan metode pewarnaan protein ini
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri sinar tampak Owusu, 2005 dan hasil akan dibaca dengan menggunakan metode derivatisasi.
1. Optimasi
Optimasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Optimasi pelarut reagen CBB R-250.
Optimasi pelarut reagen CBB R-250 bertujuan untuk mengetahui pelarut reagen yang sesuai sehingga menghasilkan hasil yang optimum saat
digunakan dalam kuantifikasi dengan spektrofotometer visible. Hal ini penting untuk dilakukan karena Pewarna dye yang pada umumnya
digunakan dalam metode pewarnaan protein secara kuantitatif adalah CBB G-250, tetapi pada penelitian ini digunakan pewarna dye CBB R-
250 yang pada umumnya digunakan untuk analisis protein secara kualitatif. Pada optimasi ini, setelah BSA direaksikan dengan CBB
menggunakan berbagai macam pelarut dilihat respon absorbansi pada panjang gelombang
λ teoritis yaitu 575nm–615nm. Operating time OT yang digunakan adalah OT teoritis yaitu selama 10 menit.
Tabel IV. Data hasil optimasi pelarut reagen CBB R-250
No Pelarut reagen CBB-R250
Respon Absorbansi
pada λ
575nm- 615nm
Keterangan
1. Formula 1
- Tidak terjadi
perubahan warna
2. Buffer Asetat pH 4
- Tidak terjadi
perubahan warna
3. PBS Phosphate Buffer Saline
- Tidak terjadi
perubahan warna
4.
PBS-metanol +
Terjadi perubahan warna ungu menjadi
biru
5. Formula modifikasi
+ Terjadi perubahan
warna ungu menjadi biru
Dari tabel IV, dapat dilihat bahwa terjadi reaksi antara CBB R-250 dan BSA yang ditunjukkan dengan adanya perubahan warna. Pada penelitian
ini perubahan warna terjadi dari warna ungu menjadi warna biru. Menurut Anonim 2010, perubahan warna terjadi dari warna merah
kecoklatan menjadi biru. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan jenis dye yang digunakan dalam penelitian yaitu CBB R-250.
Dari tabel IV, dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 jenis pelarut reagen CBB R-250 yang menunjukan hasil positif, sehingga perlu dilakukan
optimasi lebih lanjut terkait reagen yang paling optimum yang akan digunakan untuk analisis data.
b. Perbandingan reagen CBB R-250 dalam PBS-metanol dan formula modifikasi.
Perbandingan reagen CBB dalam pelarut PBS - Metanol dan formula modifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai optimasi lanjutan yang
bertujuan untuk menentukan penggunaan pelarut reagen CBB R-250 yang paling optimum dan mengetahui metode pembacaan yang akan
digunakan. Optimasi ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai slope dan nilai r dari hasil regresi linear masing-masing pelarut. Nilai r
dan nilai slope digunakan untuk menentukan pelarut CBB R-250 yang optimum karena keduanya menghubungkan antara konsentrasi dan
respon absrobansi. Dibawah ini merupakan data perbandingan reagen
CBB R-250 dalam PBS-metanol dan formula modifikasi.
Tabel V. Data perbandingan reagen CBB R-250 dalam PBS-metanol dan formula modifikasi
PBS-metanol Fomula modifikasi
Konsentrasi mgml
λ nm Absorbansi Abs
λ nm Absorbansi
Abs 0,6
606 0,087
590 0,059
0,8 606
0,053 594
0,069 1
606 0,037
598 0,076
1,2 618
0,071 598
0,081 1,4
608 0,051
602 0,051
Dari gambar 9, dapat dilihat bahwa pelarut reagen CBB R-250 yang paling optimum adalah formula modifikasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai
r dan nilai slope yang lebih tinggi dibandingkan dengan PBS-metanol. Nilai r yaitu 0,990 untuk formula modifikasi dan 0,440 untuk PBS-
metanol. Nilai slope yaitu 0,034 untuk formula modifikasi dan 0,027 untuk PBS-metanol.
