Dilema Ekonomi : Pasar Tradisional versus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia
Dilema Ekonomi : Pasar Tradisional versus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia
Wasisto Raharjo Jati
Abstract
Traditional markets are not only meant as an economic entity, but also as social entities. Economic activity carried on in the traditional markets to ensure the socio-economic equity for all actors involved both formal and informal. Traditional markets can bring prosperity for all people. Economic globalization has changed the configuration of the world economy is beginning to support economic equality to economic growth through liberalization policies. Liberalization of the retail business in Indonesia is directly affecting the economy of consumption preferences. The presence of the massive modern retail making traditional market position becomes difficult because of the economic competition that is not affirmative. This paper will present the economic marginalization faced by traditional market since the liberalization of the retail business.
Keywords : traditional market, modern retail, globalization,trading
A. PENDAHULUAN
menjalankan roda ekonomi negara.
“Y en Pasar Ilang Kumandhange” (jika
Sosiolog
Belanda
WF Wertheim
pasar kehilangan gaungnya) merupakan
mengartikan konsep catur sagatra tersebut
ramalan Raja Kerajaan Kediri, Jayabaya
dengan fakta historis peradaban ekonomi
terkait dengan pesan futurologinya
Jawa sebelum tahun 1600 (Wertheim, 1958
mengenai semiotika zaman kalabendhu
: 23). Kota-kota di Jawa terdiri atas
mengenai pudarnya corak berperilaku
beberapa zona: keraton, alun-alun dan
ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan
pasar. Pasar terletak di dekat alun-alun,
lalu pemukiman kaum bangsawan dan
tradisional merupakan institusi vital bagi
rakyat biasa. Semakin jauh jaraknya dari
rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-
keraton, semakin rendah pula kelas sosial
hari. Pasar tradisional tidaklah dimaknai
para pemukimnya. Adanya pasar yang
pranata ekonomi yang fungsi utamanya
berada di tengah-tengah komunitas rakyat
mendinamisasi transaksi perdagangan
dan komunitas bangsawan saat itu
pembeli dan penjual dalam nuansa
menandakan adanya peradaban yang
kehidupan yang statis. Lebih dari itu, pasar
dibangun. Pasar merupakan pertanda
tradisional juga mengemban fungsi sebagai
peradaban
masyarakat saat itu.
ruang kultural dimana proses akulturasi
Berlangsungnya
kegiatan berdagang
berlangsung antara berbagai ragam mata
dengan saling tukar-menukar komoditas
pencaharian ekonomi berlangsung dalam
antar berbagai lintas kultur pedagang
satu kesatuan.
menjadikan pasar sebagai dinamisator
Dalam berbagai literatur sejarah, pasar
zaman bagi masyarakat. Hal itulah yang
tradisional merupakan salah satu pilar
kemudian pasar senantiasa bergaung
negara yang dikenal dengan konsep catur
sebagai instrumen etik dan moral ekonomi
sagatra yang mengemban fungsi sentral
maupun sosial budaya. Matinya pasar
__________________________________________ Alamat Korespondensi : Wasisto Raharjo Jati, Gedung P AU UGM Lt.3 Sayap Timur, Jalan Teknika Utara, Pogung, Y ogyakarta 55281. Email : wasisto.raharjo.jatimail.ugm.ac.id
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tradisional sama artinya dengan matinya
42 triliun, kemudian meningkat lagi pada
peradaban bangsa karena otomatis hal itu
2006 menjadi Rp50,8 triliun dan pada
akan merubah pola perilaku rakyat dalam
2008 meningkat menjadi Rp 58,5 triliun.
bertransaksi ekonomi.
Hal tersebut berlanjut pada 2010 dimana
Secara fisik dan faktual, pasar ilang
bisnis ritel modern tumbuh 12 dan tahun
kumandhange memang benar terjadi dalam
2012 ini diperkirakan ritel modern akan
konteks perekonomian Indonesia. Pasar
tumbuh 13-15. Kondisi itu tentunya
tradisional kini terganti dengan bangunan
sangat
kontras
dengan kondisi
mall dan pusat perbelanjaan modern
perekonomian yang dihadapi pasar
lainnya. Pergeseran itu juga menandai
tradisional. Menurut data yang dihimpun
perubahan dalam alur transaksi ekonomi
dari Kemendag tahun 2011 menyebutkan
yang semula berlangsung oleh keriuhan
pasar tradisional mengalami pertumbuhan
tawar-menawar antara penjual dan
minus 8,1 setiap tahunnya. Tingkat
pedagang beralih ke arah pragmatis.
profitabilitas pasar tradisional juga
Perubahan tersebut juga menuntut rakyat
mengalami penyusutan secara masif
kini semakin efisien dan efektif dalam
semenjak ritel mengalami liberalisasi pada
bertransaksi ekonomi karena komoditas
tahun 2000. Tercatat bahwa profitabilitas
yang dipajang dengan harga mahal hanya
pasar tradisional di kawasan Jabodetabek
mencerminkan kepentingan ekonomi
pada tahun 2001 mengalami penyusutan
pemodal besar dan bukan untuk
hingga 40 dan pada 2011 lalu pasar
mensejahterakan semua kalangan rakyat.
tradisional
mengalami penyusutan
Oleh karena itulah, redupnya keramaian
mencapai 60 . Kondisi serupa juga
bertransaksi ekonomi di pasar tradisional
berlaku di berbagai wilayah Indonesia
merupakan indikator semakin tergerusnya
lainnya yang rata-rata mencapai 70-80
tiap tahunnya. Oleh karena itulah,
mensejahterakan rakyat oleh kekuatan
sinyalemen bahwa perekonomian nasional
kapitalis-global.
tidak berpihak kepada rakyat memang
Berangkat dari pesan pasar ilang
benar adanya. Matinya pasar tradisional
kumandhange tersebut, pasar tradisional
sebagai arena ekonomi mikro bagi rakyat
kini kian tereduksi oleh hadirnya pusat
oleh hadirnya ritel modern yang
perbelanjaan modern di Indonesia paska
dikomandoi oleh swasta asing yang
reformasi 1998 hingga kini. Persoalan
berkolaborasi dengan swasta nasional
eksistensi pasar tradisional pada era
menandakan bahwa terjadi praktik
globalisasi sekarang ini memang menarik
neokolonialisme
dalam konteks
disoroti, terlebih peran yang diembannya
perekonomian di Indonesia.
sebagai bisnis ritel tradisional. Adanya
Maka pada tataran ini, kondisi eksternal
liberalisasi bisnis ritel tidak terlepas dari
ekonomi dunia juga turut berpengaruh
Keppres No. 962000 mengenai bidang
kondisi pasar tradisional di Indonesia.
usaha terbuka dan tertutup bagi penanaman
Namun hal itu tidak cukup untuk
modal asing yang menggolongkan ritel
menggarisbawahi persoalan yang terjadi di
sebagai bidang usaha terbuka bagi
pasar tradisional. Negara juga menjadi
penanaman modal asing dan swasta
aktor utama dalam menciptakan kondisi
nasional. Hal itulah, yang kemudian bisnis
tersebut melalui berbagai macam produk
ritel kini mulai disesaki oleh berbagai aktor
regulasinya. Semenjak liberalisasi ritel
swasta nasional maupun swasta asing.
diberlakukan pada tahun 1998, negara
Prospek keuntungan yang bisa diraih dari
dianggap mulai abai dengan spirit ekonomi
bisnis ritel di Indonesia memang sangat
kerakyatan yang berbasiskan pada
tinggi. Berdasarkan data dari Asosiasi
pemerataan ekonomi yang seimbang
Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo),
dengan hanya menerapkan strategi
pada 2011, omzet ritel modern tercatat Rp
pertumbuhan berbasiskan modernitas dan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
liberalisasi.
