KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME

KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan Murid

Dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta)

Oleh: Tri Setyo Ariyanti D0206102 SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :

KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan Murid Dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta

Adalah karya asli dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia

menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata dikemudian hari terdapat bukti - bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya

yang asli atau sebenarnya.

Surakarta, 3 November 2011

Tri Setyo Ariyanti NIM. D 0206102

HALAMAN MOTTO

kekuatan terbesar

manusia

adalah ketika berikhtiar karena yakin

akan

kekuasaan Allah

bertawakkal dan karena yakin

akan

kebesaranNya

(penulis)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dariku,

Untuk Ibu Sumber kasih sayang dan kekuatan You always inspire me how to be A GREAT MOM someday

Untuk Bapak

Figur paling pemurah dan baik hati Tak ada hal lain yang lebih membahagiakan selain menjadi anak KEBANGGAAN Bapak

Untuk Teman - teman spesialku Alif, Opiq, Todi, Ivan, Jason, Aga, Farel, Claudia, Salsa, Tia, Dian dan semua penyandang autisme dimana pun mereka berada

KATA PENGANTAR

Berawal dari pertemuan penulis dengan Alif, seorang penyandang autisme, enam tahun yang lalu, penulis kemudian tertarik untuk mengerjakan skripsi dengan tema tersebut. Sungguh pengalaman yang luar biasa berharga, penulis bisa mengenal dan memahami individu spesial ini secara lebih dekat.

Puji syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karena kasih dan sayang-Nya jualah yang telah mengirimkan orang-orang terbaik untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis selama proses kreatif skripsi. Maka pantas jika penulis mengucapkan untaian tulus rasa terima kasih pada :

1. Prof. Dr. Pawito, Dekan FISIP UNS yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi sekaligus tak hentinya memberi motivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya.

3. Dra. Sri Urip Haryati, M.Si untuk setiap waktu yang telah diluangkan, arahan, dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini serta kemurahan hatinya 3. Dra. Sri Urip Haryati, M.Si untuk setiap waktu yang telah diluangkan, arahan, dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini serta kemurahan hatinya

4. Ir. Bugi Rustamadji, Msc, Kepala Sekolah SLA Fredofios atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa melaksanakan penelitian di SLA Fredofios. Banyak hal yang saya pelajari dari cerita inspiratif Bapak dan keluarga.

5. Keluarga besar SLA Fredofios, Pak Somad, Pak Agung, Bu Dewi, Bu Arum, dan Bu Nuri yang tak pernah berhenti berjuang dan memberikan kasih sayangnya kepada para murid. Dan tak lupa kepada Pak Sarman yang selalu membuat sekolah bersih dan nyaman. Terima kasih untuk setiap kepercayaan, sikap hangat, bantuan, dukungan, informasi, serta pengalaman luar biasa yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

6. Pak Otji, Bu Desi, Pak Prawoto, Pak Joko, Bu Dikran, dan semua orangtua murid yang sudah bersedia berbagi cerita dan perjuangan luar biasanya

kepada penulis.

7. Terima kasih sudah menjadi orangtua yang begitu luar biasa selama 23 tahun ini. Hal yang paling menyenangkan menjadi bagian dari keluarga ini adalah karena Bapak dan Ibu selalu memberikan kesempatan dan kepercayaan dalam 7. Terima kasih sudah menjadi orangtua yang begitu luar biasa selama 23 tahun ini. Hal yang paling menyenangkan menjadi bagian dari keluarga ini adalah karena Bapak dan Ibu selalu memberikan kesempatan dan kepercayaan dalam

8. Mas Sigit, Mbak Tika, dan Toni. Pelengkap kehangatan keluarga.

haha!

9. My Soulmate , Ifa dan Sintul. Beruntung sekali menemukan kalian di kampus ini.

10. Lia, si alias muka awet mudanya tak akan pernah sirna, auwoh! Tak pernah terpikir apa jadinya skripsiku tanpa bantuanmu. Terimakasih sudah menjadi teman yang begitu baik dan partner super kuat yang bisa aku ajak muter-muter cari tempat penelitian.

11. My Sukifamily, Sukilop, Sukimeg, Sukidit, Sukinis, Sukimut, Sukigal, Sukidar, Sukiji, Sukifred, dan Sukijong. Tak ada rasa galau yang tak teratasi selama ada kalian di sini, hehehehe...

12. Seluruh penghuni Kost Tisanda 2, Cencen, Mamah Dian, Riska, Lulu, Ami, Sari, Ayu. Terima kasih untuk persahabatan, warna, keceriaan, kebahagiaan, semangat, dan makanan yang sudah kalian bagi selama ini, aha! 12. Seluruh penghuni Kost Tisanda 2, Cencen, Mamah Dian, Riska, Lulu, Ami, Sari, Ayu. Terima kasih untuk persahabatan, warna, keceriaan, kebahagiaan, semangat, dan makanan yang sudah kalian bagi selama ini, aha!

14. Terakhir, sekaligus menjadi inti dari perjalanan panjang ini, teman-teman baruku, Opiq, Todi, Claudia, Jason, Aga, Salsa, Ivan, Tia, Dian, dan Farel.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan di masa mendatang.

