Prakiraan Masalah Dampak Sosial

4.6 Prakiraan Masalah Dampak Sosial

4.6.1 Tahap Pra Konstruksi dan Konstruksi

Mengingat Kawasan Industri Lhokseumawe adalah kawasan industri yang telah ada dan pernah beroperasi sebelumnya, hingga kemudian direvitaliasi melalui program Kawasan Ekonomi Khusus Lhokseumawe, maka kegiatan pengadaan dan pembebasan lahan yang merupakan langkah penting pada tahapan pra kontruski dan pembangunan infastruktur pada tahapan konstruksi tidak menjadi persoalan yang signifikan dalam konteks program pengembangan KEK – Lhokseumawe. Namun demikian ada dua isu sosial yang sensitif dan patut menjadi basis rujukan dalam setiap proses pengambilan kebijakan ke depan terutama memasuki tahapan operasionalisasi, yakni sebagai berikut :

Sensitivitas Konflik Ditinjau dari historitas keberadan Kawasan Industri di Aceh khususnya Arun dan beberapa industri lainnya di kawasan pantai Utara Aceh, maka sensitivitas dan potensi konflik adalah variabel yang harus mendapat perhatian dan pertimbangan utama dari kebijakan revitalisasi kawasan industri dalam bentuk program pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Lhokseumawe ini. Sikap dan persepsi masyarakat Aceh pada umumnya menjadi perihal yang sangat sensitif mengingat sejarah keberadaan industri di pesisir utara Aceh telah menyisakan memori akan kesenjangan sosial di daerah ini. Kawasan industri Arun dan sekitarnya sesungguhnya adalah ikon kemajuan yang mana rakyat Aceh bisa berharap adanya trickle down effect dari keberadaan industri-industri tersebut hingga berdampak pada peningkatan kualitas hidup mereka menjadi lebih sejahtera Namun ekslusivitas dan pendekatan sentralistik Pemerintaan Orde Baru yang bermuara pada kesenjangan sosial pada

masa kejayaan zona industri Aceh di era 80-an, menyebabkan masyarakat miskin lokal yang berada disekitar kawasan industri ini menjadi semakin marjinal dan tidak mendapat menfaat apa-apa dari keberadaan kawasan industri tersebut. Fakta ini mengkristal menjadi ingatan sosial bahwa Aceh dengan segala kekayaan alamnya telah dieksploitasi dan disedot oleh pemerintah pusat, hingga menjadi stimulan bagi sentimen negatif rakyat Aceh terhadap Pemerintah Meski telah memberi sumbangan besar terhadap devisa negara tapi keberaan industri-industri ini tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat Aceh yang disisi lain sedikit banyak telah mengalami frustasi sosial, merasa dikorbankan demi dan atas nama pembangunan. Tak terhindarkan keberadaan dan kemegahan industri- indutri strategis ini pun sering dilukiskan sebagai ironi ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa rakyat Aceh masih saja miskin dan tertinggal dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sebuah fakta yang kemudian menjadi bumbu dan sering dikait-kaitkan dengan latar belakang dan motif konflik berkepanjangan yang telah menimbulkan bencana sosial yang cukup serius di Aceh.

Kemiskinan Bertemali dengan sensitifitas konflik seperti tersebut di atas, kemiskinan juga menjadi isu krusial yang tidak bisa dipandang remeh. Merujuk pada RPJM 2012-2017 Kabupaten Aceh Utara, pada tahun 2011 kabupaten ini tercatat memiliki penduduk miskin sebesar 124.660 jiwa atau 22,89 persen dari jumlah penduduk, jauh lebih tinggi dari angka nasional (12,49 persen ) dan Aceh (19,48 persen). Sawang, Nisam, Baktiya adalah beberapa kecamatan yang masih tergolong miskin dan mewakili kantong- kantong kemiskinan di kabupaten Aceh Utara sehingg masih sangat membutuhkan intervensi program pengentasan kemiskinan lebih lanjut intensif dari pemerintah.

Sementara itu Kota Lhokseumawe, merujuk pada hasil kajian ekonomi Bappeda Aceh tahun 2013, tercatat memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 22,979 jiwa atau sebesar 12 persen dari jumlah penduduk.

Sementara pertumbuhan ekonomi kota Lhokseumawe terhitung masih rendah, dibawah 5%. Tingkat kemiskinan secara umum menunjukkan trend menurun, namun beberapa sektor basis seperti perdagangan, hotel dan restoran, sektor dengan serapan tenaga kerja yang besar (pertanian) masih menyumbang angka kemiskinan tertinggi. Pengangguran menunjukkan tren menurun namun Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) relatif masih rendah. Pengangguran terbuka kota Lhokseumawe tercatat sebesar 7,63 pada tahun 2011, namun naik menjadi 10,88 persen pada tahun 2012, dan turun lagi pada angka 7,46 pada tahun 2013. Sementara TPAK menunjukkan angka 62,07 pada tahun 2011, turun menjadi 55,34 pada tahun 2012 lalu naik menjadi 56,77 pada tahun 2013.

