Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT, BNPT memiliki tugas Pokok sebagai berikut: 1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. 2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme 3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing- masing. Selain tugas pokok yang harus dijalankan dalam melaksanakan tugas negara, BNPT juga memiliki fungsi sebagai berikut: 8 1. Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional bidang penanggulangan terorisme. 2. Monitoring, analisa, dan evaluasi dibidang penanggulangan terorisme. 3. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal. 4. Pelaksanaan deradikalisasi. 5. Perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi terget serangan terorisme. 6. Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional. 7. Pelaksanaan kerjasama internasional dibidang penanggulangan terorisme. 8. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya serta kerjasama antarinstansi 9. Pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penganggulangan terorisme. Perlindungan dari negara adalah hak warga negara. Negara wajib memberikan hak itu, karena itu Tujuan dibentuknya BNPT adalah pemberantasan tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan, penangkalan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak hukum yang diperlukan. 8 Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010

c. Visi dan Misi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Visi BNPT adalah untuk mewujudkan penanggulangan terorisme dan radikalisme melalui upaya sinergi institusi pemerintah dan masyarakat yang meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi dan penindakan, serta peningkatan kewaspadaan nasional dan kerjasama internasional untuk menjamin terpeliharanya keamanan nasional 9 Berdasarkan visi BNPT di atas, dijabarkan juga misi BNPT sebagai langkah-langkah BNPT dalam melakukan program untuk mencapai visi tersebut. Ada 5 poin misi BNPT yaitu: 1. Melakukan pencegahan terjadinya aksi terorisme, meningkatkan kewaspadaan dan memberikan perlindungan terhadap obyek-obyek vital yang potensial menjadi target serangan terorisme. 2. Melakukan deradikalisasi dan melawan propaganda ideologi radikal. 3. Melakukan penindakan aksi terorisme melalui penggalangan intelijen dan surveillance, dan penegakan hukum melalui kordinasi dan kerjasama dengan institusi terkait, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa. 4. Melaksanakan pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan nasional terhadap ancaman aksi terorisme. 5. Melaksanakan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme. 9 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014, h. 75

