Perkembangan Industri Tekstil di Indonesia

lxxvii

B. Perkembangan Industri Tekstil di Indonesia

Industri tekstil merupakan salah satu industri yang tertua di Indonesia. Sejarah pertekstilan Indonesia berkembang sejak sebelum kemerdekaan, namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik. Perkembangan industri tekstil pada awal abad ke-20 masih sangat terbatas, kegiatan utamanya hanya dalam usaha pembatikan. Diawali dari industri rumahan pada tahun 1929, dimulailah sub-sektor pertenunan weaving dan perajutan knitting dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung TIB Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin ATBM yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926. Produk yang dihasilkan berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen sabuk dan selendang. Selanjutnya pada tahun 1939 penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin ATM yang pertama kali digunakan di lxxviii Majalaya Jawa Barat, dimana daerah tersbut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak saat itu Industri TPT di Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM. Pada jaman orde lama pabrik tekstil dalam negeri banyak yang mengalami kerusakan sehingga produksi sangat menurun. Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, didirikanlah sebuah pabrik pemintalan benang yang akan digunakan sebagai bahan baku bagi pabrik tekstil, yang hampir semua bahan baku kapasnya masih diimpor karena terbatasnya produksi dalam negeri. Akan tetapi benang hasil produksi dalam negeri tidak dapat bersaing dengan benang impor yang sedang membanjiri pasar dalam negeri, baik mengenai harga maupun mutu. Untuk mendorong kembali industri tekstil, pada tahun 1940 diterbitkan “Peraturan Pemerintah tentang Perusahaan Tekstil 1940” meliputi pemintalan, perajutan, pertenunan, cetakan dan pewarnaan tekstil. Dengan adanya peraturan tersebut industri tekstil meningkat dengan pesat. Meskipun demikian produk tekstil dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menginstruksikan untuk menggabungkan beberapa pabrik tekstil kecil menjadi satu perusahaan yang lebih besar. Tahun 1960-an pemerintah Indonesia mulai membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis OPS yang antara lain seperti OPS Tenun Mesin, OPS Tenun Tangan, OPS Perajutan, OPS Batik dan lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis GPS Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri lxxix Perindustrian Rakyat. Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub sektornya, yaitu pemintalan spinning, pertenunan weaving, perajutan knitting dan penyempurnaan finishing. Selanjutnya menjelang tahun 1970-an, berdirilah barbagai organisasi seperti Perteksi, Printer’s Club, kemudian menjadi Textile Club, perusahaan milik pemerintah Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim dan Koperasi GKBI, Inkopteksi. Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan konggres yang hasilnya menyepakati untuk mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia API dan sekaligus menjadi anggota API. Memasuki era orde baru, kebijaksanaan yang lebih terarah dan konsepsional dalam rangka pengembangan industri tekstil mulai digulirkan. Sehingga mampu memberikan angin segar bagi investor untuk mengadakan investasi pada industri tekstil. Olek karena itu industri tekstil mulai berkembang dengan pesat. Fase perkembangan industri tekstil Indonesia diawali pada tahun 1970-an ketika industri TPT Indonesia mulai berkembang dengan masuknya investasi dari Jepang di sub-sektor industri hulu spinning dan man-made fiber making . Periode 1970-1985, industri tekstil Indonesia mulai tumbuh meskipun lamban serta terbatas. Tahun 1986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat yang dipengaruhi oleh adanya iklim usaha yang kondusif seperti regulasi pemeintah yang efektif yang difokuskan pada ekspor non-migas serta kemampuan industri TPT untuk memenuhi standar kualitas yang tinggi untuk lxxx memasuki pasar ekspor di segmen pasar atas. Periode 1986-1997 kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dengan membuktikan sebagai industri yang strategis dan sekaligus sebagai andalan penghasil devisa negara sektor non-migas. Pada periode ini pakaian jadi sebagai komoditi primadona. Periode 1998-2002 merupakan masa paling sulit. Kinerja ekspor tekstil nasional fluktuatif. Pada periode ini dikatakan periode cheos, rescue dan survival . Periode 2003-2006 merupakan outstanding rehabilitation, normalization dan expansion. Upaya revitalisasi stagnan yang disebabkan karena adanya multi-kendala, yang antara lain dan merupakan yang utama, yaitu sulitnya sumber pembiayaan serta iklim usaha yang tidak kondusif. Periode 2007 pertengahan dimulai restrukturisasi permesinan industri TPT Indonesia.

C. Perkembangan Industri Tekstil di Kabupaten Karanganyar