Hipotesa Penelitian . Tujuan Penelitian . 1.Tujuan umum: Responimundan Reaksi inflamasi dalamendometriosis

3 Peneliti ingin meneliti bagaimana ekspresi Monosit KemotaktikProtein-1 pada endometriosis jika dibandingkan endometrium normal.Belum adanya penelitian ini di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , RSUP. H. Adam Malik Medan. 1.2.Rumusan Masalah . Bagaimana ekspresi monositkemotaktik protein-1pada jaringan pasien dengan endometriosis dibandingkan subjek dengan endometrium normal?

1.3. Hipotesa Penelitian .

Ada perbedaan ekspresi monositkemotaktik protein-1 dengan menggunakan pemeriksaan imunohistokimia pada endometriosis dibandingkan endometrium normal. 1.4. Tujuan Penelitian . 1.4.1.Tujuan umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaanekspresi monositkemotaktik protein-1 padaendometriosis dibandingkan endometrium normal. Universitas Sumatera Utara 4 1.4.2.Tujuan khusus: 1. Untuk mengetahui distribusi frekwensi karakteristik paritas dan usia pada endometriosis dibandingkan endometrium normal. 2. Untuk mengetahui nilai ekspresimonosit kemotaktik protein- 1padaendometriosis dan endometrium normal. 3. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi monositkemotaktik protein-1 pada endometriosis berdasarkan derajat endometriosis 1.5. Manfaat penelitian . 1.5.1. Manfaat teoritis . Dapat diketahui bagaimana ekspresi monositkemotaktik protein-1pada endometrium penderita endometriosis dan endometrium normal. Sekaligus diharapkan dapat menjadi dasar pada penelitian selanjutnya pada endometriosis.

1.5.2. Manfaat Metodologis .

Dapat diketahui bagaimana pemeriksaan ekspresi monositkemotaktik protein-1pada endometriosis dan endometrium normal dengan pemeriksaan imunohistokimia.

1.5.3. Manfaat Aplikatif .

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperoleh data tentang bagaimana ekspresi monositkemotaktik protein-1pada Universitas Sumatera Utara 5 endometriosis dapat menjadi salah satu landasan pilihan pemeriksaan dan mendiagnosapenderita endometriosis. Universitas Sumatera Utara 6

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Endometriosis .

Endometriosis didefinisikan susunan jaringan sel-sel kelenjar dan stroma abnormal mirip endometrium endometrium – like tissue yang tumbuh di sisi luar kavum uterus dan memicu reaksi peradangan menahun. 2

2.1.1. EpidemiologiEndometriosis .

Endometriosis merupakan penyakit progresif ginekologi yang sering ditemukan.Endometriosis merupakan penyakit yang jinak akan tetapi endometriosis memiliki karakteristik keganasan seperti morfologi yang abnormal, invasi selular, dan neoangiogenesis. Endometriosis juga berpengaruh dengan infertilitas dan tidak dapat diobati yang didiagnosis pada 68 pasien yang menderita infertilitas. 3 Endometriosis merupakan penyakit yang sering terjadi yaitu sekitar 5 - 10 dari wanita usia reproduktif dan 60-80 dari wanita infertil atau wanita dengan nyeri pelvis. Dengan usia rata- rata 25 hingga 30 tahun. Banyak sekali penderita endometriosis yang tak bergejala, sehingga tidak waspada akan keadaannya. Meski endometriosis sering terkait dengan infertilitas, tetapi banyak pula Universitas Sumatera Utara 7 penderita endometriosis mencapai kehamilan tanpa penanganan, sehingga penyakit itu tidak sempat terdiagnosis. 3

2.1.2. Etiologi dan Patogenesis Endometriosis .

Insidensi endometriosis meningkat dengan adanya penundaan kehamilan, riwayat penyakit yang sama di keluarga, penurunan insidensi pada penggunaan kontrasepsi oral, dan paparan terhadap toksin tertentu seperti dioksin. 7 Adhesi sel eksfoliata ke permukaan peritoneal akan menyebabkan pertumbuhan endometriosis. Sejumlah protein adhesif dan proteoglikan terlibat dalam proses ini.Sejumlah penelitian membuktikan bahwa darah menstruasi mengandung zat yang dapat mengubah morfologi mesotelium peritoneal menjadi tempat adesi di sel peritoneal. Setelah itu, sel eksfoliataakan berproliferasi dan menginvasi jaringan peritoneal. Perkembangan endometriosis akan didukung dengan proses vaskularisasi. 8,9 Penyebab dan patofisiologi terjadinya endometriosis masih belum pasti. Beberapa hipotesa dibuat oleh para peneliti, yaitu:

1. Teori CoelomicMetaplasia .

Pada awalnya teori ini diungkapkan oleh Mayer.Diketahui bahwa peritoneum pelvis, epitel germinal dari ovarium, dan duktus mullerian berasal dari epitelium coelomic.Berdasarkan hipotesis Mayer, endometriosis timbul akibat pengaruh Universitas Sumatera Utara 8 transformasi bergantung hormon dari sel yang berjalan antara peritoneum ke mullerian.Mayer juga menyatakan adanya infeksi atau stimulus lainnya dapat menyebabkan metaplasia dan menyebabkan endometrioisis di pelvis. Hipotesis ini semakin diperkuat dengan adanya penemuan endometriosis pada wanita prepubertas, wanita dengan ameorea primer, dan kasus endometriosis yang jauh misalnya pada rongga pleura. 10,11

2. Teori Induksi .

Teori ini merupakan kelanjutan dari teori metaplasia yangmenyatakan faktor imunologi atau substansia biokemikal endogen dapat menginduksi sel undiferensiasi menjadi sel diferensiasi pada jaringan endometrium. Teori ini dikemukakan oleh Levander dan Normann yang menanamkan potongan dinding uterus yang diambil dari kelinci yang hamil ke jaringan subkutan kelinci betina berusia 2 bulan dan kemudian distimulasi dengan gonadotropin. 10,11

3. Teori penyebaran darah dan limfe .

Endometriosis pada daerahnya yang jauh seperti pleura, umbilikus, rongga retroperitoneal dan ekstremitas bawah sering dihubungkan dengan penyebaran melalui darah. Endometriosis pada vagina dan serviks berhubungan dengan penyebaran melalui saluran limfe. 10,11 Universitas Sumatera Utara 9

4. Teori Dmowski .

Teori ini menyatakan wanita dengan defisit sel imun terutama reduksi limfosit T cenderung menderita endometriosis. 10,11 5.Teori Menstruasi Retrograde . Teori ini menyatakan bahwa darah menstrusi pada saat haid masuk kedalam kavum peritoneum melalui tuba akibat kontraksi yang tidak adekuat. Potongan endometrium tersebut kemudian mengimplantasikan dalam mesotelium.Teori ini tidak dapat mejelaskan endometriosis letak jauh. 10,11 Teori yang paling luas diterima pada saat ini adalah teori implantasi yang diusulkan oleh Sampson pada pertengahan tahun 1920- an yang dapat menjelaskan mekanisme yang logis untuk terjadinya kebanyakan lesi endometriosis tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis terjadi pada sebagian kecil wanita tetapi tidak terjadi pada kebanyakan wanita. Kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograde 76-90 ke dalam kavum peritoneum tetapi endometriosis terjadi hanya 5-10 saja 3 . Oleh karena itu, perkembangan endometriosis kemungkinan tidak hanya melibatkan menstruasi retrograd tetapi melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler yaitu defek genetik atau sistem imun atau kedua seperti adesi dan invasi sel-sel endometrium, proliferasi, angiogenesis dan lepasnya dari pengawasan sistem imun. Universitas Sumatera Utara 10 Lebih lanjut predisposisi genetik tampaknya terlibat dalam patogenesis endometriosis . 43 Gambar 1.Patofisiologi Endometriosis 4

2.1.3. Klasifikasi Endometriosis .

Klasifikasi berdasarkan American Society of Reproductive Medicine ASRM pada endometriosis dibagi menjadi 4 tahap yaitu tahap pertama atau minimal, tahap kedua atau ringan, tahap ketiga atau sedang, dan tahap keempat atau berat. Tahap ini didasarkan pada lokasi, luas dan kedalaman invasi endometriosis, ada tidaknya serta keparahan adhesi endometrium dan ada tidaknya serta ukuran endometrioma ovarium. 12,13 Universitas Sumatera Utara 11 Pada umumnya wanita dengan endometriosis minimal maupun ringan akan beradhesi ringan dan implantasi yang superfisial. Endometriosis sedang dan berat dengan karakteristik kista coklat dan adhesi yang berat. Klasifikasi endometriosis tidak berhubungan dengan gejala yang timbul. 12,13 Gambar 2 . Klasifikasi Endometriosis . 12 Universitas Sumatera Utara 12 Klasifikasi yang dianjurkan oleh American Fertility Society AFS adalah: Gambar 3. Lembaran Klasifikasi Endometriosis berdasarkan Klasifikasi American Society for Reproductive Medicine Universitas Sumatera Utara 13 Berdasarkan hasil laparoskopi diagnostik didapatkan jumlah skor: 1 Stadium I minimal : 1 – 5 2 Stadium II mild : 6 – 15 3 Stadium III moderate : 16 – 20 4 Stadium IV servere : bila berkisar 40. 12,13 Gambar 4.Lesi Peritoneum Endometriosis. 4

