Perilaku Religius Akuntan Publik Muslim
B. Perilaku Religius Akuntan Publik Muslim
Keyakinan hati sejak awal bahwa Islam adalah dasar berprofesi yang penting bagi akuntan publik muslim, kemudian membuat para informan sadar bahwa hidup ini hanya untuk Allah SWT. Dalam profesinya, kesadaran tersebut memunculkan berbagai perilaku positif ketika bekerja. Mulai dari hal sederhana yakni rasa keharusan untuk tidak datang terlambat ke kantor, hingga penegakan kode etik yakni independensi. Untuk lebih jelasnya, berikut uraiannya.
1. I nforman 1: Kejujuran untuk Allah SWT Perilaku religius yakni sebuah kejujuran untuk Allah SWT merupakan perilaku yang berasal dari Guntur. Mengimplementasikan kejujuran merupakan dampak atas keyakinan sejak awal, bahwa Islam tidak boleh dilepaskan dari profesi yang ia jalankan. Kejujurannya dalam 1. I nforman 1: Kejujuran untuk Allah SWT Perilaku religius yakni sebuah kejujuran untuk Allah SWT merupakan perilaku yang berasal dari Guntur. Mengimplementasikan kejujuran merupakan dampak atas keyakinan sejak awal, bahwa Islam tidak boleh dilepaskan dari profesi yang ia jalankan. Kejujurannya dalam
Pengungkapan sebuah temuan yang ditemukan ketika audit lapangan dilakukan, merupakan hal yang krusial dalam pekerjaan ini. Temuan tersebut lah yang kemudian menjadi dasar ataupun bukti kuat, bagi seorang Partner dalam memutuskan opini apa yang layak dikeluarkan untuk auditee. Temuan juga mencerminkan bagaimana penilaian atas kondisi perusahaan. Jika sebuah temuan tidak dapat diungkapkan secara jujur oleh seorang auditor, tidak dapat dipungkiri bahwa nantinya opini yang dikeluarkan tidak akan mencerminkan kondisi auditee yang sebenarnya. Oleh karena itu, ketika menjadi auditor dan menemukan sebuah temuan di lapangan, kejujuran merupakan nilai-nilai yang harus dipegang teguh. Auditor dituntut untuk dapat jujur, dan memberikan penilaian secara objektif dengan harapan penilaiannya akan relevan terhadap keputusan yang akan diambil oleh stakeholders.
Dalam melakukan audit, Guntur mengakui bahwa ketika dirinya menjadikan I slam sebagai dasar utamanya, maka dalam bekerja ia akan lebih jujur, lebih apa adanya terhadap temuan yang ada di lapangan. Berikut ungkapannya:
“..lebih jujur, lebih ke apa adanya. Jadi kita membuat sesuatu tuh, ya sesuai dengan prosedur gitu.”
Sebagai orang lapangan yang tahu betul bagaimana kondisi auditee, ia harus mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi. Hal itu dilakukannya, karena ia sadar Sebagai orang lapangan yang tahu betul bagaimana kondisi auditee, ia harus mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi. Hal itu dilakukannya, karena ia sadar
“Karena pertama, itu risiko. Risiko pekerjaan sebagai akuntan publik, namanya bakal tercoreng gitu. Dan kita bakal diperiksa oleh BPK, OJK atau oleh auditor bank. Tapi yang lebih penting lagi, kita bakal diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban setiap apa yang diperbuat oleh kita. Kaya kita berpakaian, kalo pakaiannya tidak sesuai dengan syariat? kan kita akan dimintai pertanggungjawaban, kan diperintahkan.”
Dirinya juga mengakui, bahwa tidak mudah mengungkapkan temuan di lapangan apa adanya. Seringkali, klien memberikan tekanan pada dirinya untuk tidak mengungkapkan temuan apa adanya, walaupun tidak ada penambahan fee dari yang seharusnya. Tujuannya sederhana, karena klien cenderung tidak ingin kondisi buruknya diketahui orang lain.
I a berpendapat bahwa audit merupakan sebuah proses. Jadi, sebetulnya ada beberapa hal keinginan klien yang dapat dijadikan celah bagi auditor untuk dapat lebih memahami bagaimana kondisi klien yang sebenarnya. Karena tidak semua klien yang diauditnya adalah perusahaan go public, yang informasinya dapat diakses dengan mudah. Mayoritas kliennya adalah perusahaan-perusahaan keluarga, dengan karakteristik informasi perusahaan yang tertutup. Oleh karena itu, Guntur cenderung mengikuti dahulu kemana arah kemauan klien, untuk memudahkan dirinya memahami kondisi klien yang sebenarnya. Berikut penjelasannya:
“Kalo yang saya audit sih dibilang melanggar ya gimana ya. Kan kalo ketika minta pendapat itu kan, beda ya. Kalo saya sih, maunya klien gimana, ya gitu diikutin aja dulu.”
“Kan sebuah proses kan, diikutin aja dulu. Nah, tapi nanti di- ending-nya kita benerin. Jadi, itu salah satu strategi si auditor di luar prosedur, untuk mengungkapkan data-data yang ada dalam klien itu. Kan klien pun ga semuanya go public. Kan ada klien yang istilahnya punya pribadi, atau ya punya keluarga. Nah itu macem- macem deh permintaannya.”
“Tetapi kita sebagai auditor, memberitahu sesuai dengan prosedur. Kan prosedur audit kan jelas, ya kita lakuin itu, seperti itu.”
Pada akhirnya, ia tidak akan mengikuti kemauan klien yang melanggar prosedur audit. Dirinya sebisa mungkin tetap mengikuti prosedur audit, salah satunya dengan jujur apa adanya terhadap temuan di lapangan. Walaupun kejujurannya mendapatkan berbagai tekanan dari klien, ia tidak tergoyahkan. Tetap semaksimal mungkin menegakkan perintah Allah SWT, semata-mata agar ia dapat menggapai ridho I lahi melalui sebuah profesi.
2. I nforman 2: Profesionalitas pada Allah SWT Perilaku religius yakni profesionalitas pada Allah SWT merupakan apa yang dialami oleh Sidik. Makna Islam sebagai sandaran etika yang diyakini sejak awal, betul-betul ia implementasikan. Hal tersebut ia tunjukkan saat bagaimana ia bekerja, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh I slam. Berikut penuturannya:
“Ya kita harus ngerjain kaya gini. Kita harus mengerjakannya secara profesional. Profesional kan termasuk dalam agama, kita harus melakukan hal itu secara profesional. I tu kan ada haditsnya, kalo ga salah tentang profesionalitas.
Dalam bekerja, ia harus sesuai dengan apa yang diajarkan I slam, yakni profesionalitas. Profesionalitas ditunjukkan, salah satunya dengan datang ke kantor tepat waktu. I a meyakini bahwa jika ia datang terlambat, maka ia telah mencurangi waktu, serta akad atau janji pada atasan. Menurutnya, bekerja yang tidak sesuai dengan I slam berarti ia pun telah mencurangi akad atau janjinya pada Allah SWT. Berikut penjelasannya:
“Jadi, semacam kalo kita telat bekerja. Kalo kita telat, berarti kan kita mencurangi waktu yang kita akad diawal kita berangkat jam berapa-jam berapa. Kalo kita telat kan, berarti bayaran yang kita terima kan ga sesuai dengan waktu yang kita beri.”
“Yaudah kita berangkatnya awal, tepat waktu. Kalo ada halangan kita bilang, gitu.”
Apa yang diucapkannya selama wawancara, benar-benar ia buktikan. Selama obervasi, Sidik memang tidak pernah datang terlambat. I a selalu datang sekitar pukul 08.30 WI B s.d 08.45 WI B, sementara office hours adalah jam 09.00 WI B.
Sidik datang ke kantor tepat waktu, bukan semata-mata takut dimarahi oleh atasan. Tetapi merupakan bentuk tanggungjawabnya pada pekerjaan, dan kewajiban melaksanakan perintah Allah SWT. I a pun menuturkan bahwa rasa tanggungjawabnya tersebut, merupakan dampak dari praktik beribadah yang ia laksanakan. I a yakin bahwa, dengan sadar akan tanggung jawab dan kewajiban melaksanakan perintah Sang I lahi, ia pun akan sadar pada tanggungjawabnya dengan sesama manusia.
