BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE
A. Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
12
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare Latin, arbitrage Belanda, arbitration Inggris, schiedspruch Jerman, dan arbitrage Perancis, yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter arau wasit.
13
Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter
harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham
maupun bersengketa.
14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa.
15
12
Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, pasal
1 angka 1
13
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1
14
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.70
15
Umar Sandi, “Arbitrase”, artikel, http:umarzandi.blogspot.com201102arbitrase.html , diakses
9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting
dari arbitrase, yaitu: 1.
Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan 2.
Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak 3.
Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga arbiter atau wasit yang berwenang
mengambil keputusan. 5.
Sifat putusannya adalah final dan mengikat. Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak
ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa
tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan
yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak.
Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta ahli hukum adalah:
Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih
oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.”
16
Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an
actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.”
17
arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi
atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa
macam pilihan. Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya
bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang
diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak.
Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan
bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”
18
16
M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia Jakarta, Komponen
Hukum Ekonomi Elips Project, 1995 hlm.2
17
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2
18
Ibid, hlm.2
Universitas Sumatera Utara
Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang
bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut. Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan
pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri
secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak.
Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
dalam hukum perdata.”
19
Abdulkadir Muhammad
menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian
dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase
ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah
mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata.
Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat
19
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1993 hlm.276
Universitas Sumatera Utara
dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”
20
Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang
dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a
dispute to an impartial third person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both
parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it
to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.”
21
Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar
kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih
tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan,
20
Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman, hlm.3
21
Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel, http:tommirrosandy.wordpress.com20110314pengantar
‐hukum‐arbitrase‐di‐indonesia , diakses
9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan litigasi biasa.
Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala
macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula.
Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai
“arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute settlement.”
22
arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa.
Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa
dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap sengketa tersebut.
Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan
keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.
22
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.3
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang
arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu.
23
Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi syarat- syarat sebagai berikut:
- Cakap melakukan tindakan hukum
- Berumur paling rendah 35 tahun
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa -
Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase
- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun.
24
Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
25
Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan
pemberian putusan oleh arbiter secara objektif. Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter
tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan
23
Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67
24
Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Pasal
12 ayat 1
25
Ibid. Pasal 12 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih” tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter
yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku. Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review
mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa
faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. jumlah yang dipersengketakan b. kompleksitas klaim
c. nasionalitas dari para pihak d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam
sengketa e. ketersediaan arbiter yang layak
f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan
26
26
Munir fuady, Op.Cit. hlm.68
Universitas Sumatera Utara
Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak, penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama
dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat
ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat,
walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil.
Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan
kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.
27
Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim
atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat
1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada
ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.
27
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991 hlm.160
Universitas Sumatera Utara
Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak
dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut.
Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan
wewenang dari pihak yang bersengketa. Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review
mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi
pertimbangan, yaitu: -
Sifat dan hakikat dari sengketa -
Ketersediaan dari arbiter -
Identitas dari para pihak -
Independesi dari arbiter -
Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase -
Saran-saran yang diberikan oleh para pihak
28
Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan
ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara tertulis paling lambat 14 empat belas hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai
dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
28
Munir Fuady, Op.Cit, hlm.74
Universitas Sumatera Utara
1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah
ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri
arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis. Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen,
adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa.
29
Untuk sukses menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang
yang profesional di bidangnya. Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan
oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan
cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran. Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut.
30
Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung
selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter.
29
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, ArbiterMediator, artikel, http:www.bapmi.orginarbitrators_requirements.php
diakses 9 Februari 2014
30
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm. 102
Universitas Sumatera Utara
Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian
biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56.
Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat
panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan perundang- undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
Rv. Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih
menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS,
berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra
berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur
Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.
Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht
sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum
Universitas Sumatera Utara
acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang disingkat B. RV atau RV.
Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan
beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene
Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut : a.
Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman di Hindia Belanda Reglement op de Rechterlijke
Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O. b.
Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang laut Rechtsreglemetn Buitengewesten Rbg.
Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang
Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa”.
31
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR
maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan
31
R. Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasan Bogor, Politeia, 1970 hlm.255
Universitas Sumatera Utara
tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata Reglement opde Burgerlijke
disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63.
32
Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material
yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang
dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk derah luar pulau Jawa dan Madura tanah seberang.
Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek BW Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Wetboek van Kophandel WvK Kitab Undang Undang Hukum Dagang. Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata RV.
33
Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu
ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu : -
Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia -
Badan arbitrase tentang kebakaran -
Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.
34
Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang
membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi
32
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.12
33
Ibid. hlm.14
34
http:poetra‐arbitrase.blogspot.com , artikel, diakses 9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
nama Tiboo Hooin. Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg.
35
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badan-
badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah dahulu Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah buat sementara asal tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
36
Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945
yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan
peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih
berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”. Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui
Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti
peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata
tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,
35
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15
36
Ibid. hlm.16
Universitas Sumatera Utara
landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak
pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
37
Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam
badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja.
Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu konstitusi Republik Indonesia Serikat, dalam pasal 192 konstitusi RIS
tersebut dinyatakan bahwa : a.
Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku menurut Pasal 197
konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah
atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini.
b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata
usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku,
37
Ibid. hlm.16
Universitas Sumatera Utara
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI,
Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan.
38
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-
peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase
yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
39
38
Ibid. hlm.17
39
Ibid hlm.18
Universitas Sumatera Utara
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan
kuat.
40
Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa
penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga
tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya
Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi.
41
Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur
litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan.
40
Munir Fuady, Op.Cit, hlm.30
41
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789300343Chapter20II.pdf , diakses 10 Februari
2014
Universitas Sumatera Utara
B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a.