orang bodoh yang sulit untuk berkembang, apalagi harus berbicara tentang kebebasan politik. Hal ini sama seperti apa yang diungkapkan Schotman
kepada Sneevliet saat berlangsungnya kongres ISDV tahun 1917. Dengan demikian Sneevliet harus mencari cara lain untuk melakukan
revolusi di Semarang tanpa Schotman beserta kawan-kawannya.Tetapi Sneevliet dapat mengatasi hambatan ini dengan bergerak radikal serta
mengancam ketenangan pemerintah kolonial. Namun dampak perpecahan ISDV telah membawanya membuka jalan kaum bumiputera untuk mengambil
alih kekuasaan ISDV.
2. Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda Tentang Pers
Peraturan pertama tentang pers pada zaman Hindia Belanda ditetapkan
dalam tahun 1856, yang dinamakan Reglement op de Drukwerken in
Nederlandsch-Indie.
115
Peraturan ini dibuat sebagai reaksi terhadap munculnya pers swasta di daerah koloni yang sebagian berkarakter liberal dan sering
dianggap menganggu pemerintah karena sifatnya yang terus terang dan menghasut. Drukpers Reglement tahun 1856 dapat dikatakan sebagai alat untuk
mengekang pertumbuhan pers dan sebagai cara untuk menindak setiap kritik yang tidak diterima oleh pemerintah kolonial. Hal ini terlihat pada pasal 13 di
dalam peraturan ini mencerminkan sifat pengawasan preventif: satu eksemplar segala karya cetak, sebelum diterbitkan harus dikirimkan dulu kepada kepala
115
Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie , Koninklijk Besluit 8 April 1856 No.54,
Staatsblad 1856 No.74; Abdurachman Surjomihardjo ed,1980, hlm.145.
pemerintah setempat, pejabat justisi dan sekretariat umum. Jika ketentuan ini dilanggar maka dikenakan denda sebesar
ƒ 50 sampai ƒ 1000.
116
Pihak-pihak progresif dalam masyarakat Belanda, baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda, mencela peraturan itu sebagai reaksi yang
paling keras, karena pengawasan preventif dipandang sebagai kutukan terhadap kebebasan pers dan juga pelanggaran terhadap Konstitusi Belanda, yang dalam
pasal 7 melarang secara eksplisit tindakan preventif terhadap pers. Pada 19 Maret 1906, sistem pengawasan preventif diganti dengan sistem pengawasan
represif. Pasal 13 pada peraturan itu kemudian diubah menjadi: pencetak dan penerbit berkewajiban menyerahkan satu eksemplar kepada pemerintah daerah
setempat dalam waktu 24 jam setelah barang cetak itu beredar. Denda yang dikenakan berkurang menjadi
ƒ10- ƒ100.
117
Akan tetapi, dalam kenyataannya, peraturan yang baru ini dianggap tidak mencukupi untuk mengawasi pasang
surut perkembangan kesadaran politik dalam masyarakat di Hindia Belanda. Untuk memantau isi pers bumiputera diperlukan pengawasan yang ketat.
Setahun kemudian, pada tanggal 15 Maret 1914, wetboek van strafrecht KUHP untuk bangsa Eropa dan Bumiputera dilengkapi oleh ketentuan
sebagai berikut: Barang siapa, baik melalui tulisan, gambar maupun tindakan,
menyebarkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan kepada pemerintah Belanda atau Hindia Belanda, akan dihukum penjara
selama 5-10 tahun. Barang siapa, baik melalui tulisan, gambar maupun tindakan,
menyebarkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara penduduk Belanda atau Hindia Belanda akan dihukum
116
Oey Hong Lee, Indonesian Government and Prees During Guided Democracy, Zug Switerland, 1971, hlm.4.
117
Ibid , hlm.7.
penjara selama 6 hari sampai 5 tahun. Usaha untuk melakukan kejahatan ini dapat dihukum.
118
Ketentuan ini kemudian dikenal dengan Haatzaai artikelen pasal-pasal tentang penanaman benih kebencian. Peraturan ini memberi kekuasaan kepada
pemerintah untuk mengambil tindakan apabila dikehendaki. Sehingga keberadaan pers bumiputera benar-benar berada dibawah kekangan pemerintah
kolonial. Walaupun demikian peraturan ini ternyata tidak cukup untuk mengatasi keberanian pers Bumiputera untuk mengemukakan ulasan, pendapat
serta kritik terhadap praktik-praktik kolonial pemerintah Hindia Belanda dan dipandang perlu untuk mencari bentuk peraturan baru.
3. Haatzaai Artikelen: Pasal-Pasal Pengekangan Kebebasan Pers