LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

100

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perubahan nilai-nilai budaya akibat globalisasi yang arahnya disetir oleh nilai-nilai Barat telah menjadi fenomena baru di masyarakat kita, seperti halnya dalam bidang kecantikan. Masyarakat melakukan apa yang dikehendaki oleh para kapitalis yaitu mengonsumsi sebebas-bebasnya bukan karena dibayar, namun masyarakat justru berkehendak, bahkan ingin sekali membayar “keistimewaan” bekerja sebagai konsumen. Yang lebih penting, kapitalisme memerlukan kita untuk tetap membelanjakan uang. Tanpa peningkatan tindakan konsumtif, kapitalisme seperti yang kita tahu akan hancur. Oleh sebab itu, fokus kapitalisme bergerak dari pengeksploitasian pekerja ke pengeksploitasian konsumen. Masyarakat konsumen Indonesia tampak tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya shopping mall , industri mode atau fashion, industri kecantikan, kawasan perumahan mewah dan gencarnya iklan barang-barang mewah, liburan ke luar negeri hingga pesatnya perkembangan telepon seluler. Dengan melihat kenyataan di atas, barang konsumsi yang diciptakan manusia dari masa ke masa mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk efektifitas pemakaian barang, tetapi sekaligus diusahakan memiliki arti 101 simbolik dari kepuasan dan budaya yang dianutnya. Budaya konsumen telah menyumbang pada suatu hubungan yang refleksif yang kemudian meningkat terhadap identitas diri melalui pembagiannya dalam seperangkat pengetahuan keahlian, contohnya dalam hubungan dengan gaya hidup, selera, fashion, dan kecantikan, yang mungkin digunakan individu dalam meningkatkan identitas dirinya. Kalangan muda adalah kalangan yang memang dipandang sebagai motor utama terbentuknya budaya global. Dalam era ekonomi yang mengarah ke kapitalistik, remaja dengan status ekonomi tinggi adalah segmen pasar yang sangat potensial, khususnya remaja perempuan. Kampus sebagai sarana tempat belajar dan bersosialisasi ternyata juga mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam membentuk suatu kontruksi budaya konsumsi. Sekarang ini adalah era dimana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup , demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dan lain sebagainya. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citra ketimbang nilai guna utilitas , logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan need melainkan logika hasrat desire . Seperti kita ketahui, saat ini belanja bukan lagi sekedar membeli suatu barang, tetapi sudah menjadi suatu proses ritual untuk membentuk ataupun 102 membeli “identitas” sesuatu yang dirasakan estetik untuk dirinya, yang memberi “bobot” sebagai makhluk sosial. Ketika seseorang melakukan konsumsi, harga sudah tidak dipersoalkan lagi, tetapi lebih menekankan pada kesesuaian dengan status sosial ekonomi mereka. Sehingga secara tidak langsung hal ini dianggap sebagai suatu simbol status dan identitas gaya hidup modern. Konsumsi telah menjadi nilai-nilai dan tujuan sosial tertinggi dalam kehidupan modern. Sebagai contoh, citra tentang kecantikan sekarang ini sudah berubah antara lain karena pengaruh kapitalisme global. Kulit yang putih, rambut yang panjang dan lurus, sampai berbagai obat dan cara pengurusan tubuh menjadi citra utama yang menjadi gaya hidup masyarakat kapitalis barat, meminggirkan kenyataan bahwa mayoritas orang Indonesia berkulit sawo matang dan menggeser ideal kecantikan asli Indonesia. Definisi cantik secara fisik menurut kamus besar bahasa Indonesia 2002 diartikan sebagai indah, elok, rupawan, atau bentuk, rupa dan lainnya tampak serasi. Tidak dijelaskan secara rinci yang bagaimana yang serasi itu, apakah hidung mancung dengan bibir tebal? Atau hidung biasa dengan bibir kecil? Dan sebagainya. Akhirnya yang dinamakan cantik itu relatif dan sifatnya subjektif. Sadar atau tidak, definisi itu terbentuk oleh lingkungan sekitar. Penilaian itu direkonstruksi oleh orang-orang disekitar kita. Di mana kita berada, di mana kita tinggal, dengan siapa kita bergaul, semuanya akan mempengaruhi pada penilaian kita. Dengan kata lain, penilaian itu tergantung pada komunitas yang memaknainya. Pada jaman serba teknologi ini, media 103 memegang peranan yang amat penting, contohnya tayangan sinetron di televisi ternyata banyak menyuguhkan definisi kesempurnaan kalangan tertentu. Sungguh naif, orang-orang kampung yang menonton sinetron itu sekaligus juga mengkonsumsi