2.1.4. Diagnosis Endometriosis .

Untuk menegakkan diagnosa endometriosis, dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dipastikan dengan laparoskopi. 12 1. Anamnesis. Adanya riwayat nyeri yang berhubungan dengan siklus haid, nyeri pelvik kronik, nyeri senggama, infertilitas atau haid yang Universitas Sumatera Utara 14 tidak teratur.Nyeri haid atau biasa disebut dismenorea dapat menjadi gelaja endometriosis ataupun patologi pelvis lainnya seperti fibroid uterin atau adenomiosis.Nyeri haid yang parah dapat disertai dengan mual, muntah, dan diare.Dismenorea primer yang awalnya timbul pada tahun pertama dimulai dari pertama kali mendapatkan haid dan berkesinambungan hingga seterusnya biasanya tidak berhubungan dengan endometriosis. Dismenorea sekunder yang timbul pada usia dewasa harus diperhatikan dan biasanya semakin parah seiring berjalannya usia. 12 Endometriosis yang menyebabkan nyeri senggama disebut dispareunia.Penetrasi yang dalam menyebabkan nyeri pada lingkaran ovarium dan menyebabkan jaringan parut pada puncak vagina. Nyeri juga dapat disebabkan akibat sentuhan penetrasi ke nodul endometriosis dibelakang uterus atau pada ligamen uterosakral yang menghubungkan serviks dengan sakrum . 12 Banyak penelitian menunjukkan endometriosis dapat menyebabkan infertilitas.Endometrosis dapat ditemukan pada 50pasien infertil.Pasien dengan endometriosis sedang dan berat memiliki kemungkinan hamil hanya sekitar 2. Akan tetapi tidak semua pasien endometriosis akan mengalami infertilitas. 12 Banyak kasus endometriosis ringan dan sedang tanpa adhesi juga mengalami infertilitas.Banyak teori menghubungkannya dengan proses inflamasi, sistem imun yang Universitas Sumatera Utara 15 terganggu, perubahan hormonal, gangguan fungsi tuba fallopi, dan masalah pada implantasi. Pada endometriosis sedang dan berat, infertilitas disebabkan oleh penghambatan pengeluaran sel telur dan proses penutupan jalan sperma pada tuba falopi oleh endometriosis. 12 2. Pemeriksaan fisik . Pada pemeriksaan dapat ditemukan massa kenyal dibelakang serviks pada pemeriksaan vaginal dan rektal. Salah satu atau kedua ovarium dapat membesar. 12 3. Laparoskopi . Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen.Tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau kebiruan, berkapsul dan juga terlihat lesi endometriosis yang minimal.Klasifikasi endometriosis dapat dinilai dari hasil laparoskopi. Skor 1-15 menunjukkan endometriosis minimal dan ringan, skor 16 dan selebihnya menunjukkan endometriosis sedang dan berat. 13 Endometriosis merupakan penyakit invasif dan didiagnosis berdasarkan laparoskopi yang bersifat traumatik dan memiliki risiko timbulnya komplikasi seperti cedera pembuluh besar ataupun cedera usus.Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang cepat, terpercaya, dan tidak invasif dalam mendiagnosis penyakit ini.Selama ini marker Universitas Sumatera Utara 16 serum CA-125 dapat digunakan sebagai alat diagnosis dan manajemen endometriosis tahap lanjut.Kadar CA-125 mengalami peningkatan pada endometriosis. Akan tetapi, CA-125 juga meningkat pada kondisi lain seperti neoplasma ovarium, mioma uteri dan penyakit radang pelvik sehingga memiliki spesifisitas yang tidak bermakna untuk menegakkan diagnosa endometriosis. CA-125 memiliki peranan untuk follow up endometriosis yang telah atau sedang menjalani terapi medis maupun terapi pembedahan. 14 Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendeteksi mRNA overekspresi di darah tepi pasien dengan kanker melalui alat real time reverse transcription polymerase chain reaction RT PCR. Vascular endothelial growth factor A VEGFA merupakan substansi untuk mengstimulasi proses angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah pada endometriosis. Matriks metalloproteinase-3 MMP-3 berperan dalam proses degenerasi dan remodeling matriks ekstraselular, menstimulasi proliferasi sel, apoptosis, dan menginduksi migrasi sel. 15,16 Selain itu juga didapatkan penelitian bahwa cairan peritoneal dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis melalui sitokin dan marker imunologi lainnya.Bahkan terdapat penelitian yang menunjukkan ekspresi MMP dapat ditemukan meningkat pada urin penderita endometriosis.Penelitian lain juga menggunakan interleukin- 6 dan tumor necrosis factor TNF sebagai penanda Universitas Sumatera Utara 17 endometriosis.Marker diagnosis endometriosis juga dapat diambil dari ekspresi gen dengan metode hibridisasi. 15,16 Beberapa penelitian dipusatkan pada IL-8 dan monocyte chemotactic protein-1 MCP-1. IL-8 merupakan agen angiogenik yang poten, chemoattractant dan activating cytokine untuk granulosit, sedangkan MCP-1 adalah chemoattractant dan activating cytokine untuk monosit dan makrofag. Sumber dari cytokines termasuk endometrium dan peritoneal mesothelium. Konsentrasi IL-8 dan MCP- 1 meningkat dalam cairan peritoneal pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita sehat dan peningkatan konsentrasi cytokines ini berhubungan dengan derajat keparahan penyakit. 26 Gambar 5. Mekanisme Endometriosis . 26 Universitas Sumatera Utara 18