Realita tersebut
kian
kemunduran bagi pasar tradisional dengan
mempersempit ruang spasial-ekonomi
data yang relevan. Selanjutnya, akan
pasar tradisional sebagai pranata ekonomi
diperoleh saran dan kesimpulan teoritis
ritel yang melayani kebutuhan domestik
mengenai dampak liberalisasi ritel bagi
rakyat. Pasar tradisional terjepit oleh
keberlangsungan pasar tradisional.
kondisi perekonomian nasional yang tidak afirmatif. Menyikapi hal tersebut, ada
C. HASIL PEMBAHASAN
baiknya bagi kita untuk melihat konteks
C.1. Konteks Nilai -Ekonomi Pasar
pasar tradisional sebagai pilar ekonomi
T radisional di Indonesia
bangsa dan setting liberalisasi ritel di
Sumitro
Djojohadikusumo pernah
Indonesia yang mengakibatkan eksistensi
berujar bahwa pasar tradisional merupakan
pasar tradisional tersebut.
sokoguru perekonomian nasional di
Studi ini hendak mengkaji kebijakan
Indonesia yang memberdayakan dan
ekonomi pembangunan mengenai dampak
mensejahterakan rakyat secara keseluruhan
liberalisasi ekonomi dalam bisinis ritel
(Djojohadikusumo, 1981 : 56). Esensi
sebagai penyebab menurunnya pasar
yang terkandung dalam transaksi ekonomi
tradisional di Indonesia. Persoalan tersebut
dalam pasar tradisional adalah “kerjasama”
memang urgen dan signifikan untuk
(cooperation) adalah pola terapan ekonomi
ditindaklanjuti mengingat ketimpangan
yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia.
antara pasar tradisional dan ritel modern
Dalam lalu lintas ekonomi yang terjadi
paska diterapkannya liberalisasi. Dalam
pasar
tradisional,
semua aktor
kajian ini, menggunakan metode analisa
diberdayakan untuk menjadi bagian organ
kebijakan publik yang merangkum
penting. Mulai dari berbagai macam
berbagai perspektif pemikiran dari tinjauan
profesi dilibatkan mulai dari buruh
literatur terkait dengan tema dan
gendong, penjaja jasa pijat, tukang becak,
mengumpulkan berbagai data empirik
jasa parkir, tengkulak, pedagang besar,
kontemporer analisa ekonomi yang relevan
maupun pedagang eceran. Artinya, dengan
untuk menjadi bahan suplemen dalam
adanya pasar tradisional sendiri mampu
kajian penelitian ini.
memberikan lapangan perkerjaan bagi semua kalangan. Hal tersebut bisa
B. METODE PENELITIAN
dibuktikkan dengan temuan BPS tahun
Metode Penelitian yang digunakan
2010 yang menyebutkan bahwa pasar
dalam kajian ini menggunakan metode
tradisional memberikan pekerjaan bagi
analysis of. Analysis of adalah metode
30,6 juta orang Indonesia dibandingkan
yang digunakan untuk menganalisa
ritel modern yang hanya mempekerjakan
dampak implementasi kebijakan publik
18,9 juta orang. Hal itulah yang kemudian
dengan menggunakan berbagai sumber
menempatkan pasar tradisional sebagai
data sekunder sekunder berbasis tinjauan
peyumbang lapangan pekerjaan terbesar
literatur, data empirik relevan, maupun
kedua di Indonesia setelah sektor pertanian
yang mencapai 41,8 juta orang. Secara
kesemuanya tersebut dianalisa sehingga
otomatis, pasar tradisional menggerakan
akan diperoleh produk pengetahuan analisa
berbagai potensi ekonomi kerakyatan agar
kebijakan mengenai dampak suatu
memperoleh kue ekonomi yang merata
kebijakan publik terhadap entitas tertentu
bagi semua kalangan.
(Santoso, 2011). Maka langkah pertama
Pasar tradisional yang kerap kali
yang dilakukan dalam kajian ini ialah
diidentikkan sebagai kekuatan ekonomi
menganalisa tentang setting kebijakan
kerakyatan merupakan bentuk dwitunggal
mengenai ritel modern. Langkah kedua
antara pasar tradisional dengan rakyat.
adalah melakukan kajian analisa mengenai
Timbulnya pasar tradisional tidak lepas
liberalisasi ritel modern sebagai penyebab
dari kebutuhan ekonomi masyarakat
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual (Nastiti, 2003 : 23). Selain itu pemenuhan kebutuhan
akan
barang-barang,
memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar
mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut pasar. Lahirnya pasar tradisional di Indonesia sendiri membawa dua modal utama yakni modal ekonomi dan modal sosial. Terkhususnya modal sosial yang terbangun dalam iklim perekonomian pasar tradisional adalah “kerjasama”
(cooperation)
dan
“kepercayaan” (trust).
Adanya
dimensi
“kerjasama”
(cooperation) dalam konteks pasar tradisional
mengajarkan bahwa kegiatan bertransaksi ekonomi tidaklah selalu memikirikan profitabilitas dan economic gains semata, namun juga membangun hubungan kekeluargaan dan persaudaraan terhadap sesama. Terkhususnya bagi orang Jawa, kegiatan ekonomi yang berorientasi hanya mengeruk
menciptakan konflik antar pedagang sehingga mengurangi tradisi guyub antar pedagang pasar tradisional. Oleh karena itulah, Akung (2011) menilai dalam transaksi ekonomi oleh para pedagang pasar tradisional di Jawa terbangun etika sosio-ekonomi yang bernama Tuna sathak bathi sanak’ (rugi laba dan materi, namun untung mendapat saudara). Petuah ini mengabarkan bahwa berdagang di pasar tradisional bukanlah sekadar profesi yang menghamba uang dan keuntungan semata. Demikian pula ‘Sesantisugih esem lan dhowo ususe’ (kaya senyum dan sabar), yang mengajarkan bahwa pembeli adalah raja. Adanya modal sosial dalam corak pasar tradisional inilah yang kemudian dibahasakan Clifford Geertz sebagai bentuk economic bazaar di Indonesia (Geertz, 1978 : 35).
Perdagangan di pasar tradisional memiliki ruh bernama persaudaraan, perlakuan
Demikian pula harga barang, bisa sangat damai dan bersahabat bagi para pembeli. Adapun komoditas yang diperjualbelikan sendiri terdapat kejelasan informasi yang jelas. Intinya dalam konsep perdagangan di pasar tradisional sendiri urusan mencari profit seimbang dengan mencari kawan dan saudara. Maka konteks transaksi ekonomi di pasar tradisional sendiri tidak bisa disama-ratakan dengan prinsip ekonomi yang diperankan oleh mall dan swalayan ritel modern dengan perspektif dikotomis “keuntungan yang maksimal, kerugian yang minimal”. Bagi seorang pedagang pasar tradisional, uang bukanlah prioritas yang harus diutamakan dalam esensi berdagang. Lebih dari itu, pedagang pasar juga mencari kebutuhan sosial lainnya berupa penghargaan timbal-balik berlangsung dalam relasi ekonomi yang setara sehingga terbangun ikatan personal dan emosional. Demikian juga bagi kalangan konsumen pembeli, mereka tidak ingin diperlakukan sebagai objek pasif dalam kegiatan perdagangan. Pembeli juga diperlakukan secara aktif dalam transaksi penentuan harga sehingga tercapai “kepuasan yang seimbang” antara penjual dan pembeli.
Pola perdagangan di pasar tradisional sendiri pada dasarnya hanya intermezzo saja, artinya memutar roda ekonominya sebatas kegiatan selingan untuk mengisi waktu (Nugroho, 2001 : 58). Oleh karena itulah, merupakan hal yang biasa bagi para pedagang yang biasa jualannya dengan cara diutangkan kepada tengkulak atau rentenir. Atau penjualnya terjerat utang oleh rentenir yang berkeliaran mencari mangsa di pasar itu. Para pedagang selalu dan sangat tergantung dalam hal penyediaan modal kepada “bank keliling”, yang konon bunga banknya lebih dari
20. Cara berdagang seperti itu menjadi absurd dalam sistem ekonomi modern
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yang lebih menghindari hutang dengan
agar tidak menjadi berkepanjangan, serta
kredit bunga yang tinggi karena
mendorong pedagang membayar retribusi
dikhawatirkan mengurangi modal faktor
sesuai dengan jadwalnya.
produksi. Namun demikian, hutang dengan
Dalam kultur ekonomi masyarakat
bunga kredit tinggi tidaklah terlalu
timur seperti halnya di Indonesia,
dikhawatirkan oleh para pedagang pasar
berbelanja sambil bersosialisasi adalah
tradisional akan merugikan dagangannya.
lebih menjadi preferensi dari pada
Sebaliknya, tingkat bunga yang tinggi
berbelanja secara individualis, maka
dalam bisnis peminjaman uang di pasar
berbelanja sambil tukar bicara adalah salah
tradisional disebabkan karena bisnis ini
satu cara modus pemuas kebutuhan, atau
hanya didasarkan pada kepercayaan
sebagai salah satu bagian yang menyertai
terhadap nasabahnya. Hal ini dapat dilihat
komoditi yang harus dipenuhi. Hal inilah
dari kenyataan bahwa “bank keliling” tidak
terlalu memkirkan barang-barang milik
“kepercayaan” (trust) antara penjual dan
pedagang pasar untuk dijadikan jaminan
pembeli. Geertz (1977) memandang
atas uang yang dipinjamnya.
