Pendahuluan Tinjauan Umum Tentang Arbitrase Efektifitas Penerapan arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN

Sumatera Utara, tidak ada judul yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis. Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya asli dari penulis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan mempermudah dan penulisan dan penjabaran penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

Menguraikan tentang hal-hal umum mengenai arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa. Memuat semua hal mengenai arbitrase mulai dari defenisi, sejarah dan perkembangan arbitrase di Indonesia, unsur, objek, serta jenis arbitrase, kelebihan dan kekurangan arbitrase, dan faktor-faktor yang mendorong para pihak memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa. BAB III : Arbitrase Sebagai Salah Satu Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Membahas dan menguraikan arbitrase sebagai salah satu pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memuat hal mengenai defenisi sengketa perbankan, arbitrase sebagai salah satu Universitas Sumatera Utara cara penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan, serta peran dan prospek penegakan arbitrase di Indonesia.

BAB IV : Efektifitas Penerapan arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa

Perbankan Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia Mendeskripsikan prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memaparkan faktor penghambat pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, serta keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A. Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 12 Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare Latin, arbitrage Belanda, arbitration Inggris, schiedspruch Jerman, dan arbitrage Perancis, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter arau wasit. 13 Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun bersengketa. 14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa. 15 12 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, pasal 1 angka 1 13 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1 14 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.70 15 Umar Sandi, “Arbitrase”, artikel, http:umarzandi.blogspot.com201102arbitrase.html , diakses 9 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu: 1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan 2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak 3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi 4. Dengan melibatkan pihak ketiga arbiter atau wasit yang berwenang mengambil keputusan. 5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat. Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak. Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta ahli hukum adalah: Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan Universitas Sumatera Utara dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.” 16 Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.” 17 arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa macam pilihan. Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak. Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.” 18 16 M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia Jakarta, Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995 hlm.2 17 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2 18 Ibid, hlm.2 Universitas Sumatera Utara Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut. Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.” 19 Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata. Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat 19 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993 hlm.276 Universitas Sumatera Utara dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.” 20 Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a dispute to an impartial third person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.” 21 Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan, 20 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman, hlm.3 21 Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel, http:tommirrosandy.wordpress.com20110314pengantar ‐hukum‐arbitrase‐di‐indonesia , diakses 9 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan litigasi biasa. Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula. Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai “arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute settlement.” 22 arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa. Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap sengketa tersebut. Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral. 22 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.3 Universitas Sumatera Utara Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu. 23 Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi syarat- syarat sebagai berikut: - Cakap melakukan tindakan hukum - Berumur paling rendah 35 tahun - Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa - Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase - Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. 24 Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. 25 Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan pemberian putusan oleh arbiter secara objektif. Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan 23 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67 24 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Pasal 12 ayat 1 25 Ibid. Pasal 12 ayat 2 Universitas Sumatera Utara ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih” tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku. Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. jumlah yang dipersengketakan b. kompleksitas klaim c. nasionalitas dari para pihak d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa e. ketersediaan arbiter yang layak f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan 26 26 Munir fuady, Op.Cit. hlm.68 Universitas Sumatera Utara Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak, penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat, walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil. Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan. 27 Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”. 27 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991 hlm.160 Universitas Sumatera Utara Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan wewenang dari pihak yang bersengketa. Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu: - Sifat dan hakikat dari sengketa - Ketersediaan dari arbiter - Identitas dari para pihak - Independesi dari arbiter - Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase - Saran-saran yang diberikan oleh para pihak 28 Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara tertulis paling lambat 14 empat belas hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 28 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.74 Universitas Sumatera Utara 1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis. Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen, adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa. 29 Untuk sukses menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang yang profesional di bidangnya. Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran. Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. 30 Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter. 29 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, ArbiterMediator, artikel, http:www.bapmi.orginarbitrators_requirements.php diakses 9 Februari 2014 30 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm. 102 Universitas Sumatera Utara Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56. Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan perundang- undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering Rv. Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum Universitas Sumatera Utara acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang disingkat B. RV atau RV. Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg. Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut : a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman di Hindia Belanda Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O. b. Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang laut Rechtsreglemetn Buitengewesten Rbg. Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. 31 Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan 31 R. Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasan Bogor, Politeia, 1970 hlm.255 Universitas Sumatera Utara tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata Reglement opde Burgerlijke disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63. 32 Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk derah luar pulau Jawa dan Madura tanah seberang. Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek BW Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Wetboek van Kophandel WvK Kitab Undang Undang Hukum Dagang. Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata RV. 33 Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu : - Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia - Badan arbitrase tentang kebakaran - Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan. 34 Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi 32 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.12 33 Ibid. hlm.14 34 http:poetra‐arbitrase.blogspot.com , artikel, diakses 9 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara nama Tiboo Hooin. Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg. 35 Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badan- badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah dahulu Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang. 36 Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini” Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”. Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, 35 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15 36 Ibid. hlm.16 Universitas Sumatera Utara landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda. 37 Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja. Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu konstitusi Republik Indonesia Serikat, dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa : a. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku menurut Pasal 197 konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan- peraturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini. b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku, 37 Ibid. hlm.16 Universitas Sumatera Utara sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan- peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan. 38 Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan- peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 39 38 Ibid. hlm.17 39 Ibid hlm.18 Universitas Sumatera Utara Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. 40 Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. 41 Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan. 40 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.30 41 http:repository.usu.ac.idbitstream123456789300343Chapter20II.pdf , diakses 10 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara

B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a.

Unsur Arbitrase Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa. Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian unsur- unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi : a. penyelesaian sengketa b. di luar peradilan umum c. berdasarkan perjanjian tertulis 42 Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri. Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi 42 Eddy Leks, http:eddyleks.blog.kontan.co.id20130107arbitrase‐sebagai‐alternatif‐ penyelesaian ‐sengketa‐bisnis , artikel, diakses 10 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis. Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase ataupun arbitrase ad-hoc. Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa, “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat 3 Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dijumpai dalam pasal II ayat 2 Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “......the parties undertake to submit to arbitration all or any differences....which may arise between them.....” 43 Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut : a. meninggalnya salah satu pihak b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi pembaruan utang 43 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.24 Universitas Sumatera Utara d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak e. pewarisan f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok 44 Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase. Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan 44 Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif pasal 10 Universitas Sumatera Utara c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa. Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup : 1. Komitmenkesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase 2. Ruang lingkup arbitrase 3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc. apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase 4. Aturan prosedural yang berlaku 5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase 6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase 7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan imunitas. 45 Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian 45 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia:Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995 hlm.25 Universitas Sumatera Utara sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase. Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. 46

b. Objek Arbitrase

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan. Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase. Objek perjanjian arbitrase sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya menurut Pasal 5 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 46 http:ilmuhukumuin‐suka.blogspot.com201312macam‐macam‐perjanjian‐arbitrase‐ dan.html , artikel, diakses 10 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat 2 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 sd 1854. 47