Surakarta, November 2011

Penulis

Persetujuan ii Pengesahan

iii iv

Motto v Persembah

vi Kata Pengantar

vii Daftar Isi

xi Daftar Gamb

xv xvi xvii

Abstrak xviii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

2. Pendidikan Sebagai Proses Komunikasi

Interpersonal

4. Komunikasi Ditinjau Dari Perspektif Teori Johari Window... 25

5. Remaja Autisme Sebagai Sasaran Komunikasi

7. Hambatan Komunikas

F. Definisi Konsep

1. Jenis Pene

7. Teknik An

A. Sekilas Tentang SLA Fredofios

4. Sasaran Program Pendidikan SLA Fredofios

B. Pengel

BAB III.

A. Gambaran Autisme

1. Masalah Pemaknaan Pada Penyandang Autisme

2. Remaja dan Masalah Seksualitas

2.1. Perubahan Pada Masa Remaja

B. Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

1. Sifat Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

2. Guru Sebagai Sumber Informasi

3. Materi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme

Autisme

C. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Strategi Visual 104

2. Gambar, foto, teks tertulis

3. Penggabungan media verbal dan visual

D. Hambatan Komunikasi

3. Ham

BAB IV. 113

A. 113

B. 115

118 Lampiran

Gambar 1.1

Model Komunikasi

Kerucut Pengalaman Edgar Dale

44 Gambar 1.6

56 Gambar 1.7

Skema Kerangka Pikir Komunikasi Interpersonal Antara

57 Gambar 2.1

Denah Ruang Sekolah Lanjutan Autis Fredofios

64 Gambar 2.2

Struktur Organisasi SLA Fredofios

72

Tabel 1.1

Efek Visualisasi dan Kemampuan Mengingat

43 Tabel 2.1

Daftar Siswa SLA Fredofios

63 Tabel 2.2

Daftar Guru SLA Fredofios

73 Tabel 3.1

Materi Pendidikan Seksual SLA Fredofios

101

Lampiran 1

Pedoman Wawancara Dengan Guru

Lampiran 2

Pedoman Wawancara Dengan Orangtua

Lampiran 3

KBM : Materi Aurat Pada Mata Pelajaran Agama

Lampiran 4

Wawancara Guru Informan Agung Tri Yulianto : Guru Agama Informan Dessi Amalia A

: Guru IPA

Lampiran 5

Wawancara Orang Tua Informan CH

: Orangtua LS

Informan DS dan PR

: Orangtua DT

Informan TJ

: Orangtua VR

Lampiran 6

Sharing Seputar Autisme

Lampiran 7

Sharing Tentang Strategi Visual

Tri Setyo Ariyanti. D 0206102. KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Guru dan Murid Dalam Mengenalkan Pendidkan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta). Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif pada bidang komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Pada saat penyandang autisme menginjak usia remaja, mereka cenderung menunjukkan perilaku seksual negatif karena ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial. Oleh karena itu pendidikan seksual perlu diberikan. Tujuannya tidak untuk menghentikan aktivitas seksual remaja autisme tetapi untuk membantu mereka mengembangkan perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab.

Penelitian ini berupaya mengkaji bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual. Mencakup sifat komunikasi, sikap guru selaku komunikator terhadap masalah seksualitas penyandang autisme remaja, waktu terjadinya komunikasi, serta informasi apa saja yang biasanya diberikan oleh guru kepada remaja autisme. Selain itu kegiatan penelitian juga ditujukan untuk mengetahui media apa saja yang digunakan untuk mendukung kegiatan komunikasi, serta apa saja hambatannya. Kegiatan penelitian dilakukan di SLA Fredofios, Yogyakarta karena institusi pendidikan ini memasukkan materi pendidikan seksual dalam kegiatan mengajarnya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data empiris dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Teknik purpossive sampling digunakan untuk memilih para informan yang terdiri dari

3 murid SLA Fredofios yang sudah memasuki usia pubertas, 2 guru, orangtua dari 3 murid yang dijadikan subjek penelitian, serta seorang konsultan pendidikan SLA Fredofios. Validitas data diuji melalui teknik triangulasi sumber (data) dan analisa data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru mengenai seksualitas sangat berpengaruh pada proses komunikasi. Keterbukaan guru mengenai masalah seksual menentukan jumlah informasi yang diterima remaja autisme. Media yang digunakan untuk mendukung komunikasi pendidikan seksual terdiri dari media verbal, yaitu bahasa dan media visual, seperti gambar, foto, tulisan, dan sebagainya. Hambatan selama proses komunikasi berlangsung bisa berasal dari sumber, media, dan komunikan.

Tri Setyo Ariyanti. D 0206102. COMMUNICATION OF SEXUALITY EDUCATION FOR ADOLESCENT WITH AUTISM (A Descriptive Qualitative Study of Interpersonal Communication Between Teacher and Student to Introduce Sexuality Education In SLA Fredofios Yogyakarta). Paper, Communication Science Majors, Social and Political Science Faculty, Surakarta Sebelas Maret University (FISIP UNS), 2011.

Autism is a pervasive developmental disorder in the areas of communication, social interaction, and behavior. At the age of adolescence, adolescents with autism tend to show negative sexual behaviors because of their inability to understand the social norms. Therefore they need to be given sexulity education. The aim is not to stop the sexual activity of adolescents with autism, but to help them develop a healthy and responsible sexual behavior.

This study tries to examine how Interpersonal Communication Between Teacher and Student to Introduce Sexuality Education In SLA Fredofios Yogyakarta. Including the characteristic of communication, attitudes of teachers as communicators about sexuality issue among adolescent with autism, is. Moreover, this study tries to examine what media to use, and what the barriers are. Research activities conducted in SLA Fredofios because of this school include sexuality education in teaching materials.

This research is a type of descriptive qualitative study. Empirical data collected by in- depth interviews, observation, and literature study. Purpossive sampling method is used to select the informants, consisting of 3 adolescent students, 2 teachers, the parents of 3 adolescent with autism and an educational consultant of SLA Fredofios. Data validity is tested through triangulation techniques sources and and analysis of data using an interactive model of Miles and Huberman.

The results showed that the attitudes teachers about sexuality are very influential in the communication process. Open communication about sexual issues determine the amount of information received by adolescents with autism. Media used to support sexual education communication consists of verbal medium, namely language and visual media, such as drawings, photographs, writings, etc. Barriers during the communication process can be derived from these sources, the media, and the communicant.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

gurunya untuk waktu yang lama. Lalu Ibu Imah ini memberikan Ikhsan pilihan jawaban (antara lain, apakah karena ibu Imah

penasaran kembali memberikan beberapa pilihan jawaban untuk

apanya

yang menurut Ikhsan lagi Ibu Imah memberikan pilihan jawaban dan meminta Ikhsan menjawab

Ketertarikan pada lawan jenis merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Namun cerita di atas menjadi istimewa karena Ikhsan, remaja yang mulai menunjukkan minat kepada lawan jenis, adalah seorang penyandang autisme.

Hidup dan berkomunikasi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Terlahir sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia menjadi lebih berarti

manakala kita dapat berkomunikasi dengan orang lain, memahami perilaku mereka, menghadapi benda benda, situasi, dan orang orang dengan cara yang

Dyah Puspita, Warna Warni Kehidupan : Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja (Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia, 2008) hlm. 48 Dyah Puspita, Warna Warni Kehidupan : Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja (Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia, 2008) hlm. 48

Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf yang dapat mengganggu perkembangan anak. Istilah tersebut baru diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad abad yang lampau. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri.

Ini berarti penyandang autisme seakan akan hidup di dunianya sendiri. 2 Mereka cenderung tidak perduli dengan lingkungan sekitar ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial, baik pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak sebayanya, dan sebagainya.

Gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada umumnya mereka mengalami gangguan perkembangan dalam bidang bahasa, interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak biasa terhadap benda atau obyek tertentu.

Masalah komunikasi tampak pada sangat sedikitnya penyandang autisme yang mampu berbahasa verbal dengan baik, beberapa diantaranya justru tidak berkemampuan untuk berbahasa atau mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi. Seringkali mereka mengalami kesulitan dalam berbicara ataupun untuk mengerti pembicaraan orang lain.

2 Y. Handojo, Autisma (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2003 ) hlm. 12 2 Y. Handojo, Autisma (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2003 ) hlm. 12

anak dilahirkan dengan kemampuan biologis yang terprogram untuk menambahkan makna pada persepsi hanya dengan sedikit stimulasi/rangsangan sosial. Berkat kemampuan ini mereka secara intuitif lebih menyukai suara manusia dan dengan cara itu mereka menganalisa dan memahami komunikasi manusia dan pada akhirnya mereka sendiri yang berkomunikasi. Dengan kemampuan yang sama ini mereka juga dapat lebih dahulu memahami perilaku manusia dan kemudian, tetap dengan pemahaman ini, mampu berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Sebenarnya kemampuan biologis bawaan inilah yang terkena

makna makna tertentu yang ditujukan melalui komunikasi, perilaku sosial dan imajinasi. Kesulitan yang mereka miliki dalam penambahan

Situasi menjadi semakin sulit ketika penyandang autisme mulai memasuki usia remaja. Pada fase ini berbagai masalah baru biasanya muncul berkaitan dengan perubahan perubahan yang terjadi selama masa pubertas. Masalah yang sering dihadapi penyandang autisme remaja antara lain :

a. Hygiene (kebersihan diri)

b. Modesty (sopan santun)

c. Publik vs pribadi 3

Theo Peeters, Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan Bagi Penyandang Autis, penerjemah Oscar H. Simbolon dan Yayasan Suryakanti (Jakarta : PT. Dian Rakyat, 2004) hlm. 25 Theo Peeters, Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan Bagi Penyandang Autis, penerjemah Oscar H. Simbolon dan Yayasan Suryakanti (Jakarta : PT. Dian Rakyat, 2004) hlm. 25

f. Kebutuhan seksual, dll 4

Masa remaja autisme berawal pada usia yang berbeda beda pada setiap individu. Tetapi umumnya, pada individu neurotypical, masa pubertas terjadi

pada usia 10 hingga 16 tahun. 5

Sama seperti anak normal lainnya, pada fase ini penyandang autisme pun mengalami perubahan. Anak laki-laki mulai berubah sekitar usia 11-12 tahun dan terus berkembang sampai usia 20 tahun. Anak perempuan mulai berubah

sekitar usia 8-9 tahun dan terus berkembang sampai usia 16 tahun. 6 Perubahan fisik yang terjadi misalnya, tumbuhnya rambut di beberapa bagian tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi, mimpi basah pada anak laki laki, dan sebagainya.