Gambar 9. Grafik perbandingan reagen CBB R-250 dalam PBS-metanol dan formula modifikasi
Dari Pada Gambar 10, dapat diketahui pula pelebaran puncak. Dengan adanya pelebaran puncak dan dapat dilihat bahwa nilai absrobansi rendah
dan tidak sesuai dengan kaedah pembacaan nilai absorbansi 0,2-0,8. Menurut Skoog 1983, 3 asam amino pada BSA triptofan, tirosin,
fenilanalanin yang memiliki cicin aromatik menyebabkan spektra melebar pada pembacaan absorbansi. Nilai absorbansi yang rendah,
sehingga tidak dapat mengikuti kaedah pembacaan nilai absorbansi dapat disebabkan karena tidak adanya hidrolisis pada BSA yang menyebabkan
y = -0.027x + 0.0868 R² = 0.1933
y = 0.034x + 0.0404 R² = 0.9813
0.01 0.02
0.03 0.04
0.05 0.06
0.07 0.08
0.09 0.1
0.5 1
1.5
A b
so rb
a n
si
Konsentrasi mgml
pelarut reagen CBB R- 250 PBS-metanol
pelarut reagen CBB R- 250 Formula
modifikasi
Linear pelarut reagen CBB R-250 PBS-
metanol
Linear pelarut reagen CBB R-250 Formula
modifikasi
reagen yang berinteraksi dengan protein dalam bentuk asam amino protein dalam bentuk primer juga sedikit, pada dasarnya pewarna CBB
mengadakan interaksi dengan protein dalam bentuk primer. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang akurat maka dilakukan derivatisasi
spektrum pada penelitian ini . Menurut Nurhidayati 2007, Derivatisasi memiliki prinsip meminimalkan menghilangkan noise tanpa
mengurangi sinyal penting.
Gambar 10. Spektrum absorbansi BSA konsentrasi 800µgml reagen CBB R-250 pelarut modifikasi
Pada Gambar 11, diperlihatkan contoh hasil derivat orde 2 suatu spektrum. Setelah diderivatisasi, panjang derivat diukur dengan
menggunakan mistar merek Ziegel®. Mistar yang digunakan peneliti saat pengambilan data hasil derivatisasi tidak dilakukan penggantian agar
hasil yang didapatkan tidak terjadi bias akibat perbedaan ketelilitian alat ukur yang digunakan.
Gambar 11. Contoh spektrum deriva
t
Dari Gambar 11, juga dapat dilihat terdapat banyak puncak pada hasil derivatisasi suatu spektrum. Untuk memastikan puncak mana yang
dijadikan pucak sasaran maka dipastikan dengan meilhat panjang gelombang. Pada penelitian ini puncak derivat yang digunakan adalah T4
yaitu pada panjang gelombang sekitar 610 nm. Menurut Nurhidayati 2007, pada derivat orde 0 spektrum absorbansi puncak maksimum
akan dibaca sebagai puncak minimum di panjang gelombang yang sama pada orde 2. Pada orde 2, tinggi derivat dapat dihitung dari amplitudo,
karena amplitudo proporsional dengan konsentrasi analit. Amplitudo dapat juga diukur dengan metode tangent. Tangen digambar dari pusat
sumbu koordinat sampai ke maksimum dan amplitudo diukur vertikal dari puncak maksimum ke puncak minimum. Metode pengukuran yang
dilakukan oleh peneliti pada penelitian ini adalah metode pengukuran menggunakan tangen.
T4
c. Optimasi operating time CBB Optimasi operating time metode CBB ini bertujuan untuk mengetahui
waktu yang dibutuhkan agar reagen berekasi dengan target protein dan menghasilkan hasil yang optimum. Optimasi diawali dengan membuat
suatu konsentrasi sampel yang nanti nya akan diuji pada waktu reaksi operating time yang berbeda - beda yaitu 5 menit, 10 menit, 15 menit,
20 menit, 30 menit. Dari Gambar 12, dapat dilihat bahwa operating time yang paling optimum dilakukan pada menit ke 15 - 20.
Gambar 12. Grafik penentuan operating time hubungan absorbansi terhadap waktu menit
Pada penelitian ini nilai operating time tidak sesuai dengan teori menurut Anonim 2010, nilai operating time untuk CBB adalah 10 menit.
Kesimpulan dari optimasi ini adalah digunakan operating time 15 - 20 menit, dilihat dari hasil penelitian yang didapatkan
d. Penentuan lamda maksimum Lamda maksimum ditentukan dengan melihat panjang gelombang pada
absorbansi tertinggi suatu konsentrasi. Pada gambar 10, dapat dilihat lamda maksimum terdapat pada 594 nm. Lamda maksimum metode
pewarnaan CBB menurut Anonim 2010 terdapat antara 575-615nm.
