Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

B. Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

Menurut Karlfried Knapp sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, komunikasi merupakan interaksi antar pribadi yang menggunakan sistem simbol 121

Wawancara dengan Informan Dessi Amalia Arumsari dilakukan pada 20 Juni 2011 pukul 11.33 WIB di SLA Fredofios Wawancara dengan Informan Dessi Amalia Arumsari dilakukan pada 20 Juni 2011 pukul 11.33 WIB di SLA Fredofios

Penjelasan yang hampir sama diungkapkan oleh Berelson dan Steiner (1949). Seperti yang dikutip oleh B. Aubrey Fisher, mereka memberikan definisi komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan seterusnya, melalui penggunaan simbol kata, gambar, angka, grafik, dan lain lain. 123

Sedangkan pendidikan seksual menurut Surtiretna merupakan upaya memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan kata lain, pendidikan seksual pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dan menanamkan moral etika, serta komitmen agama supaya tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut. 124

Ditinjau dari aspek komunikasi, pendidikan seksual sebagaimana pendidikan lain pada umumnya mengandung pengalihan nilai nilai dari pendidik ke subjek didik. Informasi tentang seks tidak diberikan secara

122 123 Alo Liliweri, Dasar Dasar Komunikasi Kesehatan (Yogyakart :Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 4

B. Aubrey Fisher, Teori Teori Komunikasi, penterjemah Soejono Trimo (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1986) hlm. 10 124 Pengertian Pendidikan Seks

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/12/pengertian-pendidikan-seks.html. 17/01/2011/07.08 http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/12/pengertian-pendidikan-seks.html. 17/01/2011/07.08

Komunikasi dalam sistem instruksional kedudukannya dikembalikan kepada fungsinya yang asal, yaitu sebagai alat untuk mengubah perilaku sasaran edukatif. Ini berarti tindakan komunikasi merupakan suatu aktivitas yang direncanakan. Bahasa, situasi belajar, pemilihan materi ajar, waktu penyampaian, serta media komunikasi yang akan dipakai memang dipersiapkan secara khusus untuk mencapai tujuan pendidikan.

Kaitannya dengan penelitian ini, komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual meliputi sifat komunikasi, sikap guru selaku komunikator terhadap masalah seksualitas penyandang autisme remaja, waktu terjadinya komunikasi, informasi apa saja yang biasanya diberikan oleh guru kepada remaja autisme, media apa yang digunakan sebagai pendukung komunikasi pendidikan seksual serta apa saja yang menjadi hambatan selama proses komunikasi berlangsung.

1. Sifat Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

Komunikasi pendidikan seksual untuk remaja autisme berpotensi membentuk komunikasi linear atau pun komunikasi dua arah. Sifat komunikasi ini sangat ditentukan oleh spektrum autisme.

125 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 188 125 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 188

komunikasi berlangsung. Artinya guru berperan sebagai komunikator tunggal ketika menyampaikan suatu pesan, dan komunikan berperan hanya sebagai penerima pesan.

Hal ini berbeda dengan komunikasi interpersonal antara guru dengan penyandang sindrom asperger. Komunikasi cenderung timbal balik karena pada umumnya penyandang autisme spektrum ini memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik dan lebih aktif berbicara. Komunikasi semacam ini sesuai dengan gambaran model sirkular yang dibuat oleh Osgood dan Schramm, dimana komunikasi digambarkan sebagai suatu proses yang lebih dinamis. Pada tahap awal guru berfungsi sebagai encoder dan siswa autisme sebagai decoder. Pada tahap berikutnya siswa autisme berperan sebagai encoder dan guru sebagai decoder , dengan kata lain sumber pertama, yaitu guru, akan menjadi penerima kedua dan penerima pertama, yaitu siswa autisme, akan berfungsi sebagai sumber kedua, dan seterusnya. Komunikasi dua arah menekankan pada proses Hal ini berbeda dengan komunikasi interpersonal antara guru dengan penyandang sindrom asperger. Komunikasi cenderung timbal balik karena pada umumnya penyandang autisme spektrum ini memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik dan lebih aktif berbicara. Komunikasi semacam ini sesuai dengan gambaran model sirkular yang dibuat oleh Osgood dan Schramm, dimana komunikasi digambarkan sebagai suatu proses yang lebih dinamis. Pada tahap awal guru berfungsi sebagai encoder dan siswa autisme sebagai decoder. Pada tahap berikutnya siswa autisme berperan sebagai encoder dan guru sebagai decoder , dengan kata lain sumber pertama, yaitu guru, akan menjadi penerima kedua dan penerima pertama, yaitu siswa autisme, akan berfungsi sebagai sumber kedua, dan seterusnya. Komunikasi dua arah menekankan pada proses