b. Jenis Arbitrase

Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai jenis-jenis arbitrase, dimana hal ini berarti menyangkut masalah lembaga yang akan menangani jalannya arbitrase. Untuk tinjauan terhadap lembaga arbitrase ini dilakukan pendekatan melalui ketentuan yang tercantum didalam Rv dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Jenis arbitrase yang akan dibahas ini merupakan jenis arbitrase yang kewenangan serta eksistensi nya diakui sebagai lembaga untuk memriksa, menangani serta memberikan putusan terhadap sengketa yang terjadi antara pihak- pihak yang telah melakukan perjanjian. Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Arbitrase ad-hoc 2. Arbitrase institusional 47 BPK, Arbitrase. http:jdih.bpk.go.idwp‐contentuploads201103Arbitrase.pdf , artikel, diakses 11 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. 48 Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun pangikatan arbiternya. Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan. 49 Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekatpada suatu badan body atau lembaga institution tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelasanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan atta cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. 50 Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para 48 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.55 49 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm.150 50 Rachmadi Usman, Op.Cit. hlm.29 Universitas Sumatera Utara pihak sering kali memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional. 51 Arbitrase institusional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter. 52 Karena arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka. 53 Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional. Yang bersifat Internasional misalnya : - The International Centre for Setlement of Investment Dispute ICSID, didirikan oleh World Bank. Diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 5 Tahun 1968. - Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce ICC, bertempat di Paris. - United Nation Commisson on International Trade Law UNCITRAL, didirikan pada tanggal 21 Juni 1985. 51 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Op.Cit. hlm 25 52 Ibid. hlm.26 53 Ibid. hlm.27 Universitas Sumatera Utara Sedangkan lembaga arbitrase yang bersifat Nasional antara lain : - Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI - Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil dan cepat. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini berdiri pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri KADIN Indonesia sebagai sarana kepercayaan para pengusaha Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri KADIN Indonesia. Prakarsa KADIN dalam pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang antara lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrase, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk legalisasi surat- surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya. 54 54 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.104 Universitas Sumatera Utara Jadi walaupun Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini memiliki sifat, ruang lingkup keberadaan serta hanya meliputi kawasan Indonesia, namun bukan berarti Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini hanya dapat menyelesaikan sengketa nasional saja, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa yang bebobot internasional, asalkan hal tersebut diajukan atau diminta serta disepakati oleh para pihak. Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri dari susunan seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang anggota tetap, beberapa orang anggota tidak tetap, dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua, anggota, dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Team Inti Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut adalah untuk waktu lima tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota tetap merupakan pengurus Board of Managing Directors Badan Arbitrase Nasional Indonesia. 55

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase 1.

Kelebihan Arbitrase Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan-kelebihan sehingga dipilih atau digunakan oleh pihak-pihak yang sedang berada atau mengalami sengketa. 55 Ibid. hlm.105 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan umum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain : a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. HMN Purwosutjipto juga mengemukakan kelebihan-kelebihan peradilan wasit arbitrase yaitu : 1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat Universitas Sumatera Utara rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. 56 Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah “As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration are : 1. Quicker resolution of disputes penyelesaian sengketa secara cepat 2. Lower costs in time and money to the parties biaya yang rendah 3. The availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute” kemampuan para pihak yang ahli dalam sengketa. 57 Menurut Prof. Subekti, bahwa bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Indonesia” menyebutkan keuntungan arbitrase yang menyebabkan arbitrase disebut di pilih dalam menyelesaikan sengketa, yaitu : a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan b. Keahlian c. Cepat, dan hemat biaya 56 Budhy Budiman, “Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999”, dalam http:jdih.bpk.go.idwp‐ contentuploads201103Arbitrase.pdf diakses 15 Februari 2014 57 http:fikrimuhammad17.blogspot.com201103arbitrase.html , artikel, diakses 15 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara d. Bersifat rahasia e. Bersifat non-preseden f. Kepekaan arbiter pelaksanaan keputusan g. Kecenderungan yang modern Hampir sama dengan hal tersebut, Sudargo Gautama juga menyebutkan alasan arbitrase digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa dalam bukunya yang berjudul “Arbitrase Dagang Internasional” adalah : a. Dihindarkannya publisitas b. Tidak banyak formalitas c. Bantuan pengadilan hanya pada taraf eksekusi d. Baik untuk pedagang-pedagang bonafide e. Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha f. Lebih murah dan cepat Dari berbagai pendapat yang dikemukakan ahli-ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan atau keunggulan arbitrase adalah sebagai berikut : Pertama, para pihak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan hukum, proses serta tempat penyelenggaraan arbitrase, dan tidak terikat dalam bentuk formal peradilan seperti hal nya di dalam proses litigasi. Fleksibilitas arbitrase ini menjadi daya tarik yang sangat besar karena para pihak yang besengketa dapat dengan langsung membahas hal-hal yang menjadi persengketaan mereka tanpa perlu diwakili oleh kuasa hukum seperti beracara di pengadilan. Kedua, pada umumnya arbitrase dilakukan secara tertutup atau bersifat rahasia. Dalam hal ini pemeriksaan ataupun penyelesaian sengketa hanya dihadiri Universitas Sumatera Utara oleh para pihak yang bersengketa saja. Artinya tidak ada pihak lain yang mengetahui permasalahan-permasalahan yang menjadi sengketa sengketa para pihak seperti hal nya penyelesaian sengketa melalui litigasi sehingga kegiatan usaha tidak menjadi terganggu. Hal ini juga menjadi dasar sehingga para pihak memilih arbitrase, karena mereka tidak menginginkan masalah yang dihadapi diketahui oleh orang lain ataupun dipublikasikan kepada media. Ketiga, pihak yang bersengketa dapat memilih sendiri arbiter atau orang yang ahli untuk menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini dimaksudkan agar orang yang ahli tersebut dengan ilmunya dapat memberikan putusan yang cepat dan adil serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai pengetahuan yang dimilikinya terhadap sengketa yang tengah dihadapi para pihak. Keempat, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang tidak memakan banyak waktu dan dilaksanakan dengan biaya yang murah dibandingkan dengan proses berperkara di pengadilan atau litigasi.

2. Kelemahan Arbitrase

Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, arbitrase tidak hanya memiliki kelebihan-kelebihan namun juga memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diketahui oleh pengguna metode arbitrase. Kelemahannya terletak pada masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas, ini khususnya terjadi di Indonesia dari praktek arbitrase yang sudah berjalan selama ini. Selain itu, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Universitas Sumatera Utara Beberapa kelemahan arbitrase yang lainnya adalah : 1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI. 2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga arbitrase yang ada. 3. Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya. 4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya. 5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran. 58

D. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa

Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat ini 58 http:jdih.bpk.go.idwp‐contentuploads201103Arbitrase.pdf , artikel, diakses 15 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara berkembang di masyarakat. Masyarakat yang pada umumnya mempunyai hubungan sosial yang multiplex, cenderung menjunjung tinggi mufakat atau kompromi. Masyarakat juga memikirkan kelanjutan hubungan sosial kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal yang mereka inginkan menyangkut hubungan baik dan kompromistis tersebut tidak bisa mereka dapatkan melalui sebuah penyelesaian sengketa yang terstruktur melalui cara litigasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan. Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan politik, cara-cara negosiasi dan mediasi tidak akan berjalan efektif karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apa pun dapat memenangkan sengketa. 59 Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. 60 Seperti hal nya dengan negosiasi dan mediasi, arbitrase lebih dipilih karena para pihak cenderung tidak mempercayai lembaga pengadilan tersebut. 59 Albert K. Fiadjoe, Akternative Disputs Resolution, dalam Skripsi Fanny Dwi Lestari, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013 60 http:andukot.files.wordpress.com201005jurisdiksi‐arbitrase.pdf , artikel, diakses 16 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Para pihak yang bersengketa tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa yang menang ataupun kalah dalam suatu proses penyelesaian sengketa litigasi, para pihak akan mengeluarkan biaya yang banyak selama proses penyelsaian perkara. Melalui arbitrase, biaya besar yang dikeluarkan para pihak tersebut dapat diminimalisir sehingga para pihak pun lebih memilih arbitrase daripada proses penyelesaian secara litigasi. Dengan kata lain, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan cara yang efektif dari segi finansial karena biayanya yang terjangkau. Sama halnya dengan biaya, para pihak juga tidak ingin membuang waktu hanya untuk berperkara di pengadilan saja, masih banyak kepentingan dan urusan lain yang harus mereka selesaikan disamping sengketa yang tengah mereka hadapi. Agar penyelesaian sengketa menjadi lebih hemat waktu, para pihak sengketa tertarik untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Selain putusan bisa di dapat dengan cepat, putusan arbitrase ini bersifat final dan tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Tidak sama dengan negosiasi dan mediasi yang memiliki kemungkinan tidak berhasil, arbitrase pasti akan menghasilkan suatu keputusan terhadap sengketa yang terjadi, karen arbiter memiliki wewenang untuk hal tersebut bahkan dalam hal ketidakhadiran pihak termohon sekalipun. Hal ini juga mnjadi nilai lebih bagi arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa. Faktor lain yang mendorong para pihak sengketa melakukan arbitrase adalah karena arbitrase memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada para pihak dalam menentukan arbiter, pilihan hukum, proses, serta tempat Universitas Sumatera Utara penyelenggaraan arbitrase. Namun tetap pada akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh terhadap putusan arbitrase yang mengikat mereka tersebut. Dari faktor-faktor yang telah diurasikan diatas, dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang memiliki manfaat serta kemudahan- kemudahan yang sangat besar sehingga mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa. Universitas Sumatera Utara