adanya trust dalam kegiatan berdagang di
Faktor lain adalah faktor resiko, yaitu
pasar tradisional merupakan bentuk
ada kemungkinan bahwa peminjam tidak
apresiasi terhadap sistem sosial yang
melunasi hutangnya Namun demikian
dibangun berdasarkan relasi interaktif
terdapat kemudahan-kemudahan yang
antara pembeli dan penjual.
ditawarkan dari pelaku bisnis ini bagi para
Hal itulah yang kemudian pasar
nasabahnya yaitu uang dapat tersedia
tradisional menjadi uniksitas tersendiri
dengan cepat, apabila transaksi yang
dalam lingkup mainstream kajian ekonomi
dibutuhkan melebihi kapasitasnya, maka ia
dan pembangunan dunia yang kini dikuasai
dapat mengalihkan bisnisnya kepada
agenda-agenda
neoliberalisme yang
koleganya dan ia akan mendapatkan
mengarustamakan individualisme dan
kompensasi atau uang jasa perantara.
liberalisme dan modal ekonomi dalam
“Bank keliling” tidak pernah menanyakan
perdagangan. Keberadaan pasar tradisional
untuk tujuan apa kredit yang diminta oleh
dalam perekonomian Indonesia adalah
nasabah, mereka juga tidak pernah untuk
mencari informasi tentang peminjam. Ia
informasi
(asymmetric information),
menekan biaya transaksi (transaction cost)
dalam konteks
pribadinya, dengan resiko bahwa ia
perekonomian
modern dengan
ternyata memberikan penilaian yang salah.
meningkatkan kepercayaan (trust) dan
Angsuran pinjaan ini juga dapat
kerjasama. Selain halnya menekankan
dualitas modal ekonomi dan modal sosial
nasabahnya. Makanya sebagian orang
pada pasar tradisional sebagai antitesis
berjualan seperti itu di pasar bukan semata-
terhadap diskursi perekonomian global
mata mencari keuntungan
yang menekankan modal ekonomi
Kepuasan yang seimbang tersebut
(Leksono, 2009 : 121).
merupakan pengejawantahan norma lokal
Penelitian lain tentang pasar tradisional
yang berkembang di pasar tradisional ini
yang dilakukan oleh Jennifer Alexander
misalnya adalah budaya “pekewuh”.
(1987 : 24) dalam Trade, Traders, and
Budaya “pekewuh”.ini merupakan nilai
Trading in Rural Java memahami
sosial yang terbentuk secara indigenous
eksistensi pasar tradisional dalam konteks
bukan sebagai hasil dari intervensi. Budaya
perekonomian Indonesia dalam tiga
ini mendorong pedagang untuk bersedia
pendekatan utama yakni (1) pasar sebagai
mengikuti kesepakatan bersama yangtelah
sebuah aliran informasi yang terstruktur
dicapai, mencegah konflik yang terjadi
berdasarkan budaya; memuat cara-cara
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yang digunakan oleh pedagang untuk
lebih menghindari adanya persaingan yang
menghidupi diri mereka (2) pendekatan
kompetitif dalam berusaha (Kartodirjo,
aktivitas (dagang), pasar sebagai sistem
tukar-menukar barang (3) pendekatan
Nuansa perekonomian Indonesia sendiri
pelaku (pedagang), pasar sebagai sistem
yang berlokus diri pada pembangunan
sosial yang melibatkan pelaku-pelaku yang
“kerjasama”
(cooperation) dan
dihubungkan oleh hubungan
yang
“kepercayaan” (trust) amatlah berbeda
melembaga bersifat ekonomi dan sosial.
dengan “logika persaingan bebas “ (free
Menariknya kekhasan yang dimiliki oleh
fights liberalism) dengan perekonomian
pasar tradisional yang menggabungkan
Barat. Hal itu pulalah yang membedakan
modal ekonomi maupun modal sosial
pasar dari sudut pandang ekonomi Barat
secara seimbang berkulminasi pada
dan Indonesia. bagi Barat, pasar adalah
pembentukan relasi perdagangan yang
merupakan sesuatu entitas ekonomi yang
sirkuler. Adanya pola sirkuler dalam
linearitas
dalam
mencapai angka
modus perdagangan pasar tradisional
pertumbuhan kumulatif sehingga pasar
tersebut membedakan diri dengan pola
senantiasa dibiarkan secara bebas dan
pakem linearitas yang terdapat dalam
otonom dari kepentingan politis penguasa
lanskap perekonomian modern saat ini.
maupun
kepentingan sosial
Dimensi sirkuler juga menandai bahwa
kemasyarakatan. Sementara bagi pihak
dalam bertransaksi ekonomi sendiri
Indonesia
khususnya Jawa, pasar
tidaklah selalu menunjukkan adanya
merupakan arena ekonomi bebas yang
hubungan yang hierarkis dimana kelas
terintegrasi dengan kepentingan penguasa
pemilik modal selalu berada di level atas
pemerintahan dan masyarakat luas. Pasar
sedangkan kelas buruh yang nontabene
juga diartikan sebagai entitas ekonomi
miskin modal berada di level bawah.
yang membawa pada arus pemerataan
perekonomian yang seimbang dan setara.
demikian adanya kontradiksi dalam
Pasar tradisional di Indonesia pada
perekonomian. Manusia merasa tidak
dasarnya terbentuk atas lokalitas yang
dimanusiakan secara segi sosial dalam
dibangun antara tatanan sosial maupun
sistem kapitalisme tersebut karena
norma
penguasa
yang kemudian
senantiasa diharuskan bekerja untuk
membentuk adanya jejaring ekonomi yang
mencari profit dalam bekerja dan
kuat baik jejaring yang bersifat bonding,
bridging,dan linking sebagaimana yang
komoditas. Hal itulah, kapitalisme sendiri
tertera dalam gambar berikut (Gambar 1).
tidak sesuai diterapkan di Indonesia yang
Gambar 1 : Pola Sirkulasi Perdagangan dalam Pasar Tradisional
Sumber : Kemen PU (2011 : 15)
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Terbentuknya jejaring dalam sirkulasi
mengenai desan kebijakan perekonomian
Indonesia dalam era globalisasi sekarang
mengindikasikan bahwa terbentuk tatanan
ini. Setidaknya trust maupun cooperation
sosial dan berbagai norma eksternal
tersebut perlu dijaga untuk merevitalisasi
terimplementasi. Dari tatanan sosial ini
pasar tradisional sebagai kekuatan
kesepakan antar pihak akan terbentuk lebih
ekonomi terbesar Indonesia disamping
dan industri
keberlanjutan perdagangan di pasar
pertambangan
dalam percaturan
tradisional. Adapun norma eksternal yang
perekonomian global. Kita tentu bisa
dimaksudkan ialah adanya nilai filosofis
mengkomparasikan
pasar tradisional
seperti halnya “pasarku resik rejekiku
sebagai penggerak kekuatan ekonomi
apik” yang menekankan kepada untuk
mikro di Indonesia dengan cerita sukses
mengenai kesuksesan berbagai lembaga
kenyamanan dan kebersihan pasar. Norma
mikro lainnya di penjuru dunia misalnya
tersebut setidaknya sudah jamak dilakukan
saja pengalaman Grameen Bank di
oleh semua pedagang pasar tradisional di
Bangladesh, Credit Union di Eropa,
seluruh Indonesia untuk menghapuskan
gerakan LETS (Local Exchange Trading
stigma negatif tentang khalayak luas yang
System) di Inggris dan Kanada, dan
selama ini menyoroti pasar tradisional itu
gerakan Zapatista di Meksiko maupun
tempatnya becek, tidak karuan, dan tidak
lembaga-lembaga keuangan mikro di
terawat. Norma yang kedua ialah
Indonesia (dan masih banyak cerita sukses
“SEMAR” yang merupakan singkatan dari
dari belahan dunia lainnya). Namun semua
Senyum, Eling dengan Y ang Maha Kuasa,
itu dinilai masih kurang mampu
Manunggal diadakan paguyuban untuk
memprovokasi kesadaran negara akan
persatuan, Arahan dari pengelola pasar,
keefektifan dari bangunan kekuatan lokal
dan Ramah.
dengan membasiskan diri pada kekuataan
Dari dua norma tersebut akan terbentuk
pasar tradisional.
kepercayaan antar pedagang maupun
Maka pada akhirnya, negara tidak
pedagang dengan pihak lain yang terkait.
berhasil menguatkan kekuatan ekonomi
Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap
lokal untuk bersaing di pasaran global.
sesama pedagang terlihat pada saat seorang
Malahan negara kemudian iku-ikutan
pedagang dapat melakukan jual beli
mulai mengakuisisi nilai-nilai modernitas
dengan cara menjualkan komoditas dari
untuk
diterapkan
kepada stuktur
pedagang lain dan pembayaran dilakukan
perekonomian
Indonesia. Adanya
saat komoditas telah terjual. Selain itu juga
transformasi besar-besaran pada akhir
toleransi terhadap sesama pedagang sangat
1998 dengan meliberalisasikan semua
kuat. Pemandangan itulah yang menjadi
sektor ekonomi termasuk ritel yang
uniksitas lainnya dalam perdagangan
dijalankan oleh pasar tradisional. Hal
tradisional di Indonesia dimana terdapat
inilah yang kemudian bertentangan dengan
spirit saling melindungi antar para
spirit ekonomi rakyat yang digagas oleh
pedagang. Hal tersebut kiranya cukup
para founding fathers sebagai model
ganjil apabila dipertautkan dengan kondisi
pengembangan ekonomi di Indonesia.
Mubyarto (2005 : 73) dalam A
perekonomian liberal yang saling sikut-
Development
Manifesto mengartikan
menyikut dalam mencari laba yang
definisi ekonomi rakyat dalam kutipan
sebesar-besarnya.
berikut.
Oleh karena itulah, trust maupun
“Ekonomi rakyat (people’ s economy)
cooperation yang tinggi dalam ekonomi
has indeed a long history in Indonesia and
pasar tradisional menimbulkan berbagai
that the facts of its history should be
idealisme menarik dalam perumusan
recognized as playing a very important
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
role in the modern Indonesian economy. It
teknologi dan komunikasi yang memaksa
makes a great deal of sense that the
pola lama tersebut pudar demi alasan
government should pay close attention to
efektivitas
dan efisiensi produksi-
the role of ekonomi rakyat in further
konsumsi.
developing the Indonesian economy”.
Setting perekonomian Indonesia sejak
Sayangnya pendapat yang disampaikan
era 1960-an memang menandai transisi
oleh Mubyarto tersebut tentang penguatan
dari perekonomian subsisten menuju
perekonomian konsumtif. Robert Hefner
perekonomian modern kini kurang
(2006) melihatnya sebagai tumbuhnya
diapresiasi oleh para teknokrat ekonomi
kelas menengah dalam struktur kelas sosial
kita
yang lebih
mengarustamakan
kemasyarakatan. Kelas menengah ini hadir
kapitalisasi di semua bidang ekonomi
tidak terlepas dari banjir bonus pendapatan
modern. Hal itulah, yang menjadikan
minyak yang diproduksi Permina pada
ekonomi mikro seperti halnya pasar
pertengahan akhir 1960-an hingga
tradisional sendiri mengalami marjinalisasi
menjelang 1980-an sehingga menciptakan
ekonomi di negeri sendiri. Padahal esensi
adanya generasi richie noveau (orang kaya
yang disampaikan konsepsi ekonomi
baru) di Indonesia. Generasi tersebut
setidaknya menciptakan lanskap baru
tradisional sebagai model ekonomi modern
dalam perilaku konsumsi akan entitas
Indonesia merupakan sesuatu entitas
ekonomi yang mendukung kebutuhan para
ekonomi yang berlanjut. Adapun kata
kelas menengah tersebut. Oleh karena
tradisional pada pasar sendiri mengartikan
itulah, kemudian memunculkan adanya
diri sebagai “tradium” yang berarti
pertumbuhan ritel-modern dalam bentuk
berlanjut sejak masa lalu hingga masa
toserba (toko serba ada) maupun swalayan
sekarang ini. Dalam konteks tersebut,
yang diperuntukkan bagi kelas menengah
esensi tradisional bukanlah sesuatu yang
Indonesia tersebut. Maka dalam hal ini,
harus kita singkirkan dalam era globalisasi
pertumbuhan ritel modern erat kaitannya
ekonomi sekarang ini. Malah justru itu
dengan pertumbuhan pendapatan perkapita
menjadi ciri khas tersendiri basis dasar
penduduk maupun tingginya angka
perekonomian mikro rakyat.
pertumbuhan ekonomi.
khususnya dalam bisnis ritel yang terjadi di
C.2. Penetrasi Bisnis Ritel Asing di
mendorong pasar tradisional sebagai unsur
Hadirnya ritel baik yang dijalankan oleh
lokalitas ke dalam unsur globalitas
swasta asing maupun swasta nasional tidak
ekonomi dunia. Hal itulah yang kemudian
terlepas dari konteks makro ekonomi
disebut sebagai bentuk konformitas
Indonesia yang sedang mengalami
ekonomi lokal di modern (Achidsti, 2011 :
pertumbuhan tinggi. Indonesia paska 1966
110). Adapun pengertian konformitas
dianggap sebagai macan ekonomi baru
ekonomi di sini bukan dimaksudkan diri
yang sempat terpuruk. Fakta mencatat
sebagai bentuk penyesuaian diri kekuatan
bahwa Indonesia mampu membalikkan
ekonomi lokal terhadap transformasi
angka inflasi 600 berhasil dikendalikan
ekonomi yang
berkembang dalam
1,6 pada tahun 1970-an dan menaikkan
globalisasi. Namun justru, merupakan
pendapatan perkapita hingga USD 1200
bentuk keterpaksaan diri untuk merangkul
pada tahun yang sama. Kondisi tersebut
ekonomi global dalam tataran ekonomi
menimbulkan gairah ekonomi yang besar
nasional dan lokal. Dengan kata lain
bagi rakyat Indonesia dimana sebelumnya
konformitas juga bisa dimaknai sebagai
mengalami depresi ekonomi nasional.
klausul terdesaknya pola-pola lama yang
Maka dalam konteks inilah, transformasi
manual dengan tren perkembangan
dari
ekonomi
tradisional yang
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
keynesianistik menuju ekonomi modern
Adapun masuknya berbagai macam ritel
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
asing tersebut mulanya hanya memenuhi
Ritel modern merupakan indikator utama
berbagai kebutuhan konsumtif segmen
peralihan ekonomi tersebut.
penduduk kelas menengah ke atas di
Ritel modern pertama yang dibangun di
daerah perkotaan. Maka bisa dikatakan,
Indonesia ditandai dengan Toserba (Toko
ritel modern ini hanya mengincar segmen
Serba Ada) Sarinah di kawasan Thamrin,
kelas premium. Hal itu tampaknya belum
Jakarta Pusat pada pertengahan 1965-an.
menjadi ancaman yang berarti bagi
Sarinah merupakan department store
eksistensi pasar tradisional yang pada
pertama di Indonesia yang dibangun oleh
umumnya
hanya
mencari segmen
pemerintah dimana dana pembangunannya
penduduk kelas menegah ke bawah. Posisi
diambil dana rampasan hasil perang
pasar tradisional relatif aman sampai
dengan Jepang yang mencapai USD 11
pertengahan 1997-an dimana gelombang
juta. Selang satu dekade berikutnya, Hero
inflasi
mulai
menghantui dengan
muncul sebagai ambisi swasta nasional
menurunnya nilai tukar rupiah terhadap
untuk mendirikan pionir pasar swalayan di
dollar Amerika Serikat yang menyentuh
Indonesia. Hal tersebut berlanjut pada
angka Rp 17.000,00 per 1 USD
rentang 1980-1990-an yang ditandai
mengakibatkan
masyarakat kembali
dengan munculnya Circle K sebagai aktor
berkiblat kepada pasar tradisional untuk
asing pertama yang masuk dalam bisnis
memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-
ritel nasional pada tahun 1987 dan “Seven
hari.
Kendati demikian, kondisi
Eleven” sebagai yang kedua dalam bentuk
keberpihakan kembali kepada pasar
convenience store. Konteks tahun 1990-an
tradisional tersebut tidak berlangsung
merupakan tonggak berdirinya berbagai
begitu lama mengingat terjadinya krisis
macam ritel asing yang beriperasi di
moneter yang terjadi pada tahun 1998
Indonesia seperti halnya Marks Spencer,
merupakan era keemasan dari ritel modern
Y aohan, Makro, Carrefour, maupun JC.
untuk berkembang di Indonesia. Hal itu
Pencey. Natawidjaja (2005) dalam
dikarenakan salah satu poin pasal letter of
”Modern Market Growth and The
intent yang ditandatangani oleh pihak IMF
Changing Map of The Retail Food Sector
dan pemerintah Indonesia mensyaratkan
in Indonesia”menyebutkan peningkatan
adanya deregulasi negara dari arena
jumlah supermarket diawal tahun 1983,
ekonomi dan pemberian kebijakan
pada saat itu mayoritas terdapat di Jakarta,
ekonomi yang terbuka bagi pihak asing
terjadi seiring dengan peningkatan
yang secara merta mengikutsertakan ritel
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
merupakan bidang yang terbuka bagi
kapita. Pola sebaran pasar modern masih
khususnya di kota-kota besar seperti
C.3.Setting Regulasi Bisnis Ritel
Jabodetabek dan berbagai wilayah di pulau
Nasional
Jawa. Jika melihat pada pola pertumbuhan
Sebelum membahas mengenai regulasi
pasar modern, minimarket menjadi ritel
perniagaan mengenai ritel, terlebih dahulu
modern yang melakukan ekspansi usaha
kita harus mengetahui pendefinisian
mengenai arti ritel. Ritel dalam Black’ s
Laws Dictionary diartikan sebagai “to sell
pemukiman. Minimarket mendapatkan
by small quantities in broken lots or
tempat tersendiri di hati masyarakat karena
parcels not in bulks to sell direct to
kemudahan dalam berbelanja dan harga
consumers”. Artinya, ritel merupakan
yang relatif lebih murah jika dibandingkan
bentuk tindakan ekonomis dengan menjual
dengan pasar tradisional.
komoditas eceran secara langsung kepada konsumen di lapangan. Dari definisi
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tingkat nasional mengenai sektor ekonomi
penyeragaman bahwa menjual secara
terbuka memang mengamanatkan pasar
eceran disebut ritel tanpa kecuali. Hal
tradisional sebagai bagian dari industri ritel
itulah yang kemudian turut pula
yang diharuskan bersaing dengan sektor
menghantarkan pasar tradisional sebagai
swasta asing maupun swasta nasional
bagian dari klasifikasi dari ritel. Pada
dalam
bentuk
department store,
Keputusan Presiden
(Kepres)
No.
supermarket, convenience store, maupun
1182000 dan peraturan sejenis lainnya di
hypermarket.
Tabel 1 : Kerangka Regulasi Bisnis Ritel di Tingkat Nasional dan Lokal Daerah
Tingkat Regulas
Regulasi
i Nasion Keputusan Presiden (Kepres) No. 1182000 tentang al
Perubahan dari Keputusan Presiden No. 962000 mengenai Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.107MPPKep21998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.420MPPKep101997 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian
dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri No.57 dan 145MPPKep1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.12MDAGPER32006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Modern dan Toko Modern.
Lokal
Perda Provinsi No. 22002 tentang Pasar Swasta diDKI
Jakarta; Keputusan Gubernur No. 442003 mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pasar Swasta di Jakarta.
Perda No. 232003 tentang Pengelolaan Pasar di Kota
Depok; Keputusan Perda Kota Depok No. 492001 tentang Izin Gangguan.
Perda No.52011 tentang pembatasan jumlah ritel modern
di Kota Solo.
Sumber : Suryadarma et al (2008 : 31)
Regulasi mengenai pengaturan bisnis
konstitutif maupun level administratif
ritel di Indonesia tersebut menemui
khususnya apabila kita cermati dua
berbagai perdebatan baik di level
regulasi ritel paling atas di level nasional
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yakni Keputusan Presiden maupun SK
mengarah pada persaingan bebas (free
Menteri Perdagangan yang dinilai masih
fight liberalism). Isi kedua regulasi
lemah secara hukum. regulasi pada tingkat
nasional terkait perdagangan (Perpres No
ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini
1122007 dan Permendag No 532008)
di mana telah terjadi dominasi peritel besar
tidak memiliki kecukupan material dan
daripada memenuhi semangat dan imperasi
substansial dalam memberi arah dan model
konstitusional yang terdapat dalam Pasal-
perlindungan dan pengembangan sistem
Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang
nilai, modal sosial, dan pelaku pasar
Dasar 1945.
tradisional. Semangatnya justru lebih
Tabel 2 : Jenis Usaha Ritel yang berkembang di Indonesia sesuai regulasi Keppres dan
SK Mendag Usaha Ritel
Batasan Fisik
Komoditas yang Tersedia
Minimarket
Mempekerjakan 2-6 Makanan Kemasan
“Convenience
orang
Barang higienis Pokok
Store”
Luas lantai usaha Antara 2000-3000 item 200m2
produk
Supermarket
Luas kantai usaha Makanan 350-8000 m3
Barang-barang rumah tangga
Tiga mesin hitung
Antara 10.000-18.000 item produk (70 barang ritel dan 30 fresh product)
Hipermarket
Berdiri Sendiri
Makanan
Luasnya diatas 8000 Barang Rumah Tangga m3
Elektronik
Mesin hitung untuk Busana Pakaian setiap 1000 m3
Antara 19.000-40.000 item produk (70 barang ritel dan 30 fresh product)
Toko
dengan Luasnya lebih dari Makanan
sistem
500 m3
Barang Rumah Tangga
pembayaran cash Konsumen menjadi and carry
anggota (membership)
Toko
kecil Milik Keluarga
Makanan tertentu
dengan layanan Luasnya Kurang dari Barang Rumah Tangga penuh
200 m3
tertentu
Pasar Tradisional Banyak Pedagang
Bahan-bahan segar
Lapak Kecil dengan Barang-barang
produksi
ukuran 2-10 m3
rumah Barang-barang pokok rumah tangga
Sumber : Collett, Paul and Tyler W allace (2006 : 12)
Oleh
karena
itulah,menimbang
merumuskan rancangan peraturan presiden
lemahnya penerapan regulasi tersebut.
mengenai pasar modern (Rancangan
Maka pemerintah saat ini tengah
Peraturan Presiden tentang Toko Modern
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
dan Pasar Modern). Namun demikian,
kebijakan ekonomi afirmatif. Setelah
rancangan tersebut tidak memuat sanksi
tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden
pidana bagi pasar modern bila terjadi
(Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang
pelanggaran terhadap peraturan tersebut
Penataan
dan
Pembinaan Pasar
karena pemberlakuan sanksi dalam
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko
peraturan presiden dianggap melanggar
Modern (biasa disebut Perpres Pasar
perundang-undangan nasional. Dengan
Modern), akhirnya ditandatangani oleh
demikian, kedudukan peraturan presiden
Presiden Susilo Bambang Y udhoyono pada
tidak akan jauh berbeda dengan SK
27 Desember 2007 lalu. Enam pokok
menteri. Terlebih lagi, beberapa pasalnya
masalah diatur dalam Perpres yaitu
tidak mudah untuk diimplementasikan.
definisi, zonasi, kemitraan, perizinan,
Salah satu contohnya adalah pasal 3,
syarat perdagangan (trading term),
paragraf 4 yang menyebutkan bahwa
kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal
hanya terdapat satu pasar modern danatau
zonasi atau tata letak pasar tradisional dan
dua toko modern yang diizinkan untuk
pasar modern (hypermart), menurut
setiap satu juta orang.
Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah
Realitanya yang terjadi di masyarakat
(Pemda). Ini membuat pemerintah pusat
justru ritel modern kini tidak lagi
terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat
menghitung satuan kuantitas untuk
tata letak justru merupakan persoalan
mendirikan sebuah pusat perbelanjaan.
krusial sebab tak pernah konsisten
Namun lebih didasari, pada aspek
dipatuhi, yang lalu membenturkan
pertumbuhan ekonomi tengah berkembang.
keduanya. Konteks “cuci tangan” tersebut
Hal itulah yang kemudian mengakibatkan
memang sangat rasional terlebih kini
keberadaan jumlah ritel modern menjadi
otonomi daerah diamanatkan terjadi di
tidak terkendali sehingga menciptakan
level kabupaten dan kota sebagaimana
persaingan usaha yang tidak sehat antara
dalam UU No. 32 tahun 2004. Artinya
sesama ritel maupun dengan pasar
pemerintah daerah memiliki kewenangan
tradisional. Oleh karena itulah, pola
penuh dalam mengatur penataan izin usaha
persaingan tersebut pada akhirnya
ritel modern maupun pengaturan pasar
menciptakan konflik vertikal dengan pasar
tradisional
Pengalihan kewenangan
tradisional maupun konflik horizontal
mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern
dengan sesama ritel modern. Diantara dua
(IUPM)
ke
Pemerintah Daerah,
konflik tersebut, yang paling kentara unsur
memungkinkan pasar tradisional selalu
konformitasnya ialah konflik vertikal
dikorbankan dengan berbagai alasan.
antara pasar tradisional dengan pasar
Indikasinya, sebagian besar pasar modern
modern yang secara jelas menggambarkan
tidak memiliki IUPM dari pemerintah
dua kutub ekonomi yang berbeda. Hal
pusat. Untuk masalah zonasi, Pemda diberi
itulah yang kemudian membuat dalam
waktu tiga tahun untuk menyusun rencana
bisnis ritel di Indonesia
sendiri
umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang
menghasilkan pemenang dan pecundang
mengacu kepada Undang-Undang Tata
karena kalah dalam urusan modal. Pasar
Ruang.
tradisional selama ini semenjak hadirnya
Dalam berbagai model pengaturan ritel
ritel modern tersebut selalu saja
modern maupun pasar tradisional yang
ditempatkan pada posisi yang kalah
terjadi memang terdapat beragam kasus
sehingga mengakibatkan posisinya kian
yang tidak selalu menempatkan pasar
terjepit oleh keterbukaan pasar sekarang
tradisional selalu berada di pihak yang
perlindungan pasar
tradisional di Kabupaten Bantul dan Kota
mengakomodasi tentang perlindungan
Surakarta merupakan dua contoh wilayah
pasar tradisional dengan mengeluarkan
yang secara nyata tegas membatasi
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
hadirnya ritel modern di wilayah mereka.
perkotaan karena berbatasan langsung
Adapun dalam kasus di Kota Surakarta,
dengan Kota Yogyakarta.