“Kalo aku sih mandangnya kalo kita beribadah, kita punya semacam benteng. Apa namanya, kita punya kaya semacam benteng. Kita sholat nih, masa kita ngerjain pekerjaan kaya orang yang ga pernah ibadah. Kita puasa nih, masa ngerjain pekerjaan kaya ga pernah puasa. Jadi ya gitu aja. Kalo kita sholat kita ibadah itu, kalo aku liatnya kaya benteng. Peringatan buat diri sendiri aja.”
“Kan kita udah ibadah nih. Kita kalo mau ngelakuin hal-hal yang
ga sesuai, hal-hal yang buruklah, itu kan kita sudah kebenteng sama ibadah yang kita lakuin. Masa orang sholat ngelakuin kaya gitu. Kan kita udah puasa, masa kita juga ngelakuin kaya gitu, ngelakuin hal-hal buruk kaya gitu.”
Selain datang tepat waktu, perilaku religius lainnya yakni ditunjukkan dalam mengerjakan laporan audit. Laporan audit merupakan laporan yang harus dibuat berdasarkan temuan yang ada di lapangan, serta prosedur yang telah diselesaikan dan dimaksimalkan. Maksimalnya prosedur yang ditempuh, dikarenakan dalam membuat laporan audit harus didasarkan pada bukti. Bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan hanya didapat apabila prosedur audit telah maksimal dilakukan.
Sidik menjelaskan, salah satu cara memaksimalkan prosedur audit misalnya saat melakukan audit saldo kas, yakni dengan melakukan cash opname dan meminta detail pengeluaran kas pada pengelola kas di perusahaan auditee. Cara lainnya yakni ketika melakukan audit saldo bank, dengan melakukan konfirmasi pada bank bersangkutan atas saldo yang tertera dalam rekening koran auditee.
Pelaksanaan prosedur audit secara maksimal, juga menentukan opini apa yang nanti akan diterbitkan. Jika memang tidak ada nilai material yang ditemukan, maka opini wajar bisa saja diterbitkan. Namun, jika terdapat temuan dan nilainya material, maka itu cukup Pelaksanaan prosedur audit secara maksimal, juga menentukan opini apa yang nanti akan diterbitkan. Jika memang tidak ada nilai material yang ditemukan, maka opini wajar bisa saja diterbitkan. Namun, jika terdapat temuan dan nilainya material, maka itu cukup
audit akibat dari dimaksimalkannya prosedur audit, seringkali membuat klien keberatan. Tetapi, karena dirinya sejak awal menyandarkan etika profesi pada
I slam, maka ia tetap menunjukkan sikap profesionalnya sesuai ajaran
I slam. Sementara dalam mengatasi sikap kliennya, ia berusaha menjelaskan apa adanya bahwa hal tersebut harus ia lakukan agar audit dapat berjalan sesuai prosedur, klien pun akhirnya mengerti.
Bagaimanapun juga, Sidik berusaha bekerja secara profesional dengan melakukan audit sesuai prosedur yang berlaku. Menurutnya ada pertanggungjawaban yang penting sebagai seorang auditor kepada pihak-pihak yang bersangkutan terkait kredibilitas hasil audit. Selain itu, ia merasa bahwa jika prosedur audit tidak dijalankan secara maksimal, maka ia menilai dirinya tidak profesional. Walaupun ia meragukan apakah dirinya akan berdosa, jika ia tidak profesional. Seperti dalam ungkapan berikut:
“Aku ga tau. Kalo menurut ku sih, ga profesional aja. Kalo dosa apa engga, ga tau juga.”