BAB III ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN A. Defenisi Sengketa Perbankan Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem bagi semua sektor perekonomian. Lembaga perbankan di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dimana kegiatan lembaga keuangan seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-indische Compagnie VOC. Voc membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus ke arah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi perdagangannya. Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia, yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij NHM yang secara resminya adalah perusahaan dagang. Adapun perusahaan yang benar-benar resmi didirikan untuk menjalankan usaha bank, yaitu NV De Javasche Bank. Adapun modal pertamanya sebesar satu juta gulden. Modal tersebut berasal dari setoran Universitas Sumatera Utara pemerintah Hindia Belanda dan De Nederlandsche Handel Maatschappij NHM. Dengan telah berdirinya De Javasche Bank oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya adalah mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, maka bank itu bertindak sebagai bank sentral. 61 Setelah Jepang masuk ke Indonesia, De Javanische Bank tersebut dikuasai oleh pemerintahan tentara Jepang. Pada permulaan zaman kemerdekaan pemerintah sangat memberikan perhatian yang besar kepada dunia perbankan. Banyak langkah dan kebijakan pemerintah yan g diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap kemanuan dunia perbankan di Indonesia pada saat itu. Langkah dan kebijakan pertama yang berkaitan dengan perbankan, yaitu [pembentukan bank baru sebagai alat perjuangan dan dimaksudkan untuk menjadi bank sentral, yaitu Bank Negara Indonesia yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahnu 1946 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1946, yang kemudian lebih dikenal dengan BNI 1946. Tujuan didirikannya bank tersebut yaitu untuk : 1. Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran. 2. Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain. 3. Memenuhi kredit masyarakat dan umumnya supaya dapat bekerja untuk kepentingan umum. 61 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2012 hlm. 54 Universitas Sumatera Utara Selain BNI 1946, bank lain yang juga milik negara pada saat awal kemerdekaan adalah Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1946, lahan usaha Bank Rakyat Indonesia meliputi memberikan pinjaman kepada rakyat, menerima uang simpanan tabungan, menjalankan tugas-tugas bank umum, dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Karenanya, BRI mempunyai otonomi dalam menyelenggarakan usahanya. Oleh pemerintah, BRI lah yang diarahkan sebagai bank yang langsung berhubungan dengan rakyat. 62 Pada saat ini belum secara jelas terbentuk sebuah bank sentral. Namun terdapat adanya kewajiban menyimpan uang di bank berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewajiban Menyimpan Uang dalam Bank. Bank yang ditunjuk berdasarkan Perppu tersebut adalah Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan Bank lain yang telah mendpatkan izin dari Menteri Keuangan. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dikenalan sanksi berupa hukuman penjara maksimal tiga tahun serta uangnya dirampas negara. Hal ini merupakan usaha dari pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang banking minded banking habit. Pada waktu itu De Javasche Bank juga dinasionalisasi. Pada zaman Orde Lama, bank sentral mulai ditetapkan. Bank sentral memiliki sifat dualisme yang merupakan warisan dari De Javasche Bank yaitu sebagai bank sentral dan juga sebagai bank komersial atau bank umum. 62 Ibid. hlm 55‐56 Universitas Sumatera Utara Dengan tenggelamnya Orde Lama, kehidupan perbankan kita memasuki babak baru bersama naiknya kebijakan pemerintah Orde Baru, pemerintah Orde Baru ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas. Langkah selanjutnya untuk perbaikan perbankan, dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur perbankan, baik berupa penggantian maupun membuat undang-undang yang baru, misalnya, membuat peraturan yang baru berupa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Sedangkan yang berupa penggantian peraturan yang lama yaitu berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna mengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia. Perbaikan kelembagaan perbankan dengan memperkuat landasan hukumnya adalah suatu pilar bagi terselenggaranya pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam nmenjalankan fungsinya secara sehat, wajar, efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan internasional. Sebagai langkah awal perbaikan ekonomi nasional, pemerintah Orde Baru memulai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan ingin segera jelas mengatur usaha perbankan termasuk masalah perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan, seperti ekspansi kredit yang tak terkendali dapat dihindari. Disamping itu, untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi penghimpunan, dan penggunaan dana masyarakat. Selain itu, juga dibuka lagi kesempatan untuk Universitas Sumatera Utara pendirian bank asing, yaitu melalui ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1968 tentang Bank Asing. 63 Perkembangan perbankan dalam masa Orde Baru ini secara garis besarnya dapat dibagi dalam tiga tahap utama, yaitu : 1. Tahap stabilisasi dan rehabilitasi 1966-1969 Yang dilakukan pemerintah adalah menyusun kebijakan-kebijakan dasar ekonomi serta keuangan maupun pembangunan. Kebijakan-kebijakan baru tersebut secara tegas membedakan antara tahap stabilisasi dan rehabilitasi, dengan tahap pembangunan ekonomi. 2. Periode pembangunan 1970-1982 Pada tahap ini, di bidang perkreditan ditempuh kebijaksanaan pemberian kredit secara selektif dalam mengatur jumlah dan penyalurannya dalam perekonomian. 3. Periode deregulasi 1983-1991 Dalam periode ini banyak sekali berbagai kebijakan baru yang merupakan kemajuan besar di dunia perbankan Indonesia. 4. Periode awal Reformasi 1992-1998 Pada periode ini ada suatu semangat perubahan di bidang perbankan. Semangat tersebut belum dapat terlaksana dengan baik karena terbentur masih kuatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN di dalam pemerintahan Orde Baru. Kredit Bank Indonedia hanya dinikmati 63 Ibid. hlm 61 Universitas Sumatera Utara segelintir pihak yang dekat dengan sumbu kekuasaan. Selain itu, pengawasan perbankan tidak berjalan dengan sempurna. 64 Setelah lengsernya kepemimpinan Soeharto, Presiden Habibie memiliki tekad untuk memperbaiki perekonomian dan perbankan secara benar. Yang menjadi prioritas adalah perubahan landasan hukum yang dipakai dalam program penyehatan perbankan nasional tersebut. Kegiatan lembaga perbankan secara umumnya dilakukan oleh pelaku yang menurut fungsi serta tujuan usahanya dapat dibedakan, yaitu berupa bank sentral central bank dan bank umum commercial bank. Bank umum atau bank komersial dalam kegiatannya dibina dan diawasi oleh bank sentral, sedangkan bank sentral dalam menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijaksanaan pemerintah. Lembaga perbankan dengan fungsinya yang antara lain, sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak- pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds, serta juga melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian masyarakat, maka menurut ilmu sosiologi, perbankan diakui merupakan suatu lembaga sosial. Dalam arti bahwa perbankan tersebut merupakan bentuk himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang menyangkut kebutuhan pokok manusia. 65 Dikarenakan pentingnya lembaga perbankan sebagai pilar yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia dewasa ini, dan mengingat 64 Ibid. hlm 69 65 Ibid. hlm 69 Universitas Sumatera Utara perannya dalam mencapai tujuan nasional, maka disusunlah suatu ketentuan yang mengatur tentang perbankan yaitu dimulai dari disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, lalu diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan juga lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dimana keseluruhan Undang-Undang tersebut adalah juga merupakan bukti pengawasan pemerintah terhadap lembaga perbankan agar mampu berjalan dan berfungsi secara sehat, efisien serta dapat melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat dan mampu menyalurkan kembali dana-dana yang dihimpunnya tersebut ke berbagai bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Perbankan disebut juga sebagai lembaga fiduciary atau lembaga kepercayaan. Karena berdiri dan berkembang dan dikelola berlandaskan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat atau nasabah. Menurut Saladin Djaslim, nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank. 66 Komaruddin dalam ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank. 67 66 Saladin Djaslim, Dasar‐dasar Manajemen Pemasaran Bank, Jakarta, CV Rajawali, 1994 dalam artikel Mira Ve http:mirave21.wordpress.com diakses 19 Februari 2014 67 Komaruddin, Kamus Perbankan, Jakarta, CV Rajawali, 1994 dalam artikel Mira Ve http:mirave21.wordpress.com diakses 19 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan disebutkan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan pengertian nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah danatau UUS Unit Usaha Syariah. Nasabah dalam lembaga perbankan merupakan bagian yang sangat penting. Diibaratkan nasabah adalah oksigen yang menopang kehidupan suatu lembaga perbankan. Karena berdasarkan fiduciary principle, dana yang dihimpun dan disalurkan kembali oleh lembaga perbankan adalah berasal dari nasabah yang mempercayakan uangnya dikelola oleh lembaga perbankan tersebut. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa dispute di antara mereka. Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya. 68 Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya konflik tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu: 1. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank 68 http:repository.usu.ac.idbitstream123456789179904Chapter20I.pdf , artikel, diakses 19 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara 2. pemahaman nasabah terhadap aktifitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang 3. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana 4. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank. 69 Secara umum berbagai pihak menilai bahwa masih belum terdapat kesetaraan kedudukan antara Bank dan Nasabah sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum yang timbul dari transaksi keuangan yang ditawarkan bank. Pada umumnya nasabah sebagai pihak pengguna jasa berada pada posisi yang lemah dan lebih rendah dibandingkan dengan pihak bank sebagai penyedia jasa. Hal ini terutama dapat dilihat apabila terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan antara nasabh dengan bank mengenai pencatatan, perhitungan dan atau fakta yang terkait dengan transaksi keuangan.Apabila pihak nasabah mengajukan keberatan complaint atas perbedaan tersebut, pada umumnya pihak nasabah hanya bersikap pasif terhadap penyelesaian yang diberikan oleh pihak bank. Apabila pihak nasabah merasa tidak puas dengan respon dan atau penyelesaian yang diupayakan oleh bank nasabah biasanya hanya pasrah atau mengungkapkan rasa ketidakpuasannya melalui media massa. Melalui sarana media massa, nasabah yang merasa dirugikan oleh bank pada umumnya menghimbau kepada nasabah lain untuk lebih berhati-hati dalam 69 Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia dalam artikel http:repository.usu.ac.idbitstream123456789179904Chapter20I.pdf , diakses 19 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara melakukan transaksi dengan suatu bank. Publikasi negatif tersebut pada gilirannya dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi bank. 70 Sengketa Perbankan biasanya berawal dari terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank. 71 Memang tidak semua sengketa perbankan dapat diselesaikan melalui arbitrase, dengan kata lain sengketa perbankan yang dapat diarbitrasekan hanyalah sebatas sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang dapat diadakan perdamaian. Apa yang disebutkan di atas sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi : 1 Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2 Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dari ketentuan ini dapat dipastikan bahwa tidaklah semua sengketa perbankan dapat diarbitrasekan, akan tetapi tidak sedikit sengketa perbankan yang 70 http:repository.usu.ac.idbitstream123456789179904Chapter20I.pdf , artikel, diakses 19 Februari 2014 71 Ibid Universitas Sumatera Utara dapat diarbitrasekan seperti sengketa kredit macet, kredit sindikasi, usaha patungan dan beberapa jenis sengketa lainnya. 72 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja performance debitur, dan kemampuan membayar. Dari ketiga faktor penilaian tersebut, maka kualitas kredit ditetapkan sebagai berikut : 73 - lancar - dalam perhatian khusus - kurang lancar - diragukan - macet Kredit macet adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. 74 72 http:batubarasuleman.blogspot.com201011prospek‐lembaga‐arbitrase‐dalam.html , artikel, diakses 21 Februari 2014 73 Peraturan Bank Indonesia Nomor 72PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Pasal 12 ayat 3 74 Mudrajad Kuncoro, Suhardjono, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta, BPFE, 2002 hlm.462 Universitas Sumatera Utara Bentuk lain yang dapat menjadi sengketa perbankan adalah kredit sindikasi. Menurut kamus yang dimuat dalam situs resmi Bank Indonesia bi.go.id, disebutkan bahwa kredit sindikasi adalah pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu debitur, yang jumlah kreditnya terlalu besar apabila diberikan oleh satu bank saja loan syndication. 75 Suatu kredit sindikasi dapat menimbulkan sengketa bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan perjanjian sindikasi tersebut, salah satunya misalnya adalah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur dalam permbayaran kredit. Jenis sengketa tersebut pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut ini menumpuk di beberapa lembaga keuangan yang ada seperti bank. Penumpukan perkara ini, menjadi persoalan tersendiri bagi dunia perbankan dalam artian merupakan suatu tuntutan bagi kalangan industri perbankan saat ini untuk dapat menyelesaikan sengketanya secara cepat dan hemat biaya agar arus perputaran uang menjadi lancar. Hal ini penting apabila dikaitkan dengan usaha pokok dari bank yaitu sebagai suatu lembaga yang bergerak di bidang pengumpulan uang dari masyarakat yang selanjutnya didistribusikan kembali kepada mereka sendiri dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Sudah barang tentu apabila suatu industri perbankan mempunyai banyak sengketa dan mengalami kendala dalam penyelesaiaanya akan menimbulkan kerugian dan kemacetan dalam arus perputaran uang misalnya sengketa kredit macet. 75 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4c3e609faff23kredit‐sindikasi , artikel, diakses 23 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Dengan melihat fenomena di atas, dikaitkan dengan efek negatif yang ditimbulkan dari penumpukan perkara dalam dunia perbankan maka sudah seharunya industri perbankan maupun para usahawan untuk mencari solusi yang tepat, cepat, ekonomis serta efektif untuk memecahkan persoalan tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyelamatkan industri tersebut dari resiko yang mungkin timbul dan juga untuk menjaga perusahaan tersebut untuk tetap eksis untuk selamanya. 76 Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sengketa perbankan adalah sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan oleh karena tidak terpenuhinya hal-hal yang diperjanjikan antara kedua belah pihak, baik karena wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah ataupun karena tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank. Yang mana sengketa perbankan seharusnya dan sebaiknya diselesaikan dengan cara yang cepat dan hemat biaya.

B. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Perbankan di Luar Peradilan

Semakin berkembang kehidupan suatu bangsa dan lingkungan kehidupannya, maka semakin banyak dan luas juga kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bangsa tersebut. Kegiatan yang dilakukan beragam mulai dari kegiatan sosial, politik, perdagangan, dan lain sebagainya. Kegiatan yang dilakukan tersebut menyangkut hubungan antar individu, dimana dalam pelaksanaannya tentulah tidak terlepas dari adanya kesalahpahaman yang berakibat menimbulkan sengketa. Sengketa yang terjadi tersebut harus segera di 76 http:batubarasuleman.blogspot.com201011prospek‐lembaga‐arbitrase‐dalam.html , artikel, diakses 23 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara ambil jalan keluar penyelesaiannya agar tidak menjadi berlarut-larut dan agar tercapai suatu kepastian hukum atasnya. Penyelesaian suatu sengketa biasanya diserahkan kepada lembaga peradilan, namun dalam pelaksanaannya banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat di lembaga peradilan dalam proses penyelesaian suatu sengketa, sehingga para pihak yang bersengketa berinisiatif untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa dengan cara lain yang lebih mudah. Jenis penyelesaian sengketa yang populer dan banyak di pilih oleh pihak yang bersengketa adalah penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar pengadilan, yaitu melalui arbitrase. Akan tetapi arbitrase bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaiakan sengketa di luar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase, misalnya emlalui cara mediasis maupun konsiliasi dan sebagainya. Baik mediasi maupun konsiliasi adalah sama-sama merupakan suatu upaya menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan mufakat yang diperantarai oleh seorang mediator atau konsiliator. Akan tetapi sifat dari pada penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dan konsiliasi tidaklah merupakan keputusan yang bersifat final tetapi hanya sarana untuk mencari jalan penyelesaian ke arah yang lebih baik tanpa harus berperkara kepada arah yang lebih jauh lagi. 77 Dewasa ini, lembaga perbankan sebagai lembaga keuangan yang menjadi perantara dalam bidang perdagangan memiliki peranan yang sangat besar. Hubungan hukum yang terjalin antara Bank dengan nasabah memiliki potensi 77 Ibnu Affan, Peranan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Menurut Undang‐ Undang Nomor 30 Tahun 1999, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004. Hlm.25 Universitas Sumatera Utara yang sangat besar terhadap terjadinya suatu sengketa, baik sengketa yang timbul karena adanya suatu perjanjian antara keduanya ataupun tidak. Sengketa yang terjadi tersebut dapat menghambat kegiatan yang dilakukan oleh nasabah dan juga kegiatan yang dilakukan oleh lembaga perbankan, sehingga dibutuhkan suatu bentuk penyelesaian sengketa untuk menyikapi dan menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif serta Peraturan Bank Indonesia yang isinya berkaitan dengan Mediasi Perbankan, Arbitrase dan Mediasi banyak di pilih untuk menyelesaikan suatu sengketa perbankan di luar peradilan. Arbitrase dan mediasi memiliki beberapa keunggulan yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan sengketa perbankan. Arbitrase penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki kecepatan dan ketepatan dalam proses pemeriksaan sengketa, menghasilkan putusan yang bersifat final and binding, para pihak juga memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, prosesnya yang formal dan fleksibel, dan dikenal prinsip non-publikasi serta confidentiality. Sedangkan mediasi memiliki beberapa keunggulan, mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan murah, memfokuskan pada kepentingan para pihak, memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan cukup berpengaruh dalam proses penyelesaian sengketa dan menghasilkan suatu kesepakatan yang tidak didapatkan di litigasi. 78 78 http:pustaka.unpad.ac.idarchives32631 , artikel, diakses 25 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Prosedur penyelesaian sengketa yang dipilih Bank awalnya adalah dengan menyelesaikan sengketa tersebut secara intern bank, bila upaya tersebut tidak membawa hasil bank akan membawa kasusnya ke lembaga arbitrase sepanjang di dalam klausul bank menetapkan penyelesaian melalui lembaga arbitrase. Pemilihan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perbankan merupakan langkah yang tepat, karena selain keuntungan-keuntungan yang telah disebutkan sebelumnya, penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase ini dapat menjaga nama baik pihak yang berperkara. Dalam industri perbankan, integritas merupakan modal dasar untuk majunya industri ini. Kenyataan ini apabila dihubungkan dengan kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase yang dapat menjaga nama baik para pihaknya sangat membantu dunia perbankan. Kredibilitas atau nama baik bagi industri perbankan merupakan hal yang sangat penting, karena keadaan ini dapat menentukan maju mundurnya usaha mereka. Dengan kata lain suatu industri perbankan yang sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dengan sendirinya mengakibatkan hancurnya sebuah perusahaan perbankan. Hal ini dikarenakan industri perbankan yang bermodalkan uang rakyat yang disimpan pada lembaga tersebut dalam berbagai macam transaksi baik simpanan, tabungan, deposito maupun bentuk-bentuk transaksi lainnya. Oleh karena itu suatu industri perbankan seharusnya dapat menjaga nama baiknya agar industri ini selamat dan sukses. 79 79 http:batubarasuleman.blogspot.com201011prospek‐lembaga‐arbitrase‐dalam.html , artikel, diakses 25 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan di luar peradilan yang efektif untuk di pilih dan digunakan karena memiliki keuntungan-keuntungan yang dapat menyelamatkan pihak-pihak yang bersengketa dari kesulitan-kesulitan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Dibandingkan dengan alternatif penyelesaian sengketa lainnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang mirip dengan lembaga pengadilan. Karena jika ditinjau dari prosedur, kekuatan putusan, dan keterikatan atas hukum nya, arbitrase sangat mirip dengan pengadilan, hanya saja pelaksanaannya lebih ringkas, hemat biaya serta tertutup dari umum sehingga arbitrase banyak dipilih oleh pihak-pihak yang tersangkut kasus perbankan sebagai metode penyelesaian sengketanya.

C. Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase di Indonesia

Peran arbitrase dalam penyelesaian sengketa di Indonesia pada saat ini menjadi sangat penting. Hal ini dilihat dari banyaknya sengketa yang penyelesaiannya di pilih melalui jalan arbitrase. Hal ini dilakukan karena arbitrase memberikan keuntungan sendiri dari pada melalui badan pengadilan. Berbeda dengan arbitrase pada abad pertengahan, dewasa ini peranan arbitrase tidak hanya memberikan atau menawarkan jasa penyelesaian sengketa kepada para pengusaha industri atau perdagangan, arbitrase juga menyelesaikan sengketa hukum, masalah-masalah yang berada di luar yurisdiksi pengadilan tidak siap untuk menyelesaikan sesuatu sengketa. Arbitrase tidak saja diminta untuk menafsirkan suatu kontraknya telah dilaksanakana, atau apa yang menjadi konsekuensi suatu pelanggaran, tetapi arbitrase juga diminta untuk Universitas Sumatera Utara menyempurnakan suatu perjanjian yang tidak lengkap atau hal-hal lainnya yang telah disebutkan oleh para pihak. 80 Badan arbitrase sekarang ini menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai, alasan-alasan para pengusaha menyukai badan ini dari pada pengadilan nasional bermacam-macam yakni, umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat pengusaha bisnis internasional. Pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan identik dengan sistem ekonomi, hukum, dan politik dari negara-negara tempat pengadilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha bisnis dan sesuai kebutuhankeinginan mereka. 81 Memperhatikan gerak dinamis perkembangan dunia bisnis Indonesia yaitu meyangkut dunia perdagangan, keuangan dan industri pada akhir-akhir ini telah menimbulkan liberalisasi ekonomi, industri dan lain-lain sesuai dengan prinsip dunia usaha yang cepat namun efesien untuk mendapatkan yang sebanyak- banyaknya. Berdirinya lembaga arbitrase sangat diharapkan khususnya dunia perdagangan yang menginginkan agar sengketa-sengketa yang terjadi dapat diselesaikan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang memuaskan semua pihak. Oleh karena itu umumnya pada perjanjian disebutkan klausula Arbitrase yang mengatur bahwa dalam hal terjadinya perselisihan masalah itu akan diselesaikan melalui Arbitrase. 80 Ibnu Affan, Op.Cit. hlm.33 81 Ibid. hlm.37 Universitas Sumatera Utara Dari uraian di atas, jelas sekali terlihat bahwa peran arbitrase menjadi sangat penting sebagai metode penyelesaian sengketa yang memberikan banyak keuntungan kepada para pihak yang bersengketa. Disisi lain, prospek pelaksanaan arbitrase berpeluang sangat besar, mengingat kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh arbitrase, menjadikan arbitrase itu sendiri sebagai pilihan penyelesaian sengketa yang akan berkembang dengan sangat cepat dan pesat. Universitas Sumatera Utara

BAB IV EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PERBANKAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