Pemerintah kota sendiri memiliki regulasi
Dua model kebijakan ekonomi yang
tersendiri salah satunya melalui Perda
terjadi di kedua wilayah tersebut
No.52011 tentang pembatasan jumlah ritel
merupakan
cerminan bagaimana
modern dalam kota. Dalam regulasi daerah
pemerintah seharusnya bertindak dalam
tersebut, pemerintah kota mengatur
keterbukaan ekonomi sekarang ini dengan
pendirian ritel modern sejauh 500-1000
lebih menekankan pada kekuatan lokal.
meter dari pasar tradisional. Pemerintah
Namun apa yang terjadi di kedua wilayah
menyadari bahwa pasar tradisional akan
tersebut
merupakan
contoh kecil
terjepit bilamana izin usaha ritel diberikan
“keberhasilan” pasar tradisional atas ritel
modern. Kondisi tersebut kontras apabila
tradisional haruslah menjadi penyetor
dikondisikan dengan situasional ekonomi
kebutuhan konsumsi sehari-hari bagi
yang kini dan telah berlangsung dimana
masyarakat Surakarta. Adanya regulasi
pasar tradisional kian termarjinalkan oleh
tersebut, jumlah keberadaan ritel modern
ritel dalam lingkup skala nasional.
di Kota Surakarta hampir sebanding dengan jumlah pasar tradisionalnya dengan
C.4 Konformitas Pasar T radisional
prosentase 43:40 dengan catatan ritel
versus Ritel Modern
modern berada di wilayah pinggiran yang
Ssebenarnya
akar permasalahan
utamanya menjadi pemasok komoditas
ketimpangan bisnis ritel antara pasar
kaum komunter maupun perumahan kelas
tradisional dan ritel modern adalah
menengah atas yang umumnya bermukim
kekuatan pasar dan permodalan di mana
di wilayah barat dan timur batas Kota
ritel asing sangat kuat dan tinggi dan juga
Surakarta.
strategi memenangkan psikologi konsumen
Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten
yakni melalui cara mempermainkan harga
Bantul, pemerintah setempat mengeluarkan
komoditas konsumsi sehari-hari. Dua
kebijakan ekonomi kerakyatan dalam
faktor tersebut merupakan isu krusial yang
Peraturan Bupati No.112 Tahun 2007
menempatkan pasar tradisional harus
mengenai pembatasan jarak antara pasar
berada di bawah hierarki ekonomi ritel
tradisional dengan ritel modern. Adanya
modern dengan segala keterbatasannya.
jarak tersebut menegaskan pemerintah
Oleh karena itu, marilah kita mencoba
sendiri menginginkan supaya pasar
menganalisa dua faktor utama sumber
tradisional sendiri tetaplah terlindungi dari
ketimpangan tersebut.
serbuan ritel modern. Adapun jarak yang
Pertama,
kekuatan pasar dan
dimaksudkan meliputi Jarak Toko Modern
permodalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan pasar tradisional minimal 1.500
urusan modal merupakan hal paling
meter, Jarak dengan toko modern lainnya
mendasar untuk menganalisa ketimpangan
1.000 meter, Jarak dengan pasar tradisional
pasar tradisional dan ritel modern. Pasar
minimal 2.500 meter. Jarak ritel modern
tradisional yang umumnya bermodal kecil
jejaring nasional yang aturannya lebih
dengan interval kapital antara Rp 500.000
ketat karena membayangkan dampak yang
– Rp 20.000.000 per pedagang tersebut
lebih besar dibanding ritel modern lokal.
sangatlah jauh dibandingkan dengan ritel
Ritel modern jejaring nasional juga
modern yang umumnya mencapai
semakin diperketat lewat pembatasan
kapitalisasi mencapai < Rp 1.000.000.000.
wilayah pendirian yang hanya boleh di 3
Adanya perbedaan kapitalisasi dalam
Kecamatan (Banguntapan, Kasihan dan
faktor produksi inilah yang kemudian ada
Sewon). Kondisi ini disebabkan ketiga
relasi paradoks dalam realita bisnis ritel di
kecamatan itulah yang memiliki karakter
Indonesia dalam melakukan ekspansi bisnis. Menurut survei AC Nielsen (2006),
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
untuk pangan sedang menurun. Ancaman
hypermarket, pusat kulakan, supermarket,
pasar modern terhadap pasar tradisional di
minimarket, convenience store, maupun
Indonesia mengalami perkembangan yang
toko tradisional meningkat hampir 7,4
sangat pesat. Data lain yang diperoleh dari
selama periode 2003-2005. Dari total
Euromonitor
(2004) hypermarket
1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi
merupakan
peritel
dengan tingkat
1.881.492 gerai di tahun
pertumbuhan paling tinggi (25), koperasi
Perkembangan yang sangat tinggi ini
(14.2), minimarket convenience stores
menunjukkan bahwa pasar Indonesia
(12.5), independent grocers (8.5), dan
memiliki potensi yang sangat menjanjikan
su-permarket (3.5). Selain mengalami
bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar
pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka
seperti Surabaya, Bandung, Medan,
penjualan, peritel modern mengalami
Makasar, dan Semarang menjadi basis
pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4
perkembangan supermarket. Surabaya
pertahun terhadap pasar tradisional.
menjadi basis perkembangan supermarket
Berdasarkan survey AC Nielsen (2006)
dengan persentase hampir 11,6 dari total
menunjukkan bahwa pangsa pasar dari
supermarket di Indonesia. Adapun
pasar modern meningkat sebesar 11.8
penelitian yang dilakukan oleh Terry Roe
selama lima tahun terakhir. tiga tahun
(2005) yang berjudul ”The Rapid
terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar
modern pada tahun 2001 adalah 24.8
Retail”mengungkapkan
ekspansi
maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4
supermaket dipengaruhi oleh tingkat
tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam
periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8
Indonesia telah
mengijinkan ekspansi supermarket di
meninggalkan pasar tradisional dan beralih
ke pasar modern. Keberadaan pasar
supermarket dalam melakukan ekspansi
modern di Indonesia akan berkembang dari
usahanya dikhawatirkan akan memberikan
tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat
efek buruk bagi kesejahteraan petani
ini bisa jadi akan terus menekan
tradisional dan pedagang tradisional. Roe
keberadaan pasar tradisional pada titik
menyebut ekspansi ritel tersebut sebagai
terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar
bentuk capital deepening dimasa transisi
modern yang notabene dimiliki oleh peritel
pertumbuhan ekonomi, dapat mendorong
asing dan konglomerat lokal akan
menggantikan peran pasar tradisional yang
mempermasalahkan skala ekonomi atau
mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil
dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di
bagaimana ekspansi dapat terjadi walaupun
Indonesia.
kontribusi total pengeluaran rumah tangga
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Gambar 2 : Diagram Batang Fluktuasi Pertumbuhan Pasar Tradisional
dan Ritel Modern (dalam )
Pasar Tradisional
Ritel Modern
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia 2011
Ritel tradisional dari waktu ke waktu tidak
dengan naiknya omzet para ritel modern
menunjukkan pertumbuhan yang positif,
tersebut. Pada tingkat nasional, saat ini 28
bahkan ditemukan bahwa pertumbuhan
ritel modern utama menguasai 31 pangsa
ritel tradisional terus menurun dengan
pasar ritel dengan total omset sekitar Rp.
persentase 8 per tahun. Adanya fakta
70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu
bahwa pasar tradisional semakin menurun
perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5
tersebut bisa dibuktikan dengan temuan
Trilyun omset riteltahun atau Rp. 208,3
penelitian yang dilakukan oleh Rasidin
milyarbulan. Adapun penelitian yang
(2011) bahwa pada sektor Industri
dilakukan oleh Pandin (2011 : 28)
Pengolahan untuk kategori Usaha Kecil
menyebutkan omset ritel modern tersebut
dan Menengah 18,42 dan 9,09 yang
terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni
terdapat di pasar menyatakan berdampak
minimarket Indomaret dan Alfamart
pada penurunan
omzet penjualan.