Masalahnya, meskipun pertumbuhan fisiknya sama dengan rekan sebayanya yang nonautisme, tetapi perkembangan emosi dan keterampilan sosial mereka tertinggal. Mereka yang tidak mengalami gangguan perkembangan ini bisa mudah mengobrol, mencari informasi, dan mendiskusikan perubahan

http://sekolah.cahyaanakku.org/?page_id=105. 24/08/2010/12.45 5

http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/media/seminar/Remaja%20AutistikDra%20Dyah%20Puspita -6%20Feb%2009.pdf. 22/07/2010/12.55

6 Ibid.

autisme.

Penyandang autisme, sama halnya mereka yang tidak memiliki gangguan perkembangan ini, merupakan makhluk seksual yang memiliki gejolak seksualitas yang sama dengan orang lain. Beberapa penelitian mengenai seksualitas dan ASD (Autism Spectrum Disorder) menunjukkan bahwa penyandang autisme menunjukkan ketertarikan seksual dan perilaku seksual yang beraneka ragam.

Kebanyakan penyandang autisme, hampir 75% menunjukkan beberapa jenis perilaku seksual dan paling banyak adalah masturbasi. Mereka juga mencoba melakukan kontak fisik dengan orang lain. Dalam suatu studi terhadap

81 penyandang autisme di Denmark yang tinggal dalam sebuah asrama, 74% menunjukkan perilaku seksual, termasuk masturbasi dan orientasi seksual dengan orang lain. Masturbasi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita, meskipun penyandang autisme wanita lebih banyak menunjukkan orientasi seksual dengan orang lain. Sebanyak 10% penyandang autisme juga menunjukkan keinginan yang kuat untuk menjalin hubungan dekat. Studi tersebut juga menemukan bahwa 35% penyandang autisme di asrama tersebut menunjukkan ketertarikan dengan hubungan biseksual dan 9% tertarik dengan sesama jenis. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa 34% penyandang autisme melakukan kontak fisik dengan orang lain seperti berpegangan tangan, memeluk, 81 penyandang autisme di Denmark yang tinggal dalam sebuah asrama, 74% menunjukkan perilaku seksual, termasuk masturbasi dan orientasi seksual dengan orang lain. Masturbasi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita, meskipun penyandang autisme wanita lebih banyak menunjukkan orientasi seksual dengan orang lain. Sebanyak 10% penyandang autisme juga menunjukkan keinginan yang kuat untuk menjalin hubungan dekat. Studi tersebut juga menemukan bahwa 35% penyandang autisme di asrama tersebut menunjukkan ketertarikan dengan hubungan biseksual dan 9% tertarik dengan sesama jenis. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa 34% penyandang autisme melakukan kontak fisik dengan orang lain seperti berpegangan tangan, memeluk,

Munculnya perilaku seksual sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat sebagai makhluk seksual manusia memiliki hasrat biologis yang setiap waktu bisa muncul. Masalahnya ketika kita hidup dalam suatu lingkungan sosial, maka kita dihadapkan dengan serangkaian aturan yang mengatur pergaulan manusia yang mau tidak mau harus dipatuhi agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat. Dalam hal inilah remaja autisme bermasalah.

Dalam suatu penelitian, sebanyak 10-30% penyandang autisme dilaporkan mengalami masalah perilaku selama masa remaja, khususnya pada penyandang autisme dengan retardasi mental. 8 Hasil penelitian Ruble dan Dalrymple pada tahun 2003 juga menunjukkan hampir 65% penyandang autisme menyentuh tubuh mereka sendiri di area publik, 23% masturbasi di area publik,

dan 28% menanggalkan pakaian di area publik. 9

Hal ini sama seperti yang diceritakan oleh Ira :

anak laki-laki saya waktu berumur 10 tahunan tiba-tiba jadi suka buka celana di depan banyak orang. Dia seolah tak peduli dengan perilakunya

7 l Education and Treatment of Children, Vol 31, No. 3 (2008). Hlm 384 8 Ibid. hlm 383

9 Ibid. hlm 386 9 Ibid. hlm 386

Perilaku seksual negatif terjadi karena dorongan seksual yang muncul pada masa puber tidak diimbangi dengan sosialisasi dan pemahaman mengenai norma sosial yang mengatur perilaku seksual individu. Penyandang autisme mengalami kesulitan untuk memahami norma sosial karena mereka biasanya tidak tergabung dalam grup teman sebaya sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari nilai nilai yang membentuk perilaku seksual individu.