Inilah kondisi-kondisi umum daerah yang menjadi latar sosial keberadaan KEK Lhokseumawe. Kondisi-kondisi ini berpotensi menimbulkan kerawanan sosial bila keberadannya gagal berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di kedua daerah ini dan Aceh pada umumnya. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan terkait pengembangan KEK Lhokseumawe dengan areal mencakup wilayah kota Lhokseumawe dan kabupaten Aceh Utara seyogyanya mampu memberi dampak langsung dalam mengentaskan persoalan kemiskinan, kesenjangan dan ketertingalan yang berkorelasi positif dengan sensitivitas konflik dan sentimen negatif terhadap pemerintah; dengan membuka lapangan kerja, memacu pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi tingkat/angka kemiskinan daerah.

4.6.2 Tahap Operasional

a. Urbanisasi

Salah satu dampak yang dipastikan akan timbul dari keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lhokseumawe adalah terjadinya gelombang urbanisasi. Mobilisasi penduduk akan sangat potensial terjadi seiring dengan keberadaan dan perkembangan KEK Lhokseumawe. Keberadaan KEK Lhokseumawe menjadi pusat aktifitas ekonomi baru bagi basyarakat pedesaan di dua daerah ini khususnya dan Aceh pada Salah satu dampak yang dipastikan akan timbul dari keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lhokseumawe adalah terjadinya gelombang urbanisasi. Mobilisasi penduduk akan sangat potensial terjadi seiring dengan keberadaan dan perkembangan KEK Lhokseumawe. Keberadaan KEK Lhokseumawe menjadi pusat aktifitas ekonomi baru bagi basyarakat pedesaan di dua daerah ini khususnya dan Aceh pada

Urbanisasi ini dapat menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif. Beberapa dampak positifnya adalah terjadinya pengembangan kawasan, tersedianya lapangan kerja baru, memacu aktifitas ekonomi dengan segala efek dominonya seperti pertumbuhan produksi industri dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa. Sementara dampak negatifnya adalah menimbulkan berbagai masalah sosial seperti meningkatnya angka kriminalitas, menimbulkan gesekan antara sesama warga, munculnya permasalahan pemukiman (kumuh), kelangkaan air dan sanitasi yang buruk dikawasan perkotaan, tidak produktifnya daerah rural/pedesaan karena kelangkaan tenaga kerja disektor pertanian, dan lain sebagainya.

b. Penyerapan Tenaga Kerja

Keberadaan KEK Lhokseumawe akan memberi dampak positif dalam dalam hal ketersedian lapangan kerja yang cukup besar dalam rangka mendukung operasionalisasi industri di kawasan ini. Jika merujuk pada hitungan serapan tenaga kerja per Ha kebutuhan lahan kawasan industri adalah 5 orang. Jika dikalikan dengan rencana kawasan KEK Lhokseumawe seluas 2600 Ha, maka tenaga kerja yang potensial terserap oleh kawasan industri ini adalah sebanyak sekitar 13 ribu tenaga kerja. Dengan statistik kemiskinan dan pengangguran dua kabupaten/kota yang melingkupi kawasan KEK, dan juga Aceh pada umumnya, maka potensi perlibatan tenaga kerja lokal dapat menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran di Aceh.

Namun akomodasi tenaga kerja lokal ini tentu akan sangat ditentukan oleh dua variabel yaitu kebutuhan industri di satu sisi dan kualitas SDM tenaga kerja di sisi lain. Untuk itu tuntutan akan high-skill labour yang terdiri dari tenaga-tenaga kerja profesional dari luar sebagaimana menjadi prasyarat bagi pengembangan dan kemajuan KEK

Lhokseumawe mesti tetap diimbangi dengan terbukanya ruang secara proporsional bagi tenaga-tenaga kerja lokal yang diasumsikan masih berada pada level low-skill labour. Langkah ini penting dilakukan untuk menghindari efek negatif terjadinya kecemberuan, kesenjangan, dan persaingan tidak sehat antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja non-lokal.

c. Intervensi Industri

Tuntutan akan high-skill labour dan akomodasi low-skill labour ini jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada terjadinya konflik antara pekerja lokal dan non-lokal, bahkan dapat menjalar menjadi konflik sosial yang lebih luas. Inilah dampak sosial yang sangat mungkin terjadi pada fase operasionalisasi KEK Lhokseumawe. Untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak sosial ini maka diperlukan kebijakan intervensi industri. Jadi selain pengembangan industri padat modal (intensive capital), juga perlu dimbangi dengan pengembagan jenis-jenis industri manufaktur padat karya yang lebih banyak menggunakan tenaga manusia (intensive labour) sehingga mampu mengakomodasi kebutuhan tenaga-tenaga kerja lokal. Beberapa industri manufaktur yang sangat sesuai dengan potensi daerah sehingga sangat potensial dikembangkan di kawasan ini adalah industri pengolahan dan industri agro.