(83,8), supermarket Hero, Carrefour,
Pernyataan kehadiran pasar modern
Superindo, Foodmart,
Yogya, dan
memiliki dampak pada penurunan omzet
Ramayana (75), dan hypermarket
penjualan, lebih banyak terjadi pada sektor
Carrefour (48,7), Hypermart (22),
perdagangan baik pada Usaha Mikro, Kecil
Giant (17,7), Makro (9,5), dan
maupun Menengah dengan frekuensi
Indogrosir (1,9).
36,36, 40 dan 41,67. Bahkan survey
Adapun kondisi pasar tradisional ibarat
penelitian independen yang dilakukan oleh
mati segan hidup pun tak mau. Hal ini
tim penelitian independen Pusat Studi
diakibatkan penetrasi ritel modern mulai
Ekonomi Kerakyatan UGM melihat ada
merambah ke masyarakat menengah ke
penurunan omzet sejauh 50 lebih dalam
kasus yang terjadi pasar-pasar tradisional
di Indonesia semenjak regulasi ritel
Kenyamanan berbelanja yang ditawarkan
diberlakukan pada tahun 2000. Lebih
ritel modern membuat konsumen lebih
jelasnya lihat tabel berikut ini.
memilih untuk berbelanja di ritel modern.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Tabel 3 : Penurunan Omzet pedagang pasar tradisional 2007-2011 (dalam )
Omzet pedagang
per minggu 4 tahun terakhir
Kurang Rp 1 jutaminggu
Rp 1 juta- Rp 2 juta
Rp 2 juta- Rp 5 juta
Rp 5 juta- Rp 10 juta
Rp 10 juta- Rp 20 juta
Di atas Rp 20 juta
Sumber : Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM 2011
Adanya penurunan frekuensi yang
sangatlah besar sebagai tempat penjualan
begitu masif yang terjadi dalam penurunan
hasil produksi agrikultural mereka.
omzet para pedagang di pasar tradisional
Sebagai contoh, petani memasok 42,6
tersebut merupakan bentuk dari multiplier
komoditas pasar tradisional meliputi
effect (Hartati, 2006 : 23). Mengutip data
sayuran segar, umbi-umbian, maupun
kacang-kacangan, peternak memasok 10,8
Indonesia (APPSI) tahun 2006 mencapai
– 15 komoditas telur, daging, maupun
24.000 pasar, dimana di dalamnya terdapat
produk olahan nabati lainnya, nelayan
12,60 juta pedagang pasar yang tersebar
memasok ikan maupun produk bahari
baik dalam skala besar maupun skala kecil.
lainnya mencapai 7,4 - 10 , dan
Oleh karena itulah, jikalau penetrasi ritel
pengecer minyak 3,5 – 7 .
modern kian menggerus eksistensi pasar
Tentu saja dengan memperhatikan
tradisional. Taruhannya ialah 12,6 juta
jumlah yang tidak sedikit dalam besaran
pedagang pasar, yang memiliki keterkaitan
pasar ritel, maka nilai-nilai dari peran
erat dengan para pemasok kecil yang
distributor ini juga sangatlah besar. Akan
sebagian besar merupakan petani atau
menjadi sebuah kehilangan ekonomi bagi
pengrajin kecil, saat ini terancam
bangsa ini, di tengah tuntutan efisiensi
keberadaannya.
Tenggelamnya pasar
karena peran distributor menjadi hanya
tradisional pun akan menyebabkan
tinggal distributor besar. Pola tersebut
pemerataan distribusi pendapatan akan
tentunya sangatlah berbeda dengan kondisi
semakin sulit dicapai karena tren
peta distribusi yang terjadi di pasar
perbelanjaan yang cenderung hanya
tradisional
dimana
pola distribusi
mengarah ke pasar modern akan
dilakukan secara tersentralisasi (Gambar 3)
menyebabkan kemakmuran hanya akan
dibandingkan dengan pasar tradisional
memusat dikalangan para pemodal besar
yang multi distributor.
yang mendominasi industri pasar modern.
Adanya sentralisasi dalam penjualan
Hal itulah yang kemudian dikatakan
komoditas yang dilakukan oleh ritel
multiplier effect. Efek tersebut setidaknya
modern yang berasal dari pabrik tersebut
bisa terlihat dari jaringan distribusi
komoditas pasar tradisional yang harus
distributor besar semata. Harus diakui
diperhatikan karena hilangnya model
bahwa
model
sentralisasi tersebut
distribusi tradisional memiliki arti
dipandang lebih efisien dan efektif dalam
hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan
menjual produknya langsung kepada
bagi orang yang selama ini mengandalkan
masyarakat. Namun demikian, sentralisasi
hidupnya dari usaha mendistribusikan
tersebut juga bisa dimaknai sebagai bentuk
barang sebagai bagian dari rantai
strategi pemenangan harga. Ritel memang
distribusi. Konteks ketergantungan para
dapat berkuasa untuk menentukan harga
petani, peternak, nelayan, peladang,
jauh lebih murah dari harga pasaran untuk
maupun sektor agrikultur terhadap
meraup konsumen sehingga labanya lebih
keberadaan pasar tradisional memang
banyak. Hal itu tentu berbeda dengan para
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pedagang pasar tradisional yang tentu
lebih dari itu juga mencari makna tertentu
masih menganut harga yang ditentukan
(seperti citra diri, gengsi, bahkan
oleh pada distributor sehingga kecil
kepribadian). Kondisi situasional inilah
kemungkinan para pedagang pasar
yang kemudian dimanfaatkan oleh para
memainkan harga pasar. Maka dalam taraf
pelaku ritel modern untuk memakai
inilah, strategi penguasaan psikologi
beragam cara meraup laba dengan
konsumen diberlakukan oleh ritel modern
mengaplikasikan berbagai strategi bisnis.
dalam menguasai pasaran konsumen.
Mereka melakukan berbagai strategi harga
seperti strategi limit harga, strategi
psikologi konsumen. Tumbuhnya kelas
pemangsaan lewat pemangkasan harga
menengah gelombang kedua di Indonesia
(predatory pricing), dan diskriminasi harga
paska krisis 1998 berkat adanya
antarwaktu
(inter-temporal price
pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai
discrimination). Misalnya memberikan
6 pada satu dekade terakhir secara
diskon harga pada akhir minggu dan pada
langsung merubah pola perilaku konsumen
waktu tertentu. Sedangkan strategi
di Indoensia. Saat ini persepsi masyarakat
nonharga antara lain dalam bentuk iklan,
terhadap
belanja
telah mengalami
membuka gerai lebih lama, khususnya
perubahan. Sebelumnya peran berbelanja
pada akhir minggu, bundlingtying
(pembelian secara gabungan), dan parkir
fungsionalitasnya. Namun saat ini belanja
gratis.
telah memberikan peran emosional.
Hal itulah yang kemudian menjadikan
Berbelanja telah dianggap sebagai salah
para konsumen di Indonesia beralih
satu cara yang dapat dilakukan untuk
berbelanja di ritel modern daripada di
pasar tradisional. Adanya tampilan
memperoleh privilege diri sebagai kelas
menarik kemasan komoditas yang menarik
disertai kondisi yang nyaman membuat
betah berlama-lama untuk berbelanja,
berbelanja di tempat tertentu akan
apalagi dengan harga murah yang tentunya
menentukan preferensi penilaian publik
akan semakin meningkatkan nafsu
atas pribadi tersebut. Fenomena peralihan
komsumtif untuk berbelanja secara
pola berbelanja dari fungsionalitas menuju
grosiran, bukan lagi dalam skala eceran.
arah tersebut merupakan bentuk dari
Adanya realita tersebut justru semakin
menenggelamkan pasar tradisional sebagai
kecenderungan konsumen untuk membeli
entitas ekonomi yang mana secara gradual
secara spontan, sesuai dengan suasana hati.
kehilangan konsumennya. Selama ini,
Dengan kata lain, Impulse buying adalah
pasar tradisional bisa hidup karena ada
bagian dari sebuah kondisi yang
loyalitas para konsumennya yang 43,4
dinamakan “unplanned purchase” atau
merupakan ibu rumah tangga, 40 nya
pembelian yang tidak direncanakan yang
adalah warung dan toko kecil, dan 17
kurang lebih adalah pembelanjaan yang
nya adalah sektor informal.