2.1.5. Penatalaksanaan Endometriosis .

Endometriosis dapat ditangani dengan berbagai cara yaitu:

1. Medisinalis .

Terapi medisinalis pada endometriosis bertujuan untuk menurunkan ukuran massa dan menangani nyeri pelvis yang timbul. Regimen pengobatan yang selama ini digunakan adalah progesteron, kombinasi estrogen-progesteron, antiprogesteron, danazol, dan agonis gonadotropine releasing hormone.Obat obatan ini cukup efektif dalam menurunkan massa endometriosis serta mengurangi nyeri pelvis yang timbul. Keuntungan penggunaan progesteron adalah efek samping yang minimal dan harga yang terjangkau. 17,18,19 Mekanisme regimen ini berhubungan dengan level aksis hipotalamus-pituitari. Supresi pelepasan gonadotropin dan deplesi kadar estrogen akan meregresi massa endometriosis dan nyeri pelvis. Hal ini disebabkan penurunan steroidogenesis pada ovarium. Supresi steroid ovarium dan diinduksi kondisi hipoestrogenik mencegah pertumbuhan di endometrium. 17,18,19 Progesteron merupakan agen imunosupresif yang poten yang dapat memblok kerja dan pelepasan sitokin.Analog agonis gonadotropine releasing hormone dan danazol bekerja melalui sistem ini. Sitokin dan faktor pertumbuhan dari sel imun peritoneum meregulasi pertumbuhan di endometrium. 17,18,19 Universitas Sumatera Utara 19 Selain itu, juga terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa metformin dapat meregresi pertumbuhan endometriosis pada tikus dengan cara peningkatan penghambat matriks metalloproteinase-2 dan MMP-9.Di Korea didapatkan penelitian ekstrak cervus elarvus dapat menurunkan kadar matriks metalloproteinase-2 dan MMP-9.Di China juga didapatkan penelitian kapsul Guizhi Fuling dapat menurunkan volume besarnya endometriosis. 17,18,19

2. Pengobatan operatif .

Pengobatan operatif dapat melalui eksisi ataupun ablasi. Terdapat penelitian yang menunjukkan 63 proses ablasi akan menimbukan gejala kembali. Adhesiolisis terbukti efektif dalam mengurangi gejala nyeri dengan cara mengembalikan bentuk normal anatomis. Prosedur operatif dapat berupa reseksi endometrioma, neurektomi presakral, dan histerektomi dengan bilateral ooforektomi. 24