Selain perilaku seksual negatif, isu lainnya yang juga muncul pada saat penyandang autisme memasuki masa remaja adalah kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Sebanyak 16 hingga 25% penyandang autisme dilaporkan

telah mengalami pelecehan seksual. 11

Guru bekerjasama dengan orangtua perlu memberikan pengetahuan mengenai seksualitas untuk membantu mengarahkan remaja autisme memasuki dunia dewasa. Ketidaknyamanan pada tubuh yang mereka rasakan dan ketidakpahaman penyandang autisme dalam menghadapi perubahan tersebut

10 Hilman Hilmansyah

http://www.tabloid-

nakita.com/Panduan/panduan09473-01.htm. 22/07/ 2010/13.00 11

Education and Treatment of Children, Vol 31, No. 3 (2008). Hlm 385 Education and Treatment of Children, Vol 31, No. 3 (2008). Hlm 385

Pendidikan seksual perlu diberikan kepada penyandang autisme untuk mencegah terjadinya perilaku seksual negatif. Pendidikan seksual tidak selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tetapi juga mencakup hal-hal lain seperti pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat. Pendidikan seksual tidak berarti menghentikan aktivitas seksual remaja autisme. Proses edukasi lebih ditujukan untuk membantu mereka mengembangkan perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab.

Guru terkadang kurang menyadari pentingnya pendidikan seksual karena menganggap penyandang autisme tidak akan mampu memperlihatkan perilaku seksual untuk membina suatu hubungan dengan lawan jenis. Selain itu, mereka enggan membicarakan masalah seksualitas karena merasa sungkan dan takut

pendidikan seksual justru akan memicu tingkah laku seksual negatif. Padahal dalam beberapa kasus, pendidikan seksual justru merupakan solusi untuk meredam perilaku negatif remaja autisme. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Dyah Puspita :

-baju gurunya di hampir setiap kesempatan di sekolah. Guru-guru yang hampir semuanya berjilbab tentu -baju gurunya di hampir setiap kesempatan di sekolah. Guru-guru yang hampir semuanya berjilbab tentu

Pada kasus lain, salah satu orangtua remaja autisme menjelaskan bahwa

mereda setelah orangtua menunjukkan gambar anatomi alat reproduksi dan

gambar sketsa organ seksual perempuan. 13

Upaya guru dalam mengawasi, mendidik dan mengantisipasi kegelisahan anak menghadapi pubertas perlu dipersiapkan sejak dini. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam berkomunikasi akan sangat membantu anak memahami informasi tersebut. Penggunaan berbagai media komunikasi sebagai alat bantu dapat dipertimbangkan untuk membuat berbagai hal menjadi semakin jelas.

Dyah Puspita mencontohkan, sejak dini dia sudah mengajarkan pendidikan seks kepada putranya yang menyandang autisme. Melalui gambar manusia sejak bayi, anak-anak hingga dewasa, sang anak diajari beberapa bagian tubuhnya akan mengalami perubahan, seperti tumbuh rambut di bagian alat vital, tumbuh kumis, atau jenggot. Pemahaman itu tidak langsung bisa diterima

sehingga harus dilakukan berulang-ulang. 14

12 Dyah Puspita. Op.Cit. hlm. 48-50 13 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 77

http://www.kompas.com. 22/07/2010/12.50 wib http://www.kompas.com. 22/07/2010/12.50 wib

mengajar penyandang autisme mengenai isu-isu seksualitas. 16 Jika anak kurang kemampuan bahasanya, isyarat visual dan gambar gambar yang disertai kata-

kata, bahkan boneka dapat digunakan untuk menjelaskan. 17

Mengingat pentingnya pendidikan seksual untuk penyandang autisme, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual. Peneliti ingin mengetahui bagaimana guru memberikan pemahaman seputar pubertas kepada remaja autisme yang notabene mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Kegiatan penelitian akan dilakukan di Sekolah Lanjutan Autis (SLA) Fredofios, Yogyakarta. Peneliti memilih SLA Fredofios sebagai lokasi penelitian

http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/2009/04/20/KSH/mbm.20090420.KSH130077.id.html. 22/07/2010/13.01wib

16 Sexuality and Disability, Vol. 26, No. 1 (2008)

17 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 61 17 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 61

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual.

2. Media komunikasi apa yang digunakan oleh guru dalam memberikan pemahaman mengenai seksualitas pada remaja autisme.

4. Hambatan apa saja yang ditemui selama proses komunikasi pendidikan seksual berlangsung.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Menggambarkan proses komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual.

2. Mengetahui media komunikasi yang digunakan oleh guru dalam memberikan pemahaman mengenai seksualitas.

3. Mengetahui hambatan apa saja yang ditemui selama proses komunikasi berlangsung.

1. Manfaat teoritis

Sebagai wacana tambahan dan bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian lain yang serupa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pihak pihak yang tertarik dan perduli dengan autisme.

2. Manfaat praktis

Memberikan gambaran kepada masyarakat, khususnya bagi orang tua yang juga memiliki anak dengan kelainan autisme, mengenai kehidupan dan penanganan remaja autisme. Kebanyakan referensi selama ini hanya membahas autisme pada masa kanak kanak. Peneliti juga berharap dengan semakin banyaknya kajian tentang autisme, masyarakat bisa semakin menerima keberadaan penyandang autisme dengan segala keunikan mereka.

E. Kajian Pustaka

1. Proses Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jika ada dua orang terlibat dalam Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jika ada dua orang terlibat dalam

Little John dalam bukunya Theories of Human Communication menyebutkan beberapa komponen konseptual komunikasi. Salah satu komponen konseptual komunikasi tersebut adalah understanding, konseptual ini mendefinisikan komunikasi sebagai :

communication is the process by which we understand others and in turn

Menurut Karlfried Knapp sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, komunikasi merupakan interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, seperti sistem simbol verbal (kata-kata) dan nonverbal. Sistem ini dapat disosialisasikan secara langsung/tatap muka atau melalui media lain

(tulisan, oral, dan visual). 20

Penjelasan yang hampir sama diungkapkan oleh Berelson dan Steiner (1949). Seperti yang dikutip oleh B. Aubrey Fisher, mereka memberikan definisi komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan

18 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1999) hlm. 9 19 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication 3 th ed (Belmont : Wadsworth Publishing

Company, 1989) hlm. 5.