1. Prinsip dan Prosedur Pelaksanaan Arbitrase yang Dilakukan Oleh Badan

Arbitrase Nasional Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dan proses pemeriksaan tersebut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian arbitrase, dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 82 Jika suatu penyelesaian sengketa dilakukan melalui suatu lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, maka proses penyelesaian sengketanya akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih olrh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Hal ini berarti, para pihak diberikan kebebasan oleh undang-undang untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa 82 Rachmadi Usman, Op.Cit. hlm.53 Universitas Sumatera Utara yang terjadi tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang telah mereka pilih tersebut. “Jika suatu pihak telah memilih BANI sebagai lembaga yang akan memeriksa dan memutus penyelesaian sengketanya, maka pihak tersebut harus mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah diatur oleh BANI.” 83 Dalam hal tertentu, pemeriksaan sengketa melalui arbitrase juga masih menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku, kecuali diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Sebagai comtoh Pasal 37 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan, pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Hukm acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan perdata. Sumbernya ada dalam berbagai peraturan perundang- undangan kolonial maupun nasional. Diantara peraturan perundang-undangan tersebut, yang menjadi sumber hukum acara perdata kita yang berlaku saat ini, sebagai berikut : 1. Het Herziene Indonesich Reglement Staatsblad 1941 Nomor 44 Reglemen Indonesia yang Diperbarui, yang memuat pula ketentuan- ketentuan hukum acara perdata yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura. 2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten Staatsblad 1927 Nomor 227, yang memuat pula ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang berlaku untuk wilayah luar Jawa dan Madura. 83 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, SH, M.Hum selaku Sekretaris BANI Kota Medan di Kantor Perwakilan BANI Kota Medan pada tanggal 5 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara 3. Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52 Reglemen Acara Perdata, yang berisikan hukum acara perdata bagi golongan penduduk Eropa yang berperkara di Raad van Justitie. 4. Burgerlijk Wetboek Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi penduduk Eropa dan mereka yang tunduk padanya, yang memuat pula ketentuan-ketentuan hukum acara perdata khususnya mengenai pembuktian dan kadaluwarsa sebagaimana tersebut dalam Buku IV. 84 Bapak Azwir Agus selaku Sekretaris BANI Kota Medan mengatakan bahwa, “dasar atau sumber hukum yang digunakan dalam pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh BANI itu pertama karena ada perjanjian arbitrase, kedua karena adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, juga karena ada Rule and Procedure dari BANI sendiri. Yang membedakan arbitrase dari jenis penyelesaian sengketa lainnya yaitu karena arbitrase mengeluarkan putusan yang final dan mengikat yang tidak dimiliki oleh metode penyelesaian sengketa alternatif lainnya” 85 Telah ada sebutan standar yang sudah diinternasionalisasi, baik dalam literatur dan berbagai rule. Dalam berbagai konvensi sebutan tersebut sudah baku. Disitu dijelaskan sebutan para pihak adalah “claimant” dan “respondent”. Claimant adalah pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan kepada arbitrase. Sedang respondent adalah pihak yang ditarik atau dijadikan tergugat oleh pihak 84 Rachmadi Usman, Op.Cit. hlm.54‐55 85 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus selaku Sekretaris BANI Kota Medan pada tanggal 5 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara yang menggugat dalam suatu proses pemeriksaan yang sah oleh badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan memutus suatu persengketaan. 86 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, istilah yang digunakan adalah “pemohon’ untuk sebutan istilah “claimant” dan “termohon” untuk sebutan istilah “respondent”. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, sedang termohon adalah pihak lawan dari pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Ketentuan proses atau prosedur pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dimulai dengan adanya pendaftaran dan penyampaian permohonan arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pemohon pada Sekretariat Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Dalam permohonan arbitrase Pemohon dan dalam jawaban Termohon atas permohonan tersebut Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Permohonan arbitrase yang diajukan harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai ketentuan yang telah ditentukan oleh BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya sekretaris majelis. Jika ada pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka pihak ketiga tersebut wajib membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan 86 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm.183‐184 Universitas Sumatera Utara keikutsertaannya tersebut. Jika biaya administrasi tidak dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI, maka pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai. Setelah menerima permohonan arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan permohonan itu dalam register BANI. Kemudian Dewan Pengurus BANI akan memeriksa permohonan tersebut untuk menetukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut. Lalu apabila Dewan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelos harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari. Dalam waktu 30 tiga puluh hari tersebut, setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila dalam Jawaban tersebut Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI. Ketua BANI berwenang atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan- Universitas Sumatera Utara alasan yang sah, dengan ketentuan-ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 empat belas hari. Setelah terbentuk atau ditunjuk berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh BANI, Arbiter atau Majelis Arbitrase akan memeriksa dan memutus sengketa antara para pihak atas nama BANi dan karenanya dapat melaksanakan segala kewenangan yang dimiliki BANI sehubungan dengan pemeriksaan dan pengambilan keputusan-keputusan atas sengketa dimaksud. Sebelum dan selama masa persidangan Majelis dapat mengusahakan adanya perdamaian di antara para pihak. Upaya perdamaian tersebut tidak memperngaruhi batas waktu pemeriksaan di persidangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 7 yakni 180 seratus delapan puluh hari sejak tanggal Majelis selengkapnya terbentuk. Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporancatatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus di jaga kerahasiaannya di antara para pihak, para arbiter dan BANI, kecusli oleh peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa. Mengenai tempat persidangan, diselenggarakan di tempat yang ditetapkan oleh BANI dan kesepakatan para pihak, namun dapat pula di tempat lain jika dianggap perlu oleh Majelis dengan kesepakatan para pihak. Kemudian mengenai bahasa pemeriksaan, proses pemeriksaan perkara diselenggarakan dalam bahasa Indonesia, kecuali dan apabila Majelis, dengan Universitas Sumatera Utara menimbang keadaan seperti adanya pihak-pihak asing danatau arbiter-arbiter asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia, danatau dimana transaksi yang menimbulkan sengketa dilaksanakan dalam bahasa lain, menganggap perlu digunakannya bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Lalu apabila dokumen asli yang diajukan atau dijadikan dasar oleh para pihak dalam pengajuan kasus yang bersangkutan dalam bahasa selain Indonesia, maka Majelis berhak menentukan dokumen-dokumen asli tersebut apakah harus disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa lain. Namun demikian, apabila para pihak setuju, atau Majelis menentukan, bahwa bahasa yang digunakan dalam perkara adalah bahasa selain bahasa Indonesia, maka Majelis dapat meminta agar dokumen diajukan dalam bahasa Indonesia dengan disertai terjemahan dari penerjemah tersumpah dalam bahasa Inggris atau bahasa lain yang digunakan. Mengenai prosedur persidangan, setelah menerima berkas perkara, Majelis harus menentukan atas pertimbangan sendiri apakah sengketa dapat diputuskan berdasarkan dokumen-dokumen saja, atau perlu memanggil para pihak untuk datang pada persidangan. Untuk maksud tersebut Majelis dapat memanggil untuk sidang pertama dimana mengenai pengajuan dokumen-dokumen jika ada atau mengenai persidangan jika diadakan, ataupun mengenai masalah-masalah prosedural, dapat dikomunikasikan dengan para pihak secara langsung maupun melalui Sekretariat BANI. Selanjutnya hal pertama yang dilakukan adalah upaya mencari penyelesaian damai, baik atas upaya para pihak sendiri atau dengan bantuan mediator atau Universitas Sumatera Utara pihak ketiga lainnya yang independen atau dengan bantuan Majelis jika disepakati oleh para pihak. Apabila suatu penyelesaian damai dapat dicapai, Majelis akan menyiapkan suatu memorandum mengenai persetujuan damai tersebut secara tertulis yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dilakukan dengan cara yang sama sebagai suatu Putusan dari Majelis. Namun apabila tidak berhasil dicapai penyelesaian damai, Majelis akan melanjutkan prosedur arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal Pemohon lalai danatau tidak datang pada sidang pertama yang diselenggarakan oleh Majelis tanpa suatu alasan yang sah, maka Majelis dapat menyatakan Permohonan arbitrase dibatalkan. Dalam hal lain mengenai Termohon lalai mengajukan Surat Jawaban, Majelis harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Termohon dan dapat memberikan perpanjangan waktu selambat-lambatnya 14 empat belas hari untuk mengajukan Jawaban danatau datang ke persidangan. Dalam hal Termohon juga tidak datang ke persidangan setelah dipanggil secara patut dan juga tidak mengajukan Jawaban tertulis, Majelis harus memberitahukan untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, Majelis serta-merta dapat memutuskan dan mengeluarkan putusan berdasarkan dokumen-dokumen dan bukti yang telah diajukan Pemohon. Sama hal nya dengan penjalanan acara di pengadilan, apabila Majelis menganggap perlu danatau atas permintaan masing-masing pihak, saksi-saksi ahli atau saksi-saksi yang berkaitan dengan fakta-fakta dapat dipanggil. Saksi-saksi tersebut oleh Majelis dapat diminta untuk memberikan kesaksian mereka dalam Universitas Sumatera Utara bentuk tertulis. Sebelum memberikan kesaksian, para saksi atau saksi ahli tersebut dapat diminta untuk diambil sumpahnya atau mengucapkan janji. Jika pengajuan bukti, kesaksian dan persidangan telah dianggap cukup oleh Majelis, maka persidangan mengenai sengketa tersebut ditutup oleh Ketua Majelis yang kemudian dapat menetapkan suatu sidang untuk penyampaian Putusan Akhir. Azwir Agus, SH, M.Hum selaku Sekretaris BANI Kota Medan menjelaskan bahwa sepanjang Majelis arbiter belum mengeluarkan putusan, Pemohon dapat mencabut tuntutannya melalui pemberitahuan tertulis kepada Majelis, pihak lain yang bersengketa, dan BANI. 87 Majelis wajib menetapkan Putusan Akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Putusan harus ditandantangani para arbiter dan harus memuat tanggal dan tempat dikeluarkannya. Dalam waktu 14 empat belas hari, Putusan yang telah ditandatangani para arbiter tersebut harus disampaikan kepada setiap pihak, bersama 2 dua lembar salinan untuk BANI, dimana salah satu dari salinan itu akan didaftarkan oleh BANI di Pengadilan Negeri sebagai kekuatan eksekusi. Dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 87 Hasil wawancara dengan Sekretaris BANI Kota Medan Bapak Azwir Agus, SH, M.Hum pada tanggal 5 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam pasal 71 juga disebutkan bahwa, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, secara singkat pelaksanaan arbitrase pada masa persidangan yang dilakukan oleh BANI yang dijelaskan oleh bapak Azwir Agus dapat di lihat dalam bagan sebagai berikut : Komitmen para pihak Bila Pemohon tidak hadir Tuntutan Gugur Bila Termohon tidak hadir 1x : Panggilan Ulang 2x : Pemeriksaan dilanjutkan Terms of Reference  Replik – Duplik Universitas Sumatera Utara Pembuktian  Pemeriksaan Saksi Kesimpulan Pembacaan Putusan