2. Guru Sebagai Sumber Informasi

TEACCH merupakan suatu program pendidikan yang mementingkan kebutuhan penyandang autisme sebagai seorang individu. Oleh karena itu ketika membicarakan program pendidikan untuk remaja autisme, pendidikan seksual seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Selama melaksanakan penelitian di SLA Fredofios, peneliti melihat bahwa komunikasi pendidikan seksual di sekolah berlangsung cukup terbuka. Sikap terbuka dari pihak guru selaku sumber informasi dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan seksual untuk remaja autisme. Selain itu, perilaku seksual merupakan bagian dari fase perkembangan anak yang tidak mungkin dapat dicegah kemunculannya. Oleh karena itu cara terbaik untuk menyikapi masalah seksualitas ini adalah dengan memberikan informasi secukupnya kepada remaja autisme dan mengarahkan perilaku mereka agar tidak mengarah ke perilaku yang negatif.

dalam pelajaran biologi misalnya. Diberikan materi tentang organ organ tubuhnya agar anak anak ini mengenali tubuhnya sendiri. Terus kalau misalnya anak anak sudah mulai tanya macam macam, berarti kan kita tidak hanya memberikan materi dalam bentuk akademik tetapi juga sambil jalan, perlu kita beritahukan step by step. Pada saat anak

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1998) hlm. 47

Meskipun demikian, salah seorang guru mengaku bahwa dirinya sempat ragu ketika harus menyampaikan materi pendidikan seksual. Sama halnya dengan alasan orangtua, keraguan ini muncul karena ada ketakutan jika informasi tersebut justru disalahgunakan oleh remaja autisme. Mengenai hal ini, guru kemudian memberikan batasan pada materi yang diberikan. Hal hal yang menjurus ke arah hubungan seksual tidak diberikan kecuali remaja yang bersangkutan memang sudah siap menerima informasi tersebut. Selain itu, sebelum materi pendidikan seksual disampaikan, guru juga memberlakukan beberapa aturan. Mengenai aturan ini, Ibu Arum menjelaskannya sebagai berikut:

dan pada saat itu pun kita perlu tanamkan etika, misalkan pada saat kita membahas masalah penis dan vagina pada pelajaran IPA, boleh menyebutkan kata kata itu pada saat pelajaran, tetapi ketika di luar pelajaran tidak diperkenankan untuk menyebutkan. Takutnya nanti disalahgunakan. Kalau memang perlu ngomong, bisa diganti dengan kata alat kelamin. Jadi tidak diperkenankan untuk obrolan, kalau ingin tahu tentang itu, tanyakan pada gurumu. 128

Sayangnya sikap terbuka dari orangtua tidak sepenuhnya didukung oleh kerjasama orangtua dalam mengenalkan pendidikan seksual untuk remaja autisme. Mereka pada umumnya cenderung membatasi informasi mengenai

127 Wawancara dengan Informan Dessi Amalia Arumsari dilakukan pada 21 Juni 2011 pukul 11.21 WIB di SLA Fredofios 128 Wawancara dengan Informan Dessi Amalia Arumsari dilakukan pada 21 Juni 2011 pukul 11.21

WIB di SLA Fredofios

Orangtua biasanya hanya sebatas memberikan memberikan teguran ketika anak memunculkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial, sementara penjelasan mengenai perubahan yang terjadi pada diri remaja autisme tidak diberikan.

Sikap guru terhadap masalah seksualitas turut mempengaruhi komunikasi pendidikan seksual. Sikap komunikator ini bisa dianalisis dengan menggunakan teori Johari Window. Berdasarkan teori tersebut, komunikasi efektif bisa dicapai jika open area semakin besar. Ini berarti komunikasi berlangsung terbuka dimana penyingkapan informasi, dalam hal ini informasi mengenai seksualitas, semakin banyak dan sering diberikan oleh guru kepada siswa autisme. Sebaliknya, komunikasi tertutup terjadi jika guru sebagai sumber informasi membatasi informasi yang seharusnya dikemukakan. Semakin banyak informasi yang tidak disampaikan semakin besar pula hidden area.