Namun kini hampir 67,2 nya
konsumen pasar tradisional kini beralih
konsumen (Rock, 2003 : 59).
menuju ritel modern yang dianggap lebih
Hal itulah yang kemudian menciptakan
representatif dalam berbelanja. Meskipun
premis perilaku konsumen di Indonesia
hadirnya ritel modern dianggap sebagai
bahwa “people often buy product not for
menurunnya jumlah konsumen ke pasar
what they do, but for what they mean”.
tradisional. Ternyata terdapat berbagai
Artinya, konsumen membeli sebuah
faktor potensial lainnya yang turut
produk bukan semata-mata karena
mempengaruhi kondisi dilematis tersebut.
mengejar manfaat fungsionalnya, namun
Riset Majalah SWA pada tahun 2010
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
menyebutkan 7 faktor lainnya yang
D. KESIMPULAN
berandil besar sebagai penyebab kelesuan
Modernisasi dalam bidang ekonomi
usaha di pasar tradisional antara lain 1)
memang menuntut adanya kapitalisasi
meningkatnya persaingan usaha dengan
yang
besar
dalam memenangkan
sesama pedagang pasar tradisional lainnya
persaingan bisnis yang begitu sengit dalam
2) meningkatnya persaingan usaha dengan
globalisasi sekarang ini. Hadirnya ritel
supermarket 3) harga lebih tinggi 4) harga
modern sebagai entitas baru dalam
dari para pemasok lebih tinggi 5) kondisi
pemenuhan
kebutuhan konsumsi
pasar kian memburuk 6) semakin sulit
masyarakat Indonesia merupakan contoh
mendapatkan ketersediaan barang 6)
nyata dari adanya penetrasi aktor global ke
meningkatnya harga sewa kios 7) kredit
dalam perekonomian lokal. Adanya
usaha dari bank kian menipis.
persentuhan global dengan lokal dalam
Kompleksitas yang dialami oleh pasar
pemenuhan
kebutuhan konsumsi
tradisional sekarang ini merupakan bentuk
menimbulkan adanya pemenang maupun
ketidakberpihakan kepada ekonomi lokal
pecundang. Dalam hal ini, ritel selalu
berbasis pasar tradisional. Maka pada
berada di atas pasar tradisional dalam peta
akhirnya kue ekonomi Indonesia yang
persaingan bisnis ritel sekarang ini karena
harusnya juga ikut dinikmati oleh rakyat
terdapat ketimpangan kapitalisasi yang
kecil justru semakin dilahap kekuatan
begitu mencolok terjadi di sana.
pemodal besar. Maka tepatlah pula, pesan
Akibatnya, pasar tradisional tergerus oleh
futuristik yang disampaikan Jayabaya
dinamika perekonomian zaman.
tentang “Y en Pasar Ilang Kumandhange”
Matinya pasar tradisional dalam kancah
bahwa pasar di masa depan akan
perekonomian
nasional merupakan
kehilangan gaung keramaian. Jangankan
indikasi berlakunya individualisme dalam
gaung ramai, pasar tradisional kini mulai
bertransaksi ekonomi. Akibatnya kegiatan
surut dan menyepikan diri karena kalah
ekonomi diibaratkan sebagai kegiatan yang
bersaing dengan ritel modern. Pada
semu dan pasif karena hilangnya ruh
akhirnya, rakyat pun menjadi korban
modal sosial yang ada di dalamnya. Pasar
marjinalisasi pasar tradisional karena mata
tradisional tetap harus berdiri sebagai
pencahariannya dan pendapatannya juga
bentuk uniksitas kekuatan ekonomi lokal
menurun seiring dengan kondisi sepi di
di Indonesia melalui regulasi yang
pasar tradisional.
afirmatif. Sehingga pasar tradisional
Oleh karena itulah, pasar tradisional
dengan
segala
keriuhan transaksi
butuh ruang afirmasi ekonomi di tengah
ekonominya akan terus hidup dalam
menggejalanya liberalisasi ritel modern di
mengawal
peradaban perekonomian
Indonesia sebagai bentuk globalisasi
bangsa.
ekonomi dewasa kini dalam berbagai produk kebijakan. Adapun kebijakan Perpres. No 112 Tahun 2007 maupun Permendag No. 53 Tahun 2008 yang mengatur ritel tradisional dan ritel modern dirasa masih belum cukup untuk melindungi pasar tradisional dari serbuan ritel. Dibutuhkan regulasi yang lebih tegas dan mengafirmasi pasar tradisional sebagai bentuk arena demokrasi ekonomi bagi rakyat Indonesia.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA
1900. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Achidsti, Sayfa. 2011. Tinjauan Historis:
Leksono. S. 2009. Runtuhnya Modal Sosial
Konformitas Pasar Tradisional
Pasar Tradisional. Malang :
Penerbit Citra.
Pembangunan Dunia. JURNAL
Mubyarto. 2005. A Development Manifesto
EKONOMI
DAN
: The Resilience of Indonesian
PEMBANGUNAN INDONESIA.
Ekonomi Rakyat During the
Th. 11, No. 2, hlm.110-139.
Monetary Crisis. Jakarta : Penerbit
Akung, A.M. 24 November, 2011.
Buku Kompas.
Menjaga Pasar Tradisional. Seputar
Nastiti, T.S.2003. Pasar di Jawa Masa
Indonesia, hlm.4.
Mataram Kuna Abad VIII-IX
Alexander, Jennifer. 1987. Trade, Traders,
Masehi. Jakarta : PT. Dunia
and Trading in Rural Java. Oxford
Pustaka Jaya.
: Oxford University Press.
Natawidjaja, Ronnie. 2005. Modern
Aprindo. 2011. Survey Omzet Peningkatan
Market Growth and The Changing
Ritel Modern. Jakarta : Apindo
Map of The Retail Food Sector in
BPS. 2011. Indonesia Dalam Angka.
Indonesia. Jakarta : The Pacific
Jakarta : BPS Press.
Food System Outlook.
Collett, P . dan W allace, T. 2006.
Nugroho, Heru. 2001 .Uang, Rentenir , dan
Background Report: Impact of
Hutang
Piutang di Jawa.
Y ogyakarta : Pustaka Pelajar.
Markets and Small Retailers in the
Negara, D.N. Basu, S.D. 2003.
Urban Centers. Mimeograf tidak
Normative Moderators Of Impulse
diterbitkan
Buying Behaviour. JOURNAL OF
BUSSINES, Th.5, No. 1, hlm.1-14.
Perkembangan
Pemikiran
Pandin, L.M. (2011) . Potret Bisnis Ritel di
Ekonomi. Jakarta : Y ayasan Obor
Indonesia
Pasar Modern.
Indonesia.
ECONOMIC REVIEW, No. 215,
Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja.
hlm. 1-12.
Jakarta : Gramedia.
Pustek, UGM. (2011). Negara Serbuan
(http:www.map.ugm.ac.idindexn
Searching Peasant Marketing.
asing.html, diakses 12 Mei 2012)
REVIEW . Th. 68, hlm. 28-32.
Kemen PU. 2011. Kajian Modernisasi
Hartati, W . 2006. Pergeseran Subsektor
Pasar Tradisional Berbasis Modal
Sosial. Jakarta : Kemen PU
Roe. T, Agapi. S, Shane.M. 2005. The
Indonesia. Bogor : Fakultas
Rapid Expansion of The Modern
Ekonomi dan Manajemen IPB.
Retail Food Marketing in Emerging
Hefner, R.W . 2006. Budaya Pasar
Market Economies: Implication to
(Masyarakat dan Moralitas dalam
Foreign Trade and Structural
Kapitalisme Asia Baru). Jakarta :
Change in Agriculture. Rhode
LP3S.
Island.
Kemendag. 2011. Laporan Perekonomian
Sindhunata. 27 September, 2011. Y en
Kompas, hlm.6.
Kartodirjo, Sartono. 1988. Pengantar
Sitepu, Ronald. (2011). Dampak Pasar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-
Modern Terhadap Kinerja Industri
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Kecil. JURNAL VISI EKONOMI,
Daerah Perkotaan di Indonesia.
Th. 10, No.1, hlm. 19-35.
Jakarta : Lembaga Penelitian
Sumardjan, Selo. 1986. Social Changes in
SMERU.
Y ogyakarta. New Y ork : Cornell
Wertheim, W .F. 1958. The Indonesian
University Press.
T own : Selected Studies in
Suryadharma. 2007. Dampak Supermarket
Indonesian. The Hague : W . V an
terhadap Kebijakan Pasar dan
Hoeve
Ltd.
Pedagang Ritel Tradisional di
JESP V ol. 4, No. 2, 2012