Klasiikasi Strategi Pembelajaran

5. Entering behavior anak didik

Hasil kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam tercermin dalam perubahan perilaku, baik secara material-substansial, struktural fungsional, maupun secara behavioral. Yang menjadi persoalan adalah kepastian bahwa tingkat prestasi yang dicapai anak didik adalah benar merupakan hasil kegiatan pembelajaran yang bersangkutan. Untuk kepastiannya seharusnya kita mengetahui karakteristik perilaku anak didik saat mereka mau masuk sekolah dan mulai dengan kegiatan pembelajaran dilangsungkan. Tingkat dan jenis karakteristik perilaku anak didik yang telah dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan

36- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

pembelajaran, itulah yang dimaksud dengan entering behavior .

Entering behavior dapat diidentiikasi dengan cara berikut: (1) Secara tradisional, para guru mulai dengan pertanyaan tentang bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru. (2) Secara inovatif, guru tertentu diberbagai lembaga pendidikan mampu mengembangkan instrumen pengukuran prestasi belajar dengan mengadakan pra-tes sebelum anak didik mengikuti program pembelajaran.

Gambaran tentang entering behavior anak didik ini menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 18) banyak menolong guru Pendidikan Agama Islam, antara lain: (1) Diketahuinya seberapa jauh kesamaan individual anak didik dalam taraf kesiapannya, kematangan, serta tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan dasar bagi penyajian bahan baru. (2) Diketahuinya disposisi perilaku anak didik tersebut dapat mempertimbangkan dan memilih bahan, prosedur, metode, teknik dan alat bantu belajar mengajar yang sesuai. (3) Dengan membandingkan pra-tes dengan nilai hasil paska tes atau setelah menjalani program kegiatan pembelajaran, guru Pendidikan Agama Islam akan mendapat petunjuk, seberapa jauh dan seberapa banyak perubahan perilaku itu telah terjadi dalam diri anak didik. Perbedaan antara nilai paska tes dan pra tes, baik secara kelompok maupun individual, merupakan indikator prestasi

Pendidikan Agama Islam - 37

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

atas hasil pencapaian yang nyata sebagai pengaruh dari aktivitas pembelajaran.

Ada tiga dimensi dari entering behavior yang perlu diketahu guru Pendidikan Agama Islam: (1) Batas-batas ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai anak didik; (2) Tingkatan tahapan materi pengetahuan terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah dimiliki anak didik; dan (3) Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikoisik.

Di samping itu, seorang guru Pendidikan Agama Islam sebelum merencanakan dan melak sanakan aktivitas pembelajaran harus dapat menjawab pertanyaan: (1) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah diketahui dan dikuasai oleh anak didik yang akan diajari; (2) Tingkat dan tahap serta jenis kemampuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai anak didik yang bersangkutan; (3) Apakah anak didik sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola perilaku yang akan diajarkan; dan (4) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki anak didik sebelum pembelajaran dimulai.

6. Pola-pola belajar anak didik

Robert M. Gagne, sebagaimana yang dikutip Syaiful Bahri (2010: 12-19), membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Delapan tipe belajar dimaksud

38- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

adalah: 1) Signal learning (belajar isyarat), 2) Stimulus- response learning (belajar stimulus-respons), 3) Chaining (rantai atau rangkaian), 4) Verbal associa tion (asosiasi verbal), 5) Discrimination learning (belajar kriminasi), 6) Concept learning (belajar konsep), 7) Rule learning (belajar aturan), dan 8) Problem solving (memecahkan masalah).

Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut:

a. Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat) Belajar tipe ini merupakan tahap yang

paling dasar. Jadi, tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini, adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul bersifat umum dan emosional, selain timbulnya dengan tak sengaja dan tak dapat dikuasai.

Pendidikan Agama Islam - 39

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

Contoh: Aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. Melihat ular itu merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.

b. Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-Respons)

Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini terma suk ke dalam instrumental conditioning, atau belajar dengan trial and error (mencoba- coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforce ment.

Contoh: Anjing dapat diajar “memberi salam” dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan!” atau “Salam”. Ucapan ‘kasih tangan’ merupakan stimulus yang menimbulkan respons ‘memberi salam’ oleh anjing itu.

Berdasarkan contoh di atas, jelas bahwa kemam puan itu tidak diperoleh dengan

40- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat-spesifik, tidak umum dan kabur. Respons diperkuat atau di-reinforce dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan “Mama”.

c. Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian) Chaining adalah belajar menghubungkan

satuan ikatan S-R (Slimulus-Respons) yang satu dengan lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforce- ment tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Contoh: Dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chain ing terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan (contiguity).

Pendidikan Agama Islam - 41

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

d. Belajar Tipe 4: Verbal Association (Asosiasi Verbal)

Baik chaining maupun verbal association, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal ‘bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, ‘saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity).

e. Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)

Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola- pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R).

42- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

Contoh: Anak dapat mengenal berbagai merk mobil beserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu banyak bersamaan. Demikian pula ia dapat membedakan manusia yang satu dari yang lain; juga tanaman, binatang, dan Iain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi.

Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.

f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep) Concept learning adalah belajar pengertian.

Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan obyek-obyeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah mengua- sai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen tal sebelumnya.

Belajar konsep mungkin karena kesang- gupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang

Pendidikan Agama Islam - 43

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk isik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah!” Untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam pada itu ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.

g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan) Rule learning belajar membuat generalisasi,

hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan

44- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” : prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah. dan sebagainya.

Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a +

b) (a - b) = a2 - b2, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus “menemukan sendiri” aturan- aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan “memberitahukannya” kepada anak didik disertai dengan contoh-contoh. dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan “verbal chain” saja dan ini hanya menunjukkan cara belajar yang salah.

h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)

Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para anak didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi

Pendidikan Agama Islam - 45

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

problematic, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:

1) Merumuskan dan menegaskan masalah Individu melokalisasi letak sumber kesuli tan,

untuk memungkinkan mencari jalan peme ca- hannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.

2) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis

Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentiikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).

3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan

Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari

46- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.

4) Mengadakan pengujian atau veriikasi Mengadakan pengujian atau veriikasi secara ekspe ri mental alternatif pemecahan yang

dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.

Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai, menurut kondisi lain yang diperlukan adalah bahwa kepada anak didik hendaknya:

1) Diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak didik.

2) Diberikan kesempatan untuk memilih dan berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahannya.

3) Diberikan kesempatan untuk berlatih dan mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya. Dengan proses pengiden- tiikasian entering behavior seperti dijelaskan dalam uraian terdahulu, guru akan dapat mengidentifikasi pada tahap belajar atau tipe belajar yang telah dijalaninya. Atas dasar

Pendidikan Agama Islam - 47

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

itu guru dapat memilih alternatif strategi pengorganisasiannya bahan dan kegiatan pembelajaran.

7. Pemilihan sistem pembelajaran

Titik tolak untuk penentuan strategi pembela- jaran Pendidikan Agama Islam tersebut adalah perumusan tujuan pembelaran Pendidikan Aga ma Islam secara jelas. Agar anak didik dapat melaksa- na kan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam secara optimal, selanjutnya guru Pendidikan Agama Islam harus memikirkan pertanyaan berikut: “Strategi manakah yang paling efektif dan eisien untuk membantu tiap anak didik dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan?”

Pertanyaan di atas sangat sederhana namun sukar untuk dijawab, karena tiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi memang harus dipilih untuk membantu anak didik mencapai tujuan secara efektif dan produktif.

Langkah yang harus ditempuh mula-mula menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang diharapkan dapat dilakukan anak didik, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat keberhasilan yang diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab, sebab selain setiap anak didik berbeda, juga tiap guru Pendidikan Agama Islam pun mempunyai kemampuan dan kualiikasi yang

48- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

berbeda pula. Di samping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan, lebih sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif biasanya lebih mudah. Strategi yang dipilih guru Pendidikan Agama Islam untuk aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaian besar anak didik mencapai hasil yang optimal.