20 Alo Liliweri, Dasar Dasar Komunikasi Kesehatan (Yogyakart :Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 4 20 Alo Liliweri, Dasar Dasar Komunikasi Kesehatan (Yogyakart :Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 4

Proses perpindahan arus informasi dari sumber kepada sasaran komunikasi digambarkan oleh Shanon dan Weaver 22 sebagai berikut :

Gambar 1.1

Model Komunikasi Shanon dan Weaver

Pada gambar tersebut, proses komunikasi dimulai dari sumber yang menciptakan pesan, kemudian ditransmit melalui saluran kawat atau gelombang udara. Pesan ditangkap oleh pesawat penerima yang merekonstruksi kembali sinyal itu sampai kepada tujuannya (destination). Tujuan di sini adalah penerima yang menjadi sasaran pesan. Pada model ini, komunikasi bersifat satu arah dan

terlalu menekankan peranan media. 23

21 B. Aubrey Fisher, Teori Teori Komunikasi, penterjemah Soejono Trimo (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1986) hlm. 10

22 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 41 23 Ibid. hlm 43

Message Message

Signal

Received

Signal

Receiver

Noise

pesan yang disampaikan komunikator mampu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Komunikasi dikatakan efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh sumber berkaitan erat dengan

rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. 24 Ini berarti antara komunikator dan komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap, dan bahasa. Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss paling tidak menimbulkan lima hal : pengertian, kesenangan, pengaruh pada

sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. 25

Osgood dan Schramm menggambarkan proses komunikasi tersebut

dalam sebuah model komunikasi sirkular : 26

Gambar 1.2

Model Sirkular Osgood dan Schramm

24 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication : Prinsip Prinsip Dasar, penerjemah Deddy Mulyana dan Gembirasari (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 22 25 Penyataan Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi

Komunikasi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 13 26 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm. 44

Message

Message

Encoder Interpret

Decoder

Encoder Interpret

Decoder

Pendidikan adalah komunikasi ditinjau dari prosesnya. Ini berarti bahwa dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan. 27 Mata pelajaran di dalam kurikulum disebut pesan. Pesan adalah informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide, ajaran, fakta, makna, nilai,

ataupun data. 28

Komunikasi dalam pendidikan merupakan unsur yang sangat penting kedudukannya dan berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang bersangkutan. Di sini komunikasi tidak lagi bersifat bebas. Kegiatan komunikasi merupakan suatu upaya yang direncanakan, setidaknya oleh satu pihak (pendidik) ke pihak lain (sasaran didik) supaya berperilaku sesuai dengan syarat

syarat tertentu guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 29

Di dalam dunia pendidikan, dikenal istilah komunikasi instruksional. Bidang instruksional merupakan kegiatan proses belajar

mengajar dan merupakan bagian utama dari proses pendidikan secara keseluruhan. Bagian ini didominasi oleh unsur komunikasi, terutama komunikasi pendidikan dan lebih khusus lagi komunikasi instruksional.

27 Onong Uchjana Effendy. Op.Cit. hlm. 101 28 Pawit M. Yusup, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional (Bandung : PT Remaja

Rosdakarya, 1990) hlm. 20 29 Ibid. hlm. 9 Rosdakarya, 1990) hlm. 20 29 Ibid. hlm. 9

seni atau spesialisasi tertentu. 30

Bidang kajian komunikasi instruksional bersifat lebih langsung menyentuh sasaran-sasaran yang lebih praktis dan lebih ditujukan kepada aspek aspek operasionalisasi pendidikan, terutama aspek membelajarkan sasaran.

komunikator sengaja dipersiapkan secara khusus untuk mencapai efek perubahan perilaku pada diri sasaran. 31 Perubahan yang diharapkankan meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan (kognitif, afektif, psikomotorik). 32

Kaitannya dengan objek penelitian, maka komunikasi pendidikan yang dimaksud oleh peneliti adalah komunikasi pendidikan seksual untuk remaja autisme.

Pada saat penyandang autisme memasuki masa remaja, orang tua dan guru perlu mempersiapkan diri untuk memberikan pengetahuan keterampilan

30 Ibid. hlm. 17-18 31 Ibid. hlm. 3

32 Ibid. hlm. 22 32 Ibid. hlm. 22

Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan, dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Seks, sebaliknya, didefinisikan sebagai jenis kelamin atau kegiatan/aktifitas dari hubungan fisik seks itu

sendiri. 33

Haracopos dan Pedersen (1992) sebagaimana dikutip oleh Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati, menekankan bahwa setelah disadari seksualitas mempengaruhi emosi dan perilaku manusia, maka permasalahan ini harus diberi

perhatian yang lebih khusus. 34

Pada survey yang dilakukan oleh Ousley dan Mezibov, 21 anak high functioning autism ditanya mengenai pengetahuan mereka, pengalaman dan keinginan mereka sehubungan dengan seksualitas. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak frustasi pada pria autis dewasa karena perbedaan antara minat terhadap aktivitas seksual dan pengalaman seksual

mereka. 35 Rasa frustasi tersebut tentu tidak sehat, apalagi bila anak bingung dengan berbagai perubahan fisik dan hormon dalam dirinya. Karena itu penting

33 http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43 34 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 58 35 http://puterakembara.org

/seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

Pendidikan seksual yang terus menerus juga akan membantu mengurangi stres dan perasaan terisolir yang biasanya muncul pada remaja autisme.