d. Kebijakan dan Strategi Badan Nasionan Penanggulangan Terorisme

Kebijakan BNPT merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan pemerintah. 10 Dalam kebijakan pencegahan terorisme, ada 6 prinsip-prinsip umum dan kerangka kerja yang harus dikedepankan: 11 a. Supremasi hukum, yaitu penggunaan kerangka hukum selalu menjadi basis pedoman dari aksi kontra teror. Independen mengandung pengertian bahwa Indonesia akan selalu berusaha mencapai konkusi dan melakukan aksi didalam negeri tanpa harus bergantung pada pihak manapun. Semua data intelijen, rekomendasi dan pandangan dari pihak luar akan tetap diterima dengan baik sebagai masukan. Pemerintah tidak akan didikte oleh kekuatan asing manapun teteapi tetap mengandalkan kemampuan sendiri dengan kerja yang profesional dan didasari oleh penggunaan data yang akurat. b. Indiskriminasi, berarti dalam upaya kontra teror, pemerintah Indonesia tidak akan menuduh dan hanya memfokuskan pada satu kelompok saja, baik itu kelompok etnis, agama maupun kepentingan. Semua warga negara Indonesia 10 James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, Rinehart and winston: New York cet, 1984, h. 3 11 Kebijakan dan Strategi Pencegahan Terorisme, BNPT, h. 3-4 akan diperlakukan sama dibawah UU Anti Terorisme. Jika ada satu organisasi teroris yang menjadi target operasi itu semua didasari oleh tindakan mereka bukan karena identitas religi atau etnis mereka. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia juga memahami jika ada beberapa kelompok di Indonesia yang kerap menggunakan perbedaan suku dan agama sebagai alasan untuk memicu kekerasan. c. Independensi, yaitu sifat bebas dalam membuat kesimpulan dan mengambil tindakan, rekomendasi ataupun harapan masyarakat internasional diposisikan sebagai masukan dan pertimbangan. Artinya, semua tidakan dan keputusan tidak didasarkan pada intervensi dari pihak manapun, tetapi didasarkan pada temuan akurat dan professional melalui proses dan mekanisme yang akuntabel demokrasi. d. Kordinasi, merefleksikan bahwa ancaman teror merupakan ancaman yang melintasi batas yuridiksi satu departemen bahkan negara. Upaya untuk menanggulanginya pun harus melintasi batas yuridiksi yang dimiliki tiap-tiap departemen oleh karena itu koordinasi menjadi sangat penting dalam memerangi terorisme. e. Demokrasi, berarti pemerintah telah memahami bahwa pemberian otoritas yang terlalu besar untuk memerangi terorisme juga membuka potensi lain. Pemerintah Indonesia tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi hanya demi mengajar otoritas absolut. Pemerintah Indonesia akan berusaha untuk mencari keseimbangan antara otoritas pemerintah dan prinsip-prinsip demokrasi. Kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah dalam memerangi terorisme selalu terbuka melalui mekanisme parlemen DPR dan MPR, melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui lembaga swadaya masyarakat. f. Partisipasi, yang merefleksikan bahwa perang melawan teror tidak akan berhasil dimenangkan jika menjadi tugas semata perintah. Partisipasi dari masyarakat, kerjasama antar komunitas dan antara masyarakat dengan pemerintah, merupakan hal yang sangat vital dalam perang melawan terorisme. Berbagai upaya kebijakan pencegahan telah dilakukan oleh BNPT diantaranya: 12 1. Peran Intelijen Mengaktifkan peran intelijen yang aktif, walaupun upaya ini terkendala oleh masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga aparat keamanan selalu kecolongan dan menimbulkan kesan hanya bertindak reaktif dan inisiatif lebih banyak ditangan teroris. 12 Rhousdy Soeriatmadna dan Brigjen Pol purn Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT Dalam Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan,Jakarta: S.I, 2009, h. 337-338 2. Hukum Membuka wacana dalam rangka membangun perangkat hukum yang efektif, karena selama ini kebijakan pemerintah hanya fokus pada upaya penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili sangat lemah dan dasar atau payung hukum yang digunakan sangat lemah. Upaya penegakan hukum selama ini hanya mampu menjerat pada tataran operator atau pelaku di lapangan, sementara master mind, provokator dan spiritual leader beum terjangkau. Selain itu regulasi yang ada belum mampu mempersempit ruang gerak aktivitas terorisme. Untuk mencapai sebuah tujuan negara yang aman dan damai BNPT mempunyai sebuah strategi pencegahan terorisme. Strategi pencegahan terorisme merupakan serangkaian pekerjaan dan cara bertindak dalam melakukan pencegahan terorisme itu sendiri. Kebijakan dan strategi pencegahan terorisme sengaja dirancang untuk mendeteksi dan mencegah berbagai macam aksi terorisme di indonesia. Program Pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri dari dua strategi. Pertama, strategi deradikalisasi yang ditunjukan terhadap kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi, reduksi, dan resiosialisasi. Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api, dan muhandak, kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan perlindungan terhadap objek vital, trasnportasi, VVIP serta lingkungan dan fasilitas publik.

D. Sejarah Pembentukan Densus 88

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi, di lingkungan BNPT dibentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang selanjutnya disebut Satgas yang terdiri dari unsur-unsur instansi terkait 13 yang salah satunya dari Polri. Mabes Polri membentuk Detasemen Khusus 88Anti Teror yang bertugas menghentikan aksi teror dan mengungkap jaringan teroris melalui upaya penegakan hukum. Dasar hukum pembentukan Densus 88 yaitu SK Kapolri No. 30VI2003 Tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus tindak lanjut merealisasikan UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. a Tugas Pokok Densus 88 Densus 88 bertugas membina dan menyelanggarakan tugas dan fungsi penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana teroris mendalam dalam rangka penegakan hukum dengan sasaran tugas yaitu: 13 Pasal 23, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 1 Keberadaan dan aktifitas setiap orang unsur kelompok masyarakat organisasi yang diduga sebagai jaringan atau berpotensi dijadikan sebagai jaringan terorisme. 2 Kejahatan yang bersifat terror yaitu segala perbuatan yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme. 3 Tindak pidana ataupun pelanggaran hukum lainnya yang bermotifkan terorisme terutana terhadap kasus yang bernuansa politik dan lintas Negara. b Wewenang Densus 88 Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: 14 a. Melakukan pengangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; 14 Lihat Pasal 16 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidik kepada pegawai negara sipil menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindak lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l diatas adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut 15 : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati Hak Asasi Manusia. Dibentuknya Densus 88 dengan cepat menjadi bintang satuan khusus anti –teror polri yang baru. Hal ini disebabkan antara lain, luasnya kewenangan Densus 88 khususnya dalam menangani kejahatan Terorisme. Kewenangan itu meliputi operasi pengintaian intelijen, Investigasi penyelidikan, penindakan pasukan pemukul, sampai penyidikan penegakan hukum. 16 15 Lihat Pasal 16 Ayat 2, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 16 Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, Jakarta: 2010, h. 47