3. Materi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

Komunikasi pendidikan seksual di sekolah bisa dilakukan baik melalui komunikasi antarpribadi maupun dalam kelompok kecil. Komunikasi pendidikan seksual di sekolah diberikan melalui jalur formal dan non formal. Jalur formal berarti bahwa materi seksualitas diberikan di dalam kelas dan diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran, seperti IPA, agama, dan bina diri. Materi Komunikasi pendidikan seksual di sekolah bisa dilakukan baik melalui komunikasi antarpribadi maupun dalam kelompok kecil. Komunikasi pendidikan seksual di sekolah diberikan melalui jalur formal dan non formal. Jalur formal berarti bahwa materi seksualitas diberikan di dalam kelas dan diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran, seperti IPA, agama, dan bina diri. Materi

Tabel 3.1

Materi Pendidikan Seksual SLA Fredofios

Mata Pelajaran

Materi

Tujuan IPA

Pengenalan organ tubuh

Perubahan tubuh

Remaja autisme mengetahui bagian bagian tubuhnya

Mengetahui perbedaan laki laki dan perempuan

Remaja autisme tidak bingung dengang perubahan yang terjadi Sebagai informasi awal untuk penjelasan materi seksualitas level selanjutnya, seperti menstruasi, mimpi basah, pembuahan, dll.

Agama

Pemahaman aurat (Pendekatan moral)

Mengetahui bagian bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain

Sebagai informasi dasar untuk memberikan pemahaman kepada remaja autisme bahwa ada beberapa bagian tubuh yang tidak boleh sembarangan dipegang

Pernikahan

Perkawinan

Mengetahui konsep sederhana pernikahan

Mengetahui tentang proses pembuahan pada manusia (penyampaian materi hanya sejauh bertemunya sel telur dengan sperma)

Bina diri

Toilet training

Ketrampilan

Remaja autisme bisa menjaga kebersihan badan, khususnya kebersihan organ seksual (higienitas)

Salah satu cara yang dipakai guru untuk menanamkan konsep malu pada anak dengan membiasakan memakai pakaian celana/baju di dalam kamar mandi, penanaman nilai siapa saja yang boleh melihat dan yang tidak boleh melihat, siapa yang boleh memegang dan yang tidak boleh memegang (pribadi vs publik) Ketrampilan memakai

pembalut dan cara membersihkannya pembalut dan cara membersihkannya

waktu tak terduga dimana secara tiba tiba siswa memperlihatkan perilaku seksual tertentu.

Pada jalur non formal, biasanya lebih ditekankan pada penanaman nilai dengan menggunakan pendekatan sosial. Misalnya, para siswa selalu dibiasakan untuk mengganti atau melepas pakaian di dalam kamar ganti pada saat berenang. Pada kasus lain, ketika VR memandangi salah satu guru dan tampak ingin memeluk, guru juga memberikan pengertian bahwa VR adalah murid, dan wanita tersebut adalah guru VR. Oleh karena itu VR tidak boleh memeluk guru yang bersangkutan.

4. Waktu Penyampaian Materi Seksualitas Kepada Remaja Autisme

Kaitannya dengan dimensi waktu, pendidikan seksual biasanya diberikan ketika guru merasa materi tersebut memang perlu diberikan. Keputusan tersebut

didasarkan pada tanda tanda pubertas yang ada pada diri remaja, seperti perubahan fisik dan munculnya perilaku seksual tertentu. Mengenai pemilihan waktu ini, berikut penuturan Bapak Agung :

dari pengalaman saya mengajar Agama dan IPA, anak biasanya lebih cepat mengerti pada saat materi itu kita berikan setelah ada kejadian. Kita mencontohkannya mudah. Tapi kalau diberikan pada waktu anak tidak menunjukkan perilaku seksual, kita mencontohkannya lebih sulit karena yang kita contohkan kan dirinya sendiri. Walaupun ada gambar tetapi akan tetap

Untuk mencapai tujuan komunikasi, komunikasi pendidikan seksual harus dilakukan secara terus - menerus untuk membiasakan remaja autisme berperilaku seperti yang diharapkan.