Menurut Sarlito, pendidikan seksual sebagaimana pendidikan lain pada umumnya mengandung pengalihan nilai nilai dari pendidik ke subjek didik. Informasi tentang seks tidak diberikan secara gamblang melainkan diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma norma yang berlaku

dalam masyarakat. 36

Menurut Adams, seperti dikutip Dyah Puspita tujuan pendidikan seksual

bagi remaja autisme adalah : 37

1. Sadar dan menghargai ciri seksualitas diri sendiri

2. Memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita, serta peran masing masing gender dalam reproduksi manusia

3. Mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya, termasuk

masalah menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah

ubah,

tumbuhnya bulu di sekitar tubuh, perubahan bau badan, dsb.

4. Memahami bahwa tidak ada seorangpun berhak melakukan tidakan seksual atas dirinya tanpa izin.

5. Memahami tanggung jawab yang terlibat bila kita memiliki keturunan.

36 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 188

37 http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43 37 http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

7. Memahami peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan diri dan orang lain

8. Tahu dan dapat mencari bantuan untuk masalah tertentu bilamana diperlukan.

9. Memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang pantas di lingkungannya.

Pendidikan kesehatan seksual meliputi penggunaan bahasa untuk memulai dan mempertahankan suatu percakapan, pemahaman terhadap arti kata kata tersamar/tersembunyi, terutama ungkapan tertentu saat berkenaan dengan anatomi lelaki dan perempuan. Juga mengajarkan tentang perilaku yang benar secara sosial etika, seperti menahan diri dari menyesuaikan pakaian dalam atau

meraba sendiri dengan cara yang tidak layak. 38

Gaya dalam mengajarkan konsep

konsep keterampilan sosial, kesehatan, pendidikan seksual dan pendidikan mengenai hubungan antar

38 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 60 38 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 60

1. Penjelasan singkat dan harafiah

2. Contoh contoh konkrit

3. Saat

4. Cerita sosial (social stories)

5. Pengulangan

6. Bermain peran

7. Tugas perlangkah yang dipasangkan dengan alat bantu visual

8. Errorless teaching

9. Latihan memasangkan gambar dengan tulisan, dsb

Schwier dan Hingsburger, sebagaimana dikutip oleh Dyah Puspita, mengusulkan untuk mengajarkan beberapa hal sesuai usia mental anak : 40

1. Antara 3-9 tahun

a. Beda laki laki dan perempuan (anatomi, kebiasaan, emosi, tuntutan lingkungan, dsb)

b. Beda tempat publik dan pribadi, nama anggota badan

c. Proses kelahiran bayi

39 http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43 40 Dya

http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43 http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

b. Mimpi basah

c. Perubahan fisik lainnya

d.

h orang

lain

e. Proses pembuahan yang menghasilkan bayi

f. Perasaan dan dorongan seksual

g. Masturbasi

3. Usia 16 tahun dan lebih

a. Proses terjadinya hubungan antar pribadi

b. Proses berkembangnya dorongan seksual dan bagaimana mengatasinya

c. Homoseksualitas (perasaan senang pada teman sejenis)

d. Beda antara cinta kasih dan hubungan seks

e. Hukum dan konsekuensi dari menyentuh orang lain secara seksual

f. Pencegahan kehamilan

g. Penularan penyakit seksual

h. Tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak.

3. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Komunikasi Interpersonal

Pada umumnya pendidikan berlangsung dalam situasi komunikasi interpersonal (antarpribadi). Komunikasi interpersonal yang dimaksud di sini Pada umumnya pendidikan berlangsung dalam situasi komunikasi interpersonal (antarpribadi). Komunikasi interpersonal yang dimaksud di sini

Joseph A. Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil

orang orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. 42

Berdasarkan pengertian di atas, komunikasi interpersonal dapat dibedakan atas dua macam, yakni komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil.

Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik menurut Pace dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yakni percakapan, dialog, dan wawancara. Sementara komunikasi kelompok kecil ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dimana anggotanya

saling berinteraksi satu sama lain. 43

41 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm. 31 42 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi : Teori & Praktek (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009) hlm. 78

43 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm. 32 43 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm. 32

bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif. 44 Komunikasi tatap muka dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior

change) dari komunikan. 45

Pentingnya situasi komunikasi interpersonal adalah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi dialogis adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan adanya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. 46

44 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek, cetakan ke-14 (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001) hlm. 15 45 Ibid. hal 39

46 Ibid.

Komunikator merupakan pihak yang mengirim pesan kepada khalayak. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Dalam komunikasi pendidikan seksual, yang berperan sebagai komunikator adalah guru.