0.18 0.19
0.2 0.21
5 10
15 20
30
A b
so rb
a n
si
menit
Series1
e. Optimasi pengambilan sampel terhadap CBB Optimasi volume pengambilan sampel terhadap reagen ini bertujuan
untuk mengetahui jumlah volume sampel yang tepat untuk direaksikan dengan reagen agar menghasilkan hasil yang optimum. Dalam penelitian
ini digunakan 2 uji yaitu dengan melakukan pengambilan sampel sebesar 0,1 ml dan melakukan pengambilan sampel sebesar 1 ml. Kedua
perlakuan ini masing - masing dilakukan pembuatan seri kurva baku yang nantinya hasil tinggi derivat yang didapat akan dicari regresi linear
nya dan nilai r yang didapat akan dibandingkan. Nilai r yang paling baik mendekati nilai 1 atau -1 dan nilai slope lebih tinggi akan dipilih
menjadi hasil yang paling optimum. Pada Tabel VI menunjukan seri kurva baku yang dibuat dan hasil tinggi
derivat yang didapatkan setelah mereaksikan seri kurva baku dengan reagen yang diuji dengan menggunakan spektrofotometer.
Tabel VI. Konsentrasi dan tinggi derivat pada volume pengambilan sampel 0,1 ml dan 1ml terhadap reagen CBB R-250
Konsentrasi mgml Tinggi derivat cm
Pengambilan sampel 0,1 ml
Tinggi derivat cm Pengambilan sampel 1 ml
0.6 0,15
0,13 0.8
0,13 0,15
1 0,15
0,18 1.2
0,28 0,20
1.4 0,20
0,23
Pada Gambar 13, ditunjukkan perbandingan kurva pengambilan sampel 0,1 ml dan 1 ml. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengambilan
sampel 1 ml menghasilkan hasil yang lebih optimum bila dibandingkan
dengan pengambilan 0,1 ml. Hal ini dapat dilihat dari nilai r yang didapat, yaitu nilai r pengambilan 1 ml lebih besar mendekati 1
dibandingkan dengan pengambilan sampel 0,1 ml yaitu 0,997 untuk pengambilan 1 ml dan 0,854 untuk pengambilan 0,1 ml. Nilai slope
pengambilan 1 ml juga meliki nialai yang lebih besar dibandingkan nilai slope pengambilan 0,1 ml, yaitu 0,125 untuk pengambilan 1 ml, dan
0,075 untuk pengambilan 0,1 ml.
Gambar 13. Perbandingan kurva volume pangambilan sampel terhadap reagen CBB R-250
f. Optimasi ekstraksi protein dalam sedimen Optimasi ekstraksi protein dalam sedimen bertujuan untuk menentukan
waktu ekstraksi yang paling tepat sehingga dapat menghasilkan hasil yang optimum. Menurut Mayer, Schick, dan Setchell 1986, ekstraksi
protein dalam sedimen adalah dengan menggunakan diinkubasi selama 2 jam dengan menggunakan NaOH, kemudian dinetralkan menggunakan
HCl setelah 1 malam dilakukan pengecekan dengan menggunakan spektrofotometer. Menurut Nunn dan Keil 2006, tahapan pemanasan
dan penambahan NaOH berfungsi untuk mengeluarkan protein dari
y = 0.125x + 0.053 R² = 0.9952
y = 0.075x + 0.087 R² = 0.7305
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25
0.5 1
1.5
T in
g g
i D
e ri
v a
t
Konsentrasi mgml
pengambilan sampel 1 mll
pengambilan sampel 0,1 ml
Linear pengambilan
sampel 1 mll Linear
pengambilan sampel 0,1 ml
matriks sehingga protein menjadi terlarut, mencegah agregasi atau absorbsi dari wadah. Fungsi lain NaOH dan Pemanasan adalah untuk
hidrolisis protein. Fungsi penambahan HCl pada ekstraksi ini adalah untuk penetralan.
Pada Tabel VII, merupakan hasil yang didapat dari penelitian. Dapat dilihat bahwa perlakuan yang memiliki tinggi derivat yang tertinggi
adalah pada perlakuan O2 dan O3 baik sebelum pendiaman 1 malam maupun setelah pendiaman 1 malam yaitu dengan tinggi derivat 0,23 cm.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah analisis dapat dilakukan pada perlakuan O2 dan O3 serta dapat dianalisis dengan spektrofotometer
sebelum pendiaman 1 malam dan setelah 1 malam. Dalam analisis yang dilakukan oleh peneliti, peneliti menggunakan
perlakuan O2 dan analisis dengan spektrofotometer sebelum 1 malam untuk efisiensi waktu.
Tabel VII.Perlakuan ektraksi protein dalam sedimen dan tinggi derivat
Perlakuan Rata-rata
sebelum 1 Malam
T4 Rata- rata
sesudah 1 Malam T4
O1 NaOH - 600 C1,5 jam – HCl
0,2 0,2
O2 NaOH - 60 C2 jam
– HCl 0,23
0,23 O3 NaOH - 60
C2,5 jam – HCl
0,23 0,23
2. Validasi