Namun, ia telah meyakini sejak awal bahwa bekerja secara profesional adalah bekerja sesuai dengan yang diajarkan Islam. Dengan demikian, ketika ia tidak profesional, maka ia tidak sesuai dengan nilai- nilai Islam. Sidik juga meyakini bahwa, ada yang berbeda ketika menjadi seorang akuntan publik muslim. Pertanggungjawaban hasil audit tidak Namun, ia telah meyakini sejak awal bahwa bekerja secara profesional adalah bekerja sesuai dengan yang diajarkan Islam. Dengan demikian, ketika ia tidak profesional, maka ia tidak sesuai dengan nilai- nilai Islam. Sidik juga meyakini bahwa, ada yang berbeda ketika menjadi seorang akuntan publik muslim. Pertanggungjawaban hasil audit tidak
3. I nforman 3: I ndependensi, Menepati Janji pada Sang I lahi
I ndependensi merupakan perilaku religius yang dialami oleh Andi. Keteguhannya menegakkan kode etik adalah bentuk menepati janjinya pada Sang I lahi. Sebagai akuntan publik muslim, ia merasakan bahwa ketaatannya menjalankan perintah Allah SWT membuat dirinya dapat disiplin dalam profesi. Sejak awal keyakinannya sudah teguh, bahwa melandaskan profesinya pada I slam semata-mata karena ia telah berjanji pada Allah SWT. Hal tersebut kemudian ia implementasikan dalam menegakkan salah satu kode etik yakni, independensi.
I ndependensi adalah suatu kondisi, sikap, perilaku, bahkan hati yang harus dimiliki oleh setiap auditor terhadap klien dalam menjalankan tugas auditnya. I ndependensi berarti seorang auditor tidak boleh memiliki keberpihakan pada klien. Walaupun pekerjaan auditor memang ditugasi dan dibiayai oleh klien, tetapi auditor harus bersikap netral terhadap kondisi klien yang diaudit. Auditor tidak diperbolehkan memihak atau menutup-nutupi kondisi klien.
Disiplin dalam menjunjung tinggi independensi adalah dampak dari ketaatannya saat disiplin menjalankan ibadah. Andi meyakini bahwa ketika ia dapat disiplin dengan aturan yang dibuat oleh Sang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, maka ia juga akan disiplin pada aturan yang dibuat oleh makhluk ciptaan-Nya yakni manusia. Berikut penuturannya:
“I ndependensi itu kan tidak memihak ke salah satu dari klien yang kita audit, maupun yang berkepentingan dengan klien. Nah, dengan kita mempunyai tingkat kepercayaan dan tingkat “I ndependensi itu kan tidak memihak ke salah satu dari klien yang kita audit, maupun yang berkepentingan dengan klien. Nah, dengan kita mempunyai tingkat kepercayaan dan tingkat
Namun, penegakkan independensi kenyatannya tidaklah mudah. Adanya pressure dari dua pihak berkepentingan dalam bentuk dua permintaan yang berbeda yang hanya menguntungkan salah satu pihak, serta berbagai penawaran menggiurkan apabila Andi berhasil meloloskan permintaan tersebut, membuat penegakkan independensi kian sulit.
“..yang kejadian di saya itu ya independensi. Ya sebenarnya sih cukup berat juga, karena dari satu sisi klien dari satu sisi pihak yang berkepentingan, dan kita harus berada di posisi itu. Ya insya Allah, dengan tingkat kedisiplinan kita, ketaatan kita terhadap beribadah, bisa mempengaruhi independensi kita sebagai auditor. Karena pasti ada pressure.”
“Ya pressure-nya ‘tolong dong ini laporan disesuain, dengan yang kita mau’, terkadang seperti itu. Kalo dari pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang saham tapi yang minoritas ‘tolong dong akun ini dihapus’. Jadi, kegiatan-kegiatan transaksi akun-akun yang masuk ke pribadi minta dihapus tuh, bisa terjadi.”
“Kalo menawarkan sih, menawarkan pasti bagus-bagus dong. Yang satu pihak klien, yang satu pihak berkepentingan.”
“Nah kita sesuaikan dulu standarnya, terus kita selesaikan secara kekeluargaan, musyawarah. I tu diajarkan juga kan dalam agama, gitu.”
Pada posisi ini, pengalaman Andi memberikan sebuah pelajaran. Penegakkan kode etik sebuah profesi tidak hanya bisa mengandalkan keahlian seorang profesional, dalam hal ini auditor. Tetapi juga mengandalkan kesadaran diri seorang manusia, bahwa ia hanyalah Pada posisi ini, pengalaman Andi memberikan sebuah pelajaran. Penegakkan kode etik sebuah profesi tidak hanya bisa mengandalkan keahlian seorang profesional, dalam hal ini auditor. Tetapi juga mengandalkan kesadaran diri seorang manusia, bahwa ia hanyalah
I lahi.