Untuk mencapai komunikasi efektif, seorang komunikator harus terampil berkomunikasi dan juga kaya ide serta penuh daya kreativitas. Selain itu salah satu hal penting yang juga harus diketahui oleh komunikator adalah informasi mengenai dirinya sendiri. Dia harus mengetahui lebih awal tentang kesiapan dirinya, pesan yang ingin disampaikan, media yang akan digunakan, hambatan

yang mungkin ditemui, serta khalayak yang akan menerima pesannya. 47

Untuk memahami diri sendiri, Joseph Luft dan Harrington Ingham memperkenalkan sebuah konsep yang dikenal dengan nama Jendela Johari (Johari Window) , sebuah kaca jendela yang terdiri atas empat bagian, yakni : wilayah terbuka (open area), wilayah buta (blind area), wilayah tersembunyi

(hidden area), dan wilayah tak dikenal (unknown area). 48

47 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm 81-82 48 Ibid.

Empat Kuadran dalam Jendela Johari

Pada pokoknya model ini menawarkan suatu cara melihat suatu kesalingbergantungan hubungan intrapersonal dan hubungan interpersonal. Siapa anda dan bagaimana anda mempersepsikan diri sendiri dan orang lain akan mempengaruhi komunikasi dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain. Ukuran setiap kuadran atau kaca ditentukan oleh semua aspek diri, meliputi informasi, perilaku, perasaan, dan motivasi yang diketahui diri sendiri dan orang

lain. 49

Wilayah terbuka (open area) , mencerminkan keterbukaan anda pada dunia secara umum. Ini berarti semua informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan sebagainya diketahui oleh diri sendiri dan orang lain. Wilayah terbuka ini makin melebar jika kita dapat memahami orang

49 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Op.Cit. hlm. 13

Open

area

Blind

area

Hidden

area

Unknown

area

komunikasi kita cenderung tertutup.

Wilayah buta (blind area) , berisikan informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Sebagian orang mempunyai daerah buta yang luas dan tampaknya tidak menyadari berbagai kekeliruan yang dibuatnya. Menurut Joseph Luft dan Harrington, wilayah ini dapat dikurangi dengan bercermin pada nilai, norma, dan hukum yang diikuti oleh orang lain.

Wilayah tersembunyi (hidden area) , mengandung semua hal yang anda ketahui tentang diri sendiri dan tentang orang lain tetapi anda simpan hanya untuk anda sendiri. Ini adalah daerah tempat anda merahasiakan segala sesuatu tentang diri sendiri dan orang lain. Ada dua konsep yang erat hubungannya dengan wilayah tersembunyi, yakni over disclose dan under disclose. Over disclose ialah sikap terlalu banyak mengungkapkan sesuatu, sehingga hal hal yang seharusnya disembunyikan juga diutarakan. Sedangkan under disclose ialah sikap terlalu menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dikemukakan.

Wilayah tak dikenal (unknown area) , mewakili segala sesuatu tentang diri anda yang belum pernah ditelusuri, oleh anda atau orang lain. Ini adalah informasi yang tenggelam di alam bawah sadar atau sesuatu yang luput dari perhatian.

dalam sebuah kuadran akan mempengaruhi kuadran lainnya. Makin luas wilayah terbuka, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. Pengertian yang sama tentang lambang-lambang, persepsi yang cermat tentang petunjuk

petunjuk verbal dan nonverbal. Pendeknya, komunikasi interpersonal yang efektif terjadi pada wilayah terbuka (open area).

komunikasi terbuka lebih cocok untuk

Hampir sama, menurut Joseph A. Devito, komunikasi interpersonal yang efektif dimulai dengan lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 51

a. Keterbukaan Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator harus terbuka pada orang yang diajak berinteraksi. Sebaliknya harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan. Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga, menyangkut kepemilikan perasaan hati dan pikiran. Terbuka dalam arti ini adalah mengakui bahwa perasaan dan

50 Pawit M. Yusup. Op.Cit. hlm. 16 51 Joseph A. Devito, Human Communication : The Basic Course 9 th Edition

(USA : Pearson Education, inc., 2003) hlm. 171-176 (USA : Pearson Education, inc., 2003) hlm. 171-176

b. Empati Henry Backrack, dalam Devito mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Pengertian empati akan membuat seseorang lebih menyesuaikan komunikasinya. Guru sebagai pendidik bisa memposisikan dirinya sebagai teman yang memahami keterbatasan anak dan menghargai keterbatasan tersebut.

c. Sikap mendukung Adalah pandangan yang mendukung, membantu bersama-sama. Sebuah bentuk hubungan interpersonal yang efektif adalah sebuah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung.

d. Sikap positif Mengacu pada dua aspek komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Orang yang merasa positif mengisyaratkan perasaan ini ke orang lain dan selanjutnya merefleksikan perasaan positif ini. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang positif. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang d. Sikap positif Mengacu pada dua aspek komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Orang yang merasa positif mengisyaratkan perasaan ini ke orang lain dan selanjutnya merefleksikan perasaan positif ini. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang positif. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang

e. Kesetaraan Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang lebih pandai, lebih kaya, atau lebih cantik. Tidak pernah ada dua orang yang benar benar setara dalam segala hal. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan diam diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

5. Remaja Autisme Sebagai Sasaran Komunikasi