gaya hidup life style para selebritis. Mereka berdandan, bersolek, ala selebritis. Sementara apa yang dipertontonkan di layar kaca itu tak sepenuhnya sesuai dengan relita di sekitar kehidupan mereka. Dalam kondisi masyarakat yang majemuk ini definisi cantik di Indonesia perlu diubah. Bahwa cantik tak harus berkulit putih seperti bule, karena orang Indonesia rata-rata berkulit sawo matang, bahwa cantik tak harus berhidung mancung, bahwa seksi tak harus berpayudara besar, dan lain-lain. Kualitas yang disebut dengan “cantik” benar-benar ada, secara obyektif dan universal perempuan pastilah ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik para perempuan baik yang berkulit putih, berkulit hitam, maupun sawo matang bahkan perempuan yang tampak sebagai model pun menyatakan bahwa sejak awal mereka berpikir secara sadar, bahwa sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri dan tanpa cacat sedikit pun. Wolf, 2002 : 4 . Sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” seperti itulah yang menjadi dambaan hampir seluruh perempuan termasuk mahasiswi didalamnya. Banyaknya perempuan khususnya mahasiswi yang memakai produk- produk skin care sebagai salah satu usaha untuk menjadi “sempurna” 104 merupakan fenomena baru yang marak terjadi belakangan ini. Hal ini sangat menarik untuk diteliti karena terjadi keberanian untuk memakai produk skin care dalam hal ini Larissa merupakan satu hal yang baru, dengan status mereka yang hanya mahasiswi yang mayoritas belum berpenghasilan ternyata tidak menjadi masalah. Keinginan untuk menjadi “sempurna” secara fisiklah yang mendorong terjadinya fenomena ini. Produk-produk skin care adalah salah satu contoh kosmetik. Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan, gigi, dan rongga mulut, untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit. Kosmetik sendiri termasuk sediaan farmasi maka pembuatannya harus mengikuti persyaratan, keamanan, dan kemanfaatan sesuai Undang- Undang Kesehatan serta Peraturan Pelaksanaannya Permenkes Nomor 72 Tahun 1998 . Dari segi definisi umum, kosmetik merupakan sediaan yang digunakan pada bagian luar badan untuk tujuan kecantikan atau pembersihan supaya rupa bentuk berubah menjadi lebih menawan atau menarik. Sedangkan menurut Sec. 201 i FDC Act, kosmetik adalah produk, terkecuali sabun, yang dimaksudkan intended untuk dipaparkan ke tubuh manusia dengan tujuan membersihkan, mempercantik beautify , meningkatkan daya tarik, atau memperbaiki alter penampilan www.google.com . Produk skin care yang ditawarkan berbagai klinik-klinik kecantikan, yang diiklankan di media massa maupun langsung kepada konsumen 105 menunjukkan bahwa keinginan untuk memiliki kulit putih, bersih, mulus seperti masyarakat barat merupakan fenomena masyarakat Asia dalam beberapa tahun terakhir, dan Indonesia yang tidak bisa melepaskan diri dari jaring-jaring perdagangan bebas dan informasi bebas, termasuk salah satu sasaran kapitalisme lanjut ini. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis mengambil lokasi di “Larissa Skin Care Hair Treatment” yang beralamat di Jalan Gadjah Mada 103 Solo. Kecenderungan pemakaian produk-produk skin care Larissa oleh mahasiswi Solo berkaitan erat dengan persepsi diri. Sebagian besar konsumen merasa tidak puas atau tidak percaya diri dengan penampilannya. Karena itu, produk-produk skin care Larissa menjadi salah satu usaha untuk menambah kepercayaan diri. Upaya ini berkaitan dengan persepsi mereka tentang kecantikan, yaitu cantik itu memiliki kulit yang putih, bersih dan mulus. Wajar bila produk skin care ini menjadi kebutuhan penting bagi kaum wanita. Mereka sungguh terganggu dengan performa kulit yang buram dan kusam. Kulit cerah dan kuning langsat menjadi dambaan, agar lelaki pendampingnya sulit melirik wanita pesaing disekitarnya karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa cantik itu identik dengan kulit putih. Di pihak lain, beberapa individu merasakan ketidakadilan bagi yang berkulit gelap, karena selalu digambarkan tidak menarik perhatian lawan sejenisnya. Karena itu, apapun produk skin care yang digunakan bahkan klaimnya tidak masuk akal pun, semacam food supplement yang bisa memutihkan kulit, sangat digemari oleh masyarakat Indonesia khususnya mahasiswi. Dari sedikit gambaran 106 singkat di atas, penelitian ini akan mendeskripsikan bagaimana pengetahuan, sikap dan tindakan menggunakan produk-produk skin care Larissa pada mahasiswi di Solo.

B. PERUMUSAN MASALAH