4. I nforman 4: Opini Audit Sebagai Habluminallah dan Habluminannas Perilaku religius profesional seorang akuntan publik muslim yang terakhir, berasal dari Deri. Jabatannya sebagai seorang Partner, membawa amanah untuk dapat menerbitkan opini audit yang dapat menjaga habluminallah dan habluminannas.
bertanggungjawab atas keberlangsungan hidup dan seluruh aktivitas proses audit dalam sebuah kantor akuntan publik. Namun, tanggung jawab utamanya terletak pada penerbitan opini audit. Dalam proses penerbitan opini audit itulah, yang kemudian memunculkan perilaku religius. I a sebisa mungkin berusaha untuk tidak bertentangan dengan etika profesi, sebagaimana yang ia yakini sejak awal bahwa ia tidak ingin bertentangan dengan nilai-nilai
I slam. Deri sejak awal telah yakin, bahwa dalam menjalankan profesinya ia harus sesuai dengan etika profesi yang berlaku agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai I slam. Oleh karena itu, selama proses penerbitan opini, ia semaksimal mungkin patuh pada aturan audit yang berlaku.
Penerbitan opini audit wajar, harus memenuhi tiga unsur dan seluruhnya harus dipenuhi. Unsur tersebut adalah kesesuaian dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dijalankannya prosedur audit, dan keberadaan bukti-bukti audit yang memadai. Jika Deri menerbitkan opini audit wajar tanpa pengecualian atau wajar, maka ia harus memiliki keyakinan dipenuhinya ketiga unsur tersebut.
Proses penerbitan opini audit wajar, tidak semulus yang dibayangkan. Deri mengakui bahwa tidaklah mudah menerbitkan opini tersebut. Selain karena ketiga unsur harus dipenuhi dan diyakini, kenyataannya tidak semua klien dapat menerima sebuah hasil audit. I a juga mengakui bahwa dirinya selama ini memang menghindari menerbitkan opini tidak wajar. I a berusaha semaksimal mungkin dalam memaksimalkan prosedur audit yang berlaku, dan diskusi dengan klien atas temuan audit.
Deri meyakini bahwa audit merupakan sebuah verifikasi, sehingga tidak serta-merta menyatakan klien salah dan menerbitkan opini tidak wajar jika menemukan sebuah temuan. I a mengatasinya dengan melakukan sebuah proses diskusi dengan klien atas temuan tersebut. Proses diskusi dilakukan sebagai cara untuk meminta penjelasan dan konfirmasi lebih lanjut dari klien mengenai temuan. Jika temuan tersebut benar, maka klien harus melalukan adjustment agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Berikut penjelasannya:
“Jadi, ya selama ini saya menghindari ngasih opini yang tidak wajar dengan artian, kita harus diskusiin dulu sebelum menghasilkan opini. Hasil perhitungan audit kita seperti apa. Sehingga bisa diberikan opini, wajar tanpa pengecualian ataupun wajar dengan pengecualian.”
“..kan kalo kita audit itu kan, sebenarnya kita mau melakukan verifikasi. Kemudian ada temuan di lapangan, nah kita diskusikan hasil temuan itu. I ni loh, ini ga sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Jadi, kalau biasanya klien itu bertanya kan ‘gimana yang sesuai?’, kan gitu. Ya kita kasih solusinya, ‘Bapak harus melakukan adjustment seperti ini di laporan keuangannya’. Nah, selama ini sih kliennya masih bisa terima adjustment itu.”
Pengalaman Deri merefleksikan sebuah pertanggungjawaban seorang muslim, bahwa dalam kehidupan sesama manusia tidak boleh merusak habluminallah dan habluminannas. Proses penerbitan opini audit melalui sebuah pendekatan diskusi, menjelaskan bahwa tidak bisa juga menyalahkan klien ketika ada temuan, melainkan melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Sementara itu yang terpenting, tidak boleh juga melanggar perintah Allah SWT. Keyakinannya sejak awal bahwa dengan menegakkan kode etik adalah cukup untuk tidak melanggar aturan I slam, maka hubungannya dengan Allah SWT dalam profesinya sebagai akuntan publik tidak ingin ia rusak dengan melanggar ketentuan dan kode etik profesi yang berlaku.