2.2. Responimundan Reaksi inflamasi dalamendometriosis

. Banyak faktor yang diduga memainkan peran dalam patogenesis endometriosis :untuk memungkinkan dan mempertahankan keberlangsungan hidup dan proliferasi sel endometrium. Faktor- faktor tersebut meliputi molekul-molekul bioaktif seperti hormon, growth factor, sitokin, dan prostaglandin. Demikian juga berbagai tipe sel yang terdapat Universitas Sumatera Utara 20 pada lesi endometriosis seperti sel imun, sel epitel endometrium, sel stroma, dan sel endotel vaskular. 35 Diantara berbagai faktor tersebut, sel imun tampaknya memiliki peran penting dalam hal penerimaan dan penolakan sel – sel endometrium yang mengalami refluks. Selain fungsi utama mereka, sel – sel imun juga berkontribusi terhadap proses perkembangan penyakit dengan mensekresikan berbagai sitokin yang mengontrol proliferasi sel, inflamasi, angiogenesis, dan sebagainya. Memang, berbagai sel imun seperti limfosit T dan B, sel Natural Killer, makrofag, dan sel mast telah terbukti didapati pada lesi sel endometriosis, yang menunjukkan adanya potensi peranan sel ini terhadap proses terjadinya penyakit. 35 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa wanita dengan endometriosis mengalami peningkatan respon inflamasi dan perubahan fungsi imun. Sitokin dan sel-sel imun diduga dapat memodulasi perkembangan dan perilaku inflamasi dari implantasi endometriotik. Peningkatan jumlah makrofag yang teraktivasi dapat diamati pada cairan peritoneum penderita endometriosis. 24 Osterlynck dkk menyatakan adanya penurunan aktivitas dan sitotoksisitas sel natural killer di cairan peritoneum. Berkurangnya jumlah sel T yang teraktifasi dan sel dendritik matur merupakan temuan lain yang dapat diamati pada wanita dengan endometriosis. 36 Bahwa endometriosis dihubungkan dengan sebuah keadaan inflamasi subklinis peritoneum yang ditandai oleh peningkatan volume cairan peritoneum, peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan Universitas Sumatera Utara 21 peritoneum terutama makrofag dengan peningkatan aktivitasnya, dan peningkatan sitokin inflamasi, faktor pertumbuhan, dan substansi penyokong angiogenesis. Telah dilaporkan pada baboon bahwa inflamasi subklinis peritoneum terjadi selama menstruasi dan setelah injeksi peritoneum intrapelvik. Tingkat aktivasi basal yang lebih tinggi dari makrofag peritoneum pada pasien dengan endometriosis dapat mengganggu fertilitas dengan cara menurunkan motilitas sperma, meningkatkan fagositosis sperma, atau mengganggu fertilisasi, mungkin dengan meningkatkan kadar sitokin seperti TNF- α.TNF-α juga dapat memfasilitasi implantasi endometrium pada pelvis.Perlekatan sel-sel stroma endometrium ke dalam sel-sel mesotel in vitro telah ditingkatkan dengan pretreatment sel-sel mesotel dengan dosis fisiologis TNF- α. Makrofag atau sel lain bisa menyokong pertumbuhan sel-sel endometrium dengan cara mensekresi growth factor dan angiogenetic factor sepertiepidermal growth factor EGF, macrophage-derived growth factor MDGF, fibronektin, dan adhesion molecule seperti integrin. Setelah perlekatan sel-sel endometrium ke peritoneum, terjadi invasi dan pertumbuhan lebih lanjut yang tampaknya diregulasi oleh matrix metalloproteinase MMP dan inhibitor jaringannya. 43 Sitokin inflamasi memainkan peran sentral dalam regulasi proliferasi, aktivasi, motilitas, adesi, kemotaksis dan morfogenesis dari sel. Beberapa sitokin seperti IL-1, IL-5, IL-6, IL-8, IL-15, monocyte chemotactic protein-1 MCP-1, TNF- α, transforming growth factor-β TGF-β dan Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed dan Secreted Universitas Sumatera Utara 22 RANTES telah diimplikasikan dalam patogenesis endometriosis. Telah juga diobservasi bahwa kadar beberapa sitokin dalam cairan peritoneum dan serum berkorelasi dengan keparahan penyakit. Ekspresi TNF- α, IL-8, dan MCP-1 lebih tinggi pada endometriosis tingkat dini dan menurun pada endometriosis tingkat lanjut, sementara ekspresi TGF- β menurun dengan penurunan keparahan penyakit. RANTES juga meningkat dalam cairan peritoneum wanita dengan penyakit yang lebih berat . 42 Gambar 6.Kelangsungan hidup dari Sel Endometrium di dalam Rongga Peritoneum . 2 Universitas Sumatera Utara 23

2.3. Inflamasi Rekrutmen lekosit .