Namun guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh berhenti sampai di situ, dengan kemajuan teknologi, guru Pendidikan Agama Islam dapat mengatasi perbedaan kemampuan anak didik melalui berbagai jenis media instruksional. Misalnya, sekelompok anak didik belajar materi yang berhubungan dengan gerakan-gerakan dan bacaan shalat melalui modul atau kaset audio, sementara guru Pendidikan Agama Islam membimbing kelompok lain yang dianggap masih lemah.

Kriteria pemilihan strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, adalah: (1) Efisiensi. Contohnya, seorang guru Pendidikan Agama Islam akan mengajar baca tulis Al-Qur‘an. Tujuan pengajarannya berbunyi: Siswa dapat membaca Al Qur‘an surat Al Baqarah ayat 2 dan 185 dengan fasih beserta tajwidnya dengan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi yang paling eisien ialah menunjukkan teks QS Al Baqarah ayat 2 dan 185, kemudian guru mencontohkan cara membaca ayat tersebut dengan fasih beserta tajwidnya dengan

Pendidikan Agama Islam - 49

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.

benar, dan anak didik diminta mengikuti dan memperhatikan. Selanjutnya para anak didik diminta mengulang-ulangnya di rumah sampai hapal, sehingga waktu diadakan tes mereka dapat membaca surat Al Baqarah ayat 2 dan 185 dengan fasih beserta tajwidnya dengan benar. Dengan kata lain mereka dianggap telah mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dengan biaya yang murah.

(2) Efektiitas. Strategi yang paling eisien tidak selalu merupakan strategi yang efektif. Jadi eisiensi akan tetap merupakan pemborosan bila tujuan akhir tercapai dalam waktu yang lama. Jadi bila tujuan tercapai, masih harus dipertanyakan seberapa jauh efektiitasnya. Suatu cara untuk mengukur efektiitas ialah dengan jalan menentukan transferbilitas (kemampuan memindahkan) prinsip-prinsip yang dipelajari dalam waktu yang singkat. Kalau tujuan dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat dan lebih murah biayanya, maka strategi itu efektif dan eisien.

(3) Keterlibatan anak didik. Pertimbangan lain yang cukup penting dalam penentuan strategi maupun metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah tingkat keterlibatan anak didik. Strategi inquiry biasanya memberikan tantangan yang lebih intensif dalam hal keterlibatan anak didik. Sedangkan pada strategi ekspository anak didik cenderung lebih pasif. Biasanya guru tidak secara murni menggunakan ekspository maupun

50- Strategi dan Metode Pembelajaran

Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I.

discovery, melainkan campuran. Guru yang kreatif akan melihat tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dimiliki anak didik, kemudian memilih strategi lain yang lebih efektif dan eisien untuk mencapainya.

8. Pengorganisasian kelompok belajar

Mansyur (1991: 20) menyarankan pengorga- nisasian kelompok belajar anak didik sebagai berikut:

a. N = 1. Pada sistuasi yang ekstrim, kelompok belajar itu mungkin hanya seorang. Jika peserta hanya seorang, metode yang sesuai mungkin konsep pembelajaran tutorial atau independent study .

b. N = 2-20. Untuk kelompok kecil sekitar dua sampai dua puluh orang, metode belajarnya bisa dengan diskusi atau seminar.

c. N = 20-40. Kelompok besar (sebesar 20-40 orang), biasanya digunakan metode klasikal atau classroom teaching. Tekniknya mungkin bervariasi sesuai dengan kemampuan guru untuk mengelolanya.

d. N > 40. Kalau kelompok belajar melebihi 40 orang, pesertanya biasanya disebut audiance. Metode pembelajarannya bisa kuliah atau ceramah.

Pendidikan Agama Islam - 51

Drs. H. Mangun Budiyanto, M.S.I.