2. Faktor Penghambat Pelaksanaan Arbitrase yang Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Kota Medan

Banyaknya penjelasan yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalan arbitrase sangat menguntungkan, memang benar adanya. Sejauh yang dilakukan oleh BANI, tidak terdapat faktor-faktor yang menghambat pelaksanan arbitrase itu sendiri. Tidak adanya faktor penghambat tersebut ditunjang oleh sarana dan kekuatan mengikat yang dimiliki oleh BANI. Hal ini dapat dilihat dari : 1. Segi biaya, pembayaran biaya administrasi diselesaikan di awal, sehingga jalannya arbitrase tetap lancar tanpa adanya tunggakan biaya. 2. Segi arbiter atau majelis arbiter, BANI memiliki arbiter-arbiter yang ahli pada bidangnya sehingga dalam menyelesaikan sengketa tidaklah terdapat kesulitan yang berarti. Integritas dan profesionalisme para arbiter tidak diragukan lagi. Jika pun dalam satu atau dua sengketa terhadap hal tertentu terjadi kekurangan arbiter yang ahli pada bidangnya, tetap dapat dicari seseorang yang ahli mengenai hal tersebut di luar BANI tapi tetap bekerja untuk menyelesaikan sengketa yang didaftarkan ke BANI tersebut. Universitas Sumatera Utara 3. Segi itikad baik para pihak, para pihak yang bersengketa senang memilih penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase karena melalui pengadilan terlalu banyak terjadi ketidakpastian hukum, biaya yang tidak sedikit, dan berakhirnya hubungan secara tidak baik. Dalam bidang perbankan, bank merupakan badan yang berdiri karena adanya kepercayaan dari masyarakat, untuk menjaga kepercayaan tersebut pihak bank yang memiliki sengketa pasti akan menyimpan sengketanya tersebut dengan sangat rapat agar tidak diketahui oleh masyarakat agar kepercayaan yang telah diberikan masyarakat tidak berkurang ataupun hilang. Penyelesaian sengketa pun dipilih melalui arbitrase yang bersifat rahasia. Hal ini malah makin mendorong terlaksananya dengan baik proses arbitrase. 4. Kepatuhan para pihak untuk tunduk pada putusan arbitrase dan melaksanakannya dengan benar. Sejauh yang telah diamati oleh BANI, para pihak yang bersengketa sangat patuh untuk menjalankan putusan yang dikeluarkan BANI, oleh sebab itu tidak ada kendala ataupun hambatan yang berarti dari segi pelaksanaan putusan. 5. Sikap pengadilan terhadap pelaksanaan putusan BANI juga tidak terjadi kontra. Pengadilan selalu mengesahkan putusan yang dibuat oleh BANI untuk kekuatan eksekusi. Kutipan wawancara dengan bapak Azwir Agus mengenai faktor yang menghambat pelaksanaan arbitrase adalah sebagai berikut : “Sejauh ini pelaksanaan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdata maupun sengketa perbankan berjalan dengan lancar. Tidak ada hal-hal yang menghambat Universitas Sumatera Utara pelaksanaannya baik dari segi mekanisme pelaksanaan, arbiter, pihak sengketa, ataupun lain sebagainya. Bisa dikatakan kalau selama ini perjalanan yang kami lakukan mulus saja.” 88 Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara penulis dengan narasumber di atas dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa perbankan melalui metode arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia tidak memiliki kendala atau hambatan di dalam pelaksanaannya. Hal tersebut di dukung oleh sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BANI dan kepatuhan para pihak sengketa terhadap putusan yang bersifat final dan mengikat yang dikeluarkan oleh BANI. Namun sedikit yang menjadi kelemahan adalah kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai lembaga arbitrase di dalam masyarakat, sehingga masih ada segolongan masyarakat yang belum mengenal arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa, serta belum adanya lembaga arbitrase perbankan umum yang secara khusus menangani sengketa perbankan agar sengketa perbankan dapat diselesaikan secara khusus tanpa bercampur dengan sengketa lainnya. 3. Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan yang Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia pada dasarnya adalah tergantung dari para pihak yang mencantumkan klausul mengenai penyelesaian sengketa yang akan dilakukan dan didaftarkan di BANI. 88 Hasil wawancara dengan Sekretaris BANI Kota Medan Bapak Azwir Agus pada tanggal 10 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh BANI secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan secara khusus diatur dalam Rules and Procedures BANI. Berbicara tentang keberhasilan dan kegagalan arbitrase yang dilakukan oleh BANI dalam penyelesaian sengketa perbankan, selama kisaran tahun 2004- 2008 sengketa perbankankeuangan yang masuk adalah sebesar 6 dan kesemuanya adalah berhasil. “Tidak ada kata gagal dalam pelaksanaan arbitrase yang kami lakukan, karena sesuai jangka waktu yang ditegaskan dalam undang-undang, suatu sengketa haruslah diselesaikan dalam jangka waktu 180 hari ataupun dapat diminta penambahannya bila masih belum menemukan penyelesaiannya. Jadi mau tidak mau penyelesaiannya pasti berhasil, tidak ada kegagalan. Yang ada hanyalah pembatalan putusan bukan kegagalan. Namun persentase yang tersebut diatas adalah sengketa perbankan yang masuk dan diselesaikan oleh BANI Pusat” 89 Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa tidak terdapat kata kegagalan dalam pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh BANI. Karena hasil putusan adalah selalu berhasil. Namun terhadap hasil putusan tersebut dapat dilakukan pembatalan. Pembatalan terhadap putusan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan hasil studi penulis di Badan Arbitrase Indonesia Kota Medan pada tanggal 10 Maret 2014, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara 89 Hasil wawancara dengan Sekretaris BANI Kota Medan Bapak Azwir Agus pada tanggal 10 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI adalah efektif. Hal ini dapat dilihat dari persentase sengketa perbankan yang masuk dan dapat diselesaikan oleh BANI secara adil. Namun perlu diketahui bahwa hal tersebut adalah kinerja dari BANI Pusat, dimana sengketa perbankan yang masuk di periksa dan diputus oleh BANI Pusat. Bapak Azwir Agus selaku Sekretaris BANI Kota Medan mengatakan bahwa, “selama ini tidak ada sengketa perbankan yang masuk ke BANI perwakilan Medan, karena sengketa perbankan dimasukkan dan diselesaikan di BANI Pusat. Namun disana pelaksanaannya efektif. BANI menyelesaikan sengketa dengan baik dan membantu mengurangi masuknya dan menumpuknya perkara di Pengadilan.” Lebih lanjut Bapak Azwir Agus menyatakan bahwa data selengkapnya mengenai nama pihak sengketa secara detail dan putusannya tidaklah dapat di buka dan diberitahukan karena bersifat rahasia dan BANI benar-benar menjaga kerahasiaannya tersebut. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN